“The night allows the stars to shine and we come alive.”
Si Cantik dan Si Buruk Rupa bukan hanya milik Belle dan Beast di tahun 2017, sebab Guillermo del Toro sudah menulis satu lagi dongeng cantik yang mempertemukan manusia dengan makhluk bukan-manusia yang bekerja dengan begitu menakjubkan dalam berbagai tingkatan. The Shape of Water adalah kisah cinta yang sangat dewasa, sebuah fantasi yang demikian erotis sehingga mungkin terlihat menakutkan buat beberapa mata, yang dilatarbelakangi oleh suspens politik Perang Dingin.
Bahkan kalimat tersebut belumlah cukup untuk mendeskripsikan film ini, sebab dia juga adalah tentang kehidupan yang tidak terpenuhi; tentang perjuangan manusia untuk mengisi kekosongan di hati mereka.
Sejauh ini, satu-satunya film yang sukses membuatku menitikkan air mata adalah Pan’s Labyrinth (2006). Aku begitu tergerak oleh penceritaan yang begitu menghanyutkan sehingga terasa benar-benar magis. Del Toro adalah master dalam menceritakan dongeng seperti ini, dia mampu menyatukan berbagai elemen – membuat ceritanya punya lapisan yang mekar membuka dengan cara yang teramat menawan. Dan aku benar-benar gembira, setelah ngerjain proyek-proyek yang sepertinya adalah pekerjaan pesenan, del Toro kembali ke akarnya tersebut. The Shape of Water terasa bersandingan dengan Pan’s Labyrinth dan The Devil’s Backbone (2001). Tentu saja, film ini dilengkapi dengan efek visual yang sama ajaibnya. Meletakkan hal-hal di luar normal ke dalam lingkungan yang ordinary adalah keahlian del Toro. Kalo ada istilah pekerja mimpi, maka orang ini pastilah personifikasi yang paling tepat mewakili istilah tersebut. Efek prostetik dan kostum monster amphibi itu membuat si tokoh seolah melompat ke luar layar.
Namun, dari semua aspek-aspek mencuat yang sudah jadi ciri khasnya, The Shape of Water tampil unik dan kuat berkat tema yang ia koarkan. Tema yang sejatinya adalah suara del Toro yang berpesan kepada para pembuat film – kepada setiap orang yang merasa out-of-place, yang merasa apa yang mereka lakukan belum cukup untuk mengisi hidup sesuai dengan keinginannya.
Kita diberitahu oleh narator bahwa tokoh utama kita adalah seorang “Putri tanpa Suara”. Elisa (Sally Hawkins bakal jadi langganan nominasi penghargaan film oleh penampilannya di sini) adalah wanita tuna wicara, tetapi bukan sebatas itu yang membuatnya merasa enggak sempurna. Elisa cukup bahagia dengan rutinitasnya, dia akrab dengan tetangganya yang seniman, dia sohiban dengan rekan kerjanya sesama janitor malam hari di perusahaan rahasia milik pemerintah. Hanya saja ada sesuatu yang tidak cocok dari dirinya – nun jauh di dalam sana Elisa adalah spirit yang ceria. Dia suka nonton film, dia suka menari mengikuti adegan film yang ia tonton, Elisa adalah putri di dunianya sendiri. Sebab di dunia luar, dia bukan siapa-siapa. Orang yang tidak bisa bicara sama terasingnya dengan kulit hitam ataupun gay, seperti teman-temannya, di tahun 60an tersebut. Malam hari adalah satu-satunya waktu mereka ‘bersinar’ lantaran sudah tidak ada lagi yang melihat.
Itulah sebabnya kenapa Elisa sangat tertarik dan merasa dekat dengan makhluk amfibi yang disimpan dalam salah satu ruangan perusahaan rahasia tersebut. Menggunakan ‘kebebasan’nya sebagai tukang bersih-bersih, Elisa menyempatkan diri setiap malam masuk ke ruangan demi mengunjungi makhluk yang bagi ilmuwan dan atasannya tergolong berbahaya. Elisa memberinya makan, menghiburnya dengan musik. Monster yang disiksa dan dijadikan bahan eksperimen itu mengisi ruang kosong di dalam diri Elisa. ‘Duyung Cowok’ mana paham kalo Elisa adalah seorang yang cacat; mereka berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Elisa tidak lagi seorang yang punya kekurangan ketika dia bersama dengan Si Makhluk; mereka ekual. Perasaan dibutuhkan, diperlakukan sama, inilah yang ditangkap oleh Elisa sehingga mereka berdua lantas menumbuhkan rasa saling cinta. Namun, seperti setiap kisah cinta yang ada; akan selalu ada rintangan yang mencoba memisahkan mereka berdua.
Begitu banyak tokoh dalam film ini yang merasa ‘kurang’ di dalam hidup mereka. Menyaksikan mereka berusaha mengisi hidup mereka adalah pertunjukan utama cerita. Bahkan tokoh antagonis, Richard yang diperankan heel abis oleh Michael Shannon, seorang petugas pemerintah yang kerjaannya menyiksa si Merman juga diberikan konflik personal. Kita diperlihatkan kehidupan rumah tangganya – termasuk kehidupan intimnya, sebagai kontras dari Elisa. Kita diberikan kesempatan untuk mengerti bahwa Richard juga berjuang, dia merasakan hidupnya masih kurang, tugasnya adalah mempelajari si Merman namun dia belum berhasil mendapat progres yang berarti. Richard belum mencapai kehebatan yang ia dambakan. Dia sendiri juga masih struggling dan menjawab kepada orang yang posisinya lebih tinggi.
Cerita film ini beresonansi dengan kenyataan yang lebih dekat dari yang kita kira. Perlakuan terhadap beberapa minoritas di tahun 60an itu masih bisa kita jumpai di ‘jaman now’. Hebatnya, film tidak pernah meminta kita untuk berbelas kasihan kepada mereka. Karena kita diperlihatkan bahwa sesungguhnya antara para ‘outcast’ dengan para petinggi punya kecacatan yang sama. Dan cacat itu enggak membuat seseorang menjadi monster. Ngomong-ngomong soal monster, ada sesuatu mengenai makhluk amfibi itu yang terasa ‘akrab’. Di sini kita punya makhluk yang ditangkap dan diperlakukan dengan tidak manusiawi, padahal tadinya dia dianggap ‘dewa’ oleh orang-orang di habitat aslinya. Si Makhluk praktisnya tidak dimanfaatkan, tidak dihargai, dengan sebagaimana mestinya. Aku yakin banyak dari kita yang merasa disia-siakan seperti ini dalam dunia pekerjaan, ataupun dalam berkarya.
Para superstar di WWE contohnya, kebanyakan dari mereka dikontrak dari jalur indie karena skill dan teknik mereka berhasi melambungkan namanya. Namun ketika bermain di WWE, skill mereka dibatasi, gerakan-gerakan mereka disesuaikan dengan standar WWE, mereka tidak boleh lagi menggunakan jurus yang jadi andalan mereka lantaran dianggap terlalu membahayakan oleh manajemen WWE. Jadi buat apa mereka dikontrak? Pembuat film juga begitu; sutradara film arthouse diberikan kesempatan oleh studio gede untuk menggarap suatu film, tetapi produk akhirnya enggak boleh terlalu artsy, harus sesuai selera pasar mainstream. Jadi buat apa dikasih kesempatan itu sedari awal? Aku juga pernah ngalamin kayak gini, aku kerjasama ama salah satu youtube channel yang tertarik dengan ulasan filmku, aku diminta nulis naskah untuk video daftar-daftaran kayak 10 Film Action Terseru dan sebagainya. Setelah aku setuju dan mengirimkan tulisan list susunanku, mereka meminta untuk mengganti film-filmnya dengan film dari rujukan mereka. Jadi aku bertanya buat apa memintaku kerja sama kalo ujung-ujungnya makai sudut pandang mereka juga?
Wujud air selalu sesuai dengan media tempat ia tertampung. Film ini menarik perbandingan bahwa semestinya kita bertindak seperti air demi mengisi kekosongan dalam hidup. Kita harus bisa beradaptasi sesuai dengan environment tempat kita berada, bekerja. Masing-masing ada tempatnya, kita yang harus tahu di mana kudu menempatkan diri dengan benar. Idealisme sejatinya tidak akan pernah kering jika kita terus menyuarakannya.
Dosa kalo sinematografi film ini enggak dapat pengakuan. Guillermo del Toro sekali lagi membuktikan bahwa ia punya taring yang tajam dalam urusan desain produksi dan penceritaan. Hanya menjelang babak ketiga saja film ini sedikit goyah oleh sekuens yang tampak sedikit cheesy. Akhiran cerita film pun gampang untuk kita tebak sehingga mendekati akhir, pacing film sedikit tersendat. Ada kejadian aneh yang terjadi, juga ada beberapa aspek cerita yang enggak begitu integral dengan apa yang berusaha dilakukan oleh film ini. Ada saat ketika aku menyangka film akan berakhir, menurutku ada satu adegan yang bisa jadi sebuah ending yang mantep, namun ternyata cerita terus bergulir. Dan kelanjutan tersebut malah jaidnya terasa seperti terburu-buru.
Lewat film ini, del Toro menunjukkan kepada kita apa yang dibutuhkan untuk mengisi kekurangan jika kita pernah merasa hidup kita masih unfulfilled – belum perpenuhi sebagaimana yang kita inginkan. Film ini sendiri adalah bentuk dari perjuangan mengisi tuntutan dan kreativitas yang ideal. Semua pemainnya menampilkan permainan peran yang brilian. Efek visual dan produksinya mewujudkan dongeng ini bagai sebuah kisah nyata. Ini adalah film cantik yang personal, dan sesungguhnya bersuara banyak tentang kejadian yang masih terjadi di masa sekarang. Kita perlu menangkap kesempatan dan menunjukkan siapa diri kita.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE SHAPE OF WATER.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017