TRIANGLE OF SADNESS Review

 

“Beauty is a currency system like the gold standard”

 

 

Aku gak tau ternyata daerah kecil di pangkal hidung, di antara dua alis mata, punya nama tersendiri. Triangle of sadness. Segitiga kesedihan. Sepertinya itu istilah dari dunia permodelan, karena di lingkungan itulah istilah itu disebut pada film karya Ruben Ostlund ini. Seorang model pria yang lagi audisi, disuruh dengan ketus oleh juri untuk menghilangkan kerutan di triangle of sadness-nya. Suruhan yang malah bikin kerutan itu semakin banyak, sebab si model sendiri bingung. Dia juga baru dengar istilah tersebut hihihi. Itulah, Ruben mungkin memang sengaja menggunakan istilah tersebut sebagai judul internasional dari karya terbarunya, karena dia pengen kita juga berkerut. Mikir. Bukan mikir soal gimana lolos audisi model, melainkan mikir mengenai gender dan social role di masyarakat modern. Segitiga dalam Triangle of Sadness salah satunya adalah cowok-cewek-harta. Film ini mengemas bahasan tersebut dalam komedi satir, diwarnai oleh kejadian dan terutama oleh karakter yang boleh jadi aneh, tapi yaaa, kok kayak nyata juga!

Atau bisa juga segitiga dalam film ini merujuk kepada chapter penceritaannya. Robert memang membagi ke dalam tiga chapter, yang kayak segitiga – dari setup, menanjak ke transisi di mana semua memuncak, terus kembali seperti kepada posisi set up namun dengan pembalikan. Model yang audisi tadinya hanyalah prolog, tapi dengan efektif melandaskan pokok masalah. Like, di bagian itu ada dialog soal aturan bahwa semakin mahal busana yang diperagakan, model harus pasang tampang yang semakin jutek juga. Cerita Triangle of Sadness juga lantas menelisik tentang gimana si model, Carl (perhatikan betapa konsisten si Harris Dickinson nampilin ekspresi triangle sadness di wajahnya), memandang perannya di dalam relationship. Secara garis besar, ini adalah tentang Carl dengan pacarnya, Yaya (rest in peace Charlbi Dean) – seorang model dan influencer yang jauh lebih populer daripada Carl sendiri. Ketika pertama kali melihat pasangan ini, kita udah dihadapkan pada debat kekinian yang somehow kocak. Tentang split bill. Bukan cuma di Twitter thread, ternyata masalah split bill cowok dan cewek memang universal ya.  Nah, Carl dan Yaya beres dinner di restoran fancy, tapi si Yaya belagak cuek sama tagihan di atas meja, sampai akhirnya ditegor oleh Carl yang bilang “Gue lagi yang bayar? Lah elo kemaren bilang mau bayarin yang sekarang”. Just like Carl dan Yaya yang dalam pembelaannya masing-masing mengatakan ini bukan soal duit, film ini juga berusaha mengestablish bahwa adegan ini bukan sekadar soal cowok harus bayarin. Melainkan soal equality dalam gender dan kelas sosial yang membuat masing-masing punya role atau tugas, dan hak masing-masing. Film ingin mengangkat pertanyaan apakah cowok dan cewek memang sama, dan berusaha menghadirkan jawaban versi mereka lewat portrayal yang digambarkan karakter-karakternya ini.

Si Yaya bintangnya pasti Taurus

 

Debat mereka gak dituliskan lewat saling bentak, tuding, hardik. Nadanya memang marah, tapi film ini bijak untuk tidak kayak film atau sinetron Indonesia yang taunya pasangan berantem itu ya harus adu jerit, kemudian lantas ada satu yang tertindas. Berlinanglah air mata. Cara kamera ngeframe, berpindah dari Carl ke Yaya, suasana dan musik yang dibuat seolah menahan napas melihat mereka berusaha melempar argumen tanpa melukai perasaan yang lain. Build up berupa celah kentara di masing-masing sisi argumen. Jelas, film ingin memfokuskan kita kepada perspektif mereka sama besarnya. Dari semua chapter, memang chapter pertama inilah yang paling grounded, dan aku pikir bagian inilah yang paling mudah konek kepada penonton. Sementara dua bagian lagi, bisa jadi agak mixed buat penonton yang merasa landasan grounded ini akan terhampar selamanya. Triangle of Sadness didesain sebagai komedi satir yang menggambar paham atau ideologi karakter, kelas sosial karakter, untuk membuat kita menyadari cela dan cacatnya. Karena itulah chapter kedua berkembang menjadi lebih komikal (meski gak pernah terlalu over) dan chapter terakhir bisa dibilang sebagai konklusi berupa nyaris terasa seperti skenario ‘what if’

Meskipun penjelasanku tentang film ini bisa terdengar ngejelimet dengan ideologi, kelas sosial dan sebagainya, tapi film ini sesungguhnya bermain di nada yang kocak. Alurnya gak ribet. Pun juga tidak pernah mempersimpel persoalan yang diangkat. Kayak, oke debat split bill Carl dan Yaya clearly debat dengan paham feminis – dengan klimaks Carl frustasi nyeletuk ‘bullshit feminism’ saat sambil berjalan menuju kamar, tapi film ini tidak untuk mengecam bahwa feminis mungkin salah. Ataupun ketika memperlihatkan orang-orang kaya sebagai worst people karena merasa udah kayak paling benar dan jumawa, dan terlihat kayak dengan jam tangan rolex bisa beli apa saja, film ini tidak lantas seperti menyerang dan mengolok-olok mereka. Seperti meniti pada garis balance, film ini kayak mau nampilin horrible person, tapi juga pengen liatin mereka juga gak seburuk itu. Puncaknya adalah pas di ending. Alih-alih menegaskan bahwa kalo situasi atau peran gender dan kelas sosial itu dibalik ternyata matriarki gak lebih baik daripada patriarki, film malah menjadikan itu sebagai open-ended.  Dengan tujuan supaya masing-masing penonton memikirkan kenapa kita percaya ending film ini menutup seperti yang kita sangka. Semua itu kembali ke soal perspektif gender dan sosial yang aku percaya jadi benang merah semua kejadian absurd film ini.

Semua orang berhak menikmati hasil yang mereka kerjakan. Ya beberapa orang kerja keras untuk jadi kaya. Tapi beberapa orang bisa juga kaya tanpa melakukan apa-apa, atau kaya dengan melakuin something horrible. Kenapa bisa begitu? karena kita memandang kecantikan sebagai privilege. Sebagai alat tukar untuk mendapatkan sesuatu, range from sesimpel food hingga ke kekuasaan. Karakter-karakter dalam Triangle of Sadness sering sekali bicara tentang kerjaan mereka. Apa yang telah mereka lakukan sehingga sekarang mereka pantas mendapatkan suatu kuasa. Kelas sosial ini dibenturkan oleh film dengan perspektif dari gender. Makanya film ini sebenarnya kompleks, di balik kejadian yang tampak absurd dan artifisial.

 

Jadi nanti cerita di chapter kedua adalah si Carl dan Yaya liburan di kapal yatch mewah, bersama milyuneran lain. Bedanya mereka berdua ada di sana karena job Yaya sebagai influencer. “We mostly get free stuff” jawab Carl ketika ditanya oleh juragan pupuk dari Rusia yang lagaknya udah kayak pemimpin mafia. “Kecantikan yang membayar semua” kekeh si juragan pupuk menanggapi jawaban Carl. Chapter keduanya ini kalo diliat-liat sebenarnya memang cuma transisi, ‘dalih’ film untuk membawa Carl dan Yaya ke situasi yang merupakan pembalikan dari kondisi mereka di awal. Situasi di chapter terakhir adalah kapal mereka diterjang badai dan diserang pembajak, sehingga sebagian kecil penumpang terdampar di pulau. Mereka harus survive di pulau dengan menegakkan aturan kelompok tersendiri. Aturan yang ditetapkan oleh ibu-ibu janitor kapal, yang mendeklarasikan diri sebagai kapten karena cuma dia yang bisa nyari ikan, masak, dan kebutuhan survival lainnya. Itulah plot atau alur film. Beda titik A dan titik B ‘cuma’ pembalikan posisi. What if mereka hidup di sistem matriarki. Pembelajaran karakter terjadi saat mereka menyadari (atau tepatnya pura-pura tidak menyadari) bahwa mereka saat berada di posisi B ternyata melakukan hal yang berkebalikan dengan paham yang mereka argumenkan di titik A. Yaya yang mengaku gak benar-benar looking for love, relationshipnya bareng Carl hanya berdasar atas kebutuhan yang sama, ternyata akhirnya cemburu juga. Carl yang not feeling konsep dunia glamor mereka di mana kecantikan jadi semacam alat tukar, ternyata malah menjadikan dirinya ‘jaminan’ supaya mereka dapat makanan dengan ‘sleeping with the boss‘. Sementara dialognya memang tidak benar-benar subtil , karakternya kayak parodi, dan kejadiannya komikal, ternyata film ini menjalin plot yang tersirat sempurna di balik semua. Kepentingan kenapa semua itu dibuat seperti demikian, benar-benar terasa jadinya.

Segitiga kesedihan juga bisa berarti cinta segitiga Yaya, Carl, dan si janitor dengan ending yang (sepertinya) tragis

 

Penulisan yang tajam sudah bisa terlihat dari bagaimana film mempersembahkan chapter kedua yang sebenarnya cuma transisi. Distraksi konyol, kalo boleh dibilang, dari chapter pertama yang grounded dan chapter ketiga yang kejadian pembalikannya bikin kita takjub dan tertantang di saat bersamaan. Bagian mereka di kapal itu adalah bagian saat film menempuh resiko terbesar. Mereka membuat Carl dan Yaya agak ‘tersingkir’ karena mau melandaskan perspektif orang-kaya. Menyiapkan set up untuk bahasan kelas sosial. Kapal besar yang adalah ruang tertutup, dijadikan film tempat bermanuver untuk memuat banyak celetuka konyol dan gambaran sosial itu sendiri. Di sela-sela itu, film masih menyempatkan diri untuk menyisipkan perbandingan dengan konsep Marxisme, komunis, lewat karakter kapten kapal yang tak kalah ajaib (Woody Harrelson memang kocak mainin karakter chaos macam gini). Patriarki yang gak strict, kelas atas yang merakyat (makannya burger, bukan makanan fancy kayak tamu lain). Namun bahkan karakter nyantai macam ini pun ada flawnya. Chapter di kapal would also involving muntah dan kotoran, yang diperlihatkan tanpa malu-malu. Hillarious, memang. Tapi ya, bisa terasa tasteless dan literally bikin penonton ilang selera nonton ini. Tapi di samping segala resiko itu, film berhasil memuatnya menjadi kejadian konyol yang masih inline dengan konteks, sekaligus menghantarkan plot ke tempat berikutnya.

 




Jika tahun lalu ada Don’t Look Up, maka tahun ini, film Robert Ostlund jadi ekuivalen dari film tersebut.  Komedi satirnya yang telak membuat film ini pun seperti kayak hanya menyenggol yang sudah jelas, dengan komedi yang nyaris terlampau konyol, dan dialog yang tajam tapi gak subtil. Kubilang, kedua film ini hanya terlampau dekat dan nekat. Secara naskah, mereka sesungguhnya berada pada kelas yang tak bisa dipandang sebelah mata. Film ini, punya desain naskah tersendiri. Yang merayap dengan sukses merangkai semua kejadian dan bahasannya menjadi satu event yang bermakna. Nilai plus cerita dengan setting dunia model dan lingkungan jet set ini buatku adalah walau sarkasnya telak dan tajam, tapi kalo diliat-liat, dipikir-pikir, film masih manage untuk berada di posisi yang seimbang. Konklusinya diserahkan kepada kita untuk memikirkan kenapa kita berkesimpulan endingnya seperti itu. Bagaimana kita sendiri memandang gender role dan sosial.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for TRIANGLE OF SADNESS

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pandangan kalian soal pembalikan gender role yang dilakukan film ini di chapter terakhir?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA