DUNGEONS & DRAGONS: HONOR AMONG THIEVES Review

 

“The only person that was ever holding you back was yourself”

 

 

Dalam budaya ‘nerd’, Dungeons & Dragons – ngetrennya disingkat jadi D&D – adalah legend. Banyak yang menyebutnya sebagai cikal bakal role-play dalam dunia permainan. Menginspirasi begitu banyak game fantasi dengan konsep-konsep seperti job-class, magic, experience point, dan istilah-istilah petualangan lainnya. Padahal aslinya D&D permainan sederhana. Dimainkan oleh sekelompok orang, yang istilahnya mengkhayal menjadi karakter tertentu. Membangun cerita dan kehidupan karakter itu. Lantas melakukan aksi apapun yang ia mau, sesuai kocokan dadu. Petualangan pun dilakukan dengan dipandu oleh Dungeon Master yang menceritakan dunia khayal mereka dengan lengkap. Itulah pesona dari permainan ini; kebebasan storytelling. Petualangan ajaib, powered by our shared fantasies.  Telah banyak yang mengadaptasi D&D dalam berbagai rupa. Diekspand menjadi seri video game khusus, diadaptasi jadi kartu, film seri, konsepnya juga telah berkali-kali muncul dalam pop culture, seperti yang kita saksikan di Stranger Things atau Community, permainan ini jadi hobi atau dimainkan oleh karakter. Karya John Francis Daley dan Jonathan Goldstein kali ini actually adalah kali keempat D&D jadi film layar lebar. Dan ini adalah kesempatan mereka untuk membuat yang unik, yang beda dari yang sudah-sudah. Membuatnya jadi kayak orang main D&D beneran – saat satu karakter tertampil jadi karakter dalam permainan – tampaknya akan jadi mirip dengan konsep di film Jumanji versi The Rock. Jadi, John dan Jonathan harus mikirin cara lain. Guess what? Mereka membuat D&D ini sebagai cerita heist di dunia fantasi, ala Marvel!

Aku suka setting fantasinya, sih. Karakter-karakternya masih sesuai dengan job-class masing-masing. Ada yang penyihir, ada yang warrior, ada druid yang bisa berubah jadi hewan. Protagonis utama kita actually seorang bard, pemusik.  Di sini disebutnya Harper. Tapi perannya dalam kelompok sebagai strategist. Dan kelompok mereka, adalah kelompok pencuri. Dari sinilah tertanam kuat arahan buat jadi cerita heist itu. Jadi setelah kematian istrinya di tangan Penyihir Merah Thay, Edgin si Harper nyari nafkah untuk anak perempuannya lewat nyolong dari orang-orang kaya yang culas. Dia beraksi bersama kelompoknya. Bagaimana mereka bertemu, kita tak tahu karena masalah ini actually disajikan lewat montase eksposisi. Cerita justru mulai berjalan dua tahun setelah Ed, dan rekannya, Holga si wanita perkasa tertangkap dan dipenjara. Ed dan Holga kabur dari penjara, bermaksud menemui kembali putrinya yang dititipkan kepada Forge si Con-man. Tapi yah, namanya juga penipu, Forge sekarang telah menjadi orang kaya culas – telah menjadi musuh. Putri Ed dimanipulasi untuk membenci ayahnya. Maka, Ed dan Holga kini harus ‘mencuri’ dari si Forge, dan it’s not gonna be easy karena Forge punya pasukan dan penyihir.  Ed dan Holga harus mengumpulkan kembali anggota guna menyusup ke kota Forge. Persis kayak cerita film-film heist, kan? Yeah. Ugh.

Bukan role-play yang itu loh yaa

 

Look, I know, ketidaktertarikanku sama genre heist beserta trope-trope usangnya tidak lantas menjadikan film ini auto-jele. Untuk urusan fantasi, kedua sutradara toh memang punya arahan yang seru. Adegan-adegan aksinya tampak berbeda, keunikan karakter dimainkan dengan kuat semua. Mulai dari Holga menghajar orang-orang hingga party protagonis kita bahu-membahu melawan naga overweight, semuanya terhampar penuh energi dan fresh. It also looks very good, efek serta editing gak terlihat choppy. Mulus-mulus aja. Buktinya, adegan panjang ketika Doric si Druid yang lagi nguping penyihir jahat dalam wujud lalat terus ketahuan itu, tampak benar-benar seru dan intens. Dia akan dikejar oleh pasukan dan si penyihir, dan kita melihat dia berusaha kabur dengan berubah menjadi berbagai macam hewan, dan kamera dengan dinamis tetap mempertahankan perspektif kita lekat dengannya, sehingga jadi seolah kita turut kabur bersama. Desain karakter dan makhluk-makhluk pun tampak sama kerennya. Film ini bekerja efektif dalam membangun dunia panggung cerita.

Development karakter dalam ceritanya pun berasa. Seperti tiang penyangga pada sebuah bangunan berdesain unik yang heboh, kokoh membuatnya semuanya tetap berdiri. In a true game D&D fashion, masing-masing karakter di sini dirancang sebagai orang dengan spesifik skill, dan cuma itu yang mereka punya. Cuma skill itu yang mendefine mereka. Rancangan yang sesungguhnya merupakan ground yang risky, karena bisa membuat karakter jadi satu dimensi. Film ini justru mengembrace itu. Keterbatasan kemampuan, membuat karakter jadi harus bergerak dalam kelompok. Tempat di mana masing-masing mereka jadi bersinar karena saling melengkapi. Keterbatasan itu juga dijadikan hook dramatis. Bahwa mereka ini jadi bercela karenanya, beberapa dari mereka merasa worthless karena mereka bahkan belum benar-benar jago dalam melakukan satu hal yang define them. Penyihir yang gak ahli magic. Tukang bikin siasat yang bikin rencana muter-muter. Gagasan film soal seringkali kita terhambat justru oleh diri kita sendiri, masuk dari sini. Ed dan karakter lain akan belajar untuk mengakui kekurangan sendiri, dan bagaimana untuk tidak menjadikannya sebagai kelemahan, justru sebagai kekuatan. Apa yang dilakukan Ed pada benda pusaka, demi putrinya, di akhir cerita benar-benar menutup plot karakternya dengan manis.

Kita menyebutnya overthinking. Kita memilih untuk tidak mengejar sesuatu karena banyak mikir seperti bukan untuk kita, banyak yang lebih jago, waktunya gak tepat, dan sebagainya. Sering kita kalah sebelum bertanding seperti ini karena berpikir kita not good enough. Padahal, seperti yang ditunjukkan karakter film ini, justru pikiran kita itu yang jadi satu-satunya hambatan. Ternyata kita boleh jadi cuma selangkah dari sukses. Kita bisa melakukan apapun, jika percaya kita bisa melakukannya.

 

Gagasan kita bisa melakukan apapun, if we put our mind into it, sepertinya ditelan mentah-mentah bahkan oleh film ini sendiri. Kisah petualangan fantasi seperti ini memang paling cocok diceritakan ringan dan penuh hiburan. Dan film tepat berpikir mereka harus jadi se-ringan superhero Marvel. Yang salahnya adalah, mereka justru menjadi superhero Marvel. Mereka bahkan basically recreated adegan Hulk dan Loki di Avengers. D&D Honor Among Thieves mengakui kelemahan desainnya sendiri, karakter yang satu dimensi; di satu sisi mereka berhasil bikin itu jadi daya tarik karakter, tapi di sisi lain, untuk menjaga supaya film ini menghibur, para karakter tersebut dituliskan mengucap dialog yang seperti diketik oleh mesin-mesin peniru Marvel. Ed, Holga, dan yang lain akan constantly bicara lewat remark-remark one liner yang konyol. Yang completely di luar situasi, hanya untuk humor. Aku ngarepnya sih mereka ditulis lebih baik lagi, lebih original lagi. Apalagi di balik mereka; aktor-aktor di antaranya seperti Chris Pine, Hugh Grant, Michelle Rodriguez, Sophia Lilis, punya kapasitas menghidupkan karakter dengan cara sendiri. Tapi karakter mereka yang kita lihat di sini tuh kayak versi tiruan – bicara, mannerismnya, kayak standar karakter-karakter superhero kocak. Jadi kayak karakter generik petualangan yang fun.

Ketika game role-play, role-playing jadi cerita heist

 

Dan lagi, memang trope-trope heist itu menghambat kreativitas film ini. Batu yang cuma ‘pengganti’ walkie-talkie, atau intercom, ngumpulin kru dan bekerja terbalik dalam memperkenalkan mereka alih-alih menjalin genuine dari awal, turn ternyata karakter ini adalah siapa. Dengan ini keseluruhan film fantasi ini terasa jadi generik. Like, bukankah trope heist sudah jemu. Kenapa cerita petualangan fantasi ini akhirnya harus masuk ke dalam kotak genre yang formulaik dan gak magic-magic amat. Plus, terlalu banyak eksposisi. Game D&D memang bakal banyak eskposisi cerita dari Dungeon Master, tapi ketika sudah jadi film, kebanyakan tell dibanding show, jelas bukan bentuk yang bagus. Untuk memvariasikan eksposisi, film juga menggunakan komedi. Yang buatku juga gak benar-benar bekerja dengan konsisten. Karena beberapa adegan jadinya malah kayak pointless. Misalnya ketika Ed menceritakan masa lalunya untuk pertimbangan dia dibebaskan. Backstory dia, keluarganya, dan kelompok pencurinya diceritakan dramatis di sini, dia bahkan sudah dinyatakan bebas. Dan kemudian film berusaha ngasih punchline komedi dengan membuat Ed kabur needlessly. Momen-momen kayak gitu bukan malah membuat film jadi original, tapi jadi semakin terasa terlalu pengen absurd kayak film superhero itu.

 




Film dari game berkonsep role-play, namun sendirinya role-playing jadi sesuatu yang lain. Taste original yang mestinya masih bisa sedikit dipertahankan jadi sama sekali hilang. Itu sih yang aku sayangkan. Terutama karena di sepanjang durasinya itu kita melihat sendiri film ini bisa hadir genuine fun dan seru lewat aksi-aksi petualangan dan laga yang benar-benar memanfaatkan elemen fantasi sebagai karakter. Bukan sebagai properti, kayak waktu film ini membuat batu sihir jadi alat komunikasi jarak jauh kayak walkie-talkie atau intercom di heist dunia modern. Karakter-karakternya loveable, dan aku percaya mereka bisa melakukan lebih baik daripada jadi tukang nyeletuk lucu doang. Sebagai adaptasi dari board game, however, film ini berhasil masuk ke kotak ‘the better ones’. Mungkin gak akan membuat orang tertarik pengen main D&D beneran, tapi paling enggak bagi yang tahu, film ini cukup berhasil memasukkan elemen-elemen itu ke dalam bangunan yang berbeda. Bangunannya itu saja yang kuharap bisa lebih original lagi ke depan. I mean, masa sih untuk jadi ringan caranya cuma harus ngikutin template Marvel. Dieksplor lagi aja.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for DUNGEONS & DRAGONS: HONOR AMONG THIEVES

 




Penyihir di film ini buatku teringat kaloseason terbaru serial original Apple TV+, Servant yang penuh vibe mistis dan sihir di balik urusan keluarga kehilangan bayinya, udah tayang! https://apple.co/40MNvdM Kusuka banget misterinya, dan penasaran akhir ceritanya gimana. Beneran sihir atau bukan. Kalian yang belum subscribe platformnya, bisa langsung klik di sini biar gak ketinggalan serial dan konten film original lainnya yaaa
Get it on Apple TV

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian, apa sih appeal dari permainan D&D dan komunitasnya?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



TRUTH OR DARE Review

“When you help other people, you also help yourself.”

 

 

Jawab jujur, ada gak sih yang tahu pasti alasan kita takut sama hantu? Seperti, jika aku nantangin kalian keluar tengah malem dan berjalan di tempat sepi, kemudian kalian ngelihat satu sosok yang membelakangi kalian, kapan dan apa tepatnya yang membuat kalian lari terbirit-birit? Sebagian besar pasti terjadi saat  kalian mendekati si sosok, kemudian dia berbalik, menampakkan wajahnya yang berdarah-darah. Namun wajah seram enggak selalu menjadi patokan. Orang yang super pemberani dan mikir reasoning dan kelogisan (alias gak mikir macem-macem!), masih akan kepikiran bahwa yang dilihatnya di tepi jalan barusan adalah orang yang sedang membutuhkan pertolongan medis. Atau, bagaimana jika yang kalian lihat di tepi jalan itu sosok yang berjalan tanpa kepala – kalian otomatis tunggang langgang, enggak peduli tampangnya gimana, kan. Poinku adalah, kita takut kepada hantu, karena kita melihat mereka sebagai sesuatu yang enggak semestinya berada di sana – karena sebenarnya kita semua sudah ada ground realita, yang kita butuhkan adalah sedikit kondisi yang meruntuhkan realita tersebut – dan jadilah kita takut. Dalam film, ‘kondisi’ itu yang disebut dengan background story. Hantu-hantu tersebut juga mesti punya alesan keberadaan yang membuat kita bisa merasa takut kepada mereka. Jadi, bukan hanya sekedar wajah atau penampakan yang seram.

Apalagi kalo kita mengeksplorasi horor dari hal yang abstrak, seperti permainan ‘Truth or Dare’. Buat yang belum familiar, ‘Truth of Dare’ adalah permainan anak-anak remaja di Amerika sana kalo mereka lagi ngumpul-ngumpul bareng teman satu geng. Permainan yang simpel, karena peraturannya adalah setiap yang ikut akan mendapat giliran untuk ditantang harus memilih antara melakukan suatu hal atau mengungkapkan satu rahasia kepada teman-temannya. Nah, horor terbaru produksi Blumhouse mengadaptasi permainan tersebut, akan tetapi mereka sepertinya kesulitan (itu juga kalo gak mau dibilang enggak punya ide matang) mengeksplorasi hal apa yang sekiranya bisa membuat permainan tersebut menjadi seram. Tidak seperti Ouija atau Jelangkung – permainan anak-anak juga – yang memang berhubungan dengan dunia orang mati, ‘Truth or Dare’ hanya berdasarkan seru-seruan belaka. Jadi, film ini berusaha memasukkan satu entitas misterius yang mengutuk permainan tersebut; mengubahnya basically menjadi permainan Hidup atau Mati. Hanya saja film ini missing the point dari apa yang bikin hantu menyeramkan. Cerita yang mereka bangun seputar elemen horornya sangat gak make sense. Jika Final Destination punya kecelakaan-kecelakaan yang freaky, Saw punya trik dan alat pembunuhan yang pinter, Truth or Dare mengandalkan kepada hantu yang membuat tokoh-tokoh di film itu menyeringai aneh, sehingga membuat wajah mereka seperti yang dideskripsikan lewat dialog; “a messed up snapchat filter”.

Atau supaya gampang kebayang, tokoh-tokoh film ini seakan berlomba menirukan senyuman Willem Dafoe

 

Aku gak yakin  mereka sengaja membuat film ini menjadi lucu, karena hampir sepanjang film pundakku terguncang-guncang demi menahan ketawa. Rusukku sampe sakit karenanya. Actually, kalo film ini dibuat dengan arahan sengaja menjadi konyol, aku yakin hasilnya akan lebih baik dari apa yang kita saksikan di bioskop saat ini. Wajah seram itu benar-benar gak seram; menggelikan. Film juga berusaha menggali drama, membuat motivasi tokoh utama dan relasinya dengan tokoh lain cukup ribet dalam usahanya memancing simpati, tapi gagal, lantaran semuanya terasa konyol. For instance, yang kita lihat di sini adalah anak-anak kuliah yang main truth or dare – dan bahkan para aktornya enggak benar-benar tampak seperti anak kuliahan, mereka tampak terlalu tua, sepertinya mereka pada lulus terlambat. Dan cerita di babak awal membuat kita susah untuk peduli sama mereka.

Olivia (Lucy Hale enggak tampak berbeda dari sosok  pembohong kecil nan cantiknya yang biasa kita lihat ketika dia bermain sebagai Aria) diajakin ikut liburan ke Meksiko karena ini adalah spring break terakhir mereka sebagai mahasiswa. Setelah melihat montase hura-hura Olivia dan teman-temannya, ada salah satu tokoh pake topeng Rey Mysterio, kemudian mendengarkan dubstep dogol sembari melihat mereka have fun di bar, kita dibawa ngikut mereka pergi ke sebuah gereja tua terpencil. Kemudian pria asing yang mengajak mereka ke sana, mengajak mereka main truth or dare, dan sekali lagi mereka mau-mau aja. Jika saja mereka mau berpikir, maka mereka enggak bakal terjebak ke dalam lingkaran kematian di mana mereka harus bermain truth or dare maut di mana peraturan tersebut dibayar dengan nyawa. Pilih ‘Truth’ tapi enggak ngomong jujur, mereka mati. Pilih ‘Dare’ tapi kemudian ciut nyali ngelakuin tantangan, mereka mati. Si hantu senyum herp derp enggak menyisakan jalan keluar buat Olivia karena truth or dare mereka terkutuk mereka punya peraturan tersendiri; Olivia dan teman-teman tidak bisa terus-terusan memilih ‘Truth’; setiap dua kali consecutive ‘Truth’, pemain  berikutnya harus memilih ‘Dare’

Peraturan karangan ini digunakan untuk memfasilitasi perkembangan karakter Olivia. Film ini pengen bicara soal manusia dan pilihannya lewat sudut pandang Olivia. Ini satu-satunya aspek yang aku suka dari film ini. Mereka berani mengembangkan tokoh utama ke arah yang tak biasa. Meskipun memang motivasi Olivia ini enggak logis, tapi dia punya pijakan moral yang jelas. Olivia adalah cewek yang melindungi perasaan orang lain ketimbang perasaanya sendiri. Dia selalu mikirin “ntar kalo gue gitu, yang lain gimana”. Olivia suka sama pacar bestfriend-nya, tapi dia menelan perasaan tersebut dan memastikan mereka berdua tetap jadian. Olivia tidak mau memilih ‘truth’ lantaran dia khawatir, teman yang mendapat giliran sesudahnya tidak bisa menghindar dari ’dare’ yang berbahaya. Bahkan, di adegan-adegan awal ketika mereka bermain di gereja tua, Olivia menerangkan jikalau ada alien yang menyerang Meksiko, dia tidak ragu untuk mengorbankan dirinya beserta teman-teman di sana, demi menyelamatkan seluruh populasi negara tersebut. Makanya, perubahan karakter Olivia di akhir cerita terasa menarik. Pada dasarnya, Olivia mengorbankan seluruh penduduk Bumi, melibatkan semua orang ke dalam permainan terkutuk tersebut, lewat video Youtube. Serius, mereka bisa membuat film berdasarkan ‘pembunuhan massal’ ini aja, sepertinya bakal lebih menarik dari Truth or Dare. Olivia udah kayak Thanos dan Infinity War; merasa diri pahlawan, namun pada akhirnya memberikan jumlah banyak untuk menjadi korban si Hantu Senyum CGI

Tak selamanya kita harus mengalah demi orang lain. Terkadang kita perlu memprioritaskan apa yang kita inginkan. Kita selalu punya pilihan, sebagai cara untuk melakukan apa yang harus kita lakukan. Apa yang terjadi pada Olivia seperti di grup whatsapp aja – ketika ada yang menikah atau keluarganya meninggal, misalnya, bagaimana cara kita mengucapkan adalah pilihan yang kita ambil. Tulus mengucapkan demi kebahagiaan atau bersimpati terhadap orang, kita akan mengetikkan sendiri kalimat-kalimatnya. Sebaliknya, jika hanya mengopy paste ucapan orang, sebenarnya itu kita hanya mengucapkan demi membuat diri kita merasa baik. Bukankah, jika kita membantu orang lain hanya supaya kita bisa merasa lebih baik terhadap diri kita sendiri, itu namanya enggak benar-benar noble, kan?

‘dare’ paling susah; nonton ini sekali lagi tapi enggak boleh bereaksi.

 

Film ini sebenarnya punya materi, sayangnya penulisan dan penggarapannya seperti dikerjakan ngasal oleh anak remaja yang baru satu kali membuat film. Jumpscarenya selalu adegan dikagetin oleh orang dari belakang, ayo dong, ini enggak pernah menjadi hal yang menakutkan. Malahan, Wes Craven udah ngeledek teknik jumpscare begini sedari Scream di 1996 – filmmaker belajar enggak sih dari sini? Pengadeganan juga begitu basic. Ada satu tokoh yang setiap kali marah, selalu dibuat berjalan ke luar ruangan. Tiga kali adegan loh yang kayak gini, bayangkan. Ada banyak sekuen yang tidak berujung apa-apa. Justru, ada banyak yang mestinya bisa dihilangkan karena enggak benar-benar perlu selain membuatku merasa seperti alay yang ribut terkikik ngangguin penonton lain di bioskop. Para karakter ditulis begitu hampa emosi. Pacar teman mereka baru saja mati, dan beberapa menit kemudian mereka seolah melupakannya. Ada satu kematian teman mereka yang disebar videonya, mereka menonton video ini, kemudian bereaksi kaget dan takut dan ada juga yang menyangkal, dan enam detik kemudian  video tersebut ditonton kembali oleh si tokoh. Wow.

Skill yang ditunjukkan dimiliki oleh tokoh-tokoh dalam film ini adalah keahlian menggunakan google search. Beneran, tonton deh. Olivia berantem ama temannya dengan saling tunjuk kebolehan mencari orang dan informasi lewat google. Film ini begitu kekinian. Adegan awalnya aja udah tokoh yang lagi live video curhat ke follower. Masalah dari film yang sangat ngepush social media, facebook, snapchat, instagram, kayak gini adalah elemen-elemen tersebut akan dengan cepat kemakan jaman. Kenyataannya adalah segala referensi itu malah membuat ceritanya susah untuk menjadi timeless.

 

 

 

Tidak ada substance, tidak ada style. Film ini tampak seperti banyak ide yang digodok, namun pembuatnya tidak mampu mengeksekusi. Semuanya enggak logis; motivasi tokoh utama, cerita latar hantunya, cara ngalahin hantunya. Supaya bagus, mestinya mereka menjadikan ini film yang konyol dan komikal, karena rute beneran film yang menegangkan jeas-jelas tidak bekerja untuk horor yang diangkat dari permainan anak-anak yang enggak serem. Ngomong soal anak-anak, toh film ini memenuhi tujuannya sebagai produk peraup duit yang ditujukan buat anak-anak muda yang bisa tetap merasa relate karena penggunaan social media dan referensi pop-culture kekinian dalam cerita.
The Palace of Wisdom gives 1.5 out of 10 gold stars for TRUTH OR DARE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017