GUARDIANS OF THE GALAXY VOL.3 Review

 

“All of us are imperfect human beings living in an imperfect world”

 

 

Sekali lagi kelompok misfit penjaga galaksi ini dikapteni oleh James Gunn. Tapi kali ini adalah terakhir kalinya Star-Lord, Nebula, Drax, Mantis, Rocket, Groot, Gamora, dan kawan-kawan bertualang bersama. Ini juga terakhir kalinya bagi pak sutradara berkiprah di jagat sinematik Marvel. Maka pantas saja beliau memastikan semuanya terasa spesial. Guardians of the Galaxy Volume Tiga ini ia bentuk sebagai salam perpisahan yang epik. Yang bukan para karakternya saja yang mendapat akhir perjalanan yang melingker dan benar-benar pengembangan keren dari awal mula mereka. Kita yang nonton pun merasa mendapatkan konklusi memuaskan dari petualangan panjang yang seru, penuh musik dan penuh warna. Film superhero Marvel yang satu ini buatku benar-benar terasa seperti akhir dari sebuah era!

Jalan cerita film ini juga sama seperti beberapa film Marvel belakangan ini. Contained di dunia sendiri, not really meddling around dengan multiverse yang membingungkan, dan terasa seperti episode kartun minggu pagi. Akibat serangan mendadak Adam Warlock ke  Knowhere – kota tempat para Guardians tinggal – Rocket terluka parah. Ini menyadarkan Peter Quill yang masih depresi kehilangan begitu banyak orang yang ia cintai. Gak mau kehilangan Rocket yang ia anggap sebagai bestie, Peter mengajak para Guardians yang lain untuk menginfiltrasi lab tempat Rocket ‘diciptakan’. Tapi aksi penyelamatan oleh Star-Lord dan kawan-kawan itu ternyata adalah jebakan. Karena dalang di balik penyerangan kota mereka adalah si High Evolutionary, orang yang merasa dirinya Tuhan, orang yang ingin menciptakan spesies dan dunia yang sempurna. Orang kejam yang bereksperimen dengan berbagai macam hewan, dan tanpa kasihan membunuhi ciptaannya yang gagal. Rocket actually adalah ciptaannya yang sukses, dan sekarang dia bermaksud untuk mengambil kembali otak cerdas si rakun!

Ketika Guardians of the Galaxy jadi pahlawan super PETA!

 

Cerita petualangan superhero bermuatan seperti yang dipunya film ini seolah ditakdirkan untuk sukses. Gampang disukai. Gimana tidak. Guardians of the Galaxy punya karakter yang begitu colorful sifatnya. Karakter yang sudah matang dimasak dari at least dua film sebelumnya. Interaksi mereka di sini jadi semakin natural. Ketika mereka bertengkar, saling menggoda, mereka terasa seperti keluarga beneran. Relate seperti interaksi antara orang-orang yang sudah sangat akrab. Duo Drax dan Mantis paling banyak mencuri tawa; Batista semakin jago ngelock-on timing komedinya, sementara Pom Klementieff pun semakin ahli membawakan karakternya yang bermata besar jadi adorable kayak cewek anime. Tapi tone ringan dan interaksi segar gak terbatas milik mereka. Volume Tiga actually punya banyak karakter, dan Gunn gak ragu untuk menggali sisi humanis mereka semua. Karen Gillan juga akan membuka sisi-baru karakternya karena di film ini journey Nebula jadi salah satu yang circled-backnya berakhir paling manis. Nebula akan berinteraksi dengan lebih banyak orang. Dan bicara tentang ‘orang’, Volume Tiga ini melakukan yang dilakukan oleh Taika Waititi kepada karakter utama dua film Thor terakhir, tapi juga kepada karakter anak buah musuh dan ‘NPC’. Menjadikan mereka bertingkah kayak orang normal di keseharian kita. Mereka semua kayak punya cerita dan kehidupan di luar momen mereka nampil di layar. Bahkan Adam Warlocknya si  Will Poulter yang mestinya jadi sub-boss dengan kekuatan mengancam aja, ternyata sayang binatang. Hal ini membuat vibe film ini terasa lebih dekat dan semakin kocak lagi.

Tentunya yang terpenting untuk film ketiga adalah fresh. Keunikan. Atau paling enggak kebaruan yang dimunculkan dari elemen yang familiar. Aspek ini terwujud lewat interaksi antara Gamora dengan para Guardians, khususnya dengan Peter Quill. Gamora yang bareng-bareng mereka, yang pacar si Peter itu, telah tewas, dan Gamora yang diperankan oleh Zoe Saldana di sini merupakan Gamora dari masa lalu yang belum kenal mereka. Gamora yang esentially pribadi yang berbeda. Sehingga dinamika karakter mereka pun jadi berbeda. Peter yang masih belum move on, berusaha terus mendekati Gamora, while cewek-hijau yang kini anggota Ravager itu terus menolak. Chris Pratt on mission kentara lebih menyenangkan untuk disaksikan ketimbang Pratt yang mabuk-mabukan di awal cerita. Development kecil yang dimiliki oleh Gamora dan Peter terkait relasi mereka di sini, jadi salah satu hati yang dipunya oleh cerita. Yang aku suka adalah film ini berani menegaskan diri sebagai ‘salam perpisahan’ yang membuat relasi dua orang ini terasa semakin dewasa. Karena ini basically cerita tentang dua lover yang jadi orang asing – some of us mungkin bisa relate dengan kisah cinta mereka. Film ini bisa membantu mencapai closure yang matang dari gimana Gamora dan Peter berakhir nantinya.

Arahan Gunn pun terasa kian matang. Volume Tiga terasa semakin enerjik lewat aksi cepat, di dunia yang imajinatif. Desain estetik lab biologisnya unik. Pun punya kontras yang chilling ketika film mulai menyentuh elemen cerita yang lebih dark. Yang paling kentara enerjiknya itu adalah gimana lagu-lagu rock populer yang sudah jadi ciri khas Guardians of the Galaxy dimasukkan sebagai suara-suara diegetik (suara yang beneran didengar oleh karakter di dalam cerita). Musik-musik itu selain bikin kita semakin seru menonton aksi yang dihadirkan, juga menambah layer adegan karena keberadaannya berhubungan langsung dengan pilihan karakter. Misalnya, di opening, Rocket berjalan keliling kota sambil muterin lagu Creep. Lagu yang cocok mewakili mood si Rocket yang lagi mengenang masa-masa dia pertama kali punya kesadaran (setelah jadi percobaan di lab High Evolutionary), yang turns out setelah kita sampai di bagian akhir film dan telah menangkap bahwa film ini adalah tentang orang-orang tak sempurna yang membuat dunia jadi terasa sempurna ternyata lagu itu juga mewakili tema dan plot keseluruhan film.

Bertahun-tahun High Evolutionary berusaha menciptakan spesies sempurna. Membangun, dan menghancurkan. Begitu terus. Dia tidak pernah mendapat kesempurnaan itu. Karena memang tidak ada yang sempurna. Hidup penuh oleh hal-hal yang tidak sempurna, oleh orang-orang yang tak sempurna. Justru dari situlah datangnya harmoni yang menjadikan hidup berharga. Guardians of the Galaxy pada akhirnya merayakan ketidaksempurnaan mereka, ketidaksempurnaan keluarga mereka. Salam perpisahan Peter Quill sejatinya adalah salamnya kembali pulang ke rumah, ke keluarganya yang tidak sempurna.

 

Ada banyak Shiragiku!!!

 

Selain sebagai salam perpisahan, film ini tepatnya bertindak sebagai transisi. Era James Gunn dengan Guardians Galaxy-nya memang telah berakhir, tapi seperti yang ditampilkan pada mid-credit scene, akan ada Guardians Galaxy generasi baru. Film Volume Tiga ini dengan baik mengeset perpindahan itu dengan membuat kita lebih dekat mengenal sosok yang berpengaruh nantinya, yakni si Rocket. Masa lalu Rocket sebagai makhluk ciptaan (dari rakun beneran) dieksplor habis-habisan di sini. Cerita akan bolak-balik antara misi penyelamatan oleh Star-Lord dkk dengan flashback masa lalu Rocket. Bagian flashback yang disebar di sana-sini tersebut memang penting dan tak bisa dipisahkan dari film, tapi ada kalanya flashback ini jadi problem bagi keseluruhan penceritaan. Yang jelas, tone jadi aneh. Volume Tiga really juggling dari ekstrim ke ekstrim. Dari ekstrim fun, ke esktrim dark. Gunn toh berusaha menjaga ritme dengan editing dan timing yang precise membangun feeling. Hanya saja sama seperti lirik lagu; gak semua yang ritmenya sama itu make sense. Kayak soal Rocket yang berkata dia gak akan membunuh High Evolutionary karena dia adalah Guardians of the Galaxy, perkataan yang cool kalo saja pada beberapa adegan sebelumnya kita enggak melihat Star-Lord literally membunuh si Mateo Superstore saat mereka terjun bebas kabur dari pesawat. Flashback-flashback itu seperti jadi mengganggu bangunan film.  Kadang flashback itu muncul dengan menyalahi aturan yang sudah disetup oleh film sendiri. Flashback yang merupakan kenangan dari Rocket itu tertangkap basah muncul tanpa ada Rocket – jadi setelah adegan dari karakter lain, tau-tau kita dibawa ke ingatan Rocket. Menurutku film ini mestinya bisa ngerem sedikit, untuk merapikan hal-hal yang seperti ini.

Bagian flashback itu yang bikin penonton banyak terharu. Ngelihat Rocket ternyata dulu punya teman-teman sesama makhluk buatan, dan tentu saja kita tahu ke arah mana nasib teman-teman Rocket itu. Bagus sebenarnya gimana dengan ini berarti ada film superhero yang gak melulu bicara tentang menyelamatkan manusia. Bahwa hewan juga adalah makhluk hidup, dan mereka juga sama pantasnya untuk diselamatkan dengan manusia. Masalahnya buatku adalah penjahat yang hanya cartoonish. High Evolutionary hanya seperti penjahat kartun yang kejam dan jahat. Gampang memancing simpati dan heat penonton dengan nunjukin orang yang bertindak kejam (and really loud) kepada hewan atau makhluk lemah. Menurutku High Evolutionary mestinya bisa diperdalam sedikit. Karena bahkan motivasinya yang pengen nyiptain spesies sempurna untuk dunia sempurnanya itu mirip-mirip sama motivasi Thanos – yang sudah terbukti bisa punya penggalian dan dimensi lebih banyak. Chukwudi Iwuji’s High Evolutionary cuma kejam, melotot, dan berteriak-teriak – masih mending kalo masih terasa kayak penjahat kartun, teriak ngamuk sekali lagi bisa-bisa ngeliat dia jadi berasa sama aja kayak ngeliat mertua galak di sinetron istri tersiksa hahaha

 




Nice send off buat era superhero misfit yang dibesarkan oleh James Gunn. Semua karakter utama mendapat development dan akhir journey yang memuaskan. Sekaligus bikin penasaran untuk film selanjutnya. Energi film ini benar-benar tumpah ruah, membuatnya jadi tontonan super yang menghibur, seru, dan tertawa-tawa. Film-film Guardians Galaxy selalu punya nilai lebih bagi penggemar rock, dan begitu juga dengan film ini. Tapi sama seperti yang dibicarakan naskah, bagiku juga tidak ada film yang sempurna. Penceritaan yang melibatkan bolak-balik antara petualangan dengan eksposisi backstory mestinya bisa dilakukan dengan lebih baik lagi. Seenggaknya, bisa dilakukan dengan lebih konsisten pada rulenya sendiri. Secara objektif, flashbacknya masih kurang rapi. Tapi di samping itu, I have a blast watching this. Kayaknya aku bakal lanjut nonton film action barunya si kapten Amerika bareng Ana de Armas di Apple TV+ buat cooling down. Kalian bisa juga dengan subscribe di link ini yaa https://apple.co/3W0emlN

Get it on Apple TV

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for GUARDIANS OF THE GALAXY VOL. 3

 

 

 




That’s all we have for now.

Orang berbuat kejam/kasar kepada hewan juga kerap terjadi di sekitar. Menurut kalian kenapa sih orang-orang bisa setega itu?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



JUNE & KOPI Review

“We don’t choose our pets, they choose us”
 
 

 
 
Hewan peliharaan bukanlah mainan. Mereka punya perasaan, punya kebutuhan. Mereka bisa merasakan kasih sayang, dan bahkan mampu memberikan rasa cinta tersebut balik ke pemiliknya. Hewan peliharaan memang bisa punya kedekatan emosional dengan manusia yang mengasuh mereka. Maka tak salah juga banyak orang yang menganggap kucing atau anjing atau bahkan ular piaraan sebagai bagian dari anggota keluarga. Aku sendiri melihara dua ekor kucing sejak mereka bayi, dan memang seringkali ngurusin mereka itu kok seakan seperti ngurusin anak beneran, karena kedua kucing itu bisa ngambek juga kalo cuma dikasih makan tanpa diajak bermain atau diperhatikan. Begitulah, memelihara hewan dapat memberikan rasa fulfillment tersendiri. Namun lucunya, ketika kita merasa kitalah yang memilih hewan-hewan tersebut untuk diberikan kasih sayang, boleh jadi keadaan sebenarnya tidak persis seperti begitu. Seperti yang ditunjukkan oleh film panjang kedua dari Noviandra Santosa ini. Bahwa justru sesungguhnya hewan tersebutlah yang telah memilih kita untuk menjadi keluarga mereka!
June & Kopi really put us into that perspective. Karena tokoh utama film ini ternyata memang bukan karakter manusianya. Melainkan seekor anjing putih yang hidup di jalanan. Ia bertemu dengan perempuan bernama Aya (Acha Septriasa siap untuk berikan percikan emosional buat film ini) saat sedang diuber oleh anak-anak. Kebaikan hati Aya yang memberikan perlindungan dan makanan, dan bahkan nama – Aya memanggilnya June – membuat si anjing putih jadi ‘memilihnya’ sebagai keluarga. June ngikutin Aya pulang dan akhirnya dijadikan peliharaan. Tapi ternyata suami Aya tidak begitu suka dengan June karena mereka sudah punya peliharaan, seekor anjing hitam bernama Kopi. Maka June berusaha untuk benar-benar diterima di keluarga tersebut. Dia berusaha membahagiakan Aya, berusaha untuk bonding dengan Ale sang suami. Dan ketika pasangan tersebut dikaruniai anak, June berusaha sekuat tenaga untuk mengenyahkan traumanya terhadap anak-anak supaya bisa menjadi teman terbaik bagi anak Aya.

Anjing yang alergi anak manusia

 
Kamera pun akan sering untuk benar-benar literally meletakkan kita ke dalam sudut pandang June. Dalam adegan opening misalnya, kamera diletakkan seolah diikat pada kepala June sehingga kita melihat langsung apa yang dilihat oleh karakter ini sepanjang dia berkeliling gang, melihat aktivitas warga. Treatment dalam opening ini efektif sekali dalam membangun pemahaman kita, dan terutama untuk mengeset tone film secara keseluruhan. June & Kopi adalah drama tentang hubungan anjing dengan manusia yang ringan dan menghibur, dengan sudut pandang yang unik. Menempatkan June di kursi depan, dan konsisten membangun karakter ini.
Aku pernah berusaha memposisikan kucingku di depan laptop untuk konten di Youtube, sehingga aku punya sedikit gambaran soal betapa sulitnya ngarahin hewan untuk melakukan apa yang kita mau di depan kamera. In fact, mungkin itu juga sebabnya kenapa terakhir kali ada film Indonesia tentang anjing dan manusia itu adalah di tahun 1974 (Boni & Nancy garapan John Tjasmadi). Perlu great effort dan ngambil resiko, sehingga gak banyak produser sini yang berani. I mean, film barat aja sekarang lebih memilih pakai CGI kok dibanding pake aktor hewan beneran. Tapi Noviandra Santosa dalam June & Kopi membuat itu semua tampak mudah. Si anjing June tampak begitu luwes dan natural di depan kamera. Aktor berkaki empat yang ia arahkan juga memang sepertinya sudah pinter dan terlatih. Kita melihat June bisa berhitung lewat gonggongan, atau Kopi yang mampu membuka dan menutup pintu dengan kaki depannya. Sang sutradara memastikan kepandaian para aktornya bisa masuk ke dalam cerita, tertangkap oleh kamera dengan adorable, dan dia melakukan ini dengan mengerahkan segala yang bisa. Termasuk editing dan timing yang cukup precise.
Kepandaian anjing itu juga dimasukkan ke dalam bobot drama. This is my most favorite part of this movie. Jadi, Kopi dan suami Aya sudah demikian akrab sehingga mereka punya ritual salaman tersendiri. Salaman yang khusus untuk mereka berdua. Film ini memperlihatkan itu sebagai bagian dari motivasi/goal untuk June. Anjing putih itu ingin juga salaman dengan suami Aya. Sepanjang film momen itu dibangun; ketika Aya sekeluarga mau pergi, misalnya, kita melihat June mengangat kaki depannya sepintas ke arah suami Aya tapi gak dinotice. Momen kayak gitu memperkuat hati film ini. Membuat kita peduli kepada June. Membangun perhatian dan emosi kita ke arah sana, kita semua jadi ingin melihat momen berbahagia ketika June salaman dan akhirnya beneran diterima oleh sang kepala keluarga. Film ini memainkan momen-momen itu dengan sangat baik. Aku gak akan ngespoil ujungnya gimana, but just fyi momen tersebut dibungkus dengan adegan yang menarik-narik perasaan haru kita.

Hewan punya feelings dan mampu merasakan emosi seperti cinta, ataupun sedih, seperti yang ditunjukkan oleh film ini, bukanlah fiksi. Hewan adalah makhluk hidup. Maka kita tidak dibenarkan untuk memelihara hewan hanya untuk bersenang-senang, atau dipamerkan di sosial media. Kita dituntut untuk punya tanggung jawab dalam memelihara mereka. Menurutku film ini hadir tepat waktu sekali, saat belakangan viral orang-orang yang membeli hewan-hewan eksotik seperti monyet hanya untuk konten video. Atau lebih parah lagi, berita soal kucing yang dikuliti atau untuk dijadikan makanan. Film ini bisa sebagai pengingat buat kita. Bahwa hewan, sekalipun bisa dipelihara karena lucu dan jinak, bukan berarti mereka sama dengan mainan untuk lucu-lucuan. Apalagi untuk dimakan. Hewan makhluk hidup yang sama seperti kita. Butuh cinta. Butuh keluarga.

 
Karakter manusia seperti Aya awalnya juga cukup mendapat porsi cerita. Film sempat membahas persoalan mereka sebagai keluarga. Kita diperlihatkan informasi bahwa pasangan ini adalah pasangan yang sempat kehilangan calon anak mereka. Kita juga diperlihatkan bagaimana karir profesional Aya sebagai penulis komik mendapat hantaman keras saat publisher memecatnya lewat telefon. Ini semua membuat kita jadi punya ekspektasi bahwa film ini punya narasi atau cerita yang kompleks, dengan banyak lapisan menyertai premis hubungan manusia dengan ‘sahabat terbaik manusia’. Namun sayangnya, film ini justru jadi mengerucut. Seperti segitiga terbalik. Semakin ke belakang, bahasan dan cerita film ini malah semakin mendangkal. Dunia cerita yang mendapat perluasan dengan penambahan karakter (putri Aya), tidak mendapat penggalian yang konsisten. Pembahasannya hanya skim on the surface. Masalah Aya dan kerjaannya tidak pernah dibahas lagi – solusinya datang begitu saja, cukup dengan Aya membuat komik terinspirasi dari June dan Kopi. Persoalan yang konsisten dibahas adalah ketidakakraban June dengan suami Aya, yang ini pun dilakukan dengan sangat monoton. Percakapan sehari-hari Aya dan sang suami selalu tidak lepas soal “kamu kok belum bisa akrab dengan June”. Hal tersebut diperparah oleh karakter si suami yang jadi annoying berkat obrolan dan masalah yang itu-itu melulu.

Kalo aku sih sepertinya tidak dianggap keluarga oleh kucingku, cuma dianggap babu saja.

 
 
Ketika anak hadir dalam keluarga mereka, kupikir itu bakal jadi tantangan berat buat June. Setidaknya film akan memperlihatkan proses June dalam menyingkapi hal tersebut. Tapi ternyata tidak. Dengan gampang saja dia bonding dengan si anak. Si anak itu sendiri juga, dia disebutkan oleh dokter mengidap asma. Dan kupikir lagi tadinya ini akan jadi rintangan untuk persahabatan June dengannya. Tapi enggak. Film enggak menjadikan asma itu apa-apa untuk narasi besar film ini. Malah dokter dalam film ini nyebut June gak ada hubungannya sama sekali dengan asma si anak. Ini membuat semua informasi sebelumnya itu jadi pointless banget.
Peristiwa ‘kupikir-tapi-ternyata-tidak-begitu’ ketiga datang dari melihat judul film ini. Kupikir film benar-benar akan menitikberatkan pada June dan Kopi. You know, karena judulnya June-and-Kopi. Tapi ternyata Kopi is barely do anything in the movie. Kerjaannya cuma baring-baring di lantai. Peran Kopi hanya sebagai plot-device, untuk membuka pintu saat June dikurung. Atau hanya untuk komedi aneh bersama karakter teman Aya yang somehow dibikin kayak ngerti bahasa anjing saat adegan dia ‘ngobrol’ sama Kopi. Lucu? boleh jadi. Make sense? no dan ini gak nambah apa-apa, pointless juga buat cerita. Film ini kayak punya banyak build-up dan dilupakan begitu saja. Seperti soal Kopi; aku gak tahu ini intentional atau tidak, tapi cara film ini memperlihatkan kegiatan si Kopi – yang seringkali dikontraskan dengan June – seolah film ini sedang membangun ke sesuatu. Kopi dikesankan seperti dikucilkan, anak Aya tak sekalipun ngajak dia main. Membuatku mengantisipasi bakal ada sesuatu yang penting dari Kopi. Dan ternyata memang ada, tapi gak klop dengan cara film membangunnya. Juga soal perangkap-perangkap di hutan itu; film memperlihatkan ada banyak sehingga tanpa sadar mereka membangkitkan pertanyaan lain yang gak ada hubungannya dengan niat film memperlihatkan jebakan itu sedari awal. Perangkap-perangkap itu malah membangun antisipasi kita kepada apa yang ada di hutan sehingga hutan perlu dipasangi perangkap sebanyak itu. Film ini menjelang akhir itu kayak membangun sesuatu yang ‘wah’, tapi ternyata sesuatu itu cuma difungsikan untuk hal lain yang terasa lebih sepele dibanding ekspektasi dari build-upnya.
Memang, yang film ini pilih untuk dikembangkan justru adalah hal-hal yang meminta kita untuk menyimpan logika di dalam laci. Tentu saja yang paling mengganggu buatku adalah soal keluarga Aya yang pergi liburan ke gunung – di saat anak mereka baru sembuh dari asma – dan meninggalkan kedua anjing di rumah, untuk kemudian kedua anjing ini nyusul ke vila di gunung. Kenapa? Kenapa membuat seperti ini, kenapa membuat June menempuh perjalanan melawan logika? Kenapa harus ke gunung? Padahal jika tujuannya untuk memisahkan June dan membuat dia jadi tampak seperti hero dan menempuh perjalanan/rintangan yang sulit, kenapa tidak membuat yang simpel dan gak jauh-jauh amat seperti simply June dikurung karena diduga menyebabkan asma dan ngikutin mereka liburan ke taman. At least, semua masih masuk akal dibanding membayangkan dua ekor anjing ke gunung menemukan keluarga mereka. Nah, yang seperti ini yang membuatku percaya naskah film ini masih belum matang-matang amat sehingga masih banyak plot poin yang mestinya bisa digarap dengan lebih baik lagi.
 
 
Jika kalian ingin melihat anjing beraksi di depan kamera, atau jika kalian penggemar anjing, film ini jelas bisa jadi hiburan yang bikin rileks. Film ini punya drama dan adegan-adegan yang bakal bikin kita merindukan hewan peliharaan di rumah. Keberanian film ini tampil sebagai cerita tentang persahabatan manusia dengan peliharaan saja sudah cukup pantas untuk kita apresiasi, karena memang benar-benar jarang film seperti ini. Namun jika ingin melihatnya dengan memakai lebih banyak logika dan secara teknikal, film ini tentu saja bukan film yang sempurna. Naskahnya masih banyak yang perlu dibenahi, penggaliannya masih tidak berimbang. Ini masih seperti film keluarga/anak-anak yang dimainkan dengan terlalu ringan ketimbang potensi sebenarnya yang dimiliki oleh materi.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for JUNE & KOPI.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah saat ini kalian merasa membutuhkan hewan peliharaan? Kenapa iya atau kenapa tidak?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

JOHN WICK: CHAPTER 3 – PARABELLUM Review

“A man’s life is about keeping rules, breaking them, and making new ones.”

 

 

Dunia profesional John Wick adalah dunia ‘bawah tanah’ yang penuh darah. Tapi bukan lantas berarti dunia mereka amburadul. Malah mungkin lebih teratur daripada dunia kita. Karena mereka punya kode etik sendiri. Dan mereka-mereka yang terdiri dari pembunuh bayaran, mafia, bandar narkoba tersebut benar-benar memegang teguh peraturan tersebut. “Karena tanpa aturan, kita adalah binatang” begitu kata salah satu petinggi High Table yang menjadi semacam lingkaran pemimpin mereka. Tapi John Wick melanggar peraturan penting di tempat paling sakral yang mereka miliki. Zona aman; sebuah hotel tempat para anggota dunia hitam bisa bersantai, mungkin sambil menyembuhkan diri, tidak ada yang boleh menjalanakan ‘bisnis’ mereka dalam bangunan hotel tersebut. Dan John Wick telah menumpahkan darah di sana.

Cerita film ini dibuka dengan John Wick, bersama anjing kesayangannya, berlarian di sepanjang kota berusaha untuk sampai ke suatu tempat sebelum waktu tenggat satu jam diberikan kepadanya habis. Wick dicabut dari keanggotaan, sekarang kepalanya ditempeli label harga empat-belas juta dolar sesegera mungkin saat satu jam tersebut habis. Wick akan diburu oleh anggota geng hitam dari seluruh sudut gang, seantero dunia. Bahkan bagi penonton yang belum pernah menonton dua film sebelumnya, Parabellum ini akan seketika menguarkan intensitas yang luar biasa. Stake dengan cepat dan efektif terlandaskan. Enggak banyak cing-cong, kita semua langsung tahu ini urusan hidup dan mati. Bahaya mengintai Wick di mana-mana. Kita dapat merasakan betapa besarnya dunia yang menjadi panggung cerita. Dengan John Wick di tengahnya, sendirian di tengah entah berapa banyaknya jumlah musuh. Kita melihat mekanisme komunikasi organisasi mereka bekerja. Kita diperlihatkan seberapa banyak dan besarnya keinginan orang-orang untuk menangkap John Wick. Hal-hal kecil seperti uang bounty yang dinaikkan, ataupun Wick yang terus melirik jam tangan, atau ketika dia harus merakit pistol yang ia temukan dengan cepat sebelum waktu habis, adalah cara film bermain dengan emosi kita. Sehingga kita merasakan desakan. Urgensi. John Wick bahkan diserang sebelum satu jam itu habis! Set up dan build up film ini diceritakan dengan begitu efektif sehingga yang baru sekali ini nonton film John Wick sekalipun akan dapat merasakan kepedulian dan simpati terhadap nobody yang sedang mereka saksikan.

Well, “That f-king nobody… is John Wick!”

 

Benar, kita datang membeli tiket film ini demi menyaksikan sekuen-sekuen aksi yang super-gilak (we’ll get to that later). Tetapi pembangunan dunianya inilah yang membuat kita betah untuk menyaksikan lagi, dan lagi, dan lagi. Sedari film originalnya, John Wick sudah sukses dalam membangun dunia. Lewat film-film John Wick, sutradara Chad Stahelski berhasil membuktikan bahwa film aksi yang brutal bisa kok ditampilkan elegan. Dia juga membangun ‘panggung’ untuk membuat kita penasaran sekaligus semakin tersedot ke dalam dunia cerita. Mengenai backstory John Wick saja, meskipun saat itu belum visual, tapi cerita yang mereka ceritakan dengan setengah-setengah dan bertahap itu membuat kita gak pernah berhenti menggelinjang. John Wick adalah mantan assassin. John Wick adalah seorang baba yaga (boogeyman) yang membunuh tiga orang dengan sebatang pensil. Kita tidak diperlihatkan bagaimana tepatnya, namun dari aksi yang ia lakukan kita tahu rumor tersebut benar seratus persen. Film tidak berhenti sampai di sana untuk mengeksplorasi karakter John Wick. Di film kedua kita beneran dikasih lihat John Wick menggunakan pensil untuk membunuh. Dan di film sekarang, mitos John Wick tetap terus dikembangkan; di film ini kita melihat John Wick membunuh orang dengan buku!

Peraturan, Hotel, dan organisasi High Table juga seperti demikian; dikembangkan secara bertahap. Pada film pertama – selagi kita menonton Wick yang udah keluar dari sana terpaksa harus masuk sebentar demi dendamnya – seolah hanya melihat pekarangan depan dari keseluruhan dunia hitam John Wick. Film kedua kita diperlihatkan dan diberitahu lebih banyak tentang istilah-istilah mereka, gimana dunia mereka bekerja, tapi itu seperti baru masuk ke ruang depan. Bahkan pada film ketiga ini pun kita belum beneran masuk ke ruang tengah; karena film ini dikembangkan dengan penuh gaya dan rancangan yang benar-benar memperhatikan emosi kita. Film membuat kita terus tertarik. Petualangan John Wick bermula oleh kejadian yang lumayan menggelikan, aku sendiri sempat meremehkan film pertamanya yang beranjak dari John Wick ngamuk lantaran mobilnya dicuri dan anak anjingnya dibunuh. Tapi elemen itu terus dengan bangga dikembangkan, diulang-ulang, menjadi bagian dari legenda John Wick. Karakter dan dunia dalam semesta film ini tak pelak akan menjadi seperti Keanu Reeves; immortal!

Sekilas memang terlihat seperti bergerak karena duit. Namun film sebenarnya ingin berbicara sesuatu yang lebih bernilai daripada lembaran uang. Para assassin, orang-orang yang jadi anggota High Table, mereka bergerak karena peraturan. Dengan subtil film menunjukkan kepada kita bahwa kewajiban untuk memenuhi peraturan itulah, ketakutan akan hukuman ketika melanggar hukum itulah, yang menjadi motor penggerak mereka. Dan kontrak di antara mereka-mereka itu bukanlah hitam di atas putih. Melainkan merah, on a cold hard medal.  Berakar pada balas jasa, kerjasama, sifat respek antara satu sama lain. Dunia di mana aksi dan konsekuensi benar-benar ditegakkan, tanpa pandang bulu. Strangely, dalam keadaan terbaiknya, film ini mampu membuat kita menghormati dunia hitam yang keji.

 

Stahelski sendiri memang sangat menghargai dunia action. Sebagai mantan stuntman, tentu dia paham betul bagaimana mengkoreografikan adegan-adegan berkelahi. Dan pada film ini, dia bekerja dengan lebih banyak lagi orang-orang yang sama-sama mencintai genre ini. Semua adegan aksinya benar-benar luar biasa. Dalam setiap film John Wick, selalu ada hal baru yang seketika menjadi memorable. Pada film ini, buatku adalah sekuen dengan kuda. Juga dengan anjing-anjing. Salah satu elemen favoritku yang terus dipertahankan oleh film adalah peluru yang benar-benar sedikit, yang beneran bisa habis. Aku suka melihat John Wick harus mereload senjata di tengah-tengah perkelahian, karena menambah sensasi keaslian. Serta ketegangan. Film ini menawarkan begitu banyak adegan-adegan mendebarkan. Yang direkam dengan wide shot. Enggak terlalu banyak cut. Bak-bik-buknya begitu in-the-face. Ada satu sekuen dengan sepeda motor yang membuatku teringat pada adegan di Final Fantasy VII: Advent Children (2005), bedanya adalah film ini dilakukan oleh orang beneran! Keanus Reeves, salut banget, melakukan hampir semua adegan tanpa aktor pengganti. Aku gak pernah bosen melihat John Wick menembak kepala orang-orang. Film membuat kita melihat perbandingan antara balet dengan berantem, yang mana menurutku sangat keren. Bicara tentang keren; aku yakin kalian semua merinding ketika Yayan Ruhian dan Cecep Arif Rahman yang menyapa Wick dengan bahasa Indonesia. Peran kedua aktor tanah air ini dalam cerita memang enggak gede, tapi mereka diberikan momen tersendiri. It was so cool melihat film memberikan waktu kepada bela diri dan aktor Indonesia untuk bersinar.

Film ini punya set piece yang amazing. Warna-warnanya terlihat vibrant. Cahaya neon, lampu-lampu malam, di dalam air, dan pada satu poin cerita, kita juga dibawa ke panasnya gurun. Meskipun penggunaan ruangan kaca dalam film ini seperti pengulangan dari film yang kedua, secara aksi juga agak sedikit terlalu berkesan fantasi, tapi di sini filosofinya sedikit berbeda. Kali ini adalah soal John Wick yang melihat persamaan dirinya dengan para musuh, yang berkaitan dengan pembelajaran bahwa dia gak bisa lari dari siapa dirinya yang sebenarnya. Di balik semua pembangunan dunia dan sekuen-sekuen aksi yang penuh gaya, film tetap berhasil menceritakan satu cerita yang utuh. Ada definitive end. Rahasia dan bigger picture mungkin masih belum terlihat, kita masih belum melihat semua anggota High End, tapi pada chapter ini karakter John Wick sudah menyelesaikan perjalanannya. Dia melanggar aturan, dan membuat yang baru demi dirinya sendiri. Dari yang tadinya pengen kabur, dia akhirnya menyadari dia tidak bisa pensiun dari siapa dirinya.

“Marhaban ya, John Wick!”

 

Kita bisa memahami bahwa Wick pada akhirnya harus dibuat kembali ke Hotel supaya arcnya dalam cerita ini bisa melingkar, Hotel haruslah menjadi medan perang terakhir, tapi kupikir harusnya ada cara yang lebih baik untuk menceritakan hal tersebut. Setelah midpoint yang di gurun itu, narasi Parabellum terasa agak ruwet. Film memilih untuk menampilan satu, katakanlah twist, yang membuat kita jadi ngangkat alis “jadi si dia baik atau tidak?” Menurutku impact dari twist tersebut justru jadi gak langsung mengena. Akan lebih on-point kalo Wick dibuat menerobos Hotel yang sudah menanti kehadirannya, dan kemudian dia sampai di atas, dan mereka berunding tanpa perlu ada elemen deceiving pada narasi. Keputusan film untuk bercerita seperti yang mereka lakukan membuatku jadi merasa seharusnya Parabellum adalah film terakhir, tapi kemudian mereka mengganti rencana dan memanjangkan cerita menjadi seperti ini.

 




Jika mau dibandingkan, film ini lebih terasa secara emosional daripada film keduanya. Stake dan rintangannya lebih kuat. Tapi tetep masih kurang nendang dibandingkan film pertamanya, terutama taraf kegenuine-annya. Film ketiga ini – tampil dengan nyaris non-stop intens dan begitu banyak sekuen aksi yang memorable – lebih terasa seperti fantasi, di mana kita menontonnya demi excitement saja. I mean, bahkan ada adegan Wick dan musuhnya pake jurus ilang-ilangan kayak ninja. Fun, tentu saja, tapi bobotnya terasa sedikit berkurang. Pembangunan dunianya masih mampu menimbulkan rasa penasaran, tetapi ceritanya terasa seperti sudah mentok, dan film ini memanjang-manjangkan. Buat penonton yang baru pertama kali merasai, though, petualangan John Wick akan terasa seperti baru akan dimulai.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for JOHN WICK: CHAPTER 3 – PARABELLUM.

 

 




That’s all we have for now.
Dengan organisasi yang mengharuskan anggotanya untuk patuh peraturan biar gak kayak binatang, dan film ini semacam menjadikan anjing sebagai maskotnya, apakah ada perbandingan antara anjing dan peraturan yang bisa kalian tarik? Apa menurut kalian anjing dalam film ini menyimbolkan sesuatu?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.