“If you love something, you have to protect it.”
Jadi orang baik itu enggak gampang. Kita bisa saja menjadi orang paling sopan sedunia, dan masih ada orang yang tersinggung ama kita. Kita boleh saja berusaha berbuat benar, dan coba tebak, tetap masih akan ada yang menyalahkan kita. Mantan petinju Bradley Thomas sudah mencoba. Tapi kemudian dia dipecat dari bengkel tempatnya bekerja. Istrinya selingkuh. Dunia enggak adil, memang. Thomas, sebagai seorang yang punya kompas moral yang kuat, tidak pernah menyalahkan dunia. Sebagaimana dia selalu berusaha meluruskan postur tubuh raksasanya saat berjalan, Thomas selalu berusaha untuk tetap di jalan yang lurus. Lurus menurutnya, loh. Thomas ingin jadi orang baik. Dia cinta istrinya, dia ingin jadi ayah yang baik buat anak yang dikandung istrinya. Jadi, Thomas bekerja menjadi kurir narkoba yang baik.
Seberapa baik sih, kurir narkoba yang baik itu?
Yang bertanggung jawab dengan barang yang ditanganinya, yang enggak cari masalah, yang tahu kapan musti lari sembunyi – kapan harus melawan polisi. Kalian yang sering berkendara di jalan raya pasti tahu kan, kecelakaan itu penyebabnya selalu antara dua; kalo bukan kita yang kurang hati-hati, ‘lawan’kita yang kurang hati-hati. Apa yang terjadi kepada Thomas saat dia lagi bertugas analoginya persis seperti itu. Thomas terpaksa membunuh rekan kerjanya yang kurang berhati-hati, dan dia pun harus tertangkap polisi. Perbuatan dengan maksud baik, buahnya baik juga. Kelakuan Thomas yang baik, actually tindakannya dilihat sebagai membantu polisi, membuat hukumannya tergolong ringan. Lima tahun dan Thomas bisa berkumpul lagi dengan istri dan anaknya. Tapi sekali lagi, dunia enggak adil. Di dalam penjara, keadaan berubah buruk bagi Thomas. Dia mendapati dirinya dalam posisi yang sulit. Dia harus mencari jalan ke penjara paling brutal demi mencari seseorang demi keselamatan jabang bayi dan sang istri.
Film ini akan membangkitkan minat dan gairah para penggemar action 70’an, tepatnya periode berkembangnya tema genre yang dikenal dengan grind house. Brawl in Cell Block 99 terasa seperti flick GRIND HOUSE, BUT NOT REALLY. Disebut grind house lantaran ini adalah film yang benar mengeksploitasi kekerasan. Brutal, aksi berantem yang disajikan bukan untuk santapan semua orang. Film ini sepertinya memang ditujukan sebagai surat cinta buat tema genre yang satu ini. Kita akan melihat Thomas menghancurkan tengkorak lawan, hidup-hidup, dengan tumitnya. Melihat kulit wajah orang terlepas dari muka. Menyaksikan gimana Thomas mematahkan tangan orang sehingga tidak lagi terlihat seperti tangan. Tapi sekaligus juga ini adalah tempat di mana pengembangan karakter tidak dilupakan. Babak perkenalan Brawl in Cell Block 99 benar-benar dimanfaatkan oleh film supaya kita bisa melihat Thomas sebagai manusia dan supaya kita paham kondisi keluarganya. Kita dibuat mengerti bahwa dia sebenarnya menolak untuk melakukan itu semua, akan tetapi ini demi keluarga dan dia enggak punya pilihan lain. Film meluangkan banyak waktu memperlihatkan Thomas berpikir dan merenung dalam kesendiriannya. Dan tidak seperti grind house traditional yang fungsi tokoh ceweknya tiada lain untuk diselamatkan, dalam Brawl in Cell Block 99 istri Thomas diberikan ruang untuk bergerak dan berperan lebih banyak.
Grind dalam grind house sebenarnya juga bisa kita pake untuk menjelaskan gimana film-film bergenre seperti ini mengembangkan karakter utamanya. Ambil contoh film The Raid (2011). Sang jagoan biasanya harus ngelawan banyak orang, berjuang dengan darah untuk sampai ke tingkat atas, tingkat di mana bos bersembunyi. Layaknya video game. Setiap kali bertemu musuh, berhadapan dengan maut, tokoh utama akan naik level, mereka menjadi semakin kuat, baik secara literal dan figuratif. Mereka menjadi orang yang lebih baik. Thomas dalam Brawl in Cell Block 99 adalah lawan dari ini.
Dia literally harus turun tingkat. Dari penjara paling nyante ke penjara dengan keamanan paling ketat – yang berarti kebebasannya semakin minim. Premis ini pernah dibahas kocak di komik Bowling King, di mana tokohnya harus nyusup ke sekolah untuk anak-anak criminal demi nyari salah satu orang dunia hitam, hanya saja dia ditempatkan di kelas hijau tempat criminal ‘cupu’ alih-alih kelas hitam – jadi dia sengaja buat onar biar dipindahin. Setiap kali encounter, baik dengan inmate penjara maupun dengan polisi penjaga, Thomas berdegradasi. Yeah, dia babak belur – they all do. Terutama, dia menjadi semakin sadis, semakin marah, tapi hatinya tidak berubah. Kompas moralnya masih dipegang teguh. Dan melihatnya seperti begini, membuat kita peduli. Membuat kita ngecheer buat dia, meski apa yang ia lakukan enggak menyehatkan buat semua orang.
Seberapa jauh kita rela turun untuk melindungi orang-orang yang kita cintai? Setiap hari kita membuat pilihan untuk memastikan hal-hal yang kita cinta tetap ada, terus berkembang. Kalo ada yang dihajar hingga bonyok oleh film ini, maka itu adalah saran “kalo benar cinta, lepaskan”. Hal paling simpel dan logis adalah jika kita sudah menemukan yang baik untuk hidup kita, maka lakukan apapun untuk mempertahankannya.
Sekuens berantemnya akan membuat kita teringat kepada film John Wick (2014), namun juga, not really. Brutal, menghibur dalam cara yang bikin meringis, tetapi kelahinya enggak diolah dengan koreografi yang stylish kayak John Wick. Kata ‘brawl’ pada judul benar-benar dihidupkan. Thomas adalah mantan petinju yang baik, jadi dia hanya menggunakan kepalan tinjunya, menumbuk yang menghadang jalannya yang lurus. Dia menghancurkan semuanya dengan bogem. Gebak-gebuk itu enggak indah, oleh sebabnya masih terasa realistis. Kesan tersebut hanya dilunturkan sedikit oleh keputusan sutradara S. Craig Zahler untuk mengarahkan film ini sebagai tribute ke film aksi 70an, jadi di film ini dia dengan sengaja turut memakai efek shot prostetik untuk beberapa adegan kekerasan. Manekin dan anggota tubuh palsu akan bisa kita temukan dengan jelas
Jadi, Bradley Thomas basically seorang monster Frankenstein. Kesatria, terhormat, dia bisa matahin kaki orang dengan sangat gentle. Thomas mungkin satu-satunya orang yang adil di sana. Ini adalah peran yang noble sekaligus keras-dan-kumuh, dan Vince Vaughn menyelam sempurna ke dalamnya. Sudah begitu lama kita melihat Vaughn bermain di posisi tokoh yang rada komikal. Terakhir kita melihatnya serius di season 2 serial True Detective (2015) dan peran kecilnya sebagai sersan di Hacksaw Ridge (2016). Tidak satupun dari peran-peran tersebut sebanding dengan tantangan dan apa yang berhasil Vaughn capai di Brawl in Cell Block 99. Bayangkan Stone Cold Steve Austin; botak, violent, resourceful, bedanya Thomas adalah pribadi yang menyembunyikan emosinya dengan baik. Vince Vaughn benar-benar memberikan penampilan terhebat dari karirnya. He’s so badass, dan ketika kita diliatin dia sedang sendiri di dalam sel kurungannya, kita mulai bisa melihat seberapa terluka dan tersiksanya dia. Dan pada beberapa kesempatan, adegan kesendiriannya lebih menggebuk ketimbang ketika dia meledakkan kemarahannya saat berantem.
Drama karakter yang sangat efektif tersembunyi di balik tarung tangan brutal yang bertempat di penjara. Kepentingannya memperlihatkan set up karakter dan memberikan alasan buat kita peduli kepada tokohnya mengorbankan sedikit kestabilan pacing. Penonton yang mengharapkan pure grindhouse mungkin akan mengeluhkan betapa dua jam film ini terasa panjang. Namun dengan penampilan sebaik yang diberikan oleh Vince Vaughn, dan adegan kekerasan yang disturbingly menghibur – masalah pacing tersebut bisa dengan mudah kita overlook. Sebaik-baiknya film grindhouse, ini adalah salah satu yang terbaik.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BRAWL IN CELL BLOCK 99.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We? We be the judge.