IPAR ADALAH MAUT Review

 

“The worst pain in the world goes beyond the physical, even further beyond any other emotional pain one can feel; it is the betrayal of a friend” 

 

 

“Ipar adalah maut” yang merupakan kutipan Hadits Nabi, adalah sebuah peringatan. Sementara Ipar Adalah Maut, merupakan film karya Hanung Bramantyo, adalah sebuah gambaran. Tentang bagaimana peringatan itu bisa terjadi, tentang bagaimana ipar dapat membawa maut, dalam artian menjadi sumbu dari kehancuran sebuah rumah tangga. Dan dengan mengambil perspektif utama dari kakak yang eventually jadi ‘korban’ dari adik yang tinggal di rumahnya, film yang dijual sebagai diangkat dari kisah nyata pengalaman seseorang ini coba untuk menjadi penghembus semangat kebangkitan dari maut tersebut.

Suara Nisa sebagai narator menyambut kita ke dalam cerita. Dia hendak berbagi pengalaman rumah tangganya yang mengenaskan. Awalnya memang Nisa sempat ragu untuk mutusin permintaan ibu soal adiknya, Rani, tinggal bersama dengan keluarganya. Tanggungjawabnya besar. On top of jagain adik yang baru kenal dunia itu, Nisa harus ngurusin suami, anak yang belum lagi SD, ditambah bisnis toko kue yang lagi rame-ramenya,  Suaminya, Aris – dosen sosiologi keluarga, dan cukup soleh – siap mendukung apapun keputusan Nisa. Mereka sebelumnya sama sekali gak kepikiran macem-macem. Memang saat itu, they didn’t take one thing as a factor; Saat baru pacaran dulu, Rani memang ‘cuma’ anak remaja  yang kekanakan dan manja. Namun kini, Rani yang udah mau masuk kuliah, got hot. Yang namanya tinggal serumah, muncul deh tuh kejadian-kejadian. Mulai dari situasi tak-sengaja yang innocent (mungkin pikir Aris, ‘rejeki’) membesar hingga ke situasi awkward yang gak bisa Aris ataupun Rani ceritakan kepada Nisa yang sibuk, karena kejadiannya bikin mereka merasa bersalah, tapi sekaligus juga bikin kepikiran terus. Apalagi Rani melihat Aris ini udah kayak manic pixie dream man. Kesempatan demi kesempatan yang mereka dapatkan dengan absennya Nisa pun akhirnya bikin rasa bersalah itu kalah. Dan film pun membuild up kepada kecurigaan Nisa dan aftermath setelah semuanya ketahuan.

Karena konteksnya keran, mungkin Aris mikirnya ‘terlanjur basah, ya sudah basah-basahan sekalian’

 

Karena karakter utama yang dipilih adalah Nisa, sebagai korban dari perselingkuhan, Hanung tahu cerita ini tidak bisa membahas lebih dalam tentang perselingkuhan itu sendiri. Like, perspektif Aris sebagai dosen sosiolog keluarga tapi justru dia terjerumus jadi pelaku selingkuh, tidak bisa dikembangkan lebih dalam alasan ataupun motivasinya karena ini bukan cerita dia. Rani sebagai si bungsu yang didaulat manja dan tak bisa apa-apa oleh keluarga pun hanya bisa punya waktu berdalih dengan itu alih-alih memeriksa lebih dekat apa yang dia rasakan sehingga ‘tega’ ngerebut suami kakaknya. Hanung paham posisi karakter utamanya yang sebagai korban, maka sebagian besar hanya bisa bereaksi terhadap tanda-tanda dia diselingkuhi. Maka Hanung tahu satu-satunya kesempatan untuk bikin cerita ‘pasif’ ini hidup adalah dengan melibatkan penonton. Untungnya, memang itulah hal yang, boleh jadi, paling dipahami oleh Hanung ketimbang sutradara lain. Membuat dramatis sampai penonton ikut bertangis-tangis.

Film ini kalo kita perhatikan banyak dan tahu memanfaatkan momen-momen pause. Momen-momen diam. Timing untuk mancing reaksi penontonnya gila banget, sehingga build up ke adegan dramatis terasa punya pay off yang lebih dahsyat. Perhatikan saja misalnya pada adegan seperti Aris ngajak Rani masuk ke hotel, atau ketika ibu yang saat itu ‘blank’, dari kursi rodanya menasehati Nisa dan Rani jangan berantem. Film seperti sengaja berhenti beberapa detik untuk membiarkan penonton meluapkan emosi kepada karakter, setelah itu barulah film menumpahkan adegan emosionalnya. Ini membuat kita seperti terlibat langsung. Kita emosi, karakter emosi, dan baru kita semua emosi bersama-sama mereka. Ipar Adalah Maut was so good at doing this.  Dialognya banyak yang dibuat ‘mendua’. Apalagi kalo bukan memancing celetukan kita, entah itu kepada Rani setelah dia mendengar “Tolong layani Mas mu, ya” dari Mbak-nya, ataupun kepada Aris begitu dia ditanya dengan sangat polos oleh Nisa yang gak tau suami dan adiknya lagi berduaan, “Mas lagi sama Rani, ya?”

Sepertinya tidak ada yang luput dari tembakan dramatisasi Hanung. Bahkan karakter minor seperti Ibu Nisa (diperankan oleh Dewi Irawan) diberikan percikan drama, karena actually si ibu inilah pemantik incident. Meminta tolong Nisa untuk menampung Rani karena beliau kurang sreg Rani harus ngekos. Firasat si Ibu dibuat terus bergulir sepanjang narasi siap untuk meledak bersama perasaan Nisa, dan Rani. Ngomong-ngomong tentang karakter dan aktornya, wuihh, tiga aktor utama benar-benar ‘diberdayakan’ untuk kebutuhan dramatis ini. Casting Hanung udah kayak melingkupi pesona dan raga. Deva Mahenra yang imagenya cocok buat karakter tipe pendiam dan sedikit kekanakan; di sini Arisnya dibuat tampak cuek bukan main saat melakukan ‘kebejatan’. Davina Karamoy dengan mata besar bersorot tajam dan cerdas, Raninya actually jadi beneran tampak antagonis ketika dibuat dia-lah yang jadi mastermind pertemuan diam-diam dan muslihat untuk mengecoh Nisa. Tapi meskipun begitu, kedua karakter ini tidak pernah kehilangan momen manusiawi tersendiri. Film tetap memberikan kita glimpse ke konflik personal dan rasa bersalah mereka. Dan tentu saja Michelle Ziudith sebagai Nisa. Ziudith yang dikenal sebagai ratu nangis, di sini dapet adegan panjang emosional, nangis-nangis yang begitu luar biasa saat Nisa mengetahui soal perselingkuhan tersebut.  Nangis yang benar-benar kerasa seperti dari gabungan perasaan marah, sakit, jijik – semuanya meledak jadi satu. Dan bukan cuma emosinya, tapi juga kerasa di fisik (Nisa dibuat menginjak pecahan kaca dari vas yang ia pecahkan)

Pengkhianatan adalah hal yang menyakitkan karena terjadi bukan karena musuh, melainkan oleh orang dekat yang kita percaya. Dan perselingkuhan sesungguhnya adalah pengkhianatan yang paling menyakitkan, karena terjadi oleh orang yang paling dicintai. Bagi Nisa, malah lebih menyakitkan lagi, karena dikhianati oleh suami dan adik kandungnya sendiri. Di bawah atapnya sendiri. Di belakang kepalanya sendiri. Film begitu paham menerjemahkan sakit ini. Sakit yang begitu banyak melibatkan perasaan, hingga menjadi sakit fisik, semuanya menghantam sekaligus. Karakter Nisa dibuat menelan semuanya.

 

Apa Aris dan Rani gak jadi kebayang muka Pak Junaedi ya setiap kali gituan? Hihihi

 

Yang terbaik yang bisa dihasilkan dari perspektif korban kayak Nisa ini sepertinya adalah memperlihatkannya sebagai gambaran gimana korban perselingkuhan menerima dan dealing with masalah itu, lalu gimana dia sadar harus cepat bangkit. Keluar dari lubang derita. Sebab basically perselingkuhan adalah kehilangan kepercayaan, maka tahap yang dilalui korban kurang-lebih bakal sama. Ada steps of griefnya juga. Film ini briefly memperlihatkan gimana Nisa memproses kenyataan tersebut, dan juga menunjukkan terutama Nisa ini berkutat dengan menyalahkan diri. Nge-gaslight diri sendiri; Ngerasa karena dia sibuk maka suaminya jadi kurang perhatian. Ngerasa karena dia sering pergi, maka kedua orang itu jadi punya kesempatan. Ngerasa karena dia gak mikirin lebih lanjut soal keraguannya di awal, maka semua ini bisa terjadi. Bahkan saat narasi akhir di ending saja, Nisa masih membuka ruang untuk menyalahin diri. Untung saja film masih berhasil untuk memutar kata-kata tersebut sehingga terdengar positif sebagai dorongan semangat untuk diri lebih baik, lebih tegar, ke depannya. Itulah masalah pada film ini buatku. Porsi yang diberikan kepada Nisa untuk mengembangkan perspektifnya ini, kurang banyak. Akibatnya perubahan positif dan development Nisa, hanya kita dengar sebagai narasi penutup.

Memang sebenarnya jika perspektif utama yang dipilih adalah korban, maka justru aftermath setelah selingkuh ketahuan itulah lahan untuk menggali si karakter utama, bukan di tindak perselingkuhannya itu sendiri.  Pilihan-pilihan Nisa ada di periode ini. Karena setelah ketahuan, maka ‘bola narasi’ itu ada di dirinya. Gimana dia memilih untuk bersikap kepada suami ataupun adiknya. Pilihannya untuk melanjutkan hidup. Pertimbangannya tentu saja akan banyak, ibu, anak, serta kehamilan adiknya. Buatku, babak terakhir film – ketika ini semua sedang dibahas dengan relatif singkat – adalah waktu ketika Ipar Adalah Maut menjadi paling menarik. Aku berharap mestinya ini diberikan porsi lebih banyak. Daging perspektif Nisa sebagai korban itu adanya di sini. Tapi sebaliknya, film memilih untuk meluangkan lebih banyak waktu untuk build up momen perselingkuhan hingga sampai ketahuan. Yang lebih banyak diberikan adalah momen-momen Aris dan Rani jadi ‘antagonis’; gambaran gimana mereka sampai bisa bablas, lalu mereka mutusin lanjut, dan kucing-kucingan antara mereka dengan kecurigaan Nisa yang mulai terbangun setelah pertengahan.

 




Kisah perselingkuhan memang gak ada matinya. Ada aja yang bisa digosok sehingga cerita ini bisa terus saja hot. Film ini put our emotion on point tatkala yang jadi pelakor di ceritanya adalah adik kandung dari karakter utama. Pilihan yang diambil jelas. Cara film langsung membuat penonton untuk terlibat emotionally di dalam dramatisasi itu, inilah yang bisa kita apresiasi. Vibe film pun dijaga tetap light-hearted dengan candaan supaya penonton gak melulu kesel dan emosi. Jadilah dia tontonan merakyat, sasarannya kena banget. Namun di balik keberhasilan itu, tentu saja untuk menilai kita tidak bisa abai bahwa ini bukan pendekatan terbaik yang bisa diambil untuk cerita seperti ini, ada bahasan dan perspektif utama yang jadi belum maksimal. Film memilih maksimalin yang lain, dan make the best dari pilihan yang lebih pasif ini.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for IPAR ADALAH MAUT

 




That’s all we have for now.

Menarik sikap Nisa yang seperti tidak lagi begitu menyalahkan Rani begitu tahu adiknya itu hamil – Nisa jadi seperti full nyalahin Aris. Menurut kalian apa alasannya?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



HATI SUHITA Review

 

“True love is about growing as a couple”

 

 

Barangkali inilah pentingnya cinta. Jika rumah tangga adalah kebun bunga, maka cinta adalah airnya. Tanpa ada air, bunga-bunga itu akan layu. Kasihannya, masih sering didapati rumah tangga yang dimulai bukan atas saling cinta. Melainkan sebuah perjanjian. Atau biar terdengar agak romantis, istilahnya disebut perjodohan. Rumah tangga Alina dalam Hati Suhita yang diadaptasi Archie Hekagery dari novel, contohnya. Hati Suhita diarahkan oleh Archie untuk memperlihatkan perjuangan Alina menyirami rumah tangganya yang kering kerontang. Supaya ibu-ibu yang nonton bisa bergemes-gemes ria, memilih ship favorit mereka dari segi tiga yang terlibat di dalam cerita. Tapi di sisi lain, Archie sendiri jadi tidak sempat menyiram pokok permasalahan sebenarnya. Soal perjanjian yang berakar dari perjodohan, yang berkaitan erat dengan hal yang membuat kisah ini jadi novel yang spesial; identitas karakternya.

Alina Suhita adalah anak pesantren. Sejak kecil dia sudah dijodohkan sama anak pemilik pesantren besar tempatnya menimba ilmu. Alina dan Gus Birru, sudah dipupuk untuk menjadi pasangan penerus Pondok Pesantren Al-Anwar tersebut. Keduanya memang lantas tumbuh jadi orang-orang hebat. Cerdas, karismatik, taat beragama. Amanah untuk jadi pemimpin pesantren sepertinya gampang saja mereka emban. Tapi tidak demikian dengan amanah yang satunya; jadi pasangan. Alina dan Gus Birru toh memang kemudian dinikahkan. Tapi walaupun Alina tampak berusaha menjadi istri yang baik, Gus Birru tidak mau membuka hatinya karena cowok ini cinta sama cewek terpelajar lain. Rengganis. Sehingga Alina dan Gus Birru akhirnya membuat perjanjian untuk berpura-pura jadi suami istri yang harmonis, padahal aslinya tidur seranjang pun Gus Birru ogah.

Wife without benefits

 

Hati Hati Suhita ada pada tempat yang tepat. Film ini menggali dari sisi manusia para karakternya. Menggali hubungan mereka. Bukan hanya Alina yang permasalahannya dieksplorasi oleh film, meski memang film ini paham betul betapa pedihnya keadaan tersebut bagi Alina, sehingga menggali di sini, Dan terutama berusaha nge-cash in dari sini, Memancing emosi penonton dari pengembangan yang detil (tapi gak lebay) dari gimana sih ketika seorang perempuan yang ingin jadi istri soleha bagi keluarga besar dan suami, tapi tujuannya tersebut ternyata sekaligus jadi antagonis baginya. Mulai dari mencoba merayu, ngebaik-ngebaikin, ngerawat saat sakit, hingga balas cuek, semua aksi Alina  sukses membuat berbagai kelompok ibu-ibu yang nonton satu studio denganku bereaksi, bersorak-sorai riuh rendah. Malah ada yang sempat menghunus hapenya, siap untuk merekam layar bioskop (sebelum akhirnya dilarang oleh temannya sendiri).

Opening kredit film ini bekerja efektif dalam mempersiapkan kita kepada konflik setiap karakter sentral, serta dilakukan dengan ekstra dramatis. Baru ini kayaknya film yang menggunakan shot drone dengan begitu menyeluruh. Kemegahan pesantrennya tertangkap.  Konflik dua, eh tiga! karakter sentralnya  juga sekaligus berhasil terlandaskan dengan kuat. See, keadaan mereka sangat kompleks. Yang terluka bukan hanya Alina. Gus Birru yang selama ini aktivis yang memperjuangkan kebebasan juga merasa terkekang karena perjodohan. Rengganis, pacar Gus Birru juga manusia yang punya perasaan – yang juga hancur karena cintanya tiba-tiba kandas begitu saja. Film mencoba menggali mereka dengan adil, tidak ada yang dibikin totally jahat banget, ataupun dibikin pasrah-pasrah aja. Di balik Gus Birru yang dingin kepada Alina (karakter ini harus dibikin supercuek dulu supaya nanti bisa dilihat developmentnya), kita juga dikasih lihat gimana dekatnya dia dengan Rengganis. Bahwa keduanya itu share mutual interest, dan connected oleh ide. Aku bisa mengerti gimana dua orang ini bisa saling cinta. Kepada Alina, film juga memperlihatkan di balik sikap dinginnya yang menyangka Alina mau dijodohkan demi posisi di Pesantren, Gus Birru toh kecantol juga melihat kepintaran Alina dan terutama saat mendengar suara merdu Alina membaca Al-Qur’an. Hal tersebut didesain memang supaya penonton makin penasaran ke mana akhirnya cinta itu berlabuh. Banyak momen didedikasikan film ini untuk bikin penonton geregetan, misalnya kayak membuat ketiga karakter seolah akan bersirobok di sebuah kafe buku. Ditambah pula dengan kehadiran karakter pendukung, seperti ‘comebacknya’ Desy Ratnasari yang jadi mertua Alina, yang terus mendorong Alina supaya makin mesra pada Gus Birru, film semakin memanjakan rasa gemes-gemes penasaran penonton.

Namun bahkan di gurung pasir pun bisa tumbuh bunga. Yang berarti, cinta masih tetap hadir di tempat kering sekalipun. Persoalan kehadiran cinta dan mengenalinya untuk bisa tumbuh bersama itulah yang sebenarnya dibahas oleh cerita Hati Suhita. Berbagai karakter itu punya cinta dan cara tersendiri, ini adalah soal saling mengenali dan memahami sehingga akhirnya bisa tumbuh bersama. Itulah cinta sejati.

 

Film ini ngebuild ‘nikah-tapi-gak-dijamah’ sebagai sesuatu yang menyakitkan, membangun usaha Alina untuk menunjukkan cintanya kepada Gus Birru sebagai sesuatu yang pedih karena tak-berbalas, dan juga menampilkan relasi karakter lain untuk menambah serunya masalah hati mereka. Di menjelang akhir malah ada sekuen yang clearly mengajak bermain-main ekspektasi penonton terhadap siapa jadian dengan siapa. Itu semua memang bikin penonton menggelinjang, tapi film ini seperti meninggalkan banyak konteks yang menyertai karakter-karakternya tersebut. Yang kubicarakan di sini adalah konteks pesantrennya. Latar yang membentuk siapa mereka-mereka ini tidak benar-benar dibahas, melainkan ya sebagai ‘kostum’ saja. Film Hati Suhita kebanyakan hanya berkutat di efek perjodohan terhadap tiga karakter sentral, tapi tidak pernah benar-benar mengembalikan bahasan kepada perjodohan tersebut. Padahal ini penting, kenapa? Karena ini berkaitan dengan konteks ‘dari mana mereka berasal’, yang berarti karakter mereka baru bisa kita selami sepenuhnya ketika konteks ini dihadirkan. Tanpa konteks pesantren, film ini tak ubahnya seperti cerita perjodohan random. Like, diganti jadi bertempat di perusahaan besar pun bisa. Mari kita buktikan dengan mengganti istilah pesantren dengan ‘perusahaan’ pada sinopsis di atas:

‘Alina Suhita adalah karyawan perusahaan. Sejak kecil dia sudah dijodohkan sama anak pemilik perusahaan besar tempatnya bekerja. Alina dan Gus Birru, sudah dipupuk untuk menjadi pasangan penerus Perusahaan Al-Anwar tersebut. Keduanya memang lantas tumbuh jadi orang-orang hebat. Cerdas, karismatik, taat beragama. Amanah untuk jadi pemimpin perusahaan sepertinya gampang saja mereka emban. Tapi tidak demikian dengan amanah yang satunya; jadi pasangan. Alina dan Gus Birru toh memang kemudian dinikahkan. Tapi walaupun Alina tampak berusaha menjadi istri yang baik, Gus Birru tidak mau membuka hatinya karena cowok ini cinta sama cewek terpelajar lain. Rengganis. Sehingga Alina dan Gus Birru akhirnya membuat perjanjian untuk berpura-pura jadi suami istri yang harmonis, padahal aslinya tidur seranjang pun Gus Birru ogah.’

Kan, ceritanya jadi generik karena konteks pesantren sama sekali tidak dibawa. Konteks yang kumaksud adalah dasar pemikiran karakternya.  Bahwa perjodohan adalah perintah orangtua, yang mereka anggap sebagai amanah. Bagaimana di mata Alina menjadi istri yang baik adalah istri yang taat suami. Sementara di mata Gus Birru yang taat agama menghormati perempuan adalah dengan tidak menodainya. Yang kumaksud adalah cerita Hati Suhita yang bersetting di pesantren itu harusnya bisa lebih kompleks lagi ketimbang yang actually kita tonton (tentang berusaha bikin orang yang gak cinta, menjadi cinta). Jika konteks agama atau pesantren itu digali lebih dalam, masalah Alina bakal lebih rumit bukan lagi sekadar belum pernah disentuh, tetapi bagaimana dia merasakan mengikuti perintah agamanya (dengan ngurus keluarga dan nurutin kata suami) ternyata belum cukup baginya. Masalah Gus Birru terhadap perjodohan bakal lebih berlapis karena ini juga menyangkut perintah orang tua dan bagaimana dia selama ini gak cocok dengan ayahnya, dan bagaimana dia yang menolak menggauli istri yang bukan pilihannya itu bisa jadi bukan karena dia tidak cinta melainkan perlawanan terhadap ayah. Dan si Rengganis, maaan, mestinya dia yang paling pedih karena bentuk cinta yang ia harus jalani adalah mengikhlaskan. Perjalanannya sebenarnya lebih dramatis jika konteks identitas mereka diperkuat. Lingkungan pesantren itu sendiri juga harusnya bisa jadi ‘gudang contoh kasus’ tempat mereka belajar penyadaran masing-masing, bukan lagi sekadar tempat karakternya berkarya dan nunjukin kehidupan profesional.

Paling males kalo ibu udah pake jurus “Semalam ibu mimpi…”

 

Aku pikir itulah  juga kenapa delivery para karakter sentral tidak terasa sekonsisten karakter pendukung. Nadya Arina, Omar Daniel, dan juga Anggika Bolsterli memainkan karakter mereka dengan emosi ataupun intonasi yang sering kurang terasa kontinu. Atau mungkin, tidak kena pada sasaran, seolah mereka sendiri juga ragu dengan apa yang dirasakan karakter. Misalnya ketika dialog di kafe soal menghamili supaya ‘sandiwara’ mereka tetap terjaga dan permintaan Abah dan Ummi terpenuhi, dari nadanya aku pikir Alina setuju (walau dengan sarkas) tapi ternyata pada adegan berikutnya, dia menolak mentah-mentah. Atau ketika Alina dan Rengganis ngobrol di dapur; ku gak yakin mereka memang saling ngasih semangat atau nebar kode buat saingan. Bahkan hingga cerita berakhir, aku masih meragukan Alina dan Gus Birru sudah beneran saling cinta, bukan masih karena amanah dan mikirin Ummi dan Abah.

Konteks yang disisakan film salah satunya hanyalah soal karakter yang suka berkunjung ke makam Sunan/Wali untuk menenangkan diri. Which is great, budaya masyarakat mengalir kuat dari sini. Menambah sesuatu yang baru, yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Tapi efeknya juga akhirnya tidak besar. Aku lebih memilih mereka benar-benar memperlihatkan Gus Birru mengaku kepada orangtuanya, misalnya. Di film ini, adegan itu diperlihatkan cuma sebatas adegan tanpa dialog, slow-motion diiringi lagu. Padahal itu momen penting bagi Gus Birru yang telah menyadari kesalahannya. Itu juga momen akhirnya dia berkonfrontasi dengan ayahnya. Film ini lebih butuh momen-momen besar seperti itu ketimbang momen ngeswerve kita soal siapa ternyata mencintai siapa. It gets really draggy sekitar dua-puluh menit terakhir karena film berusaha bikin kita naik turun dengan ngasih red herring soal siapa yang dipilih si karakter untuk jadi pasangannya. Yang menurutku sebenarnya gak perlu, lebih baik waktunya dipakai untuk adegan pembelajaran yang personal seperti Gus Birru dengan ayahnya. Pacing film juga jadi aneh karena ini. Film yang di awal-awal sering terasa kayak terlalu cepat exit adegan, pas di belakang tau-tau jadi melambat. Dan akhirnya jadi kayak kehilangan momentum karakternya balikan, karena terlalu lama pada sekuen swerve. Lucunya memang film ini tuh kayak puncak dramatisnya tu ada di adegan pembuka tadi. Epik sekali. Sementara ke belakangnya enggak ada lagi adegan seperti demikian. Selebihnya film tidak pernah lagi ‘ekstra’ seperti itu. Padahal mestinya adegan opening itu cuma semacam ‘teaser’ untuk apa yang akan ada di akhir.

Sebenarnya, ada sih satu momen yang buatku cukup surprise. Kayak out of left field, gitu. Unexpected. Yaitu ketika Gus Birru menyadari dia sesuatu dari menonton film dokumenter buatan salah satu karakter. Ini ngingetin aku sama The Fabelmans (2022), yang memang film itu ingin memperlihatkan kekuatan dari filmmaking.  Adegan di Hati Suhita ngingetin, tapi tak sekuat itu karena di adegan itu Gus Birru sadar lewat dialog yang ia dengar, bukan dari gimana adegan film yang ia tonton bercerita.

 

 




Untuk mengincar cerita yang bisa digemes-gemesin oleh penonton, film ini berhasil mendaratkan tujuannya. Arahan film memang sepertinya total untuk ke sana dan dilakukan dengan elegan pula. Permasalahan perjodohan, orang ketiga, suami yang tak-cinta diceritakan dengan enggak lebay dan menarik. Bahasan karakternya juga berimbang, sehingga jadi cukup dramatis. Tapi sepertinya ada konteks yang hilang. Film dengan latar yang kuat itu harusnya tidak jadi segenerik seperti yang kita tonton ini. Pilihan dan journey karakter yang kita lihat seperti kurang konsisten, karena ada konteks dari mereka yang mungkin sengaja tidak dibahas mendalam. Jadinya seperti bermain di kulit luar saja. Film jadi seperti terlalu jinak dan menghindari banyak potensi bahasan yang menantang. Karena bagaimana pun juga ini kan adalah cerita perjodohan pada karakter dalam ruang agama. Ketika persoalan amanah dan hati diadu.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for HATI SUHITA

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang sikap Gus Birru dalam film ini? Apakah menurut kalian dia cinta kepada Alina?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



KAJENG KLIWON Review

“This is the chance of a lifetime”
 

 
 
Tumben hari gini ada film horor yang mengangkat kisah dan budaya di luar mitos jawa. Skena klenik Indonesia sebenarnya memang sangat beragam, dan Bali merupakan salah satu yang aura mistisnya paling menggoda, bahkan hingga ke mancanegara. Kajeng Kliwon garapan Bambang Drias mengangkat kebudayaan Bali sebagai panggung kisah horor yang dijalin dengan permasalahan dua insan manusia. Kita akan mendengar musik khas, melihat ritual budaya, tarian, dan tentu saja penampakan makhluk gaib yang sangat lokal, sekaligus – hopefully – terhanyut dalam konflik cinta dan kecemburuan yang menjadi denyut emosi ceritanya.
Pernikahan bukan hanya menyatukan dua pribadi. Melainkan melibatkan asimilasi dua pendapat, dua pola pikir, dua kebiasaan, dan ya dua kebudayaan. Bu Dokter Agni (Amanda Manoppo memainkan tokoh yang menyebalkan) yang asli Bali sudah akan menikah dengan pacarnya seorang fotografer asal Jakarta. Mereka kini sedang dalam perundingan mengorganisir acara pernikahan. Dan guess what? Mereka gak kompak. Agni pengen A, Nicho calonnya bilang lebih baik B. Perselisihan kecil tak dapat dihindari. Sementara Agni berusaha memikirkan kembali apa sesungguhnya kesempatan satu kali seumur hidup yang harus ia usahakan, rumah sakit tempatnya bekerja ‘kedatangan’ mayat wanita dengan kepala tertebas secara misterius. Malam itu, tepat malam Kajeng Kliwon yang dipercaya malam ngecengnya para Leak, Agni bertemu dengan Rangda. Ratu dari segala Leak yang menjadi penanda ilmu hitam itu tampak mengincar dirinya. Perlahan Agni mengetahui bahwa misteri mayat dan teror Rangda berhubungan erat dengan acara pernikahannya yang terancam batal.

wajah cowok Agni pas denger dia memesan gaun pesta seharga dua-puluh-lima juta; priceless

 
Kajeng Kliwon sesungguhnya punya potensi untuk menjadi horor yang mumpuni. Ceritanya punya lapisan yang cukup untuk menjadikan misterinya menarik. Penggalian mitos Bali memberikan hal segar untuk kita simak. Meskipun istilah Kajeng Kliwon yang dijadikan judul sebenarnya enggak banyak dibahas; hanya ada satu-dua adegan yang menyebut ini dan cerita pun ternyata tidak hanya terjadi pada satu malam itu, tetapi penampakan Rangda dan penjelasan tentang ilmu hitam yang turun temurun membawa aroma kekhasan tersendiri. Setelah Mangkujiwo (2020) dan banyak lagi film-film yang mengandung unsur ritual atau santet dan semacamnya, Kajeng Kliwon hadir sebagai, katakanlah masih dalam spesies yang sama namun dalam varian warna yang berbeda.
Yang paling menarik dari film ini adalah motivasi tokoh jahat alias dalang semua kemalangan yang menimpa Agni. Bukan se’hitam’ balas dendam, atau ingin menguasai suatu pusaka, atau keinginan jahat yang biasa. Motivasi tokoh ini juga punya kedalaman yang berpotensi menjadi menantang – memantik diskusi – karena cukup kontroversial, sebenarnya. Kajeng Kliwon membahas seputar ilmu Leak, ilmu hitam yang diwariskan baik itu secara turun temurun lewat warisan darah atau pengajaran ala guru-murid. Tokoh jahat cerita ini adalah seorang yang memelihara ilmu tersebut sejak dahulu. Bertahun-tahun lamanya, dirinya berumur panjang karena ilmu ini. Dan dia punya kewajiban untuk menjaga ilmu tersebut dari kepunahan. Ikut menjaga warisan turun temurun. Di atas masalah pilihan personal, tokoh ini gak suka Agni menikah dengan Nicho terutama adalah karena dia gak mau ke-Bali-an di dalam diri Agni terkotorkan oleh muasal Nicho – apalagi karena Agni adalah salah satu figur kunci dalam pewarisan ilmu Leak. Jika digali dengan lebih serius dan penulisan yang lebih kompeten, antagonis dalam film ini akan menjadi lebih dari sekadar tokoh twist belaka sebab ia punya motivasi yang benar-benar challenging. Tumben-tumbenan tokoh di film horor Indonesia lowkey menarik kayak gini.

Yang mengandung bulir-bulir gagasan bahwa tidak semua aspek budaya harus dipertahankan, bahwa terkadang budaya turun temurun butuh penyesuaian karena simply sudah kuno atau tidak membawa nilai positif sama sekali.

 
Kata ‘tumben’ kutemukan dalam film ini awalnya sebagai bahan cemoohan. Gak sampai sepuluh menit cerita dimulai, kita dikasih dialog yang awalannya kata tumben semua. “Tumben, pagi ini kamu cantik”. “Tumben datangnya siang”. “Tumben datang ke sini” Aku ngakak, karena bahkan tumben bukan istilah dari Bali. Tapi ternyata menjadi menarik karena pengulangan ini menjadi tema yang diejakan secara terselubung kepada kita, meskipun mungkin bahkan filmnya sendiri enggak menyadari. Karena motivasi Agni secara keseluruhan adalah pengen nikah yang, katakanlah, mewah, sebab baginya pernikahan adalah ‘kesempatan yang datang satu sekali seumur hidup’. That’s the key sentence. Kalimat tersebut juga diulang-ulang oleh Agni, dan juga disebutkan oleh tantenya saat memberi pembelajaran kepadanya. Agni berjuang untuk satu momen gak-biasa, satu jendela-waktu luar biasa untuk mendapatkan atau melakukan sesuatu yang berharga, satu ‘ketumbenan’ yang hakiki. Jika malam kajeng kliwon adalah momen spesial yang dinanti oleh para Leak, maka bagi Agni momen itu adalah pernikahan. Dan semangatnya ini berlawanan dengan tokoh antagonis yang memegang prinsip keabadian; “a whole lifetime” alih-alih “once in a lifetime”

Ini adalah soal menikmati sesuatu yang bisa jadi hanya akan mampir satu kali dalam hidup kita. Yang harus dipikirkan adalah apa yang kita lakukan ketika kesempatan tersebut datang. Film ini mencontohkan pernikahan mewah – ini adalah momen yang ingin di-capitalize, disakralkan, oleh Agni. Akan tetapi pernikahan itu sendirinya tidak akan berlangsung seumur hidup jika Agni tidak bersama orang yang tepat. She should celebrate the person instead; cinta itulah kesempatan sekali seumur hidup yang harusnya ia perjuangkan. Film menunjukkan kepada kita untuk benar-benar mengenali mana hal yang merupakan kesempatan yang sebenarnya harus diperjuangkan. Karena, ya itu tadi, hidup cuma satu kali.

 
Ada sesuatu di antara konflik Agni dengan antagonis yang tidak kusebutkan namanya demi alasan spoiler. Pembelajaran Agni akan tercermin di akhir cerita dari perubahan perlakuannya kepada Nicho. Jika elemen cerita ini serius ditangani, dikerjakan dengan lebih kompeten, atau naskahnya melewati perbaikan dan pendalaman lagi, Kajeng Kliwon tak pelak bisa menjadi salah satu horor lokal berbobot yang pernah ditayangkan oleh bioskop Indonesia. Sayangnya, secara teknis film ini masih sangat hijau — kalo gak mau dibilang lemah. Durasinya terlalu singkat untuk dapat mengakomodir kedalaman yang diperlukan. Arahannya masih sebatas mengejakan perasaan. Naskahnya? Well, inilah bagian yang paling kurang performanya dari keseluruhan film Kajeng Kliwon.

dialognya ‘go ahead’ pas adegan melihat mayat buntung; film ini punya selera humor

 
 
Dialog dalam film ini standar sestandar-standarnya. Percakapan mereka jarang sekali mengandung development. Hanya sejumlah percakapan sehari-hari, argumen, dan eksposisi. Dan bahkan itu semua tidak benar-benar dipikirkan dengan matang. Misalnya ada kalimat yang merujuk kepada perubahan wujud yang bisa dilakukan oleh Rangda; si tokoh menyebut “anjing, kucing, manusia jawa, manusia bali, bule”. Pengelompokan dalam kalimat itu sangat aneh karena seolah manusia jawa dan manusia bali itu dua spesies yang berbeda seperti anjing dan kucing. It’s just not right of a group. Jangan pula dibayangkan argumentasi Agni dan Nicho seperti argumen pasangan di film Marriage Story yang dapat nominasi Oscar. Agni dan Nicho hanya ngotot vs. nolak dengan lembut, kita tidak pernah tergerak untuk mendukung salah satu dari mereka. Sebagian besar karena yang satu jatohnya annoying (mungkin karena namanya berarti api maka dia membakar kesabaran kita) dan satu laginya culun. Mereka ‘damai’ dan ribut ya sesuka naskahnya aja, gak ada build up yang natural. Film cukup memasang lagu pop patah hati untuk membuat penonton merasa harus ikut bersedih.
Poin-poin plot terasa sama ‘maksa’nya dengan Agni. Ada bagian ketika Nicho ketemu di tengah jalan dengan mantan kekasihnya, dan di akhir pertemuan itu mendadak saja si mantan menjadi begitu obsesif dan dia menyusun rencana ke orang pinter segala macam untuk menjauhkan Nicho dengan Agni. Si mantan ini sukses menjadi tokoh paling gak jelas karena tindakan yang ia maksud untuk menggagalkan pernikahan adalah … bukan ritual bukan santet.. melainkan langsung mencekek leher Agni setiap kali mereka bertemu! Dan tidak ada konsekuensi, dia tidak ditangkap, Agni tidak mengusut pencekekan lebih lanjut. Ketika Agni membunuh seseorang pun, film melangkahi persoalan itu begitu saja. Bicara soal teman dari masa lalu, Agni juga punya satu yakni Wijaya si pemilik cafe, yang kelihatan ingin mencampuri urusan pernikahan Agni. Menurutku, film juga mubazir dalam menangani Wijaya. Seharusnya biar efisien, dia saja yang menjadi wedding organizer yang selalu dijumpai Agni, dengan begitu Wijaya bisa masuk akal bisa terus tau masalah Agni.
 
 
Karena penggarapannya yang terasa di bawah standar, terutama di bagian penulisan, film ini gagal mencapai level – bahkan setengah dari level – yang seharusnya bisa ia capai. Tulisanku di atas benar-benar sebuah long reach karena saat menonton film semua hal tersebut tidak akan menonjol. Persoalan ‘tumben’ tadi, akan lebih terasa sebagai sebuah kekonyolan karena film tidak kelihatan menaruh banyak perhatian pada kesubtilan berkat dialognya yang begitu basic dan in-the-face. Bahkan Agni sebagai dokter saja tidak pernah tampil meyakinkan, dia hanya berteriak dan mondar-mandir meriksa pasien dengan stetoskop. Padahal jika adegan epilog (yang timeline-nya pada narasi juga gak jelas kapan) dijadikan sebagai pembuka oleh film, maka kita paling enggak akan dapat bukti si Agni beneran bisa nyembuhin orang – you know, that she can do her job as a doctor. Hantu Rangda yang original itupun pada akhirnya harus mereceh berkat penggunaan efek sub-par di bagian konfrontasi final. Film seharusnya bisa jauh lebih baik jika menggunakan kostum dan menghindari efek-efek komputer yang jelas-jelas enggak sesuai dengan kantong dan kemampuan mereka. Darahnya aja keliatan banget palsu. They should invest more ke hal yang paling penting dalam sebuah film; naskah.
The Palace of Wisdom gives 2 gold stars out of 10 for KAJENG KLIWON

 
 
 
That’s all we have for now.
Di dunia nyata beneran ada gak sih orang-orang yang keturunan Leak kayak Agni di film?
Bagaimana pendapat kalian tentang budaya-budaya kuno yang gak sesuai lagi dengan keadaan zaman? Apakah kalian setuju dengan antagonis film ini?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

AKHIR KISAH CINTA SI DOEL Review

“May your choices reflect your hopes, not your fears”
 

 
Zaenab yang diketahui hamil diberi nasehat oleh dokter enggak boleh stress dan enggak boleh banyak pikiran. And Zaenab be like; yea right aku akan santai-santai saja di film yang judulnya bukan lagi ‘The Movie + angka’ atau ‘Anak Sekolahan’ tapi melainkan ‘Akhir Kisah Cinta’! 
Aku sama sekali gak menyangka akan tiba masanya aku menyebut trilogi Star Wars kalah memuaskan dibandingkan trilogi Si Doel. Saat film pertamanya tayang, Doel memang tampak seperti usaha lain menguangkan nostalgia. Ceritanya berakhir, tapi masih menyisakan ruang untuk sekuel. Dan kemudian film keduanya tahun lalu tayang seolah menguatkan dugaan film ini hanya jualan semata, lantaran cerita yang gak kemana-mana. Yang muter di tempat, dengan si Doel yang tetap diam tidak membuat keputusan. If anything, film kedua tersebut seperti ingin memerah tangis lewat sudut pandang Zaenab yang diberi porsi lebih. Di film ketiganya ini, sungguh sebuah kejutan karena sekarang keputusan dari pilihan yang sulit itu benar-benar diambil. Dan Zaenab, yang kita kenal bahkan lebih pasif dan pasrah daripada si Doel, memegang kunci untuk menutup semua ini dengan memuaskan.

ini bisa jadi adalah kehamilan tersedih di sinema.. bahkan hamil kecelakaan saja enggak sedepresi ini

 
Penonton yang menuntut cerita benar-benar sebuah akhir akan seketika oleh Zaenab yang menuntut si Doel cepat membuat keputusan. Film ini dimulai dengan tekanan waktu yang jelas; Zaenab hamil enggak boleh stress, namun dia punya tiga masalah besar yang menggerogoti pikirannya. Kenapa Doel tidak memberitahu dirinya Sarah sudah meminta cerai. Kenapa Doel tidak segera mengurus perceraian. Dan yang paling memberatkan pikiran Zaenab adalah rasa bersalah kepada Sarah karena Zaenab merasa salah dirinya lah Doel tidak mengejar Sarah sehingga wanita itu harus membesarkan anak seorang diri selama empat-belas tahun, dan sekarang Sarah memilih mundur demi dirinya dan Doel. Ada api rage dalam diri Zaenab sekarang yang membuat film jadi menarik. Ia praktisnya tokoh utama di awal-awal film, membuat keputusan-keputusan mendesak. Ia memberanikan diri untuk mengkonfrontasi Doel, bicara kepada Mak Nyak, menatap mata Dul anak Sarah, dan mencari Sarah untuk mengutarakan pilihannya sebelum Sarah kembali ke Belanda.
Memutuskan sebuah pilihan itu bisa sangat berat. Itu pelajaran pertama yang bisa kita ambil dari kisah cinta si Doel. Setelah selama ini dia masih enggak bisa memutuskan pilihan. Karena ia gak mau menyakiti hati. Namun dari trilogi ini kita melihat sikap Doel ternyata melukai lebih banyak orang, termasuk dirinya sendiri. Dalam film ini, beratnya mengambil keputusan akan sangat terasa. Kita bisa melihat pilihan yang benar-benar sulit, dari segala sisi. Bukan hanya dari si Doel sendiri, tetapi juga dari eksistensi film ini. Mau gak mau, kisah si Doel harus berakhir. Penonton gak bisa terus menerus digoda, meskipun kita tahu betapa berat bagi sebuah IP untuk mengakhiri jualan andalannya. Ditambah lagi si Doel – kita bicara induk langsung film ini yakni sinetronnya – sudah bergulir selama dua puluh tujuh tahun. Untuk mengakhiri sesuatu yang sudah berjalan semua itu, pastilah dihadapkan pada pilihan yang berat. Bagaimana mengakhiri dengan memuaskan. Bagaimana menghormati penonton. Bagaimana membuat cerita yang berakhir adil bagi semua tokoh-tokoh yang menghidupi semestanya. Untuk membuat sesuatu yang sefinal ini akan ada pilihan yang berat, ada yang gak bisa semuanya terpuaskan. Personally, aku pikir sikap kita juga turut andil dalam mengakhiri film ini dengan memuaskan. PH atau Studio mendengarkan suara kita lewat angka penonton, dan merosotnya jumlah penonton pada film kedua dibandingkan yang pertama bukan tidak mungkin jadi salah satu penentu bagi film ini untuk segera berakhir dan dibuat dengan menempuh resiko seperti yang kita dapatkan sekarang.
Film memperlakukan karakter-karakternya dengan lebih memuaskan kali. Lebih banyak interaksi antara Doel dengan Dul. Momen manis melihat Doel mengajak putranya – anak yang tak ia tahu keberadaannya hingga dua film yang lalu – berkeliling Jakarta narik oplet. Doel menjelaskan cara kerja dan ‘sejarah’ oplet, ini adalah adegan yang aku tunggu sedari film pertama. Meski sebagian besar memang kelihatan seperti eksposisi atau device nostalgia saja, tapi paling enggak sekarang film ini tahu bahwa adegan seperti demikian yang dibutuhkan oleh film ini. Dul juga berinteraksi lebih banyak dengan anak Atun, Atun, Zaenab, dan Mandra. Peralihan dari sinetron ke bioskop enggak begitu berarti bagi sutradara dan penulis Rano Karno, karena semua tokoh dan interaksi mereka punya rasa yang sama. Tokoh-tokoh lama tampak nyaman menjadi diri mereka, sekaligus berkembang sesuai zaman, tokoh-tokoh baru juga gak canggung mengisi di antara mereka.
Perlakuan film terhadap Mandra adalah hal favoritku di film ini. Mandra punya subplot sendiri soal ia berusaha menjadi tukang ojek. Walaupun persoalan kerja ini enggak benar-benar tuntas, dan dipanjang-panjangin dari film kedua, namun Mandra punya akhir cerita tersendiri yang bikin kita merasa senang demi dirinya. Ini adalah momen surprise gede yang dipunya oleh film, jadi aku gak akan bocorin di sini. It was a nice surprise I would never guess it. Namun yang perlu dijadikan catatan dan dibahas dalam ulasan ini adalah cerita Mandra sebenarnya lawan dari cerita Doel; yang terjadi kepada Mandra adalah pelajaran besar bagi si Doel. Mandra adalah happy ending sejati karena berbeda dengan Doel yang plin-plan, gak bisa mutusin apa yang ia suka, Mandra setia kepada cintanya. Sehingga meskipun kita menertawakan hidupnya – jika ditarik dari sinetron, Mandra ini cocok sekali jadi poster boy slogan ‘hidupku adalah tragedi komedi’ – paling enggak, Mandra tidak harus menderita, ia tidak pernah berada pada posisi seperti si Doel. Mandra adalah karakter yang meletakkan keputusannya pada harapan. Ini yang jadi poin atau gagasan pada film.
Hanya Mandra yang bisa ketuker bahasa Belanda dengan bahasa India

 
Dibandingkan dengan Mandra, memang film tampak seperti menghukum si Doel. Zaenab membuat pilihan, Sarah kekeuh pada keputusannya sedari awal. Doel menjelang akhir film seolah akan ditinggalkan sendirian. Dan aku, serta kuyakin setengah dari penonton lain, enggak akan masalah jika film berakhir seperti demikian. Because Doel deserves it. Wakunya sudah habis, wanita- wanita itu terlalu berharga untuk ia gantung. Dia terlalu penakut – pasif – untuk membuat keputusan. I mean, mungkin gak bakal ada trilogi bioskop Doel jika dia sedari sinetron sudah memilih dengan mantap hati. Namun film enggak tega. Sesaat aku hampir tatkala cerita seperti tereset lagi pada babak ketiga. Film ternyata memberikan Doel kesempatan untuk belajar dari semua yang udah dilewati – semua yang sudah setia kita ikuti. Bola sekali lagi berada di lapangannya; pertanyaan pamungkas itu muncul lagi; Siapa yang bakal Doel pilih?
Yang membuat film ini memuaskan bukan exactly jawaban ‘siapa’ tadi. Melainkan betapa keputusan yang dibuat oleh si Doel (akhirnya!) terasa masuk akal dan feel earned. Ini literally kesempatan kedua baginya untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Untuk mengejar dan menjemput yang pergi, bukannya mendiamkan. Untuk hadir dan membesarkan anak, bukannya baru ketemu lagi saat si anak dewasa. Juga masuk akal kenapa baru sekarang Doel membuat keputusan; karena baru sekarang ia berani. Mengambil resiko, menaruh harapan. Doel tak pernah orang yang bego, dia tukang insinyur; maka ia pastilah ia cukup pintar untuk tidak terburu-buru mengambil keputusan. Gambaran besar film ini membentuk sebuah lingkaran yang masuk akal. Film pertama adalah tentang Doel dan Zaenab dan Sarah memilih hal yang mereka takuti demi kebaikan bersama; Doel memilih ke Belanda meskipun ia tahu ada Sarah dan keadaan akan runyam. Film kedua adalah jembatan bagi Doel untuk mengenali apa yang ia inginkan. Dan film ketiga barulah ia melihat harapan untuk semuanya lebih baik, maka barulah ia memilih.

Perbuatan Doel sebenarnya bijaksana, karena seperti kata Nelson Mandela; kekuatan yang mendorong kita melakukan sesuau, berkata, berpikir, seharusnya berlandaskan pada harapan dan optimisme daripada berdasarkan ketakutan atau paksaan.

 
 
Doel gives very nice send-off, bukan hanya kepada Sarah dan Zaenab, melainkan juga kepada kita yang udah ngikutin dari tv ke bioskop, bahkan ada yang selama dua-puluh tujuh tahun. Menurutku tidak ada cara lain yang lebih baik untuk mengakhiri ini semua. Film ini haru, menyayat, lalu menyuarakan harapan, dan memuaskan penonton sehormat mungkin yang ia bisa. Aku akan memberikan nilai lebih tinggi jika bukan karena film ini masih memperlakukan dirinya sendiri lebih sebagai sinetron ketimbang sebagai film. Ia tidak akan bisa berdiri sendiri, because it was never intended to be.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for AKHIR KISAH CINTA SI DOEL.

 
 
 
That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang pilihan Doel? Apakah kalian pernah mengikuti sinetronnya? Jika boleh berandai, adegan apa yang ingin kalian lihat di film?
Kalo aku, aku pengen sekali melihat si Doel ngobrol dinasehatin ama babeh-nya, you know, mungkin dalam mimpi atau apa, kayak Harry dan Dumbledore di King’s Cross. I mean, teknologi sepertinya sudah memadai, dana juga sepertinya mungkin bagi Falcon.. kalo Star Wars bisa, kenapa enggak bisa juga?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.