ALONE Review

“The coward does not know what it means to be alone…”

 

 

 

Menyendiri kadang memang perlu. Karena sesekali kita memang perlu untuk dapat ruang untuk menenangkan diri. Untuk menghimpun kembali diri kita yang mungkin sudah berkeping-keping didera stress dan masalah. Pun tidaklah egois jika kita merasa butuh untuk menjauh dari kebisingan sosial dan hiruk pikuk drama. Memisahkan diri dari keluarga atau teman-teman sementara. Dan certainly, ‘ngilang’ seperti demikian bukanlah perbuatan pengecut. Kalian yang belum mengerti kenapa, bisa menemukan jawabannya dengan menonton thriller kucing-kucingan karya John Hyams yang berjudul Alone ini.

Dibagi menjadi lima chapter, Alone memperlihatkan perjalanan yang berubah menjadi petaka bagi seorang wanita bernama Jessica. Sepeninggal sang suami, Jessica menemukan hidupnya dalam keadaan yang sulit, sehingga dia bermaksud untuk pindah rumah. Meninggalkan kehidupannya yang lama. Jessica bahkan sengaja tidak memberitahu ibu dan ayahnya di rumah. Dia benar-benar butuh waktu dan tempat untuk sendiri. Jalanan yang panjang dan sepi itu pun kemudian ditempuhnya. ‘Teror’ yang dialami Jessica awalnya cuma telfon dari orangtua yang mencari dirinya. Namun hal berkelok menjadi semakin mengerikan tatkala janda ini dibuntuti oleh pria sok-akrab dengan mobil hitamnya.

Bayangkan Ned Flanders, with more straight-up creep and less  -ookily dookily

 

 

Tiga puluh menit pertama, saat masih di chapter ‘The Road’, cerita seperti sebuah thriller psikologis. Dan itu seru sekali, I really enjoyed it. Alone punya naskah yang sangat bijak untuk tidak membeberkan seluruhnya sejak awal (bahkan hingga film berakhir masih banyak backstory yang dibiarkan terungkap tak lebih banyak daripada seperlunya). Jadi di awal itu ada berbagai lapisan misteri yang terasa oleh penonton. Kita masih figure out apa yang terjadi dan siapa si Jessica. Kita juga harus menelisik benarkah si Pria itu orang jahat dan pertemuan-pertemuan mereka murni kebetulan dan semuanya hanyalah kecurigaan Jessica semata. Tapi makin berlanjut, perihal niat dan kelakukan si Pria semakin obvious, dan di sinilah kepiawaian cerita mulai tampil. Ada build up tensi yang benar-benar terasa. Mengalun merayap di balik cerita sehingga kita seolah berada di kursi depan di sebelah Jessica.

Jessicanya juga ditulis bukan seperti karakter korban pada umumnya. Wanita ini boleh aja terlihat curigaan, tapi dia curiga-dan-pintar. Sikapnya ini berhasil mempengaruhi kita sehingga kita benar-benar peduli. Tensi pada film ini bukan terjadi karena sesimpel karakter cewek yang diburu oleh cowok – mangsa lemah melawan pemburu yang lebih kuat. Film berhasil mengeluarkan diri dari perangkap gender tersebut. Ketika ketegangan cerita seperti distarter ulang saat kita masuk ke chapter berikutnya – Jessica dikurung di ruang bawah tanah kabin di tengah hutan – kupikir cerita berubah dangkal dengan menjelma menjadi semacam horor siksaan yang mengeksploitasi kekerasan ataupun seksualitas. Ternyata tidak. Momen tersebut justru digunakan film untuk memperkenalkan dua karakter ini secara lebih fokus kepada kita, dengan tetap menyimpan beberapa hal. Di sinilah kita mendapat penyadaran bahwa kedua tokoh ini punya kesamaan, sekaligus perbedaan pandang dari kesamaan tersebut. Di sini jualah kita akan mendapat momen paling mengerikan dari si Pria. Momen yang adegannya dirancang sedemikian rupa sehingga seperti gabungan menakutkan dari sebuah eksposisi dan eksplorasi karakter.

Tema berulang yang dapat kita jumpai, entah itu disebutkan lewat ucapan tokoh ataupun tersirat di balik aksi buru-memburu, adalah soal cowardice. Sifat kepengecutan. Setidaknya ada tiga peristiwa yang bisa terlingkup ke dalam konteks ‘pengecut’ yang dapat kita lihat sepanjang film ini. Jessica yang menghindari – tidak mengangkat – telfon ibunya. Pria yang bohong sedang liburan di hotel kepada istri dan anaknya di telefon. Dan suami Jessica yang memilih mati bunuh diri. Tiga tindakan ini dilakukan oleh para tokoh, dan mereka memerlukan kesendirian untuk melakukannya. Tapi kesendirian itu sendiri bukanlah bentuk sebuah kepengecutan. Inilah yang diargumentasikan oleh film lewat para karakter. Pria yang mencerca suami Jessica sebagai seorang pengecut, padahal si Pria itu sendiri memakai kedok dan memilih untuk sendiri supaya bisa melampiaskan perangai dirinya yang asli. Sedangkan Jessica, sebagai tokoh utama, dia berada di antara keduanya. Boleh jadi dia memang menghindar karena takut menghadapi drama dengan orangtuanya, namun pada akhirnya lewat perjuangan berdarah-darah yang dihadapinya sendiri sepanjang cerita ini, kita bisa melihat – dan Jessica herself akhirnya menyadari – bahwa dia adalah seorang yang pemberani. Seorang penyintas.

Memilih untuk menyendiri bukan lantas berarti kita adalah seorang pengecut. Malah sebaliknya. Pengecut justru adalah seseorang yang tidak mengerti makna dari kesendirian. Orang-orang paling berani pasti pernah memilih untuk sendirian, dan mereka menjadi lebih baik setelah pengalaman saat sendiri tersebut.

 

 

Film lantas mulai terasa klise ketika panggung kejar-kejaran bergeser ke hutan. Cerita memasukkan satu karakter lagi untuk menambah dramatis ke trik thriller, tetapi tidak ada yang spesial di sini. Melainkan hanya karakter baik, tipikal, yang ujung-ujungnya kita semua tahu bakal mati. Alone bekerja terbaik saat dua karakter protagonis dan antagonisnya ‘berduel’ sendirian tanpa harus dicampuri oleh karakter lain. Puncak ketegangan tertinggi buatku adalah saat Jessica kabur, dan setelah ketemu tokoh satu lagi ini, film tidak berhasil mencapai ketinggian yang sama lagi bahkan dengan konfrontasi terakhir yang ditarik dari dalam mobil hingga ke lapangan penuh lumpur itu.

Robert menunjukkan bahwa di tangan orang baik, senjata tidaklah berguna

 

 

Yang ada malah seperti film mulai mengincar ke arah yang over-the-top. Demi kepentingan circle-back ke momen awal, film membuat Jessica malah menelpon istri Pria ketimbang menelepon polisi begitu berhasil mendapatkan handphone. Kinda silly kalo dipikir-pikir. Misalnya lagi; dialog Pria kepada hutan, meneriakkan kata-kata provokasi ke Jessica, terdengar tidak demikian mengancam. Padahal penampilan akting di sini sudah cukup meyakinkan. Baik Jules Willcox yang jadi Jessica maupun Marc Menchaca yang jadi si Pria bermain sesuai dengan standar horor dengan genre seperti ini. Range di antara ketakutan, bingung, kesakitan, dan marah – dan kedua aktor ini delivered. Masalahnya terletak di arahan; taktik build up tarik ulur yang konsisten diterapkan tersebut saat mendekati akhir tidak menemukan pijakan yang klop terhadap arah over-the-top. Sehingga film jadi terasa gak lagi nyampe, atau pay-off nya tidak seperti yang diancang-ancangkan. Misalnya di dialog malam tadi, Pria meletakkan senjata ke tanah. Kamera fokus ke mata Jessica yang mengintip dan tampak mengincar senjata. Namun tidak ada kelanjutan terhadap build up tersebut.

Begitupun dengan chapter-chapter yang ada. Pembagian cerita yang muncul setiap kali panggung berpindah (The Road saat di jalanan, The River saat di sungai, dsb) semakin ke ujung semakin terasa kurang signifikan. Melainkan kepentingannya hanya seperti nunjukin nama tempat aja. Film kurang berhasil menghujamkan bobot chapter ke struktur cerita secara keseluruhan. Jika memang ada makna paralel tersembunyi, gaungnya jadi kecil karena fokus yang sudah membesar menjadi over. Buatku pilihan ini aneh aja. It’s either filmnya gak konsisten atau filmnya gak tahu aja cara yang tepat untuk menonjolkan diri. Karena film ini sedari awal tampak seperti sengaja gak menonjol. Judulnya aja udah generik sekali. Kalo kita cek Google, dalam sepuluh tahun terakhir setidaknya sudah ada lima film selain ini yang berjudul Alone. Tahun 2020 ini aja ada dua film Alone. Tapi kemudian isi filmnya sendiri tampak pengen beda dengan struktur chapter, konfrontasi tokoh, dan sebagainya. Hanya saja, gak semuanya yang punya pay off yang gede dan tak terasa over-the-top.

 

 

Aku suka paruh awal film ini. Sensasi ngeri saat sendiri di jalanan itu berhasil banget tersampaikan. Penampilan akting dua tokohnya tidak ternodai oleh karakter yang bego. Aku hanya enggak cocok dengan pilihan-pilihan berikutanya yang dilakukan oleh film. Yang tampak seperti geliat untuk keluar dari sesuatu yang generic tapi tidak berhasil. Over-the-top yang dihasilkan jadi terasa awkward. Film ini masih seru untuk dimasukkan ke daftar tontonan pengisi Halloween nanti. Tapi jika kalian mengincar sesuatu yang lebih unik, maka film ini bakal terasa biasa-biasa aja. Jangan khawatir. Kalian gak sendirian soal itu.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ALONE

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana kalian memaknai kesendirian? Pernahkah kalian menghilang dari semua orang beberapa waktu untuk menenangkan diri atau semacamnya?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

ENOLA HOLMES Review

It means I’m strong enough to handle things all by myself.”
 

 
 
Enola adalah kebalikan dari ‘Alone’. Remaja cerdas itu tadinya kurang paham kenapa ibu menamainya seperti itu. Karena nama kedua abangnya jelas-jelas tidak bisa dibolak-balik begitu; Mycroft dan Sherlock. Ya, Sherlock yang itu. Yang detektif terkenal itu. Jadi setidaknya misteri pertama dari cerita ini terungkap sudah. Enola adalah adik bungsu dari Sherlock Holmes. Dan dalam film ini kita akan melihat Enola punya kemampuan memecahkan misteri yang gak kalah mengesankan dari abangnya tersebut. Film yang diadaptasi dari novel karangan Nancy Springer – yang clearly sangat menghormati Sir Arthur Conan Doyle sebagai sumber imajinasi dunia Holmes versi dirinya – mengisahkan petualangan Enola yang punya pesona dan warna berbeda dari petualangan Sherlock Holmes. Sutradara Harry Bradbeer mengemasnya sebagai cerita petualangan detektif wanita yang bahkan lebih ceria dari Nancy Drew, dengan mengedepankan isu feminisme untuk membuat ceritanya semakin relevan.
Namanya jadi misteri yang menarik baginya, sehingga si bungsu Holmes ini jadi menggemari cipher alias sandi/teka-teki susunan kata. Ia awalnya tidak mengerti kenapa sang ibu menamainya ‘alone’ padahal mereka selalu bersama. Setelah ayah meninggal dunia dan dua abangnya merantau ke berbagai penjuru Eropa, Enola tinggal berdua dengan ibu. Mereka menghabiskan hari dengan berbagai aktivitas. Ibu ngajarin Enola bermacam-macam. Mulai dari menenun, main tebak kata, bereksperimen kimia, hingga main tenis – di dalam rumah! Saking deketnya mereka, Enola sama sekali gak kebayang dia hidup sendirian. Hingga sang ibu menghilang dari rumah. Misterius sekali. Dua abang Enola pun pulang untuk memecahkan misteri ini. Tapi kedatangan mereka membawa ancaman kungkungan kepada Enola, karena kedua abangnya kurang terkesan dengan hasil didikan ibu terhadap Enola. Mycroft ingin mengirim Enola pergi ke sekolah wanita untuk menjadikan Enola wanita yang ‘seharusnya’. Sebelum itu kejadian, Enola yang berhasil menemukan petunjuk yang ditinggalkan ibu, pergi diam-diam, dengan menyamar sebagai anak cowok. Dalam memulai petualangannya mencari ibu di London, Enola bertemu dengan kasus pertamanya. Kasus yang membuat ia memikirkan ulang makna dari kesendirian dan menjadi wanita yang kuat.

Ajarkan feminisme sejak dini

 
 
Aku gak bohong kalo ada bagian dari film ini yang membuatku jadi teringat sama Mulan (2020). Terutama karena kedua film ini vokal sekali dengan suara pemberdayaan perempuan. Untungnya, Enola Holmes adalah cerita yang jauh lebih menyenangkan untuk diikuti. Film ini punya dunia yang lebih vibrant dan gak takut menampilkan humor. Dengan karakter yang lebih hidup; dan terutama karakter-karakternya lebih relatable. Agenda feminisme dalam film Enola Holmes ini dimasukkan tidak dengan paksa, melainkan dengan tetap memikirkan dampaknya terhadap narasi. Ada satu adegan yang aku suka karena benar menunjukkan konsistensi pada Enola yakni ketika Enola selamat nyawanya karena korset yang ia kenakan; ini konsisten dengan gagasan wanita menjadi dirinya sendiri, Enola selamat dengan menjadi wanita. Tidak seperti pada Mulan yang gak konsisten dengan adegan Mulan harus menjadi wanita tapi malah menunjukkan dirinya justru diselamatkan ketika ia mengenakan armor lelaki. Enola juga tidak pernah tampil sebagai Mary Sue – istilah buat karakter cewek yang dibuat sempurna yang serba-bisa sampai-sampai melemahkan karakter lain hanya untuk membuatnya terlihat semakin ‘kuat’. Dan buatku inilah kelebihan Enola Holmes dibanding film-film feminis kebanyakan. Film ini masih memikirkan bagaimana menuangkan agendanya ke dalam naskah dengan merata sehingga tidak membuat karakternya demikian sempurna.
Karakter Enola ditampilkan sebagai remaja yang vulnerable, dengan banyak hal yang masih harus ia pelajari di dalam petualangannya.  Ketika Enola digambarkan panjang akal, jago berantem, dan sangat mandiri, naskah menyeimbangkan karakter ini dengan menunjukkan bahwa ia sudah mempelajari semua itu sedari kecil. Dan bahkan dengan segala kemampuan itu, Enola masih diperlihatkan kurang pengalaman. Dia tidak serta merta berhasil. Masih ada kegagalan, lalu berpikir ulang. Karakter ini masih perlu belajar banyak. Konflik pada dirinya terutama adalah tentang ibu yang ia yakini tidak akan meninggalkan dirinya. Namun hal tersebut selalu ditentang saat beberapa kali Enola ditampilkan tertohok oleh pertanyaan dari berbagai karakter mengenai kenyataan bahwa sekarang ia tidak tahu di mana ibunya berada.
Di situlah permainan peran dari Millie Bobby Brown (aktor muda temuan, dan kuyakin sekarang kebanggaan, Netflix) mengangkat film ini setinggi-tingginya. Di tangannya, Enola tampil sebagai karakter utama sejati; kita peduli padanya, kita berempati kepada konfliknya. We just love to cheer for her. Millie adalah Enola yang ceria, funny in her own way, sedikit pemberontak tapi tak pernah annoying. Sutradara Bradbeer tidak menyia-nyiakan karisma dan pesona yang dibawa oleh Millie kepada karakternya. Bradbeer sudah mempersiapkan konsep ‘breaking the fourth wall’ sebagai device untuk menghadirkan Enolanya Millie langsung face-to-face kepada kita. Ini membuat semua eksposisi yang dibutuhkan cerita tersampaikan lewat cara yang kita semua gak bisa tolak. Emangnya siapa juga yang gak mau diajak ngobrol sama Enola, kan? Millie begitu mulus berpindah dari ngomong kepada kita dan ngomong ke karakter-karakter di film. Aktor muda berbakat itu hampir membuat kita merasa seperti bagian dari diri si Enola itu sendiri. Kita bukan cuma sebagai penonton, kita turut jadi bagian dari karakterisasinya.
Millie doesn’t even flinched when the script asks her to do some action. Memang, selain berwarna, lucu, dan berbobot agenda, film ini juga punya muatan aksi. Film ini menampilkan beberapa adegan ketika Enola berantem tangan kosong dengan penjahat. Dan adegan-adegan aksi ini punya rentang tone yang cukup drastis. Ada yang penuh ledakan tapi berbau mirip fantasi. Bahkan ada juga yang lumayan violent. Like, real murder attempt kind of violent. Tingkat kekerasannya yang cukup tinggi tersebut membuat tone cerita film ini secara keseluruhan agak sedikit gak seimbang lagi. Cerita ini memang sedari awal dibangun dengan dibayangi oleh subteks kriminal, tapi menurutku resolusi yang berupa berantem beneran tersebut seharusnya lebih dibangun atau setidaknya dunia yang jadi panggung Enola bisa lebih digelapkan sedikit, supaya menyeimbangkan atau memperkecil rentang tone yang ditampilkan di awal dengan di konfrontasi akhir.
“Jangan sampai jurus Demogorgon Killer gue keluar ya!”

 
 
Sebagaimana film-film petualangan adaptasi novel lainnya, Enola Holmes juga dihadapkan pada tantangan memuat-banyak-dalam-durasi-terbatas. Dan boleh jadi, ini adalah perlawanan yang lebih berat ketimbang memperjuangkan gerakan perempuan. Karena meskipun film ini berhasil membuat tokoh perempuan yang benar-benar kuat dan respectable, di sisi lain film ini masih tersandung saat bercerita hal yang kompleks meski diberi durasi yang sudah cukup panjang. Ada banyak karakter pendukung, ada banyak plot sampingan, yang harus disampaikan tetapi film ini tidak benar-benar mulus dalam menyampaikannya.
Soal fokus ceritanya, film ini jadi seperti terbagi dua. Yang diangkat di awal adalah persoalan mencari ibunya. Namun di pertengahan, seiring dengan perkembangan karakter Enola, fokus cerita berpindah ke menolong seorang anak bangsawan yang diburu oleh seseorang. Meskipun memang naskah sekuat tenaga untuk membuat dua ‘main objectives’ ini saling berkaitan, tetapi tetap saja ini memecah motivasi tokoh utama. Sehingga berakibat pada berkurangnya urgensi pada petualangan besar si protagonis ini secara keseluruhan. Tidak ada, katakanlah deadline, yang mengejar atau menjepit Enola untuk menemukan ibunya secepat mungkin. Begitupun dengan kasus perburuan yang ia tangani; tidak ada urgen yang membuat kita ingin Enola berhasil karena kasus tersebut tidak benar-benar berbahaya bagi Enola. Itulah sebabnya kenapa cerita di bagian akhir dibuat jadi sedemikian violent; Supaya Enola bisa benar-benar tampak dalam bahaya. Thus, stake cerita diharapkan jadi naik. Karena sepanjang cerita, stake yang dimiliki Enola cuma dia gak boleh sampai ketahuan oleh dua abangnya. Sekolah khusus wanita yang strict tersebut tidak kuat atau tidak cukup dramatis untuk dijadikan ganjaran. Misteri hilangnya sang ibu pun pada akhirnya tidak diberikan konklusi yang sebanding dengan build upnya.

Being independent dan mempercayai kekuatan sendiri bukan berarti kita harus mengerjakan semuanya sendirian, ataupun hanya demi diri sendiri. Petualangan yang ditempuh oleh Enola mendewasakan dirinya terhadap hal tersebut. There’s no shame jika dalam perjalanan pemberdayaan, kita menemukan cinta dan malah menunjukkan kebutuhan untuk bekerja sama dengan orang. Karena bisa berdiri sendiri bukan berarti kita harus memilih untuk sendiri.

 
Karakter-karakter pendukung yang cukup banyak jumlahnya itupun masih belum dihidupkan secara maksimal. Salah satu yang niscaya jadi pusat banyak perhatian tentunya adalah karakter Sherlock Holmes. Namun tak banyak dilakukan oleh Henry Cavill sebagai tokoh ini. Melawan pakem karakter eksentrik dan cueknya, Sherlock di sini ditempatkan sebagai low-key mendukung Enola. Namun ini justru membuat tokohnya berada ngambang di tengah-tengah. Di antara Enola yang free-spirited dengan abang tertua mereka yang total strict. Dari sini saja mungkin kita sudah bisa melihat bahwa karakter-karakter di cerita ini sebenarnya bisa untuk padetin lagi. Sherlock dan Mycroft bisa saja dirapel menjadi satu karakter yang lebih bakal terasa lebih flesh out. Bikin aja, misalnya, Sherlock yang strict dan jadi antagonis utama buat Enola. Sehingga ia akhirnya akan mengalami perkembangan dan punya lebih punya banyak hal untuk dilakukan. Mestinya sih bisa jadi lebih menarik, I mean, kapan lagi kan kita melihat Sherlock dalam cahaya yang lain.
 
 
 
Perhaps, jebakan terbesar yang berhasil dilompati oleh film ini adalah jebakan untuk tampil seperti fan-fiction dari cerita Sherlock Holmes. Enola dan karakter-karakter lain boleh jadi bukan kanon dalam semesta Sherlock Holmes, tetapi film ini sendiri berhasil membuktikan diri sebagai cerita utuh yang layak dinanti pengembangannya lebih lanjut. Keberadaan film ini layak untuk ditetapkan sebagai semesta alternatif dari tokoh ikonik yang sudah ada. Tokoh utamanya sendiri benar-benar menarik, kuat, dan adorable. Dia adalah heroine (jagoan cewek) yang ideal, baik dalam narasi detektif maupun dalam agenda feminis. Film ini bisa kita lihat sebagai introduksi yang cukup kuat jika memang ceritanya masih akan dibuat terus berlanjut. Dengan beberapa catatan kecil soal problem yang lumrah ditemukan dalam cerita-cerita petualangan adaptasi buku, film ini tetap menghibur berkat penampilan akting dan nuansa fresh yang dibawa.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ENOLA HOLMES

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian seberapa penting sih ‘merasakan kesendirian’ itu bagi diri kita?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE DEVIL ALL THE TIME Review

“I object to violence because when it appears to do good, the good is only temporary; the evil it does is permanent”
 

 
 
Salah kaprah dalam beragama membuat kita melihat setan sepanjang waktu. Karena tak ada yang lebih parah daripada menjadi munafik; merasa paling suci di antara yang lain lalu bertindak seenaknya hingga sampai menipu atau merugikan orang dengan dalih agama. Dalam film The Devil All the Time kita melihat jemaat yang membunuh, pengkhotbah yang memperkosa, dan orang-orang yang percaya tindakan keji yang mereka lakukan adalah atas nama kebaikan. Film ini mengerikan, begitu banyak kematian, begitu beragam kejahatan yang mampu dilakukan oleh manusia. Yang ditunjukkan oleh film ini bukan hanya sebatas bagaimana tragedi mempengaruhi keluarga, bahkan lingkungan. Melainkan juga memperlihatkan bagaimana sebuah keyakinan dapat  sebuah keyakinan dan kejahatan dapat saling bersisian.
Kejahatan dan tragedi yang dihasilkannya dalam cerita The Devil All the Time berawal dari seorang serdadu Amerika di Perang Vietnam yang pulang kembali ke kota kecil kelahirannya di Ohio. Membawa beban mental dan trauma atas kejadian yang ia alami di medan perang sebagai oleh-oleh. Kenangan yang tak bisa lepas dari pikirannya. Malahan justru menyebar dan saling mempengaruhi dengan keadaan di sekitar. Serdadu ini, si Willard (Bill Skarsgard memainkannya seperti orang yang kesurupan oleh mimpi buruk), meminta pertolongan Tuhan. Dia membangun altar ibadah sendiri di pepohonan di belakang rumah. Dia ke Gereja dengan rutin bersama istri dan anaknya. Cerita berubah menjadi buruk tatkala ibadah itu tidak lagi menjadi sesuatu yang positif bagi Willard. Berdoa justru membuatnya beralih ke kekerasan. Kekerasan yang ia turunkan kepada putra semata wayangnya, Arvin. Dan dari sini semuanya menyebar. Jalur kekerasan membawa Arvin tumbuh gede, tanpa orangtua. Sampai akhirnya, jalan hidup Arvin (Tom Holland membuktikan aksen dan aksi emosional bukan sandungan baginya) bertemu dengan generasi penuh kekerasan lainnya.

Kau sadar dunia itu sempit ketika polisi yang membantumu menjadi polisi yang memburumu.

 
 
Selain Arvin dengan ayahnya, kita juga akan mengikuti karakter-karakter seperti adik tiri Arvin, ayah si adik tiri, sepasang kekasih yang tampak baik hati tetapi nyatanya adalah pembunuh berantai yang punya modus operandi sinting, dan seorang polisi korup. Diperankan oleh aktor-aktor ternama yang jelas tidak main-main dalam menghidupkan perannya. Film ini tumpah ruah oleh penampilan akting yang memukau dengan merata. Kita gak akan cepat melupakan peran Robert Pattinson, atau Sebastian Stan, atau Riley Keough, bahkan peran kecil Mia Wasikowska pun niscaya akan membekas. Segitu banyaknya karakter dalam film ini. Babak awalnya akan sering membawa kita berpindah-pindah dari satu sudut pandang ke sudut pandang karakter lain. Dari satu periode masa loncat mundur ke periode lain, lalu balik kembali. Menonton film ini seperti sedang membaca novel dan kita membayangkan kejadiannya di kepala. Imajinasi akan kejadian itulah yang kita tonton. Dan ternyata film ini memang diadaptasi dari novel.
Sutradara Antonio Campos mencoba untuk sedapatnya melinearkan alur lewat ritme karakter. Willard dan Arvin dijadikan tubuh utama di sini. Jika pada novel, ceritanya tiap chapter membahas atau memfokuskan pada tokoh yang berbeda-beda, maka dalam film ini perpindahan tokoh tersebut dilakukan dengan langsung, tanpa ada pembatas. Hanya suara narator saja yang menuntut kita melewati ‘halaman per halaman’ cerita. Konsep bercerita ini dilakukan dengan tujuan untuk menguatkan gagasan cerita bahwa kejahatan atau kekerasan itu berputar pada satu siklus. Melibatkan banyak orang di kota kecil tersebut, yang semuanya terhubung oleh sebab yang sama, dan eventually akan saling bertemu.
Setan dalam judul cerita ini bukan merujuk kepada setan supernatural alias hal-hal mistis. Melainkan sebuah simbol. Perjuangan manusia melawan hal yang ia takuti, melawan ‘setan’ di dalam dirinya sendiri. Willard mukulin orang-orang, membunuh anjing kesayangan anaknya, dan kemudian ditemukan bunuh diri. Tindakannya itu bukan karena dia dipengaruhi hantu dari medan perang. Melainkan karena dia menderita begitu banyak sebagai efek dari perang. Kejadian mengerikan yang harus ia lakukan di sana memberikan tekanan kepadanya yang berusaha untuk menjadi ayah yang baik. Lalu ditambah pula oleh istri yang sakit. Hancur-lah dia. Begitu juga dengan karakter lain. Mereka punya masalalu mengerikan masing-masing, dan mereka berjuang untuk meyakini sesuatu sebagai bentuk penguatan diri supaya bisa terus hidup. Mereka mengira mereka lantas menemukan Tuhan, yang merupakan simbol dari keselamatan. Namun nyatanya mereka hanya menciptakan ‘keselamatan’ yang palsu.
Maka dari itu, meskipun film ini menampilkan orang-orang taat – yang kesehariannya dekat dengan agama dan penegak moral lainnya – yang ternyata adalah pelaku kejahatan, tapi agama atau hukum moral itu sendiri tidak pernah terasa dijadikan antagonis. Fokusnya selalu adalah ke si karakter; kita dibuat melihat masing-masing mereka secara personal. Karakter Arvin ditampilkan untuk menyeimbangkan ini semua. Dia tidak bertindak sebagai penganut agama yang taat ataupun punya moral kompas yang lurus. Instead, dia adalah seorang yang benar-benar telah dikacaukan oleh semua kejahatan dan tragedi yang terjadi kepadanya. Ayahnya mengajarkan bahwa kekerasan adalah tindakan yang harus dilakukan untuk membela diri. Dia punya etika dan moral kompas sendiri, yang merupakan produk dari ajaran dan defense mechanism dirinya. Arvin menjadikan kekerasan sebagai solusi. Dan lewat adegan di konfrontasi final serta adegan di ending, film mengisyaratkan kepada kita bakal jadi seperti apa kiranya Arvin dengan ‘kepercayaan’ yang ia yakini ini.

Dan sepertinya memang bukan cuma pistol yang diwariskan ayah kepada Arvin. Kekerasan adalah solusi menurut setiap karakter di film ini. Karena mereka percaya tindakan mereka itu bertujuan demi sesuatu yang lebih baik. Dengan bijaknya, film ini menunjukkan bahwa mempercayai hal seperti itu adalah sebuah bahaya yang besar. Karena kekerasan akan dengan mudah saling berkait, membentuk sebuah lingkaran setan. Sebuah siklus yang bakal terus berulang. 

 

Ketika kau sadar kau lebih baik sebagai vampir ketimbang sebagai pendeta

 
 
Ada dua hal yang kemungkinan besar menonjol terasa saat kita menonton film ini. Bingung. Lalu kemudian miris karena ikutan depress. Dua kombinasi yang niscaya menguras kita setelah menonton. Bingung, karena di awal-awal narasi film ini yang berpindah-pindah memang terasa membebani. Setiap sudut pandang, setiap kejadian, begitu berbobot oleh muatan gagasan dan detil karakter. Sekaligus juga berjalan cepat, sehingga kita gak yakin ini cerita tentang siapa. Sebenarnya film bisa saja menggunakan chapter atau menggunakan konsep bercerita bolak-balik yang seem random serupa ama Pulp Fiction (1994), sehingga setiap sudut pandang punya ruang untuk terflesh out dan kita juga jadi punya waktu untuk meresapi lalu menyusun kepingannya. Tapi jika dilakukan dengan begitu, siklus atau setiap tokoh saling berkait jadi tidak terlalu mencuat. Sehingga film lebih memilih untuk bercerita seperti yang sudah kita saksikan. Dan durasi dua jam lebih itu memang jadi tidak cukup.
Dengan begitu banyak sudut pandang dan runtutan kejadian, film yang harusnya benar-benar hidup – bahkan latar kotanya – menjadi seperti hanya punya satu nada. Cerita membawa kita menerobos kejadian suram ke kejadian suram. Dari satu kematian ke kematian lain. Sehingga film jadi lebih mirip seperti cerita genre. Just story about how people dead. Padahal gagasan dan makna yang dikandungnya jauh lebih besar daripada itu. Cerita ini butuh lebih banyak ruang untuk menggerakkan kehidupan dunia yang sedang ia ceritakan. Sehingga emosi yang kita rasakan pun akan semakin hidup dan terbangun. Enggak cuma berada pada sisi miris. Untuk mencapai itu, kupikir ya mau gak mau film memang kudu membuat struktur berceritanya menjadi lebih baik lagi untuk mencakup semua yang kurang tersebut.
 
 
 
Cerita yang panjang, penuh oleh penampilan akting luar biasa sebagai pelengkap narasi yang kelam tentang bagaimana kekerasan menjadi bagian dari siklus hidup manusia. In a way, film ini memuaskan karena membawa kita ke banyak sudut pandang dan rangkaian runtutan adegan yang diolah dengan ritme yang membuatnya tak perlu banyak eksposisi. Bagian awal dapat menjadi sedikit membingungkan karena seringnya perpindahan karakter yang dilakukan dengan cepat, tapi ketika periode cerita sudah mulai stabil dan tokoh sentral kedua mulai kelihatan, cerita lebih enak untuk diikuti. Namun juga sekaligus film ini terasa kurang. Karena kita hanya akan merasa kelam/depress/suram saja. Dengan karakter banyak dan rentang waktu yang luas, kita seperti dibuat memohon untuk cerita yang lebih hidup lagi. Semuanya dilakukan dengan baik – aku suka gambar-gambar negatif film yang bikin makin ‘seram’ – hanya saja buatku memang beberapa kali film ini terasa seperti kumpulan adegan-adegan ngeri dari beberapa film crime atau thriller. This is truly one horrifying movie, akan tetapi horrifying-nya itu gak benar-benar feel earned.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE DEVIL ALL THE TIME.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Bisakah kita menyetop siklus kekerasan, dengan kekerasan? Bagaimana kalian mengubah situasi lingkaran setan seperti yang dialami oleh Arvin?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SPREE Review

“Life is not a popularity contest”
 

 
 
Kita hidup di dunia yang cetek sekarang. Dunia yang mementingkan angka engagement, jumlah follower, jumlah penonton. Dunia di mana ‘harga’ seseorang bergantung pada seberapa banyak orang yang meng-Like status atau menonton unggahan story-live-nya. Ya, selamat datang di Dunia Influencer. Tempat semua orang berlomba membuat konten, tempat persaingan bebas karena gak butuh keahlian khusus, kepintaran, atau ilmu yang memadai. Kita cuma harus punya ‘personalitas’.
Kedangkalan jagat perkontenan ini dipotret dengan tepat oleh sutradara Eugene Kotlyarenko dalam komedi thriller terbarunya ini. Spree hadir dengan demikian simpel. Berkonsep ‘sajian dari layar hape’ – yang kita lihat di sini adalah gambar-gambar dari kamera hape saat tokohnya melakukan livestream ke internet, film ini bercerita tentang seorang anak muda bernama Kurt yang ingin jadi terkenal di sosial media. Tetapi dunia perkontenan yang sederhana itu ternyata cukup keras. Channel Kurt tak kunjung dapat view. Mencapai dua digit aja dia susah. Maka ia merekam segala aktivitasnya, sebagai pengemudi layanan taksi online Spree. Masalahnya adalah ‘aktivitas’ Kurt itu sendiri. Desperate menaikkan jumlah view, Kurt melanggar aturan internet (“Harusnya semua ini settingan!”). Dia gentayangan melakukan tindak kriminal beneran terhadap penumpang-penumpang taksi onlinenya!

Bukan masalah apa yang kita lakukan, melainkan pada ‘siapa kita’

 
 
Film ini tak lantas memperlihatkan Kurt dengan gampang mendapat jumlah view dan follower. Membunuh satu, dua orang, tidak seketika membuatnya viral. Dan ini boleh jadi adalah hal yang paling mengerikan yang diperlihatkan oleh Spree kepada kita. Batasan sebuah konten itu semakin hari kian mengabur. Orang-orang yang menonton akun Kurt, menyangka pembunuhan itu adalah bohongan. Udah banyak konten yang seperti itu, komen seorang selegram yang dimintai pendapat oleh Kurt. Ini seharusnya adalah komentar untuk keadaan di dunia nyata. Kita toh sering ‘menangkap basah’ konten-konten orang berantem yang ternyata adalah settingan dari kedua belah pihak. Sama seperti ketika Kurt menyerang sesama influencer dengan pisau, pemirsanya bersorak karena mereka pikir ini adalah settingan kolab. Jikapun ada yang marah, ya itu karena mereka gaksuka Kurt yang nobody tiba-tiba muncul di streamer favorit, pake di-share segala.
Seremnya adalah, tidak semua pembuat konten mendapat ‘memo’ yang sama. Kita juga acap menemukan berita tentang orang-orang seperti Kurt; yang melakukan viral-stunt tapi beneran merugikan orang lain. Kasus seperti remaja yang ngeprank banci dengan bantuan makanan yang ternyata sampah itu misalnya. Orang-orang sudah tak peduli moral dan etika. Mereka bahkan tidak mau memikirkan ulang apa yang mereka lihat. Mereka menonton sesuatu keributan yang viral, dan lantas meniru karena kepepet ingin viral juga. Tak mau tahu kalo yang mereka tiru aslinya adalah bohongan. Atau mungkin memang sengaja, karena memang semakin tampak otentik, akan semakin menariklah konten yang dibuat. Film Spree tak lain dan tak bukan berfungsi sebagai broadcast perilaku-perilaku buruk yang bisa kita lakukan di internet, demi mencari konten. Maka kita bisa menganggap film ini sebagai satire yang memperingatkan. Bahwa mau itu real ataupun settingan, konten yang meaningless seperti prank atau unboxing ataupun publicity-stunt lain ya memang unfaedah.
Spree harusnya berkapasitas untuk memeriksa kenapa seseorang bisa memutuskan untuk membuat konten unfaedah. Tokoh Kurt yang membuat akun @KurtsWorld86 (tadinya kupikir dia parodiin Wayne’s World) digambarkan sebagai sosok yang punya kompas moral tersendiri. Kita melihat dia peduli pada estetika gambar. Dia punya perhatian pada konsistensi dalam merekam video. Ada satu momen ketika Kurt kesel ngeliat selegram terkenal yang videonya ia sebut bikin sakit leher. Elemen sikap Kurt ini boleh jadi relatable buat banyak orang. Karena kadang aku pun kesel (alias sedikit jealous) dengan konten yang lebih populer padahal secara value atau pembuatan, konten tersebut banyak kelemahan. Kurt adalah orang yang berusaha sebaik mungkin, ia bikin video dengan ‘ikut aturan’ – dalam artian gak ngasal. Dia cuma terlalu awkward di kamera. Permainan akting Joe Keery cukup kuat di sini. Kita tahu di serial Stranger Things Keery memerankan salah satu fans favorite, dan di Spree ini ia meninggalkan semua kharismanya di rumah. Gugupnya ngomong live di kamera tampak natural, dan ketika sudah waktunya mengaktifkan mode psiko, Keery langsung tancap gas. Aktingnya jadi tampak sangat natural. Balik lagi ke tokohnya, si Kurt, Aku pikir banyak dari kita yang berusaha untuk bikin konten jadi populer, tapi mengalami masalah yang sama dengan Kurt.

Sometimes we tried too hard, dan lupa bahwa pada akhirnya internet tetep adalah kontes popularitas. Namun, hidup ini tidak. Kehidupan nyata bukanlah perlombaan siapa yang viral. Tentu, masing-masing kita berhak memilih untuk hidup di mana. Hanya saja, satu yang perlu diingat; konsekuensi dunia nyata cepat atau lambat akan menemukan kita di manapun berada.

 
Bahkan korban-korban Kurt pun ditampilkan oleh film sebagai pribadi yang bermasalah, mulai dari seorang rasis hingga ke seorang yang ‘berpenyakit’ toxic masculinity. Semua itu tampak seperti cara film untuk memperlihatkan bahwa di dalam sana, Kurt adalah orang baik. Mungkin jika ceritanya memang dibentuk seperti Joker (2019), alias jika Kurt sedari awal diperlihatkan sebagai ‘orang baik’ yang tersakiti kemudian akhirnya meledak, Spree bisa punya lapisan dan kedalaman sehingga menontonnya akan membuat kita berpikir ulang terhadap kehidupan internet sekali lagi. Namun sayangnya, film ini memutuskan untuk menjadi dangkal. Spree memastikan sedari awal, Kurt adalah seorang yang berniat jahat. Sifat-sifatnya yang relatable dan yang menunjukkan dia sepertinya orang baik hanyalah sebuah kecohan. Karena film tidak membuat kita mengikuti Kurt sepanjang waktu. Ada beberapa momen yang disembunyikan, untuk kemudian diungkap sebagai kejutan.

Being popular on sosmed is like sitting at the cool table in the cafetaria at a mental hospital.

 
 
Itulah sebabnya kenapa Kurt dan film Spree ini sendiri terasa tak banyak punya daging di balik thriller hiburan dan gimmick bercerita lewat layar sosial-medianya. Sedari awal film ini disusun untuk kejutan – bahwa ternyata Kurt jahat – alih-alih langsung menunjukkan bahwa ini bukan cerita pahlawan dan menjadikannya studi karakter. Film mengincar kita untuk mendukung Kurt terlebih dahulu, untuk kemudian perlahan menyadari bahwa karakter ini salah dan tak patut untuk dielukan. Ini adalah bagian dari gagasan film. Masalahnya adalah motivasi pengen banyak view dan follower itu, kita bisa lihat sedari awal, bukanlah motivasi kuat yang bisa mengundang simpati. Film benar-benar bergantung kepada kita untuk bersikap se-shallow netijen dan Kurt di dunia Spree, supaya cerita bisa berjalan maksimal.
Di antara film-film berkonsep tutur menggunakan layar komputer/handphone, Spree juga gak particularly strong. Malahan boleh jadi merupakan yang paling chaos di antara semuanya. Hal ini disebabkan karena pada Spree ada begitu banyak kamera. Begitu sering berpindah-pindah layar dan angle. Di mobil Kurt saja ada lebih dari empat sudut pandang kamera yang senantiasa berpindah. Banyak-kamera ini tentu diniatkan supaya cerita bisa lebih fleksibel, gak terpaku pada satu pemandangan desktop. Hanya saja temponya dibuat terlalu cepat. Spree juga sering menampilkan layar hape, bukan hanya satu, melainkan tiga sekaligus yang dikolase ke layar. Mereka ingin menunjukkan komentar-komentar para netijen yang nonton story para tokoh film, tapi bagi kita sungguh sukar mengikuti komen-komen itu kesemuanya. Jadi bikin bingung juga, di antara komen-komen itu ada yang penting atau enggak. Kalo enggak ada yang penting, ya kenapa ditampilkan. Aku sampai harus ngepause untuk bisa baca satu persatu.
Fun fact: ada komen dari Indonesia hihihi
 
 
 
Sesungguhnya ini adalah satire dengan humor dark tentang perilaku manusia di era konten seperti sekarang. Film ini mempertahankan kesimpelan era tersebut. Tidak banyak kekompleksan yang dibahas, karena film ini mengutamakan pada kejadian pembunuhan yang ditarik dari pertanyaan sejauh apa seorang manusia bertindak untuk membuat konten demi sebuah pengakuan. This movie is strictly about the act. Sementara karakternya dikembangkan dengan arahan sebagai sebuah kejutan.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for SPREE.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Influencer sekarang ada dalam setiap apapun yang butuh promosi. Bahkan pemerintah menyisihkan anggaran yang tidak sedikit untuk jasa influencer. Menurut kalian bakal seperti apa sosial media dalam, katakanlah, sepuluh tahun ke depan? Apakah influencer akan jadi kerjaan nomor satu? Masihkah lomba konten ini berlanjut?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

GURU-GURU GOKIL Review

“Experience is the best teacher, and the worst experiences teach the best lessons.”
 
 

 
 
Sosok seorang guru adalah sosok yang menginspirasi. Yang menjadi suri teladan. Pahlawan tanpa tanda jasa. Beruntung, Guru-Guru Gokil karya Sammaria Simanjuntak yang tayang eksklusif di Netflix bukan guru. Sebab sebagai sebuah cerita tentang guru-guru, film ini nyaris tidak punya ‘muatan lokal’ yang menarik, dan tidak ada yang bisa menggugah inspirasi sama sekali. Kecuali buat orang yang mimpi jadi pahlawan di siang bolong.
Sama seperti orang-orang normal di seluruh dunia, Taat Pribadi suka ama yang namanya duit. Jadi dia pergi merantau ke kota, nyobain pekerjaan apapun demi mencari uang. Jauh dari kampungnya, jauh dari bapaknya yang guru. Jauh dari kerjaan guru itu sendiri; kerjaan yang ia sinisin karena hubungannya dengan sang bapak. Namun ketika semua usaha gagal, Taat terpaksa pulang dan mengambil kerja sampingan sementara sebagai… seorang guru! Hihihi seharusnya memang ada yang menarik dan lucu di sini, karena Taat bekerja di sekolah tempat ayahnya mengajar. Ada hati juga. Situasinya sudah klop untuk jadi sebuah komedi yang hangat tentang bapak dan anak. Hanya saja, kemudian pada naskah dimunculkan sebuah perampokan uang gaji para guru. Taat kemudian menginvestigasi, karena tentu saja awalnya dia ingin duitnya. Tapi kemudian ada guru yang ia suka. Kemudian ada penjahat yang sadis. Kemudian ada Dian Sastro yang jadi guru pinter tapi ‘oon – dan dia lagi hamil. Bisa aku meledak sekarang?

Mungkin gokil di sini maksudnya beneran ‘pergi membunuh’

 
Sementara para pemain memang tampak nyata sangat menikmati permainan peran mereka masing-masing; Gading Marten is on his zone, dua alumni Gadis Sampul Faradina Mufti dan Dian Sastro (the later is also the producer) bersenang-senang dengan karakter yang berbeda dari tipikal peran drama yang biasa mereka mainkan, dan bahkan Asri Welas diberikan sesuatu yang baru ketika memainkan tokoh Kepala Sekolah. Their joy membuat film ini ceria meskipun film bersikukuh menggunakan warna ekspresionis oren alih-alih cerah dan light-hearted. Dan memang kesenangan mereka itu tidak pernah terdeliver kepada kita. Cerita film ini sebagian besar akan berfokus kepada pemecahan kasus pencurian. Memperkenalkan needlessly sadistic villain nun jauh di pertengahan cerita. Ketika kita sadar cerita crime pun sebenarnya masih bisa lucu dengan bumbu-bumbu komedi, film Guru-Guru Gokil ini masih bingung. Berada di tengah, di antara semuanya. Lucu enggak, tegang kurang, drama gak nyampe. Kita dibuatnya terlalu bosan oleh arahan yang mengawang untuk bisa ikut excited, untuk ikut tertawa, dan untuk hanyut terenyuh.
Penulisannya sebenarnya enggak buruk. Taat Pribadi jelas bukan tokoh yang membosankan. Karakternya punya cela dan ‘flawed-character’ inilah adalah cara yang tepat untuk membuat cerita menjadi menarik. Marlin adalah ayah yang overprotektif, Woody adalah mainan lama yang iri sama mainan baru, Ariel adalah anak duyung yang melawan pada aturan bapaknya. Kita menganggap tokoh-tokoh bercela seperti demikian itu menarik karena cerita adalah soal pertumbuhan mereka menjadi lebih baik. Itulah yang disebut dengan journey mereka. Taat pada Guru-Guru Gokil cinta mati ama duit, serta dia gak suka sama bapaknya yang ia anggap lebih baik dan mendengarkan orang lain daripada dirinya. Taat tidak serius menjadi guru pengganti, dia hanya mau duitnya. Nantinya, Taat harus memilih antara duit atau menyelamatkan sekolah. Pertumbuhan di sinilah adalah Taat berkembang menjadi beneran peduli pada orang-orang di sekolah. Poin awal dan akhir film ini sebenarnya tepat. Jika ini mesin, maka roda-roda giginya berada pada posisi yang benar. Hanya saja, proses dari awal ke akhir, dari poin a ke poin b itulah yang menjadi masalah. Film ini menggunakan banyak roda gigi yang gak seimbang sehingga perjalanan cerita film ini enggak asik untuk diikuti.
Karakter yang tadinya bercela itu dikembangkan jadi ahli-semua. Taat menjadi membosankan saat ia mampu memecahkan apapun. Masalah yang seharusnya jadi ‘alat’ untuk karakternya berkembang dan belajar, malah either beres dengan bantuan atau ia kerjakan sendiri dengan gampang. Bukan saja Taat mampu jadi guru pengganti yang baik, yang konek dengan semua murid di kelas tanpa kita lihat prosesnya seperti apa, pria ini juga mampu menemukan pelaku kejahatan hanya dengan modal tato. Ia juga bisa sulap, mencairkan hati seorang guru galak. Dia bisa mengetahui hal di kampung itu yang tak semestinya dia yang-baru-datang-dari-kota tidak ketahui. Film punya cara gampang; begitu ada sesuatu yang perlu dijelaskan, mereka cukup membuatnya sebagai adegan flashback atau montase dengan narasi voice-over dari Taat.

Mungkin ini adalah cara film untuk menyuarakan gagasan bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Taat bisa itu semua karena dia memang sudah mencoba banyak hal. Taat membuat jadi guru tampak sedemikian mudah. Cuma butuh pengalaman buruk untuk bertobat, dan wanita cantik untuk dicie-ciein.

 
Paling enak kita membandingkan Taat dengan Dewey Finn, tokoh yang diperankan Jack Black di School of Rock (2003). Filmnya sama-sama komedi di sekolah. Kedua tokoh sama-sama ‘flawed character’ guru pengganti yang peduli sama duit bayarannya aja. Kedua sama-sama gak tahu menahu apapun soal pelajaran sekolah ataupun cara mengajar anak-anak. Namun pada School of Rock, Dewey tidak pernah bicara tentang hal yang tidak ia tahu. Dan film tersebut benar-benar nunjukin. Dewey hanya tahu soal musik rock, dan itulah yang ia ajarkan kepada murid-murid. Dewey memanfaatkan para murid untuk ikut serta dalam lomba ngeband, membohongi mereka dengan mengatakan bahwa itu adalah proyek sekolah yang akan dinilai dan menentukan masa depan. Kita melihat prosesnya, Dewey jadi dekat bukan hanya dengan murid tapi juga dengan sesama guru; dia menggunakan skill ngeles dan ‘pengetahuan’ musiknya di ruang guru, di kantin. Kita juga diperlihatkan konsekuensi ketika kunjungan orangtua Dewey sama sekali tergagap karena gak bisa ngajar. Tidak ada proses itu pada Taat di Guru-Guru Gokil. Tidak ada kantin, tidak ada ruang guru. Melainkan hanya poin-poin seperti tau-tau murid-muridnya diskusi dan menggambar tato bareng. Hampir seperti film ini nyontek plot School of Rock untuk bagian di kelas. Tau-tau ada orangtua yang minta kunjungan belajar dan di situpun Taat diselamatkan oleh murid. Hanya ada satu murid yang benar-benar berkoneksi dengan Taat, dan itu karena bagian dari elemen romansa yang dimiliki oleh cerita. Dalam School of Rock, kesimpulannya jelas. Bagaimanapun juga Dewey tidak layak menjadi guru sekolah, tapi dia menunjukkan bahwa pendidikan di sekolah harus berimbang, antara seni dan teori. Dewey akhirnya jadi guru les musik bagi murid-murid di sekolah itu. Sebaliknya pada Guru-Guru Gokil, tidak jelas apa yang mau dikatakan oleh film ini kepada dunia guru dan pendidikan itu sendiri.

Sebaiknya semua orang hanya mengucapkan apa yang mereka tahu

 
 
Ada seuprit komentar/kritik di sana sini soal gaji guru yang kecil, tapi mereka mau jualan untuk nambah-nambah pun gak boleh karena kurang etis pada tempatnya. Ataupun soal guru yang diprank atau malah dibully oleh murid. Seperti yang memang cukup marak belakangan ini, banyak guru yang ngalah dan berada di posisi sulit antara anak yang terlalu bandel dan dimanja oleh orangtuanya. Film ini seperti ingin menggagas supaya kita lebih meninggikan derajat guru. Namun tentu saja pesan itu jadi susah untuk mengalir ketika film sekaligus memperlihatkan orang seperti Taat saja ujung-ujungnya bisa jadi guru di sekolah. Dia tak kalah pintar dan cerdiknya dengan guru beneran. Dia cuma butuh ijazah untuk formalitas. Kita tidak pernah benar-benar merasakan darimana kecintaannya mengajar timbul karena film lebih meluangkan waktu untuk mengembangkan elemen romansanya kepada seorang guru, ketimbang mengembangkan proses dengan murid-murid. Karakter bercela ini jadi ter-redeem hanya karena ada tokoh penjahat, tokoh guru yang lebih jahat – yang lebih suka uang daripada dirinya. Pemecahan kasusnya tak menarik karena seperti generik film-film komedi yang penjahatnya digambarkan over-sadis tapi bego – kayak di film untuk anak balita. Konflik Taat dengan sang bapak beres dengan gampang, hanya butuh ‘membuka komunikasi’.
Dan seperti yang diperlihatkan oleh adegan endingnya yang teramat cheesy – ya bahkan lebih cheesy dari adegan ‘hujan uang’ yang mestinya bisa lebih berbobot itu – pada film ini, syarat jadi guru yang baik itu cuma satu: harus tetep gokil!
Oke aku meledak sekarang. DUAR!!
 
 
 
 
 
Kalo mau nonton cerita tentang korupsi/kriminal di balik dinding sekolah karena guru yang gajinya kecil juga pantas untuk nuntut ‘tanda jasa’, ada Bad Education (2020), yang berasal dari kisah nyata. Kalo mau ringan dan lucu tentang orang yang tadinya tidak peduli sama pendidikan dan maunya cuma duit menemukan cintanya sebagai pengajar, ada School of Rock. Poinku adalah, masih ada pilihan tontonan lain yang jauh lebih baik, lebih seru, lebih lucu dengan caranya masing-masing, dibandingkan dengan film ini yang berusaha untuk menjadi semuanya sekaligus. The comedy is fine, enggak terlampau receh, penampilan aktingnya juga oke. Mestinya film ini berfokus kepada anak dan bapak itu saja, enggak usah terlalu banyak pada kasus perampokan. Hasilnya malah film ini jadi salah satu film komedi crime termembosankan dan cerita tentang guru yang paling tak-inspiratif yang bisa kita saksikan. Oh iya, film ini juga mencoba jadi film lebaran dengan setting bulan puasa yang eksistensinya benar-benar tak lebih dari sebuah sepuhan. Such a shame karena ini adalah film-baru Indonesia pertama yang tayang semenjak pandemi, dan bisa tayang di Netflix seluruh dunia, hanya untuk jadi tontonan setengah-setengah dengan muatan lokal yang demikian lemah.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for GURU-GURU GOKIL.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Tipe guru seperti apa yang kalian suka dan tak suka? Hal terbandel apa yang pernah kalian lakukan kepada guru? Melihatnya kembali sekarang, spakah kalian menyesal melakukannya?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

PROJECT POWER Review

“When your desires are strong enough, you will appear to possess superhuman powers to achieve”
 

 
 
Obat super beredar di jalanan New Orleans. Obat yang jika dikonsumsi akan memberikan kekuatan super kepada pemakainya; selama lima menit, si pemakai akan memiliki berbagai kemampuan seperti hewan, ada yang tahan api, ada yang jadi berkulit anti peluru, ada yang bisa bikin kulit kayak bunglon – hasil itu berbeda pada setiap individu, tergantung karakteristik power bawaan mereka. Malah ada yang tubuhnya meledak begitu saja! Namun kerandoman itu tidak menyetop manusia di dunia Project Power untuk mencoba obat tersebut. Yang menjadikan obat itu jadi rebutan, diperdagangkan, dan coba untuk dikuasai oleh pihak tertentu. Pil yang paling pahit untuk ditelan memang bukan obat fiktif itu, melainkan film ini sendiri. Ide dan konsepnya yang keren – yang mengingatkan kita pada salah satu saga pada season anime superhero My Hero Academia – seperti dimentahkan oleh pemilihan plot yang basi.
Narasi film original Netflix terbaru ini berpijak pada tiga karakter sebagai pondasinya. Sebagai hero, ada Joseph Gordon-Levitt yang memainkan seorang polisi bernama Frank. Dia ditugaskan khusus untuk menyelidiki peredaran obat-obat atau pil power tersebut, dan menariknya Frank diam-diam turut mengonsumsi pil untuk mempermudah dia dalam melaksanakan misi-misi yang berbahaya. Frank mendapat pasokan pil dari dealer remaja bernama Robin. Robin ini – diperankan oleh Dominique Fishback – adalah protagonis kita. Robin punya backstory yang membuatnya relatable dan bisa kita pedulikan; dia anaknya gak pedean walau punya bakat jadi rapper, dan terpaksa menjadi dealer karena struggle dengan masalah keuangan keluarganya. Walau kedua tokoh ini sudah menarik in their own way, film memfokuskan petualangan pada cerita si tokoh utama, Jamie Foxx yang kebagian peran sebagai Art, ex-militer yang buron dan dianggap berbahaya, padahal sebenarnya dia hanya mencari putrinya yang diculik oleh perusahaan pembuat pil yang ingin memanfaatkan quirk, eh power! sang putri untuk pengembangan lebih lanjut. Art, Robin, dan Frank akhirnya bertemu, dan dari yang tadinya bersengketa, mereka jadi tim yang memberantas pengedaran pil.

next episode: trio ini memberantas kalung obat corona

 
Project Power diberkahi oleh tiga penampilan utama yang jelas sekali lebih kuat daripada materi ceritanya. Oleh arahan Henry Joost dan Ariel Schulman yang menghadirkan aksi-aksi cepat dan cukup kreatif. Dan tentu saja oleh budget Netflix yang memungkinkan film ini mejeng dengan tampilan yang meyakinkan. Film ini punya banyak sekuen aksi yang asik berkat variasi superpower yang dimiliki oleh tokoh-tokohnya. Adegan pengejaran si perampok berkemampuan bunglon di jalanan kota yang ramai merupakan salah satu pencapaian terhebat yang berhasil diraih oleh Project Power. Kebrutalan juga dimainkan dengan berimbang dan diperlakukan dengan stylish, sehingga adegan-adegan yang mestinya sadis tidak terasa disturbing amat, sekaligus tidak mengurangi sensasi kebrutalannya. Seperti misalnya ketika kamera diposisikan untuk merekam perkelahian Art dengan perspektif dari dalam kandang kaca, sementara di dalam kandang itu sendiri ada seorang tokoh yang efek obatnya sudah habis sehingga dia sedang mengalami kepanikan lantaran tubuhnya kini berangsur tidak lagi tahan beku. Jadi ada dua kejadian yang berlangsung, dan kita seperti mengalami keduanya sekaligus, kita merasakan hopelessnya tokoh yang terkurung, imajinasi kita dibimbing untuk ‘melihat’ dia membeku sampai mati, sementara itu juga kita melihat pertempuran tak imbang di luar kandang di mana tokoh utama yang kita pedulikan sedang melawan banyak orang.
Film-film aksi original Netflix sepertinya mengikuti satu tren tertentu. Produksi dan garapan laganya selalu memukau. Namun tidak demikian dengan ceritanya. Project Power juga tersendat masalah yang sama; yakni alur yang tidak segarang konsep film itu sendiri. Kisah pencarian anak yang diculik bukan saja udah pasaran, pada kasus film ini juga menumpulkan dunia film ini sendiri. Membuat antagonisnya generik, membuat pengembangannya enggak terasa baru. Modal untuk jadi dalem dan fresh itu sebenarnya ada di sana. Polisi yang makek obat terlarang? kurang menarik apa coba. Anak-anak jalanan yang jadi addict sama pil, walaupun mengonsumsinya ada efek samping dan lima-menit kekuatan itu apakah tidak cukup atau malah sebuah resiko yang rela diambil; ada gagasan yang menarik di situ.
Dan soal musik rap itu; film menggunakan banyak sisipan lagu-lagu rap, yang difungsikan bukan semata pemanis, melainkan sebagai penguat karakter. Rap adalah ‘power’ dari karakter Robin. Cewek ini enggak butuh untuk makek pil, tapi dia perlu banget untuk berani menunjukkan kemampuan rap yang jadi keunggulan dirinya. Tentu ada pembelajaran untuk penonton muda di sini. Sayangnya karakter Robin dan her entire act kayak jadi sampingan. Nge-rap itu enggak pernah dijadikan sesuatu yang menyelesaikan masalah dalam film ini, kemampuannya tersebut tetap nampak tak berguna. Di pertempuran akhir ada momen ketika Robin harus jadi pengawas di ruang kendali dengan banyak monitor, kupikir keahlian ngerapnya akan digunakan untuk menyelamatkan rekan-rekan atau semacam itu, tapi ternyata tidak.

Pil super dalam film ini diperebutkan karena orang-orang mencari solusi termudah bagi masalah dalam hidup mereka. Padahal kita enggak butuh kekuatan super untuk mencapai tujuan. Justru sebaliknya, kita adalah manusia super jika berhasil berjuang, memberanikan diri, dan rela berkorban untuk menggapai yang kita inginkan.

 

Diputer, digigit, dicelupin ke dalam perut

 
Film tidak pernah menggali keunikan konsep dan latar tokoh-tokohnya dengan mendalam. Hanya menyerempet permukaan sehingga mereka tampil ala kadar. It’s actually susah untuk kita menentukan mana tokoh yang seharusnya bisa dihilangkan saja, saking meratanya kelemahan penulisan mereka. Aku pribadi lebih suka jika ini adalah cerita tentang Frank dan Robin saja, karena hubungan mereka lebih unik. Polisi dan dealer obat terlarang – yang makek di sini adalah si polisi. Atau Frank saja yang dienyahkan sepenuhnya kalo film memang pengen memfokuskan kepada Art mencari anaknya. Dengan begitu kita akan dapati landasan drama yang lebih menyentuh antara Robin yang gak punya ayah dengan Art si buronan yang kehilangan putrinya. Dalam film ini, actually, kadar drama tersebut memang ada dan cukup kuat. Momen-momen hangat dan menyentuh dari film ini bersumber dari interaksi antara Art dengan Robin. Namun cara yang dipilih film untuk membungkus cerita sangat sangat aneh. Hingga ke titik seperti Robin-lah di sini yang paling enggak penting.
Keduanya diset untuk menemukan pengganti dari dalam diri masing-masing. Art melihat putrinya di dalam diri Robin, dan sebaliknya bagi Robin Art adalah ayah yang tak ia punya. Dan film memastikan Robin tak pernah punya sosok ayah yang ia idamkan. Karena di akhir, Art menemukan miliknya yang hilang, dan Robin ditinggal. Kembali ke kehidupannya semula, only richer. Dan karena tokoh utama film ini adalah Art, maka Robin si protagonis hanya terasa seperti placeholder. Kehampaan serupa yang kurasakan saat menonton Pokemon Detective Pikachu (2019) saat tokoh utamanya tetap gak punya pokemon di akhir cerita. Project Power ini bermain terlalu aman. Semua keunikan dan aksi-aksi cepatnya jadi sia-sia karena cerita yang kayak gak niat untuk menjadi lebih kuat.
 
 
 
Kalo ada yang butuh pil super, maka itu bukan para tokoh ataupun kita. Melainkan film ini. Ide dan konsepnya butuh sesuatu untuk meledak menjadi sesuatu yang benar-benar fun, fresh, dan memiliki arti. Dalam keadaannya yang sekarang, film ini tetap seru untuk disaksikan, tapi akan memberikan aftertaste yang hambar, dan kemudian pahit jika kita mengingat potensi yang dikandung oleh konsepnya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PROJECT POWER.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Jika dijual, berapa harga yang rela kalian bayarkan untuk mendapatkan pil seperti itu? Jika kalian tidak tertarik, kenapa?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

7500 Review

“A quiet mind is able to hear intuition over fear”
 

 
 
Pernah ngebayangin rasanya naik pesawat terus pesawatnya dibajak? Gimana coba perasaan pilotnya kalo mendadak penumpangnya semua dalam bahaya dan nyawa mereka ada di tangan dirinya? Ih, amit-amit! Atau mungkin malah ada yang pernah ngebayangin jadi teroris pembajaknya? Wah, sakit, lu! ckckckck.. Anyway, dengan thriller terbaru karya Patrick Vollrath ini kita gak perlu repot ngebayangin lagi. Karena film 7500 ini menawarkan full-experience peristiwa pembajakan pesawat terbang saat lagi mengudara. Tapi bukan untuk menakut-nakuti supaya males naik pesawat, melainkan niat utamanya adalah untuk mengajak kita melihat ke dalam setiap pihak yang terlibat – untuk melihat bahwa semua manusia masih punya intuisi dan nurasi meski seringkali tertutup oleh rasa takut. Dan ya, semoga bagi yang pernah ngebayangin ngebajak pesawat atau transport publik apapun, bisa insaf setelah nonton film ini.
Setelah montase pembuka berupa rangkaian adegan serupa video dari CCTV beberapa tempat di bandara (sekuen pembuka ini sangat efektif membangun tone menegangkan karena visual grainy yang membuat semua aktivitas terlihat mencurigakan itu dihadirkan komplit dengan suara-suara dengungan mesin dan alat-alat di bandara) kita akan dibawa masuk ke dalam kokpit pesawat komersil Jerman yang hendak lepas landas. Berkenalan dengan Joseph Gordon-Levitt yang jadi co-pilot berkebangsaan Amerika bernama Tobias. Dalam rentang waktu yang cukup singkat, film memperlihatkan interaksi antara kru-kru pesawat, mengestablish relasi antara Tobias dengan beberapa orang. Termasuk salah satu flight attendance yang ternyata adalah istrinya. Tobias dan istrinya mencoba bersikap profesional. In fact, interaksi para tokoh-tokoh itu memang semuanya terasa seperti kru pesawat beneran; orang-orang profesional yang punya kewajiban menerbangkan pesawat dan mengantarkan penumpang ke tempat tujuan dengan selamat. Namun tentu saja konflik berkata lain. Beberapa dari penumpang adalah teroris yang ingin membajak dan menabrakkan pesawat. Dan ketika pilot terluka parah, dan istrinya disandera bersama puluhan penumpang lain, kendali itu sekarang benar-benar di tangan Tobias. Mengunci diri di kokpit untuk menerbangkan pesawat ke tempat aman atau menuruti keinginan para teroris yang semakin nekat dan berbahaya.

If anything, rasa-rasanya setelah tiga bulan kemaren, kini kita semua rindu bepergian naik pesawat

 
 
Di kokpit itulah seluruh cerita film ini akan berlangsung. 7500 adalah drama thriller ruang-tertutup yang mawas diri sehingga kita akan mendapatkan banyak sekali adegan intens. Kamera akan bermanuver di ruang sempit itu, kadang sedikit terlalu goyang, tapi menjamin kita menangkap semua suspens dan emosi yang disampaikan oleh para aktor. Film paham betul soal surroundings dan merancang adegan-adegan dari sana. Misalnya soal pintu kokpit yang dikunci dan gak bisa dimasuki sembarangan saat pilot sedang bekerja, mengendarai pesawat supaya baik jalannya. Buk gedebak gedebuk suara pintu yang digedor teroris, bukan itu saja yang bikin tegang di film ini. Film menggunakan semua yang ada di sana. Monitor untuk kokpit melihat keadaan kabin di balik pintu. Suara intercom yang bisa dihidup-matikan. Tensi dibangkitkan dari ‘negosiasi’ antara Tobias dengan teroris yang di-escalate dengan mencekat. Salah seorang teroris mengancam untuk menggorong leher seorang penumpang jika pintu tidak segera dibuka. Kamera pun dengan bijak menyorot lalu menghitung timing meng-cut kita dari monitor dengan precise tepat beberapa momen sebelum kejadian buruk itu terjadi. Dan kita dikembalikan melihat Tobias yang broke down secara emosional karena dia baru saja melakukan pilihan terbesar seumur hidupnya. Adegan tersebut bahkan bukan puncak ketegangan, karena beberapa saat kemudian teroris kembali mengancam dengan cara yang sama – kali ini dengan leher istri Tobias yang jadi taruhannya.
Kecamuk perasaan Tobias rasanya tersalurkan semua kepada kita. Tantangan yang harus diatasi oleh cerita ini adalah membuat kita peduli pada Tobias, sekaligus kita menyetujui keputusannya meskipun itu adalah berat dan menyedihkan. Kita akan membatin supaya Tobias tidak membuka pintu, padahal kita tahu di balik pintu itu ada orang yang paling berharga baginya. Dalam kata lain, film ini lantas berhasil membuat kita merasakan penderitaan Tobias. Lewat tokoh ini, cerita menekankan soal betapa mengerikannya ketika mendadak kita berada pada posisi di mana nyawa banyak orang bergantung pada keputusan kita. Gordon-Levitt benar-benar meyakinkan dlaam perannya ini. Kita bisa merasakan tekanan konflik dan kepentingan personal menggencetnya dari berbagai arah. Dia berusaha tetap tenang dan mengikuti protokol. Kita mencemaskannya. Karena kita sadar betapa rumitnya bagaimana cara kita menyelamatkan orang jikalau dalam menyelamatkan itu berarti tetap saja ada korban.
Cerita film ini persis seperti Trolley Problem yang berbagai variasi kasusnya bisa kita temui di bahasan-bahasan psikologi ataupun filosofi. Mungkin kalian pernah juga mendengar. Troli atau kereta berjalan menuju persimpangan rel; pada rel pertama kereta akan menabrak sekelompok anak kecil, dan pada rel kedua kereta akan menabrak seorang pria yang tertidur – kita yang menekan tuas menentukan rel mana yang dilewati oleh kereta; mana yang kita pilih. Persoalan yang dihadapi Tobias juga seperti demikian. Basically intinya adalah memilih satu dari dua skenario yang dua-duanya berujung pada kematian orang tak-bersalah. Apakah dia membiarkan penumpang dibunuh satu persatu, hopefully dia bisa mendaratkan pesawat dengan cepat supaya yang mati gak banyak, atau berusaha mencegah pembunuhan dengan resiko teroris mengambil alih kemudi dan menyebabkan korban seratus persen lebih banyak. Film mengaitkan ini dengan sikap profesional yang harus dijunjung oleh pekerja seperti Tobias. Karena ia ingin mengirimkan gagasan kepada kita soal mengambil keputusan – bertanggung jawab atasnya – dengan tidak berdasarkan kepada perasaan melainkan melainkan dengan tenang memilih yang ‘benar’.

Trolley Problem sebenarnya bukan untuk memilih jawaban yang paling benar dari kedua pilihan. Melainkan sebuah eksperimen yang jawaban setiap orang akan mencerminkan intuisi moral yang dimiliki oleh masing-masing. Intuisi inilah yang paling penting untuk didengar, tapi seringkali tertutupi oleh kecamuk perasaan – yang dalam film ini diwakili terutama oleh rasa takut.

 
Momen antara Tobias dengan salah satu teroris di babak akhir menunjukkan kontras antara dua orang yang sama-sama takut, hanya saja yang satu masih mampu memegang intuisi moralnya. Dalam keadaan yang maksimal, film ini seharusnya mampu membuat kita tak lagi sekadar mengkhawatirkan keselamatan Tobias tapi juga menjadi mengkhawatirkan teroris muda yang jelas memiliki banyak keraguan dan konflik tersendiri di dalam dirinya. Namun film tidak tertarik untuk mengeksplorasi sejauh itu. Naskah mencukupkan dirinya pada muatan-muatan klise dan karakter-karakter stereotipe.

Yang belum nonton pasti bisa nebak ras gerombolan teroris di film ini

 
 
Tidak ada lagi pengembangan karakter sebab menjelang akhir film sudah mengubah haluannya menjadi cerita yang berfokus pada kejadian. Tobias dan karakter-karakter lain menjadi tak lebih dari sekadar troli yang bergerak pada rel masing-masing, mereka tidak jadi terasa manusiawi. Momen-momen manusiawi mereka mengerucut menjadi momen klise yang datang begitu saja saat naskah butuh untuk mengakhiri cerita. Tidak ada kedalaman motivasi pada si teroris yang jatohnya sebagai ‘jahat-tapi-penakut’ alih-alih karakter yang kompleks. Film ini dimulai dengan seolah menyugestikan pelaku kejahatan bisa siapa saja karena semua yang dilihat dari video CCTV tampak mencurigakan – kita tidak bisa menuding begitu saja. Namun di akhir tetap saja semua kembali pada stereotipe. Cerita tidak lagi menjadi menantang-pikiran begitu kita sadar bidak mana tugasnya apa. Menurutku ini adalah kesempatan yang disia-siakan, karena seharusnya ada banyak yang bisa dikomentari oleh film. Momen berdua antara Tobias dengan teroris tidak berbuah apa-apa karena film tidak pernah benar-benar lepas landas mengembangkan mereka.
 
 
 
 
Sebagai thriller ruang-sempit, film ini memang menegangkan. Penuh oleh momen-momen intens yang benar-benar menyorot beratnya keputusan yang harus diambil oleh tokohnya selain ancaman bahaya. Hanya saja pelaku-pelaku cerita ini tidak diberikan lapisan yang mendalam. Mereka hanya stereotipe yang mengandalkan pada pancingan-pancingan klise untuk menarik simpati. Sepertinya karena diniatkan sebagai experience saja, maka film merasa tidak perlu repot-repot membangun karakter dan mengeksplorasi lebih dalam lagi.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for 7500

 

 
 
That’s all we have for now.
Dalam eksperimen Trolley Problem, mana yang kalian pilih? Menyelamatkan anak-anak atau satu orang yang tertidur? Apa pertimbangan kalian memilihnya?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

BECKY Review

“Anger is one letter short of danger”
 

 
Menjadi remaja berarti menjadi marah. Nyaris sepanjang waktu. Dalam menit-menit awal action-horror Becky, duo sutradara Jonathan Millot dan Cary Murnion, memparalelkan dunia remaja di sekolah dengan dunia penjara lewat cut-cut adegan yang saling bertubrukan. Memperlihatkan kepada kita bahwa penghuni kedua dunia tersebut kurang lebih sama. Mereka merasa terkekang. Mereka ingin memberontak. And as luck have it, beberapa napi toh memang berhasil kabur, atas nama persaudaraan – kekeluargaan. Di sinilah kontras dihadirkan, sebab kita kemudian berkenalan dengan tokoh utama cerita; cewek 13 tahun yang marah justru karena merasa keluarganya berantakan.
Becky nama remaja tersebut. Sasaran amarah Becky tentu saja adalah ayahnya, yang menjemputnya ke sekolah hanya untuk pergi liburan ke vila mereka – bersama calon ibu baru alias pacar sang ayah! Urgh!! Padahal Becky masih kangen sama ibu yang meninggal karena kanker beberapa waktu yang lalu. Jadi setibanya di villa, Becky memisahkan diri. Bersama anjing kesayangannya, Becky mengasingkan diri ke ‘benteng’ rumah kayu di tengah hutan. Sementara itu, ayah dan calon ibu tiri Becky kedatangan tamu. Dominick bersama anak-anak buahnya. Mereka kabur dari penjara karena mencari sesuatu yang disimpan di ruang bawah tanah villa milik ayah Becky. Dan ketika mereka tidak menemukan yang dicari, things get ugly. Film Becky adalah Home Alone (1990), kalo film tersebut beratus kali lebih sadis dan berdarah. Anak-anak, anjing, orangtua; tidak ada yang luput, semua jadi korban. Bagaimana dengan Becky? Well, bisa dibilang Becky bukan saja menemukan sasaran marah yang baru, dia juga membangkitkan rage yang belum pernah ia sadar ada di dalam dirinya.

kalo anjing Becky bernama Diego dan Dora, maka bisa jadi kita adalah Boots-nya

 
 
Ini bukan pertama kalinya Millot dan Murnion menjungkirbalikkan trope pada genre horor/thriller. Tengok saja salah satu karya mereka sebelumnya, Cooties (2014) – sayangnya aku dulu ngereview ini Path jadi gak ada jejaknya di blog – yang membahas tentang zombie outbreak di sekolahan; dengan anak-anak sebagai zombienya! Millot dan Murnion gak ragu untuk memperlakukan anak-anak dengan kejam di sana, karena mereka sudah jadi monster dan kita takut kepada mereka. Ya, ‘takut kepada anak-anak’ sudah menjadi topik yang menarik sejak cult-classic Village of the Damned (1995) dengan tepat menyimbolkan bahwa anak-anak merupakan cerminan dari kegagalan/mimpi-mimpi broken/kepolosan yang hilang dari orang dewasa. Dalam film Becky ini, Millot dan Murnion nge-subvert dua hal sekaligus; menjadikan anak yang menakutkan itu sebagai protagonis, dalam sebuah revenge-story yang biasanya bertokohkan wanita dewasa.
As far as the violence goes, film ini hadir menghibur. Suguhan yang diberikan kepada kita adalah adegan berdarah-darah. Paling seru yang berhubungan dengan bola mata. Yum! Melihat Becky mengamuk, berayun turun dengan semacam flying fox untuk menusuk salah seorang penjahat dengan pensil warna dan garisan kayu, memberikan sensasi kelegaan tersendiri kepada kita. Bukan hanya karena violence semacam ini masih teritung fresh (kapan lagi lihat anak-anak jadi jagoan Mortal Kombat, walaupun itu dalam ‘dunia’ mereka sendiri), melainkan juga karena biasanya anak-anak dalam film seringkali berstatus sebagai korban. Adegan tersebut berada pada titik balik si Becky, selama ini dia disuruh untuk menahan amarahnya. Kita melihat dia tidak punya outlet yang sehat dalam menyalurkan emosi dan griefnya – certainly semarah-marahnya seorang anak toh ia tidak bisa memukul bapaknya sendiri. Namun sekarang, geng Dominick yang jahat memberikannya alasan untuk meluapkan kemarahan. Film ini juga cukup detail dalam memplot langkah Becky berikutnya. Anak ini tidak lantas jadi jago, aksi-aksi dia berikutnya diperlihatkan sebagai sesuatu yang spontan. Ada bagian ketika rencana/jebakan yang diset oleh Becky gak berjalan sebagaimana yang diharapkan, sehingga dia harus menyusun rencana dadakan – bergulat dengan rasa marah, ketakutan, dan sakit, lalu menyerang dengan sesuatu yang sangat liar. Kekerasan dalam film ini menghibur dalam level aksi yang bakal hadir tidak terprediksi.

Marah itu amat sangat dekat dengan bahaya. Menyimpannya enggak sehat buat kita. Melampiaskannya? Kita harus berhati-hati karena ada cara yang sehat dan ada yang tidak untuk menyalurkan amarah. Namun tentu saja sehat itu dapat menjadi subjektif. Normalnya, melampiaskan dengan cara yang sehat akan berarti menyalurkan ke dalam bidang seni. Tapi pada Becky, melampiaskan dengan brutal adalah hal yang menyehatkan untuk hubungannya dengan keluarga.

 
Memainkan tokoh seperti Becky ini bukan masalah bagi Lulu Wilson yang sedari usia muda susah mentackle peran-peran dalam genre horor. Aku suka aktingnya dalam Annabelle: Creation (2017) dan dia even better di Ouija: Origin of Evil (2016), Wilson mampu menguarkan aura creepy tanpa kehilangan hook untuk simpati. Aktingnya di Becky ini hampir-hampir overkill, dia terus mengenai note yang sama berulang-ulang. Sayangnya film kurang peka. Becky tidak diberikan kesempatan untuk berkembang lebih jauh. Revenge-story seperti film ini keberhasilannya bertumpu pada transformasi tokoh utama. Tokoh yang biasanya lembut, jadi garang. Tokoh yang biasanya sabar dan pemaaf, jadi tanpa belas asih. First-kill mereka selalu jadi poin yang penting, titik saat kita merasakan perubahan itu mulai mencuat. Lulu Wilson enggak diberikan kesempatan ini. Becky pretty much the same, ‘insane’ person. Sedari awal dia sudah begitu marah. Kita sudah dapat sense dia adalah bom waktu yang siap meledak. I mean, film bahkan udah menyamakan keadaan dia dengan keadaan napi di penjara, ingat? Sebagai alat untuk memperlihatkan Becky dalam keadaan manis, film menggunakan flashback ke masa-masa ia di rumah sakit bersama ibu. Hanya saja adegan tersebut lebih terasa seperti tempelan karena hanya disebar random tanpa benar-benar ada flow dalam journey karakter si Becky.

Penulisan film ini terlalu dangkal sehingga Jeff di sini bisa aja sama ama Jeff di serial Community

 
 
Padahal bisa saja Becky dikasih kesempatan untuk belajar soal lebih menghargai orangtua, khususnya, serta bagaimana membentuk dan dealing with ‘keluarga tiri’ so to speak dari anak buah Dominick yang bernama Apex (penggemar gulat akan mengenalinya sebagai Kurrgan dari stable The Oddities di awal-awal Attitude Era). Dari segi karakterisasi memang Apex yang berbadan kayak raksasa mini ini lebih kompleks dan menarik ketimbang Becky. Dia diangkat anak oleh Dominick, dia bersumpah setia, akan tetapi nurani mulai membebani dirinya – ia tidak tahan lagi menyakiti anak-anak. Ada sesuatu padanya yang bisa dikaitkan menarik dengan Becky. Namun film tidak membiarkan sang protagonis untuk keluar dari kubangan duka kematian ibu. Dari awal hingga akhir Becky hanya menunjukkan lapisan teen angst, entah itu dari ibu atau dari anjingnya. Lucunya, malah ayah Becky yang disuruh belajar satu dua hal dari Dominick mengenai raising a proper family. Pelajaran-hidup yang tidak berguna karena karakter ayah Becky ujung-ujungnya hanya sebagai body count.
Film ini tidak tepat sasaran secara emosional. Jika kita tidak disuruh memahami degradasi Becky melainkan merayakan keberingasannya, film seharusnya bermain di area dark-comedy, seperti Cooties. Dan memang sepertinya lebih cocok begitu, karena sukar bagi kita untuk mempercayai penjahat-penjahat ‘profesional’ bisa kalah sama remaja tiga-belas tahun yang outnumbered dan jelas kalah-pengalaman. Terutama ketika film mengharapkan kita untuk menganggap para penjahat sebagai threat yang berbahaya dan serius. Kevin James memainkan peran Dominick bukan tanpa sebab; dia ingin break out dari zona nyaman sebagai karakter komedi – seperti temannya, Adam Sandler yang dapat kesempatan itu di Uncut Gems (2020) – desain Dominick (nazi white supremacist yang percaya pada brotherhood) jelas bukan komedi melainkan penjahat serius dan dramatis. Mereka ini berbahaya tapi bisa kalah dengan mudah oleh Becky? Film bahkan menunjukkan kekalahan mereka dengan cukup remeh, enggak exactly Becky punya power atas mereka, mereka kalah karena keputusan bego mereka sendiri. Ini membuat film jadi gak make sense dan harusnya justru diberikan tone dark-komedi supaya bekerja.
Kita tidak pernah diberitahu apa sebenarnya motivasi Dominick; benda yang ia cari tidak pernah dijelaskan kegunaannya. Cerita film ini terbangun dengan sama kopongnya dengan arahan dan karakter. Becky seharusnya jadi horor tempat-tertutup yang menegangkan. Namun lokasi tidak pernah seperti jadi penghalang dan menekan tokoh utama. Alih-alih menguatkan kesan mereka terkurung, film justru membuat tempat tersebut seakan luas. Becky bisa beraksi dengan bebas, menghabisi satu penjahat, tanpa perlu takut ketauan penjahat lain, karena dia ada di pinggir danau yang who knows berapa jaraknya dari rumah. Hal ini membuat intensitas film jadi gak kuat. Suspens jadi terangkat karena kita menyaksikan adegan-adegan sebagai bagian yang saling terpisah – oh ini giliran si anu yang dihajar, oh ini giliran si ini. Seharusnya ada pemikiran yang lebih jauh dalam memanfaatkan set villa terpencil tersebut.
 
 
 
Sure, ada hiburan yang datang dari film ini. Blood-squirting, eyeball-popping; jelas ada penggemar film seperti ini. Apalagi tokohnya adalah remaja cewek, yang menghabisi pria dewasa kasar dan superrasis. Hanya saja ini adalah hiburan yang tanpa bobot. Dengan karakter satu-dimensi (remaja yang marah karena ibunya meninggal dan ayahnya mau kawin lagi), dan menjual kesadisan, film ini tak lebih dari sebagai tontonan gimmicky. Ia akan diingat sampai sajian yang serupa hadir, dan itu rentang waktunya gak akan lama. Karena film-film seperti ini toh memang banyak yang suka.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for BECKY.

 

 
 
That’s all we have for now.
Mengapa remaja marah setiap waktu? Bagaimana caramu menghadapi adik atau anak usia remaja yang kerjaannya uring-uringan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

A GOOD WOMAN IS HARD TO FIND Review

“Don’t let the people make you difficult”
 

 
 
Orang yang lembut (hatinya loh ya, bukan wujudnya – emangnya lelembut!) seringkali dimanfaatkan. Tanpa benar-benar diapreasiasi oleh orang lain. Yang ada malah, lama-kelamaan, mereka bakal digencet. Karena mereka ‘gak tega’ melawan. Bahkan cenderung ‘enggak berani’. Sebab opresi seperti begini sebagian besar datang dari pihak-pihak yang serta merta membuat si soft-hearted ini merasa powerless. Misalnya orangtua kepada anak. Atau laki-laki kepada wanita.
Ah, now we’re talking!
Sarah Bolger dalam A Good Woman is Hard To Find berperan sebagai Sarah, ibu dari sepasang anak yang masih kecil-kecil, yang baru saja menjanda lantaran suaminya dibunuh oleh seseorang misterius. Anak sulung Sarah actually menyaksikan pembunuhan tersebut, tapi dia begitu shock hingga kehilangan napsu untuk berbicara. Sarah tentu saja ingin keadilan, dia ingin pelakunya diusut, dia ingin tahu kenapa suaminya dibunuh. Namun polisi hening – malah menyuruhnya untuk mengikhlaskan saja. Ibunya sendiri bodo amat ama masalah Sarah. Beliau masih ngungkit ketidaksetujuannya sama pilihan Sarah. Semua orang menyebut suami Sarah seorang drug dealer.
Berikut adalah perlakuan orang-orang terhadap ibu muda yang berusaha memberi makan dan hidup layak kepada kedua anaknya ini: Sarah dicatcalling, dituduh bekerja sebagai wanita bayaran sama satpam supermarket, dicurigai sebagai wali yang tak layak oleh polisi yang ngejudge dapurnya berantakan, diingatkan oleh ibunya  bahwa ia telah membuang masa depannya sebagai cewek cantik nan pintar dengan menikah sama pria gajelas, dan disuruh sering-sering senyum dan dandan oleh seorang preman jalanan. Si preman jalanan ini, si Tito, eventually jadi bagian penting untuk plot karena ia memaksa untuk bersembunyi dari kejaran mafia narkoba di rumah Sarah. Menyimpan ‘dagangan’ di sana, diberikan akses keluar masuk – practically Tito maksa ngekos harian di sana. Dia memberi Sarah upah dari potongan jualan narkoba asal Sarah membiarkannya bersembunyi di sana sebelum Sarah sempat membuka suara untuk menolak.

atau untuk nego harga, kalo Sarahnya galak

 
 
Film garapan Abner Pastoll ini excellent saat membahas drama seputar konflik kemanusiaan yang melanda Sarah. Yang digali di sini adalah persoalan seorang wanita – seorang ibu – seorang yang terlembut dari semua manusia yang hampir pada setiap kesempatan karakternya ‘dibunuh’ oleh sistem sosial dan kotak-kotak gender. Kita jadi mengerti tekanan yang harus ditahan oleh Sarah, baik fisik maupun mental. Bagaimana dia tidak bisa menolak karena dia mempertimbangkan banyak hal. Like, dia mencemaskan keadaan anak-anaknya, tapi lama-kelamaan dia sadar dia butuh sesuatu untuk mensupport kebutuhan rumah tangga demi anak-anaknya. Film memainkan narasi seolah Sarah yang berusaha berjuang sendiri percaya dia membutuhkan bantuan. Karena selalu ditekan dan dimentahkan fungsi dirinya oleh sekitar.
Ada banyak adegan manusiawi yang menunjukkan betapa sutradara paham akan konflik yang ia angkat. Momen-momen sederhana seperti gak sanggup bayar belanjaan sehingga harus ngurangi satu atau dua item, atau momen yang lebih privat seperti desperate akan baterai di tengah malam, berhasil membuat karakter Sarah begitu grounded. Bolger mengangkat tokohnya ini menjadi berlipat-lipat meyakinkan lewat permainan akting yang benar-benar sukses bikin kita merogoh hati untuk memberikan simpati. Perasaan atau emosinya terpampang jelas lewat sorot mata berkantung dan rambut yang nyaris-disisir tersebut. Cerita mempersiapkan Sarah untuk sebuah transformasi, dan begitu point-of-no-return itu datang kita sudah sedemikian ngototnya untuk melihat Sarah mendapatkan hal yang lebih pantas. Dan inilah yang menurutku merupakan hal paling mengerikan yang dimiliki oleh film ini.

Bukan sekadar cerita revenge atau dendam orang yang tersakiti, film ini nyatalah adalah cerita pembalasan seorang ibu atau wanita yang sekian lama teropresi. Yang membawa kita pada kenyataan bahwa di dunia ini orang-orang begitu kejam kepada orang baik sehingga memaksa mereka untuk beraksi. Sangat disayangkan ketika respek diri sendiri, tidak membiarkan diri susah karena orang lain, dan stand up menunjukkan hati yang berani itu wujudnya ternyata adalah menjadi jagoan-galak, bahkan kalo perlu membunuh seperti Sarah.
Kenapa kita selalu merusak hal-hal indah di muka bumi?

 
Yang dirasakan/dialami oleh tokoh Sarah rada mirip dengan yang terjadi pada tokoh dalam film Swallow (2020). Namun film Swallow bertempat pada dunia yang katakanlah lebih mirip dengan dunia normal kita. Sedangkan A Good Woman is Hard To Find ini bertempat pada dunia yang lebih kelam; yaitu dengan organisasi narkoba menjadi salah satu penggerak ekonominya. Sehingga journey Sarah punya kengerian atau keekstriman dalam level yang berbeda. Paruh akhir film ini berubah arah menjadi lebih ke thriller revenge. Sarah telah ‘mencicipi’ darah pertamanya, dan dia juga telah mengetahui siapa yang membunuh suaminya. Kita memang akan melihat adegan-adegan bloody seperti mutilasi ataupun shoot out. Namun dilakukan tidak dengan fantastis, melainkan tetap lewat kacamata yang grounded. Film memegang prinsip less is more dalam menampilkan itu semua. Ia tidak perlu mempertontonkan semua proses dengan gamblang. I mean, shot dari atas Sarah terduduk di antara kantong-kantong plastik hitam itu sudah lebih dari cukup mewakilkan kengerian dan kecamuk konflik yang dirasakan tokoh.
Karena film ini tidak lupa daratan. Sarah tidak kontan berubah menjadi pembunuh jagoan. Transformasinya soal ini malah lebih ‘parah’ dibandingkan tokoh dalam revenge-action The Rhythm Section (2020). Melihat darah aja Sarah puyeng. Ini membuat kejadian-kejadian yang harus ia lakukan sebagai bentuk penguatan diri itu menjadi semakin emosional. Also, bagi Sarah ini bukan sebatas tindak balas dendam. Jika kita tilik ke belakang, yang mentrigger perubahan Sarah ini adalah ketika dirinya nyaris menjadi korban opresi lelaki dalam bentuk yang tindakan yang paling basic dan tradisional. Ketika privasinya terancam. Jadi, tindakan Sarah adalah wujud dari survival sekaligus mengambil kembali siapa dirinya sebagai manusia. Seorang wanita. Seorang ibu.

kapan lagi melihat grammar nazi dihajar?

 
 
Jadi, mengerikan ketika seorang ibu harus mengangkat senjata untuk dihormati. Mengenaskan ketika seseorang harus membuktikan dia respek dan nyaman kepada dirinya sendiri, baru merasa pe-de, dengan mengenakan riasan saat belanja ke supermarket. Sosial yang kejam yang membuat mereka terpaksa begitu. Aku gak benar-benar setuju sama gagasan film ini, tapi toh film tidak menampilkannya sebagai jawaban eksak. Melainkan hanya gambaran betapa masyarakat kita sudah sebegitu opresifnya sehingga yang terjadi kepada Sarah kini menjadi opsi jalan keluar untuk mendapatkan respek.
Masalah ekonomi Sarah juga tampak beres dengan berubah seperti demikian. Konsekuensi pembunuhan yang ia lakukan, meski membela diri – tapi toh ia menutupi dan melakukan crime lain terhadapnya – tidak didaratkan oleh cerita. Dan ini membuat film menjadi sedikit terlalu ‘fantastis’. Meninggalkan realm drama grounded yang sudah terbangun hingga setidaknya pertengahan cerita. Film seharusnya menyelami soal ‘pemberesan’ sedikit lebih banyak untuk membuat cerita berimbang alih-alih total berganti. Masalah putranya yang menutup diri dan gak bicara juga tidak terasa selesai dengan mantap. Karena relasi Sarah dengan anak-anaknya memang tidak pernah benar-benar dibahas. Hanya sebatas interaksi khusus saat bacain cerita sebelum tidur Mereka hanya ada di sana sebagai stake dan motivasi. Buatku, it’s just psikologi anak yang mendadak bisu ini terlalu gede dan menarik untuk tidak dibahas dan hanya dijadikan sampingan.
 
 
Cerita film ini dibuka dengan adegan Sarah mandi bersimbah darah, tapi darah itu bukan darahnya. Membuat kita berasumsi ini akan jadi film revenge-aksi cewek yang biasa. Asumsi seperti ini akan cepat dipatahkan, karena paruh awal film kuat oleh aspek drama psikologis seorang wanita yang hidup dalam masyarakat yang menggencetnya. Dipikul oleh penampilan akting yang benar-benar meyakinkan, film ini berhasil mencapai tingkatan intensitas emosional yang gak semua teman-teman segenrenya bisa. However, ditonton hingga akhir film ini terasa kembali ke ranah yang sudah lumrah, dan ada beberapa elemen yang menarik untuk digali tetapi they chose not to. But still, film ini punya hal yang aku sukai yakni gambaran yang ia tampilkan mengenai seperti apa dampak sosial bermasyarakat kita terhadap satu hal baik. Kalo kata judul, makanya sekarang nyari cewek baik itu susah. This is why we can’t have nice things.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for A GOOD WOMAN IS HARD TO FIND.

 

 
 
That’s all we have for now.
Benarkah jadi orang baik itu begitu susah dan menjadikan kita terkekang?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE LOVEBIRDS Review

“Trust is more important than love…”
 

 
 
Mungkin tidak ada lagi waktu yang paling buat mengetes rasa percaya ama pasangan selain saat kita harus mecahin kasus pembunuhan bersama-sama di kala lagi ‘cekcok rumah tangga’. You know, ketika kita mau-gak mau harus bekerja sama sebab bukan saja relationship, melainkan nyawa jadi taruhan. Dan jika kita berhasil menangkap penjahat, itu merupakan bukti nyawa kekompakan dan rasa saling percaya sehingga bisa saja cinta kita kepada pasangan pulih kembali. Namun tentu saja keadaan seperti demikian hanya ada di film. Seperti komedi romantis berjudul The Lovebirds yang tayang di Netflix ini.
Empat tahun yang lalu Jibran dan Laelani jadian, dengan peristiwa yang manis sekali. Dan kini, masa-masa ‘bulan madu ‘ itu telah usai. Less-kissing is involved, Jibran dan Laelani malah sering adu mulut . Ngeributin hal apapun mulai dari perdebatan mereka gak bakal menang kalau ikutan The Amazing Race hingga ke soal pekerjaan Jibran. Dalam perjalanan ke undangan makan malam di rumah teman – perjalanan terakhir mereka sebagai pasangan karena setelah ini mereka udah sepakat minta putus – Jibran dan Laelani terlibat suatu peristiwa pembunuhan di jalanan. Status ‘saksi-mata’ mereka dengan cepat berubah menjadi ‘tersangka’. And it could very much be worse. Jibran dan Laelani memilih untuk menangkap sendiri pelaku sebenarnya, running around the city secara diam-diam demi menguak kasus ini, sebelum status mereka beneran terwujud menjadi ‘korban berikutnya’.

Jibran harusnya manggil Dinesh untuk ngehack smartphone korban

 
 
Sejak tahun lalu kita udah banyak nontonin couple berantem, dalam berbagai emosi. Ada yang teriak-teriak, lalu sayang-sayangan. Ada yang teriak-teriak, tapi lantas pisah beneran. Pokoknya selalu ada fase teriak-teriaknya. Nah, The Lovebirds ini ngasih sesuatu yang beda. Jibran dan Laelani teriak-teriak juga, tapi berantem mereka ini naturally kocak. Pesona komedi film ini justru datang dari momen-momen kedua tokoh ini berantem. In fact, semakin ribut tokoh mereka, Kumail Nanjiani dan Issa Rae bakal semakin menghibur untuk disimak. Bantering mereka gak kayak dibuat-buat. Dan ini tambah klop ketika kita menyadari bahwa memang seperti Jibran dan Laelani-lah orang pacaran kalo lagi berantem. Dinamika dua tokoh sentral ini sangat relatable dengan banyak pasangan. Orang yang pacaran pasti pernah terlibat debat unfaedah sama pasangan, seperti masalahin mau makan di mana atau beragumen perihal posting foto ke sosmed. Kumail dan Issa memainkan pasangan yang bertengkar seperti demikian dengan teramat lucu. Kita mendapat full-showcase dari hal tersebut semenjak dari adegan pertama mereka di kamar. Melihat mereka berdua, seperti melihat dua orang yang beneran pacaran udah lama. Kontras dengan menit pembuka saat film menunjukkan mereka bermanis-manis ria menghasilkan efek yang efektif dari lompatan waktu. Kita langsung dapat sense bahwa sekarang mereka sudah mengenal dengan dalam satu sama lain.
Mereka ribut lalu di tengah argumen akur, kemudian ribut lagi menunjukkan memang begitulah dua orang yang sudah lama kenal baik fisikal maupun emosional. Lewat dua tokoh ini, film dengan efektif menunjukkan berbagai tantangan yang sekiranya bakal dihadapi oleh pasangan dalam sebuah hubungan jangka panjang alias longterm relationship. Poin-poin konflik dalam film ini dibangun berdasarkan hal tersebut, yang oleh penulis dikemas sebagai bentuk kasus pembunuhan dan hal-hal yang terlingkup dalam kasus tersebut. Dari semua permasalahan pada longterm relationship tersebut, film memusatkan pada akarnya. Yakni soal kepercayaan. Trust. Inilah yang dijadikan gagasan utama; dari ‘trust’ ini dikembangkanlah cerita, disusun sekuen demi sekuen komedi dan kejadian semacam aksi detektif. And that’s the whole movie.
The Lovebirds digarap oleh orang yang sama di belakang kursi sutradara komedi romantis The Big Sick (2017); yang juga dibintangi oleh Kumail Nanjiani. Aku suka sekali ama film tersebut, karena menggali hal yang begitu fresh dari romance. Relationship dengan orangtua pacar dijadikan sorotan utama di situ. Film itu juga membahas praduga, ada layer agama, karena tokohnya memiliki kepercayaan yang dianggap ‘berbahaya’ oleh camernya. Jadi, sutradara Michael Showalter bukanlah orang baru dalam ihwal film dengan gagasan dalam ceritanya. Kita bisa mengharapkan The Lovebirds ini juga punya lapisan pembahasan. Dan memang begitulah ternyata. Dalam The Lovebirds, Showalter mengulang-ngulang soal trust. Jibran meragukan Laelani mendukung pekerjaannya, bahkan mencurigai pacarnya itu suka ama cowok lain. Laelani sebaliknya, justru percaya ama yang terburuk – dia enggak percaya polisi bakal ‘baik’ ama mereka. You see, ada alasannya kenapa dua tokoh ini digambarkan sebagai orang minor. Sesungguhnya ini adalah cara lain film ngepush soal trust. Jibran dan Laelani terpaksa menyeret diri jauh ke dalam kasus karena mereka gak mau melaporkan pembunuhan itu kepada yang berwajib karena mereka enggak percaya polisi gak bakalan rasis dan langsung menuduh mereka sebagai pelaku. Tokoh cerita kita punya masalah terhadap trust. Masalah yang membuat mereka putus. Dan ultimately merasa diri mereka buron oleh polisi.

Hubungan sejatinya adalah keadaan dua orang yang tidak menyerah mencintai masing-masing. Dan kondisi ‘tidak menyerah’ itu syaratnya adalah saling mempercayai dulu antara satu sama lain. Menyadari bahwa tidak ada seorangpun yang sempurna tak-bercela, rasa percaya ini penting untuk ditumbuhkan karena hanya dari sanalah rasa nyaman itu mekar.

 
Showalter jelas lebih nyaman bermain di ranah rom-com, meskipun begitu dengan berani ia mencoba mengenyam sekuen aksi. Hasilnya memang kelihatan; film ini bekerja lebih baik sebagai drama komedi ketimbang misteri pembunuhan atau kriminal. Untuk itulah, film mengambil keputusan hadir sebagai komedi konyol. Jauh lebih receh ketimbang The Big Sick – film itu berhasil tampil sebagai sajian komedi yang grounded dan terasa real. The Lovebirds punya kejadian-kejadian yang over-the-top. Sebagai pengalihan dari minimnya porsi aksi ataupun pemecahan misteri yang compelling. Misteri di sini, seperti yang sudah kusinggung sedikit di atas, cuma kendaraan untuk mengangkut interaksi dan bantering dan chemistry kocak. Kita tidak pernah peduli sama kasusnya, karena memang film tidak memberikan alasan – atau paling tidak, enggak mengarahkan perhatian kita kepada ‘serius’nya misteri dan stake yang harus ditanggung oleh tokoh utama.
Bayangkannya seperti ini: Nyawa tokoh kita terancam bahaya karena bagi pembunuh sebenarnya mereka adalah saksi mata yang harus dilenyapkan. However, dua tokoh yang harusnya minta perlindungan ini, mereka enggak percaya pada polisi – trust issue yang paralel dengan masalah kenapa mereka putus. Semua itu diceritakan film dengan nada komedi. Bangunan film ini bercacat sehingga efeknya tidak bekerja dengan benar. Kita tidak merasakan kepedulian pada tokoh karena mereka seperti mengambil keputusan yang bego. Daging sebenarnya dari gagasan pilihan mereka itu tidak terasa karena tidak mencuat, kalah oleh vokalnya komedi yang diporsir unbalance dengan elemen lain. Dampaknya juga membuat beberapa komedi justru jadi cringe alih-alih cerdas.

Gak tau deh di mana lucunya interogasi nampar orang berulang-ulang tanpa alasan

 
 
Pada prosesnya, The Lovebirds mengubah semua menjadi komedi. Desain pokok cerita ini adalah membuat Jibran dan Laelani memasuki dunia kriminal bersama-sama, prinsipnya ini, sama seperti ketika pertama kali mereka jatuh cinta; mengarungi dunia baru yang belum mereka kenal bersama-sama. Namun film tidak membangun dunia kriminal itu dengan keberadaan yang berbobot. Melainkan cuma berbagai hal konyol yang paralel dengan kebutuhan tokoh untuk mengenali kembali kenapa mereka jatuh cinta sedari awal. Dunia di luar dua tokoh ini hanyalah dunia kosong, cuma berisi kejadian konyol dan momen penyadaran tokoh di belakangnya. Sebagai contoh, Jibran dan Laelani at some point menyusup ke dalam kelompok rahasia beranggotakan orang-orang kaya yang mengadakan pertemuan.. ehm.. rahasia. Di sana semua orang memakai jas hitam dan topeng burung. Tempat itu supposed to be bad place, yang berkaitan dengan kasus kriminal yang sedang mereka pecahkan. Namun film tidak menjual tempat itu sebagai sesuatu yang katakanlah, ‘mengerikan’. Malahan, yang dilakukan oleh sekte tersebut dijadikan candaan dan jadi hal yang pengen dilakukan oleh tokoh. Hanya jadi skit komedi receh berikutnya, tidak menambah banyak untuk pembangunan kasus.
 
 
Seharusnya ini adalah cerita komedi tentang pasangan yang berada dalam situasi begitu tak-terduga, yang membuat mereka belajar untuk menumbuhkan rasa saling percaya. Tapi pada prosesnya film ini malah jadi lebih kayak parodi tentang misteri pembunuhan. Masih bisa dinikmati, beberapa orang bakal suka karena dinamika relationship tokohnya gampang buat direlate. But it’s unfortunate film ini jatoh ke level receh. Karena mereka punya modal chemistry dan layer cerita dan rekam jejak sutradara menggarap komedi yang lebih menapak ke realita. Aku tidak melihat alasan yang make sense untuk membuat komedi film ini menjadi amat receh selain karena si sutradara enggak pede menangani aspek misteri kriminal dengan sedikit laga. Film ini justru dihambat oleh kerecehan yang tak perlu. I’m not saying being ‘komedi-receh’ is not good, it’s just; this film is not good at being ‘komedi-receh’.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE LOVEBIRDS.

 

 
 
That’s all we have for now.
Bertengkar itu hal biasa, malah bisa jadi bukti bahwa kita sudah begitu akrab dan nyaman sehingga gak sungkan untuk saling nyela, seperti Jibran dan Laelani ini. Bagaimana dengan kalian? Apakah kalian lebih nyaman ‘ribut’ atau lebih nyaman saling berdiam?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.