WONDER WOMAN 1984 Review

“Wishes are free, but you have to pay for everything else.”
 

 
 
Harga dan impian punya kesamaan. Semua orang punya. Setiap orang pasti memiliki keinginan, dan setiap orang tentulah rela untuk membayar sejumlah ‘harga’ demi keinginan dan impian mereka bisa terpenuhi. Sekuel Wonder Woman yang kembali digarap dengan sangat cakep oleh Patty Jenkins akan ngasih tau kita sedikit banyak tentang ‘keinginan’ dan ‘harga’ tersebut. Bahwa seringkali harga yang kita bayar terlalu tinggi, padahal sesungguhnya yang kita miliki dalam hidup sudah cukup.
Film ini dibuka dengan adegan di Pulau Amazon, saat Diana kecil ikut kompetisi obstacle-course ala Benteng Takeshi  Ninja Warrior. Opening ini penting untuk dua hal; menyambut kita dengan aksi menghibur yang seru, serta melandaskan karakter Diana yang naif. Membuild up konflik personal yang nantinya memegang peranan penting dalam keseluruhan arc Wonder Woman dalam film ini. Karena reaksi Diana Kecil terhadap kegagalan dan kekalahannya di kompetisi ini akan terefleksi dan jadi ‘sin’ utama karakternya.

Seringkali kita mengarang kebohongan, karena kita tidak menerima kenyataan. Kita ingin lebih dan merasa tidak cukup dengan yang kita dapatkan sekarang. Kita mengambil jalan pintas, demi memenuhi keinginan untuk mendapatkan yang lebih baik. Keinginan yang tak akan pernah terpuaskan. Satu jalan pintas akan berkembang menjadi lebih banyak jalan pintas. Sampai akhirnya kita tersesat di sana. Melupakan siapa sebenarnya diri kita. Dan itulah harga tertinggi yang akan kita bayar.

 
Wonder Woman 1984 memang lebih banyak bermuatan drama ketimbang aksi. Namun film ini tidak gagal dalam menampilkan babak kehidupan Diana Prince sebagai superhero. Ceritanya justru semakin menarik karena berani memperlihatkan seorang pahlawan super yang vulnerable. Yang gak semena-mena kuat. Sosok Wonder Woman di sini terasa semakin manusiawi, karena kita dibimbing untuk mengenali karakternya, memahami keinginannya, dan melihat kelemahan. Bagaimana pun juga cerita superhero tetep saja adalah cerita tentang seorang person. Penggalian person inilah yang berhasil dilakukan maksimal oleh Jenkins. Jadi film ini enggak sekadar bak-bik-buk menghajar musuh, melainkan juga bahkan tokoh musuhnya diberikan kesempatan untuk tampil relatable dan manusiawi.

Tentara Arab kalah karena mereka be like ‘Astaghfirullah haram-haram’ sambil tutup mata

 
 
Fokus cerita adalah di tahun 80an saat fanny pack masih jadi hot fashion item. Diana Prince hidup di tengah-tengah khalayak Washington D.C. Di sela-sela kesibukannya bekerja sebagai peneliti benda-benda bersejarah dan menjadi pahlawan pembasmi keributan di kota, Diana diperlihatkan sebagai seorang yang kemana-mana sendirian. Diana kurang membuka diri, karena ternyata dia masih belum bisa move on dari Steve yang gugur di film pertama. Saat Dreamstone – kristal pengabul permintaan yang jadi sumber masalah film ini – ditemukan, Diana tak pelak langsung secretly make-a-wish Steve hidup kembali. Permintaan Diana ini terkabul, tapi dengan ‘bayaran’ kekuatan supernya perlahan memudar.
Sementara itu, ada dua karakter lagi yang meminta kepada Dreamstone. Dua karakter yang bakal jadi musuh utama Wonder Woman di sini. Pertama adalah rekan kerja Diana, perempuan kikuk dan cupu bernama Barbara Minerva (Kristen Wiig charming dalam peran-peran kayak gini). Minerva meminta untuk menjadi keren seperti Diana. Permintaan yang terdengar inosen, sayangnya Minerva gak tau kalo Diana itu pahlawan superpower. With great power, comes great responsibilities. Minerva mana siap. Minerva jadi orang yang angkuh dengan kekuatan barunya, dia tidak lagi ceria dan bersahabat. Penjahat kedua adalah seorang bintang televisi sekaligus pengusaha minyak, Max Lord (Pedro Pascal memainkan seorang con-man yang licin). Diremehkan seumur hidup, membuat pria ini pengen jadi yang terbaik; bagi dirinya dan bagi putranya. Jadi dia mengubah dirinya menjadi Dreamstone. Membuatnya bisa mengabulkan permintaan semua orang, sekaligus menagih bayaran apapun yang ia mau untuk memuaskan keinginannya atas kuasa. Di bawah kekuatan Max Lord, dunia kacau terancam WW84 (World War 84! hihi), sedangkan Diana terus melemah karena gak rela kehilangan sang pacar untuk kedua kalinya.
Aku bisa melihat SJW-SJW di seluruh dunia bakal sinis sama film ini. Kayaknya Wonder Woman 1984 ini bakal bernasib sama dengan Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (2018), dalam hal filmnya bagus tapi gak banyak yang berani terang-terangan memuji. You know, karena gak sejalan dengan agenda feminis kekinian. Suzzanna Luna Maya adalah drama horor yang manusiawi tapi gak banyak yang bicarain karena protagonisnya adalah seorang wanita perempuan yang rela hidup sebagai hantu untuk bisa terus bersama suami. Sedangkan Wonder Woman 1984 ini, Diana Prince-nya dibuat sebagai seorang perempuan yang gak bisa move on dari cowok; perempuan adidaya yang sempat rela menukar kekuatannya demi cinta. People will certainly quick to criticize that. Padahal mestinya dipahami dulu konteks journey Diana pada film ini. Sikapnya itu sebenarnya justru adalah ‘dosa’nya. Sesuatu yang harus Diana perbaiki sebagai bagian dari resolusi cerita mengenai kebenaran yang harus dihadapi.
Jalan keluar segala kekacauan dalam cerita ini adalah dengan membatalkan permintaan. Terdengar memang simpel dan gampang. But is it tho? Apakah segampang itu bagi Diana untuk membatalkan permintaannya; membuat Steve pergi lagi dari dirinya? Apakah semudah itu bagi Minerva untuk berhenti kuat dan keren sebagai Cheetah dan kembali menjadi dirinya yang cupu? Apakah seenteng itu bagi Max Lord membatalkan semua yang ia dapat, setelah semua kekuasaan itu? Cerita film ini adalah soal menghadapi kebenaran. Untuk mengenali bahwa bukan hanya kita yang menderita. Semua orang punya derita dan kesusahan masing-masing. Jadi cukuplah minta lebih banyak daripada orang lain. Menyadari itu sungguh bukanlah hal yang mudah bagi siapapun. Inilah tantangan bagi film ini. Harus membuat bagaimana membatalkan permintaan itu jadi sesuatu yang benar-benar tampak sulit dan berat bagi karakter. Makanya film ini butuh dua jam lebih. Ketiga karakter sentral yang sebenarnya sama-sama gak mau menatap kebenaran dibahas pelan-pelan, diberikan ruang untuk kita mengerti mereka. Dan pada beberapa memang efektif. Kita dapat merasakan emosi pada Wonder Woman dengan pengadeganan dia lari lalu terbang (adegan Wonder Woman belajar terbang sendiri on-the-moment itu beautiful sekali), kita juga dapat gejolak emosi ekstra ketika film membahas backstory Max Lord. Kita merasakan beratnya kembali itu bagi para penjahat yang selama ini sudah menderita.
Cerita begini menuntut range yang luas dari para pemerannya. Bagi Gal Gadot, memang ini kesempatan emas yang tak ia lewatkan. Wonder Woman udah kayak mendarah daging baginya. Gadot exceptionally excellent pada akting yang menuntut permainan fisik; dia udah buktiin ini di film pertama, dan menunjukkannya sekali lagi pada sekuel ini. Tantangan baru di sini baginya adalah menampilkan Wonder Woman yang menangis, yang merasa kalah. Dan akting emosional itu pun berhasil dimanuveri olehnya. Saat bercanda pun, karakternya come off sebagai natural, timingnya kayak mengalir aja. On top of that, karakter Gadot ini menguar kharisma. Detil-detil kecil bagaimana dia membawa diri, bagaimana orang-orang memperhatikannya, turut membangun karakternya. Like, beginilah seharusnya seorang tokoh superhero, gitu.
Lassonya bukan hanya untuk kebenaran, tapi juga untuk eksposisi

 
 
Sedari film pertama memang Jenkins mengarahkan ini dengan perhatian khusus terhadap detil-detil kecil.  Momen-momen kecil itulah yang justru membuat film ini terasa hidup. Seperti misalnya menggunakan pakaian sebagai hook untuk elemen drama. Lihat secara subtil film letakkin cheetah pattern di mana-mana, diam-diam membangun sosok si Cheetah. Ataupun misalnya pengadeganan seperti Diana dan Steve yang berjalan-jalan di kota, dengan kondisi ‘terbalik’ dari film yang pertama, karena sekarang Steve yang seperti fish-out-of-water; terkaget-kaget melihat seni, lifestyle, dan teknologi tahun 1984. Lalu sepertiga akhir, adegan ini circle-back lagi, kali ini mereka jalan dengan kota yang chaos. Jadi, Jenkins mengembangkan bukan hanya karakter tapi setting dalam detil-detil kecil tersebut. Adegan aksi atau berantemnya pun terasa berbeda satu sama lain, berkat detil-detil. Adegan berantem pertama di Gedung Putih, akan berbeda banget dengan adegan berantem kedua beberapa menit berikutnya, karena detil dan cerita karakter yang membedakan.
Ngomong-ngomong soal berantem, meskipun aku kurang puas karena terlalu singkat, tapi aku suka adegan big fight antara Wonder Woman dengan Cheetah. Environmentnya memang gelap untuk nyamarin CGI, tapi juga dimanfaatkan oleh film untuk menciptakan detil visual yang tampak wah. Aku suka lasso dan kabel listrik yang dikontraskan. Jubah emas Wonder Woman keren, kita melihat pov shot saat berantem dengan kostum ini, but mainly kostum ini dimanfaatkan untuk ‘teaser’ aja, karena there’s no way fungsi kostumnya gak diperlihatkan semua.
Approach Jenkins buat film ini kayaknya memang supaya tampak seperti cerita film kartun. Resolusi yang simpel, begitu pula awal masalahnya. ‘Cuma’ kristal ajaib entah darimana. Memang konyol, tapinya lagi, memang begitulah cerita superhero di kartun-kartun. Selalu ada ‘benda asing’ atau hal kecil lain yang jadi pemicu kehancuran dunia. Tapinya lagi, di film kedua ini, approach yang dipake itu sering juga menimbulkan adegan-adegan yang kontras dengan ‘manusiawi’ yang diincar oleh film. Alias ada beberapa adegan yang tampak dipaksakan masuk, karena cheesy ataupun karena hanya disinggung sekali itu saja. Misalnya seperti adegan di pesawat tak-kelihatan. Ya, ini disamain dengan komik karena aslinya Wonder Woman memang punya invisible jet sebagai kendaraan. Namun cara film ini memperkenalkan kendaraan itu kurang memuaskan. Tiba-tiba saja Diana punya kemampuan menghilangkan itu, dan tidak pernah dipakai lagi dalam adegan-adegan lain.
 
 
 
 
Kalo mau dibandingin, film ini memang tidak sesolid Wonder Woman yang pertama (2017) Ada beberapa bagian yang terasa dihadirkan gitu aja, yang kesimpelannya membuat film terasa lebih ringan dan kecil dari yang diharapkan. Jenkins masih mempertahankan keunggulan penceritaannya seperti memanfaatkan detil-detil kecil untuk karakter, adegan aksi yang fun dan memikat, serta tentu saja penampilan Gal Gadot yang kali ini dituntut untuk semakin ‘lincah’. Satu lagi yang menurutku nilai plusnya adalah, Jenkins sedari film awal tidak pernah terjebak untuk menjadikan superhero cewek ini sebagai agen feminis yang lebay. Tidak terasa film yang agenda-ish atau film dengan kepentingan tertentu. Melainkan fokus ke cerita yang memanusiakan tokoh-tokohnya. Cerita ini malah jadi relatable karena tentang cinta dan menerima kehilangan, yang tak pelak relevan untuk ditonton di tahun 2020 yang penuh musibah ini. Bisa membantu kita untuk tetap kuat, mau itu cewek ataupun cowok.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for WONDER WOMAN 1984.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Dreamstone mengabulkan permintaan, tapi dengan biaya berupa mengambil hal terpenting pada hidup kita. Jika kalian menggunakan Dreamstone, apakah kalian bisa menerka kira-kira apakah yang diambilnya dari hidup kalian? Kenapa?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

JOKER Review

“Smile even when it hurts”
 

 
Cerita origin Batman sudah kita dengar lebih sering dari yang kita pedulikan. Tapi cerita musuh abadinya, si Joker; well, beberapa orang – termasuk aku tadinya – lebih memilih untuk membiarkan asal-usul Joker tetap misterius. Sepertinya memang lebih ‘menantang’ jika latar tokoh yang kompleks ini dibiarkan terselubung kabut. Plus, rasanya lebih aman dibiarkan begitu ketimbang tokoh ini ‘dirusak’ oleh backstory maksa yang mengakibatkan dirinya menjadi overdramatis – atau malah membuat kita merasa pantas untuk membenarkan segala tindakannya. Karena Joker memang orang ‘gila’. Dia ‘sakit’. Dan beruntung sekali, Todd Phillips ternyata mengerti letak menariknya Joker. Dia membuat kita bersimpati kepada Joker, secukupnya saja, karen kita tahu Joker ‘masih’ jahat. Memang, Phillips justru menantang kita dengan berbagai pertanyaan lewat film yang diniatkan sebagai character-studi – Joker dibuatnya bukan lagi sekadar tokoh penjahat di buku komik. Joker dan Gotham tidak terasa begitu jauh; boleh jadi di dunia kita bakal muncul yang seperti Joker dalam waktu dekat.
Joker tadinya adalah seorang pria bernama Arthur Fleck; yang merasa dilecehkan oleh orang-orang karena dia miskin dan bekerja sebagai badut. Menghibur orang walaupun orang tak pernah peduli sama keadaan hatinya. Di rumah, dia menghibur dan merawat ibunya yang sakit keras – bahkan ibunya tersebut lebih perhatian sama surat-surat yang tak kunjung dibalas oleh calon walikota Gotham. Yang dilakukan Arthur di luar shift kerjanya gak jauh-jauh dari kerjaan badut, yakni memasang senyum palsu. Di dunia yang semakin keras dan beringas, Arthur berusaha untuk tidak melahirkan kekerasan dari kekerasan. Dia tetap tertawa, berusaha membuat orang tertawa, meskipun tidak lucu. Oh, Arthur yang menahan sisi gelap tidak pernah lucu. Ketika diundang jadi bintang tamu acara televisi, Arthur tahu penonton dan orang-orang kaya itu tidak tertawa bersamanya. Mereka menertawakan dirinya.

tikus super yang susah untuk dibunuh

 
Tokoh Joker sendiri memiliki banyak variasi. Semenjak kemunculan perdana di layar lebar, Joker muncul di berbagai film dan serial televisi Batman, dimainkan oleh aktor-aktor yang sebagian besarnya adalah aktor top Hollywood. Masing-masing mereka punya pendekatan yang berbeda dalam memerankan Joker. Sebegitu kompleksnya tokoh ini. Yang paling ramai dibicarakan tentu saja versi Heath Ledger yang berhasil menghantarkan sang aktor kepada Oscar. Hanya satu kesamaan di antara semuanya; Joker itu edan. Dan yang dilakukan oleh Joaquin Phoenix pada Joker kali ini; benar-benar pendekatan yang unik. Inilah yang paling aku suka dari film ini. Jokernya menyayat hati sekaligus mengerikan. Dalam film Joker ini, si Arthur punya kondisi medis yang membuatnya tertawa tak-terkontrol ketika sedang mengalami gejolak emosional. Arthur akan mendadak tertawa, misalnya saat mendapat penolakan dari orang, yang membuat orang semakin menganggap dirinya aneh.  Ini sejalan dengan gagasan utama yang diangkat film yakni orang yang tersenyum terlalu keras sehingga sakit. Meskipun sakit. Dan kita benar-benar melihat sesakit apa tawa itu bagi Arthur. Secara fisik maupun emosional. And it’s up to Phoenix memainkannya dengan begitu meyakinkan. Dia tertawa sambil memegang tenggorokan. Dia seperti tertawa dan batuk bersamaan. Namun tawa sedihnya itu masih tergolong normal. Coba deh dengerin ketika dia beneran tertawa karena hatinya girang. Dijamin bikin gak enak alias merinding. Setiap kali Arthur tersenyum, aku merasakan ada sesuatu yang berbahaya.
Jadi, iya, pujian-pujian yang kita baca di internet seputar penampilan Phoenix dalam film Joker; itu semuanya benar. Akan enggak lucu jika Phoenix enggak masuk nominasi Oscar – heck, dia mungkin bakal menangin Oscar. Jika itu terjadi, itu bakal jadi kali pertama peran adaptasi komik mendapat perhargaan sebagai tokoh utama.  Joker versi Phoenix seperti menari di garis simpati dan mengerikan. Ini sesungguhnya sangat susah untuk dilakukan. Karena jika kita lihat pada naskah, Arthur memang seperti sosok yang pantas untuk kita pedulikan. Untuk kita dukung. Arthur kehilangan semua yang ia cintai, dia ditertawakan, tidak dipedulikan, dia dilepehin oleh orang-orang yang ia bayangkan akan mendukung dan peduli padanya. Tapi kita enggak boleh ‘jatuh hati’ pada Joker. Penampilan Phoenix-lah yang menjaga kita dari itu. Ada kegelapan di balik tingkah badutnya. Setiap kali dia muncul di layar – dan untungnya ini sering sekali – seisi studio bioskop serasa dialiri energi negatif yang ganas. Misalnya pada saat dia dipanggil menjadi bintang tamu televisi, kita sudah tahu dia akan diledek habis-habisan di depan jutaan pemirsa, sekaligus kita juga merasa ngeri sesuatu yang sadis bakal terjadi di sana. Gestur, kata-kata, dan gerak gerik Phoenix menghidupkan Joker yang memberi tahu kita semua itu.

Joker tidak lagi menganggap hidupnya sebagai tragedi. Melainkan sebagai komedi. Tariannya bukan berarti dia berusaha melucu, melainkan sebagai simbol dia menerima kegilaan dan bercanda dengannya. Sebuah mekanisme pertahanan yang tanpa sadar kita ikuti ketika kita melihat ketidakadilan orang-atas di dunia nyata, dan kita berkata “alangkah lucunya negeri ini”

 
Tantangan terbesar film ini memang terletak di tokoh Joker itu sendiri. Bagaimana membuat dia tak justru tampak sebagai pahlawan. Karena aku bisa melihat film ini bakal dihajar gelombang kontroversi. I mean, It Chapter Two (2019) aja kemaren sempat diprotes oleh serikat badut beneran karena membuat imaji yang buruk terhadap profesi tersebut. Bayangkan apa yang bakal mereka katakan ketika melihat badut di sini dijadikan semacam simbol anarki. Arthur menjadi ‘juru selamat’ bagi kaum tertindas yang dianggap sampah oleh pejabat dan konglomerat di kota Gotham. Mereka memakai slogan “kita semua badut” dan mulai melakukan pengrusakan, penjarahan, pembakaran dan segala kriminalitas di akhir cerita. Aku bisa melihat orang-orang bakal memprotes ini, karena memang secara alami ini adalah seorang penjahat yang dijadikan tokoh utama. Namun menurutku film bekerja sangat baik dalam membuat semua hal tersebut tak tersampaikan sebagai sebuah glorifikasi. Joker ‘hanya menampilkan’ seseorang seperti Arthur bisa tercipta – dia hanya beringas ketiak pengobatan dihentikan; ini adalah metafora soal kepedulian sosial. Pemberontakan seperti pada film ini bisa beneran terjadi jika situasi dipertahankan berjalan ke arah sana.
Film seperti ingin menyentil; jika film ini terasa relatable, maka dunia memang sedang kacau. Jika kita nge-cheer Arthur dan persona Jokernya, maka dunia memang butuh sosok seorang pahlawan. Di sinilah letak mengerikannya film ini. Anarki dianggap sebagai jawaban. Sebagai keteraturan di dalam sebuah kekacauan. Tidak ada superhero yang datang dan mengatakan kepada kita bahwa Joker itu salah. Ini relevan sekali dengan keadaan Indonesia baru-baru ini. Bentrok antara pelajar dengan aparat kepolisian.

Apakah ada pahlawan di sana? You be the judge.

 
Ketimbang adaptasi, film ini lebih tepat disebut terinspirasi dari buku komik. Karena sama seperti Gundala (2019) bulan lalu, Joker terasa terlalu kelam untuk sebuah sajian tokoh di komik superhero. Film ini terasa lebih sejajar dengan film-film kriminal seperti The House that Jack Built (2018) ataupun Dragged Across Concrete (2019) yang membuat kita mendalami pemikiran seorang pembunuh ataupun kriminal. Yang diceritakan perlahan sehingga membuat kita mengerti alasan mereka memilih jalan kriminal. Sudah cukup sering kita melihat cerita seseorang yang menjadi lebih buruk daripada dirinya sebelumnya. Di titik ini, Joker tetap masih terasa mencuat berkat penampilan akting yang disuguhkan. Juga didukung oleh sinematografi yang terlihat detail dan cantik oleh pemilihan warna
Dalam pengadeganan, Joker mulai berkutat untuk tak tampak tampil seperti film yang belum-pernah-dilihat. Lalu kemudian berhenti sepenuhnya dalam melakukan hal tersebut. Joker lebih memilih untuk memasukkan banyak referensi  dan terinspirasi dari film Taxi Driver (1976). Aku bukannya mau bilang film ini nyontek, tapi memang terlihat jelas mereka tidak menyembunyikan kenyataan bahwa beberapa gerakan dan pilihan shot yang diambil membuat kita teringat pada Taxi Driver. Film itu juga diserang kotroversi, tokohnya juga tampak ‘edan’ seperti Joker. Seringnya shot-shot yang mirip itu muncul menjadikan referensi-referensi tersebut tidak ‘lucu’ lagi. Dan sebaiknya mereka tidak membuatnya terlalu gamblang seperti demikian.
 
Itulah yang menahanku dari memberikan bintang delapan kepada film ini. Meskipun begitu, ini tetaplah sebuah character studi yang menarik untuk ditonton. Karena menantang kita dengan banyak pertanyaan. Lagipula, yang belum nonton Taxi Driver enggak akan ngeh dan tidak akan mempermasalahkan kesamaan tersebut. Atau mungkin enggak akan sempat untuk membahas hal tersebut lantaran film terasa sangat ganas sedari awal. Dan tidak sekalpun kita merasa ingin menoleh dari layar. Menurutku, sejauh ini, film ini adalah pencapaian tertinggi yang bisa dicapai oleh drama-drama manusia yang terinspirasi dari kisah komik.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for JOKER.