RUMAH MERAH PUTIH Review

Patriotism is just loyalty to friends, people, families.

 

 

Merah putih tak bisa diganti. Setiap rumah di kampung Farel di desa NTT menyambut gembira hari kemerdekaan negara dengan mengecat warna rumah sesuai dengan warna bendera. Malangnya, cat yang dibagikan panitia lomba kemerdekaan buat Farel hilang. Farel kini punya cat coklat untuk dijual supaya dapat membeli cat merah putih yang baru – sebelum ayahnya sadar Farel sudah menghilangkan cat untuk rumah mereka. Tapi tidak ada yang mau beli warna coklat. Sebab, merah putih tidak bisa diganti. Farel dan sahabat setianya, Oscar, semakin jauh dari rumah demi mencari cat merah putih. Dan tentu saja, merah putih itu ternyata lebih dari sekedar warna cat untuk kayu.

Sutradara Ari Sihasale bersama Alenia Pictures kembali menghadirkan kisah kehidupan anak-anak dari Timur Indonesia, sekali lagi untuk mengingatkan kepada kita akan pentingnya memperindah rumah merah putih yang kita tinggali. Sama seperti rumah beneran yang meski belum rusak tapi tetap harus dibersihkan, negara juga perlu disapu sedikit ‘debu-debunya’. Negara kita pun perlu dimeriahkan oleh film-film seperti ini. Yang mampu numbuhin rasa cinta kepada bangsa dan negara. Rumah Merah Putih hadir dalam waktu yang bisa dikatakan cukup tepat. Negara kita sedang dalam masa pemulihan dari ‘pengotakan’ yang membayangi pemilihan presiden. Semua jadi geng-gengan. Mulai dari geng kubu politik, nyebar jadi geng agama, geng suku, geng daerah. Tak ada yang lebih tepat daripada anak-anak seperti Farel, Oscar, dan teman-teman untuk menegur kita untuk pulang. Sudahi perang-perangan antar gengnya. Pulang. Ke rumah yang sama.

Saya anak jaman now. Bapak saya perang. Ibu saya sosmed yang memfasilitasinya.

 

Suara anak-anak dalam film ini terdengar riang, mengisyaratkan kebahagian mereka sebagai satu kesatuan. Sekaligus tegas, menekankan kepada kebanggaan. Dengar saja betapa kompaknya mereka menyambung perkataan guru mengenai tanggungjawab kepada negara. Sudah seperti terkomando. Dengar juga betapa seringnya anak-anak itu mengumandangkan mantera khusus film ini dengan mantap, “Nama saya anu, Bapak saya (dari daerah apa), Ibu saya (dari daerah apa), saya Indonesia!” Semboyan yang bekerja seperti propaganda; yang bila diulang-ulang terus maka akan membuat kita mempercayainya. Jika Doremi & You (2019) – film anak-anak yang tayang di bioskop berbarengan, yang juga mengangkat soal bhinneka tunggal ika – menyarankan kita untuk mengenali perbedaan supaya bisa belajar saling mengerti dan berkompromi demi tercipta hidup bersama yang harmoni bagaikan musik, maka Rumah Merah Putih mencoba keras untuk menanamkan kepada kita bahwa negaralah yang harus dikedepankan. Itulah solusi yang ditawarkan oleh film ini dalam mencapai persatuan.

Nasionalisme, menurut jurnalis dan novelist George Orwell dalam salah satu tulisannya yang kontroversial, dapat merusak perdamaian. Jika nasionalisme tersebut tidak berakar pada semangat patriotis. Film Rumah Merah Putih dengan bijak menyetir tokoh-tokohnya yang tinggal di daerah yang jauh dari mana-mana menjauh dari semangat bela negara yang tak berdasar. Film ini memperlihatkan kesulitan hidup yang dialami oleh tokoh-tokoh, akan tetapi mereka justru semakin kuat rasa cinta tanah airnya.

Karena patriotisme bagi penduduk dalam film ini sebenarnya sangatlah sederhana. Negara adalah rumah. Dan di dalam rumah, kesetiaan mereka terletak pada orangtua, sahabat, dan masyarakat. Cinta tanah air mereka adalah cinta mereka kepada keluarga.

 

Menggandeng anak-anak asli Nusa Tenggara Timur yang sama sekali belum pernah bermain dalam film terbukti menjadi keuntungan untuk film ini. Anak-anak tersebut tedengar nyata dan nyaman bicara dalam bahasa asli mereka. Memberikan kesan kita ikut berada di sana bersama mereka. Interaksi antara Petrick Rumlaklak yang menjadi Farel dengan Amori de Purivicacao yang berperan sebagai Oscar, si ngasal yang sebenarnya pinter, menjadi hati dari film ini. Tidak akan berhasil jika anak-anak itu tampak canggung; which is no case in this movie. Setiap kali kita melihat anak-anak berinteraksi, kita tahu mata kita akan tetap terpaku pada layar. Kita berpegangan pada kata-kata mereka yang keluar dengan lancar sehingga kadang kita sedikit tertinggal karena tidak terbiasa dengan logat mereka.

Pesan pamungkas tentang persatuan datang dalam bentuk permainan panjat pinang yang berusaha dimenangkan oleh Farel. Karena di atas sana tergantung cat merah putih yang ia cari. Perdebatan Farel dengan teman-temannya saat mengatur strategi siapa yang di posisi paling atas akan membuat kita mudah terkonek dengan pesan yang ingin mereka sampaikan. Untuk menang mereka harus bekerja sama, dan untuk itu harus ada yang rela berada di bawah. Di posisi yang kerjanya paling berat. Kalian mungkin akan berpikir adegan panjat pinang ini akan cocok sekali sebagai adegan final; karena di saat inilah para tokoh cilik kita belajar dan menyadari apa yang sebenarnya mereka butuhkan. I do. Aku pikir film ini berakhir dengan semangat juang yang tinggi, tapi kemudian aku melirik layar hape, dan melihat bahwa adegan tersebut baru midpoint dari keseluruhan durasi!

Selagi Farel mundur ke belakang mengamati tragedi yang terjadi sebagai aftermath dari perjuangan mereka, cerita berkembang menjadi tak berarah. Kita tak lagi yakin kemana cerita ini, apa motivasi yang jadi pedoman, selain bersiap menunggu ejaan nasionalis berikutnya. Untuk tidak membocorkan banyak hal; di paruh kedua ini kita melihat tokoh yang diperankan Pevita Pearce berjuang untuk membawa anak yang ia asuh ke rumah sakit terdekat dengan keluarga asal mereka, yakni di Timor Leste. Tapi paspor mereka kurang, sedangkan rumah sakit lokal tak sanggup untuk menangani. Dibandingkan dengan paruh pertama yang penuh energi, paruh kedua cerita ini terasa sangat menye-menye. Gempuran musik soundtrack yang sedih-sedih mulai berkumandang. Tidak lagi cerita ini terasa natural. You know, di paruh awal kita melihat perjuangan Farel mencari cat. Dia berusaha dapat duit dulu. Ketika sudah dapat tapi ternyata warnanya salah. Tokonya tutup. Ditipu tukang ojek. Tokoh kita terus dipukul, akan tetapi semua hal tersebut terasa seperti rintangan yang lumrah dalam sebuah naskah. Dalam paruh kedua, Farel masih tetap tampil sebagai pahlawan dengan tindakan yang memajukan narasi, tapi tindakan tersebut berupa reaksi dari keadaan yang diorkestrasi sedramatis mungkin. Tiba-tiba desa mereka tampak sangat menyedihkan. Shot-shot bentang alam tersebut membuat cerita ini menjadi semakin menjauh dari kita. Mungkin memang masih banyak desa yang butuh perhatian di daerah-daerah yang jauh di sana, tapi dunia cerita film ini menjadi semakin jauh dari kenyataan.

dari dulu aku penasaran perhitungannya gimana ya kok bisa pas bendera naik berkibar dengan lagu selesai dinyanyikan

 

Ada satu adegan ketika lagi upacara bendera peringatan kemerdekaan, tali benderanya nyangkut di puncak tiang sehingga benderanya tak bisa dinaikkan. Namun para hadirin tetap hormat grak dan paduan suara tetap menyanyikan lagu Indonesia Raya, yang kemudian tenggelam oleh musik latar yang diset sesedih mungkin. Punchline dari adegan ini adalah Farel maju ke depan, memanjat tiang bendera, dan semua orang jadi semakin terharu. Adegan ini fake sekali. Masa iya kelangsungan upacara bergantung kepada satu anak yang telat datang upacara – iya kalo Farel beneran datang, kalo dia lanjut tidur lagi gimana? Masa iya mereka masih nyanyi padahal jelas-jelas benderanya belum dinaikkan?

Aksi ini membuat Farel viral di internet. Yang mengisyaratkan kepada kita bahwa film menganggap menjadi viral adalah solusi dan merupakan suatu ukuran kebanggaan. Tentu, bukan ‘salah’ Farel dirinya viral. Toh dirinya sendiri tak pernah digambarkan pengen terkenal. Dia bahkan tidak tahu aksinya menjadi sensasi. Film cukup bijak untuk memperlihatkan apa yang Farel lakukan dengan ‘kemerdekaan’nyalah yang lebih penting. Tapi aku pikir ini tetap adalah kesalahan dari skenario. Paruh akhir menjadi menyebar menyambar banyak hal yang tak benar-benar beriringan dengan paruh pertama film yang soal cat. Cukup aneh film meletakkan pertanyaan plot poin di tengah durasi, alih-alih pada permulaan babak narasi. Ini antara babak satu film ini amat panjang atau babak keduanya yang kependekan. Ending film ini juga tak kalah dramatisnya. Seolah film ingin menunjukkan selama tiga bulan Farel duduk di atas bukit dengan resah dan gelisah menanti kedatangan sahabatnya. Dramatis sekali memang anak-anak ini!

 

 

 

Memperlihatkan kehidupan di Timur Indonesia yang tampak susah namun penduduknya tak pernah terpecah, film ini layaknya jadi pengingat kepada kita. Bahwasanya sifat patriotis lebih penting ketimbang nasionalis tak berdasar. Dengan sudut pandang anak-anak, cerita tidak terasa menyinggung ataupun berat. Malahan ringan dan menghibur, dengan tetap sarat. Meski begitu, paruh pertama terasa lebih real, lebih punya energi, lebih menyenangkan untuk ditonton daripada paruh keduanya yang overdramatis. Penceritaan pada paruh kedua tampak melebar. Farel masih tetap menjadi sudut pandang utama, dia masih tampil heroik, tapi film memilih untuk membuat keadaan di sekitarnya jadi seperti dibuat-buat untuk mencapai level emosi yang tinggi. Mereka harusnya berakhir di panjat pinang. Bagiku film ini sendiri terasa kaget bahwa ternyata dirinya punya lebih banyak agenda yang harus dimasukkan dari perencanaan awal.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for RUMAH MERAH PUTIH.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Cerita cinta tanah air seperti ini kebanyakan datang dari jauh. Sedikit sekali film anak kota yang membahas ini. Kenapa ya kira-kira? Menurut kalian siapa yang sebenarnya perlu diingatkan mereka adalah Indonesia?

Satu lagi, apa pendapat kalian tentang upacara bendera di sekolah?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.