MY STUPID BOSS 2 Review

“The most truly generous persons are those who give silently without hope of praise or reward.”

 

 

Mendapati harga oleh-oleh di Vietnam cukup mahal, Pak Bossman dalam My Stupid Boss 2 mengajukan usulan menakjubkan supaya dia dan para karyawannya sebaiknya bertindak dan kelihatan seperti orang lokal. Maka duit kantor yang bahkan untuk makan saja diirit tersebut dikeluarkan untuk membeli pakaian yang melengkapkan ‘penyamaran’ mereka sebagai penduduk sana.

Setelah satu film, tetep saja kita – dan tentunya Diana ‘Kerani’ beserta rekan-rekan kantornya yang lain – masih belum bisa mengerti logika yang berjalan di dalam kepala si Bossman. Pria ini pelit banget kayak Paman Gober, tapi suka mamerin motor baru yang ia beli. Bossman menikmati menyuruh orang lain memperhatikan kehebatan dirinya, namun juga dengan lincah mengucapkan lebih dulu “gak ada duit” setiap kali ada orang yang datang kepadanya. Keunikan karakternya ini memang lantas menjadi lucu, dan dalam film kedua yang masih tetap digarap oleh Upi Avianto, Bossman kini mengambil alih pusat cerita. Karena kepelitan dan ke-gakmautahuan-nya sama mesin kantor yang pada rusak, sebagian karyawan angkat kaki dari pabrik furnitur miliknya. Alih-alih mendengarkan ‘nasihat’ Kerani untuk memperbaiki sikap – dengan kocaknya malah balik menuding semua gegara Kerani yang terlalu judes -, Bossman yang kebetulan diundang ke Vietnam memutuskan untuk mencari karyawan baru langsung ke pedalaman desa Vietnam. Supaya murah!

baru tau kan nama asli Bossman itu Hendrik Suryaman, dasar IQ tempe semua!

 

Mendebatkan kemampuan akting Reza Rahadian sepertinya bakal sama membuang-buang waktunya dengan menyuruh Bossman beliin mesin kayu yang baru. I mean, kita semua tahu Reza adalah salah satu aktor yang sudah teruji mainin karkater bermacam rupa. My Stupid Boss ini tak pelak hidup berkat penampilan aktingnya memainkan sosok bos yang kita semua pengen tendang bokongnya. Nyebelin, tapi juga kocak. Dalam film ini kita pun bakal tergelak melihat tingkah lakunya terhadap para karyawan. Terutama pada Kerani. Tokoh Kerani boleh saja sudah dikurangi, cewek ini nyaris tak membuat keputusan apa-apa – dia hanya bereaksi terhadap aksi yang digerakkan oleh Bossman. Tapi banter Bunga Citra Lestari dengan Reza secara konstan menjadi pemantik tawa. Pool jokes yang dimiliki oleh naskah juga tetap luwes lantaran film ini mengambil setting di negara tetangga. Kita masih akan melihat gimana benturan bahasa diracik dengan menyenangkan. Film benar-benar tahu apa yang kocak dari masing-masing negara yang menjadi latar tempat cerita. Kehadiran Morgan Oey menjadi warga Malaysia yang sekarang tinggal di Vietnam totally mencuri perhatian. Dia bahkan gak perlu rambut palsu dan sumpelan apapun untuk tampil meyakinkan sebagai penduduk lokal.

My Stupid Boss 2 memang mengekspansi dunia cerita ke Vietnam, dalam rangka mencari materi komedi in sense of writing, tetap sayangnya keseluruhan narasi film ini seperti jalan di tempat jika dibandingkan dengan film yang pertama. Dan biar aku ingatkan sedikit, film pertamanya itu pun sesungguhnya hadir nyaris tanpa plot. Reviewnya bisa kalian baca di sini. Masalah yang dihadirkan tetap sama; pandangan bagaimana orang seperti Bossman bisa hadir di dunia. Dan kita sudah tahu Bossman nyebelin tapi hatinya baik. Film kedua ini mungkin mendengar kritikan terhadap Bossman di film yang pertama; bahwa dia dibuat manusiawi dengan begitu mendadak, di babak akhir tiba-tiba saja dia diperlihatkan sisi baiknya, karena dalam film kedua ini sejak babak awal kita sudah diperlihatkan hal tersebut. Masalahnya adalah, tidak ada plot karakter dari Bossman. Tokoh ini dibuat dengan premis ‘nyebelin tapi baik’ tanpa ada penggalian atau development seperti tokoh-tokoh film seharusnya. Dari awal film sampai akhir dia sama aja. Kerani di film kedua ini juga sama jalan di tempatnya. Jika pada film pertama paling tidak dia belajar untuk mengenal siapa yang ia sebelin itu, maka di film kedua ini tidak ada lagi pembelajaran yang ia jalani. Tidak ada penyelesaian masalah yang konkrit pada film ini, sebab masalah yang hadir juga tidak benar-benar menambah kepada bobot penokohan. Dan hal tersebut dapat kita simpulkan terjadi lantaran memang film ini hanya berniat untuk lucu-lucuan semata. Gangster India dan Mafia Cina yang mengancam dan menawarkan secercah konflik dan stake, pada akhirnya juga ternyata hanya tuas komedi – klimaksnya mereka dance-off nari India versus koreo boyband. There’s no real story. Narasinya tidak punya struktur yang kuat.

Dalam ekonomi sekarang, mungkin maklum-maklum saja jika pelit ngeluarin duit. Asal jangan pelit hati. Bossman menjadi karakter yang menarik karena di balik kepelitan itu, dia sebenarnya peduli. Dia memang tidak menunjukkan. Tetapi dari sikap Kerani dan para karyawan yang dekat dengannya kita tahu bahwa hati Bossman sudah memberikan sesuatu kepada mereka semua.

 

Rasa-rasanya baru kali ini aku menonton sebuah cerita perjalanan yang tidak ada pencapaian apa-apa; yang tokohnya tidak mendapat pelajaran apa-apa baik secara inner maupun outer. Bossman tidak berhasil mendapat karyawan yang baru (meskipun kita bisa berpendapat dia tidak kehilangan orang yang benar-benar penting di sekililingnya). Bossman tidak pernah diperlihatkan terpengaruh sama karyawan yang benar-benar angkat kaki. Masalah dia sebagai ‘orang ketiga’ dalam rumahtangga Kerani hanya sebagai candaan. Pabrik mereka tak pernah diperlihatkan ada pembenahan dan dianggap penting banget oleh naskah selaih cuma soal lokasi dan situasi untuk komedi. Masalah keuangan yang menimpa selesai dengan mudah, adapun implikasi yang lebih serius malah digantung sebagai komedi.

kusangkakan lucu berpanjangan, rupanya meringis mengundang

 

Memang sih film ini kocak, namun saat berjalan empat-puluh menit aku tetap tidak menemukan plot, journey, apapun yang signifikan. Pembelaan yang ada ialah film ini diniatkan sebagai komedi, but I can’t really just take that. Sebab banyak film komedi yang mampu tampil berisi. Lagipula, di menit-menit awal film ini menyerempet banyak hal mulai dari Pemilu, kediktatoran, hak warga negara – tampak seperti memparalelkan keadaan di kantor pabrik mereka dengan keadaan negara. But it was a false sign. Film ini ternyata lebih seperti eksperimen PHnya untuk mencari (atau malah menerapkan untuk memfamiliarkan) formula Warkop yang baru. Semua yang kusebutkan pada review film pertama, masih bisa diaplikasikan untuk film ini. Begitulah ‘tidak ada perubahan’ yang terjadi pada My Stupid Boss 2.

 

 

 

Lucu dan memikat perhatian karena mengambil setting negara tetangga, dan memainkannya sehingga terasa ‘jauh tapi dekat’. Harta yang paling berharga yang dipunya oleh film ini adalah penampilan akting dan komedi-komedi yang datang dari parodi budaya-pop negara-negara Asia Tenggara. Sayangnya film ini very disposable. Karena tidak ada cinematic journey. Dan ini ironis karena dalam cerita, tokoh-tokoh film ini melakukan perjalanan ke negara lain. Jangankan dari awal hingga akhir, dibandingkan dari film pertamanya saja film ini tidak terasa begitu banyak perubahan. Kita bisa menonton film ini dan tertawa, merasa terhibur, dan ketika filmnya berakhir kita tidak merasakan sesuatu seperti yang biasanya terasa ketika menonton film.
The Palace of Wisdom gives 2 gold stars out of 10 for MY STUPID BOSS 2.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Mengapa menurutmu Kerani masih mau bekerja untuk Bossman? Pernahkan kalian punya pengalaman mendapat bos yang seperti Bossman? Seberapa kikirnya sih kamu secara emosional?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

INTERCHANGE Review

“Find me where the wild things are”

 

interchange-poster

 

Interchange adalah film crime-slash-thriller-slash-supernatural keluaran Malaysia, yang bekerja sama dengan PH dari Indonesia; Cinesurya Production. Jadi jangan heran jika dalam film ini kalian akan melihat juga penampilan dari Prisia Nasution dan Nicholas Saputra dalam peran yang sangat berbeda dari yang pernah ia lakoni sebelum-sebelumnya.

I was really intrigued by, say, the first twenty-minutes of this movie. Apa yang ditawarkan oleh film ini jelas adalah sesuatu yang pretty unconventional. Sebagai pembuka, kita disuguhin adegan penampilan nyanyi jazz di nightclub yang sukses berat menghantarkan perasaan surreal. Lagu si biduan berdendang tentang jiwa yang lepas dari raga, gimana enggak creepy dan bikin pensaran, tuh? The very next scene memastikan bahwa Interchange adalah film yang completely berbungkus misteri, as kita ngeliat mayat yang tergantung dalam apa yang nampak seperti ayunan dari untaian tali dan bulu-bulu. Putih kering kerontang dengan urat-urat yang terjuntai keluar. Bahkan Detektif dan dokter forensik yang memeriksa mayat tersebut yakin ini bukan kerjaan manusia, “Pontianak?” duga Detektif Man yang mirip-mirip Mas Adi di Tetangga Masa Gitu.

Tapi itu bukan kali pertama Detektif Man dapet kasus ajaib. Beberapa bulan sebelumnya ada kasus yang persis, yang membuat seorang fotografer kepolisian saat itu musti mundur dan ngambil cuti ‘gak enak badan’ setelah motretin mayat korban. Seperti yang kemudian kita pelajari lewat tuturan cerita, alasan Adam berhenti adalah karena kasus tersebut sangat mengganggu dirinya, terutama pecahan kaca negatif film yang selalu ada di TKP. Namun tentu saja, negatif film kuno ini adalah kunci penting dari misteri. Kita akan melihat Adam, terseret masuk ke dalam kasus ini, dia bertemu dengan orang-orang aneh, dia kenalan ama Iva, cewek misterius yang meminta pertolongan Adam, karena turns out Adam dapat melihat lebih dalem dan mengerti lebih banyak ketimbang Detektif Man.

 

Usaha film ini mengeluarkan NUANSA EKSOTIS DAN GAK-NYAMAN patut diacungi jempol. Ada momen-momen yang tak pelak bikin kita ngerasa merinding hanya oleh betapa weirdnya momen tersebut disyut. Adegan opening tadi, misalnya. Ataupun wide shot pandang-pandangan Adam dengan Iva dari balkon masing-masing yang dihandle dengan luar biasa unsettling. Terasa buat kita, film ini bercermin kepada thriller-thriller sukses. Adam yang kerjaannya sekarang motretin kegiatan penghuni lain apartemen dari beranda kamarnya jelas adalah persembahan buat Alfred Hitchcock’s Rear Window (1954). Aku suka film ini mengambil pendekatan kayak season satu serial True Detective. Kita tanpa tedeng aling-aling digedor oleh teka-teki. Hampir seperti kita bekerja sama dengan detektif dan tokoh utama cerita ini. Jika True Detective berpusat pada mitologi Raja Kuning, maka Interchange MENGGABUNGKAN NOIR DETEKTIF DENGAN MITOS DARI PEDALAMAN RIMBA BORNEO. Film ini menampilkan mistisnya ritual suku Dayak, lengkap dengan simbol-simbol, seperti totem burung enggang ataupun burung rangkong.

Kaca bagi Adam adalah simbol yang menunjukkan keadaan yang terperangkap. Apa yang dibutuhkan oleh Adam adalah merasa bebas, sebagaimana para anggota suku dayak. Film ini bicara tentang pembebasan diri ke alam liar, that is our beliefs. Pikiran kita – kepercayaan kita adalah makhluk liar yang hidup di dalam passion, dalam orang-orang yang kita cinta. Dan tak jarang itu adalah tempat tergelap di dalam pikiran kita. Tapi tak semestinya kita takut. Bisa butuh seumur hidup atau beberapa detik saja seperti Adam untuk kita menemukan tempat liar tersebut, tapi begitu ketemu, just like Adam did, kita akan bebas.

 

Eksplorasi kebudayaanlah yang membuat kita datang duduk untuk menonton Interchange. Kita sukses dibuat penasaran bagaimana mitologi dalam film bekerja. Gimana hutan beton Kuala Lumpur mendapat sisipan hutan belantara Kalimantan. Gimana burung-burung tersebut berperan dalam penyingkapan misteri. Visual dalam film ini, untuk beberapa bagian, lumayan mendukung penceritaan. Efek-efek komputernya cukup hold up buat ditonton sekarang. It’s not very great ataupun very seamless, namun dalam tone cerita yang disturbing dan misterius, efek-efek tersebut melakukan apa yang sudah menjadi tugasnya. Begitu pula dengan praktikal efek yang digunakan. Production design film ini terbilang bagus. Pakaian dan aksesoris tribal serta ‘kostum’ burung tersebut nampak elegan dan nakutin. Mayatnya kelihatan believable dan oke, bikin kita takjub dan penasaran makhluk apa yang bisa ngelakuin hal semacam itu. Pemandangan Nicholas Saputra bertransformasi menjadi burung bakal terpatri lama di benak kita. Namun saat sudah beneran jadi burung, tokoh ini terlihat agak sedikit menggelikan. In fact, I didn’t really sold into penampilan tokoh yang diperankan Nicholas Saputra di film ini. Alih-alih misterius, mengerikan, ataupun disturbing, tokohnya malah tampak kayak cacat.

 Demorph, Tobias, demorph!!
Demorph, Tobias, demorph!!

 

Film ini seharusnya bisa jadi bahan pemikiran dan bikin kita takjub hingga jauh seusai kredit penutupnya nongol. Aku suka film-film surreal, yang bikin penontonnya bingung setengah mati. Film yang bikin penontonnya ngerasa gak nyaman. Menonton Interchange, however, aku malah merasa ada something missing dari film ini. Benar ada simbolisme, akan tetapi lapisan yang bisa dikupas enggak sebanyak yang mestinya mampu ditampilkan oleh film seperti ini. Interchange terasa tidak pernah benar-benar fulfilling, in regards of the storytelling. Misterinya tidak benar-benar menjadi misteri karena semuanya bisa terbaca dengan jelas, kita akan sering menemukan diri kita berada selangkah di depan para tokoh. Dan also memang film ini ternyata tidak fokus sepenuhnya kepada penggalian mitos. Interchange, for most, is a detective story, tanpa red herring ataupun clue yang compelling. Tembak-lurus begitu saja. Tidak semua hal kelihatan sebagaimana ia terlihat, apa yang nampak sebagai kasus pembunuhan bisa saja berarti lain. Namun build upnya begitu muddled dan enggak fokus.

Trying so hard nutupin alur, bagi film ini kemisteriusan datang dari karakter-karakter yang ngomong dengan suara digumam-gumamin, dengan intonasi yang kerap aneh, pula. And I grew up watching Doraemon berbahasa Malaysia di tv rumah di Riau. Serius deh, bukan masalah bahasa bagiku. Masalah film ini adalah pada penulisan dan arahan aktingnya; tidak ada yang bisa kita pegang dari karakter-karakter tersebut. Kita kesulitan untuk merasakan apa yang mereka alami, and that is so sad karena film ini harusnya sangat dekat dengan penonton. Akting pemain sangat goyah dan unconvincing. Semua tokohnya kayak sedang dalam perlombaan siapa yang paling sok misterius. Aku lebih enjoy ngeliat penampilan tokoh minor dalam film ini. Interchange adalah jenis film yang butuh banget ada subtitle, karena penampilan para tokoh sendiri enggak cukup kuat untuk menyampaikan cerita.

Sebagian besar Adam akan kelihatan bengong ketimbang sedang mengalami kebimbangan atau apapun yang seharusnya ia rasakan. Penyampaian Iedil Putra adalah yang paling lemah, tidak ada urgensi dalam pemeranan tokohnya. Kita enggak sepenuhnya yakin kenapa semua perkara tersebut sangat personal bagi Adam. Iva nya Prisia Nasution kayak terjebak di interchange antara menggoda Adam dengan ngulum es batu dengan being vulnerable dikejar polisi. Film ini juga ada adegan berantem, yang dikoreografi lumayan intens sampai Nicholas Saputra terbang melayang pake jurus bangau tong tong. Ada banyak adegan yang jatohnya unintentionally funny. Aku ngikik liat cara berlari Belian. Dan aku sampe ditegur bapak-bapak lantaran keceplosan ngakak ngeliat si Detektif keluar dari mobil dan kencing di pelataran parkir.

Adam Iva lari nyari surga
Adam Iva lari nyari surga

 

 

Karakterisasi adalah hal yang penting dan film ini mengorbankan hal tersebut demi kelihatan misterius. Bekerja begitu keras dan kerap efektif dari sinematografi, namun lemah karena tidak punya akar emosi yang benar-benar nyata; yang membuat kita susah peduli kepada nasib-nasib karakternya. Akibatnya hampir semua hal dalam film ini terasa artifisial. Film ini bermaksud menantang pikiran kita soal makna kebebasan, there is some interesting things going on about motif ‘pembunuhan’ di dalam ceritanya yang akan membuat kita melihat para tokoh dari cahaya yang berbeda, jika saja tokoh-tokoh tersebut diberikan penokohan yang matang. Aku enggak yakin apa yang terjadi sama film ini, karena dua puluh menit pertama sudah terasa sangat menarik. But it went downhill from there. All-in-all tho, aku senang ada film yang berupaya mengangkat cerita kolaborasi budaya seperti ini. It’s nice to see surreal story from around here for a change.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for INTERCHANGE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.