BENYAMIN BIANG KEROK Review

“Sometimes we need to step back”

 

 

Bersama-sama, sutradara Hanung Bramantyo dan aktor Reza Rahadian telah menghasilkan karya yang mengundang decak kagum banyak orang, seperti Rudy Habibie (2016), Kartini (2017), dan baru-baru ini tayang di festival adalah film The Gift yang aku belum dapet kesempatan untuk menonton. Dan kemudian, mereka menelurkan film seperti Benyamin Biang Kerok.

Aku enggak tahu apa memang banyak permintaan untuk menghidupkan kembali peran yang dibuat legendaris oleh legenda lawak Benyamin Sueb (bekennya disingkat Benyamin S doang). Apalagi ada orang yang menganggap Reza Rahadian bermain sebagai Benyamin adalah sebuah ide emas. Tentu saja, akan menarik melihat Johnny Deppnya Indonesia ini mencoba bermain di ranah yang baru. Film ini jelas memberinya tantangan dari poin terkecil Reza bukan orang betawi. Dari yang aku dengar juga, Reza katanya sangat kepengen bermain di film musikal – terlebih komedi musikal. Tetapi, Benyamin Biang Kerok ini mungkin bukan gimana tepatnya Reza membayangkan komedi berbumbu musikal yang bakal ia lakoni.

Kebiasaan ini memang belum bisa terjelaskan dengan baik, namun manusia suka untuk mengerem langkahnya. Terkadang kita merasa perlu untuk mengambil tempo. Seperti saat hendak melompat jauh, kita akan mengambil ancang-acang ke belakang beberapa langkah. Kita merasa aman, rileks, dengan sedikit memundurkan diri. Tapi seberapa jauh kita rela ataupun harus mundur? Film Benyamin Biang Kerok ini adalah langkah mundur yang dengan sukses diambil oleh Hanung dan Reza, terlebih jika mereka memang menginginkan sedikit change of pace dengan mengdowngrade diri mereka sedikit banyaknya.

 

Reza cukup berhasil membawakan kekhasan Benyamin, mulai dari suara tawa, mimik, hingga tantrumnya. Selain bakal diisi adegan musikal, aku enggak tahu harus mengharapkan seperti apa film ini sebelum menontonnya. Tadinya kupikir biografi Benyamin, ternyata bukan. Film ini lebih seperti reboot dari film jadul dengan tokoh bernama Pengki. Yang jelas, aku sama sekali tidak mengharapkan produk film yang se-terrible ini. Untuk sepenuhnya mengerti kenapa film ini ujung-ujungnya tidak bekerja dengan efektif, sebagaimana terhadap film-film pada umumnya, kita perlu melihat dan diyakinkan oleh sepuluh menit pertamanya.

Timingnya sih pas, film ini tayang deketan sama hari lahir Benyamin S

 

Sekuen pembuka film ini melibatkan Tora Sudiro yang sedang dalam misi undercover, menyusup ke dalam kasino dan ikut permainan Poker underground yang diselenggarakan oleh Komar (seru dan cukup meyakinkan juga aksi pelawak senior ini menjadi bos penjahat). Di dalam sana kita lihat berbagai teknologi canggih namun konyol seperti scanner wajah yang memperlihatkan status relationship orang. Si Komar, selain punya nama tokoh yang kreatif banget – Said Toni Rojim, juga punya robot cewek yang canggih dan creepy abis. Dibantu dua temennya; yang satu menyusup jadi orang dalam dan satunya lagi menjadi mata lewat kamera pengintai, Tora berusaha memenangkan uang sebanyak mungkin. Itulah tujuan mereka di sini. Namun kemudian polisi datang menggerebek, Tora kabur membawa apa yang bisa ia bawa, dan ternyata Tora adalah Benyamin alias Reza Rahadian alias Pengki yang sedang pake topeng! Kemudian Pengki dan teman-temannya kabur naik oplet mandra ke pasar, di mana mereka lantas nyanyi ondel-ondel bareng semua orang.

See? I was just ready to watch a completely absurd comedy. Sepuluh menit pertama film ini sebenarnya efektif sekali melandaskan betapa konyolnya film ini dibuat. Untuk adegan-adegan ke depan kita akan melihat orang diuppercut hingga menembus awan dan menabrak pesawat terbang. Kita akan kenalan sekilas sama cewek yang mengaum kayak harimau dan makanin orang. Kita akan bersisian sama tiruan Bane yang badannya berminyak. Sesungguhnya ini semua sah-sah saja, jika film memang ingin bersenang-senang dengan logika dan intelegensi, maka itu terserah mereka. Asalkan semuanya digarap dengan arahan yang pasti.

Akan tetapi, Benyamin Biang Kerok masih ingin tampil pintar. Masih berusaha tampil punya hati. Diberikannya Pengki persahabatan dengan dua temen dekatnya. Dituliskannya Pengki sebagai anak orang kaya dengan masalah keluarga – kedua orangtuanya sudah tidak bersama, Pengki tinggal dengan ibu yang menganggap anaknya adalah bocah tue yang paling males sedunia padahal di luar rumah Pengki adalah pemuda yang mengkhawatirkan hidup warga rusun pinggiran. Yang rela membahayakan nyawa demi uang mencegah rusun tersebut dari penggusuran. Pengki juga somehow adalah pelatih sepak bola untuk anak-anak di sana. Naskah juga memberikan Pengki kekasih, seorang artis cantik, yang ternyata adalah ‘calon istri’ dari Said si bandit yang pasukannya cewek semua. Di atas itu, film juga sempat-sempatnya melontarkan komentar yang relevan dengan situasi politik dan keadaan sosial dalam masyarakat Indonesia sekarang ini. Sayangnya, dengan tone yang begitu bercampur seperti ini – editing film pun kerap tampak sangat kasar antara adegan satu dengan adegan lain kelihatan banget beda take – sukar untuk kita menganggap serius pesan-pesan tersembunyi yang dibisikin oleh film.

Mencoba untuk memasukkan banyak elemen dari berbagai genre, film ini seperti campuran dari berbagai hal-hal konyol. Masing-masingnya lebih wacky dari sebelumnya. Sehingga tidak lagi menjadi lucu. Malahan, film ini cukup ‘menyakitkan’ untuk ditonton. Kayak melihat orang pintar yang berusaha terlalu keras untuk tampak bego supaya disukai dan membaur dengan sekelilingnya. They don’t feel comfortable at all. Menonton film ini seperti menonton seseorang yang sedang enggak mau menjadi dirinya sendiri.

 

Yang membuat semakin parah adalah relasi antara tokoh-tokohnya tidak pernah dibuat meyakinkan. Pengki dengan teman-teman partner in crimenya tidak dieksplorasi, bahkan mereka bertiga jarang berada dalam satu frame yang sama.  Ada satu adegan Ibu Pengki yang galak mengajaknya ikut melihat bagaimana carany berbisnis, tapi dilakukan dengan konyol, tanpa menambah banyak untuk cerita. Hubungan antara Pengki dengan demenannya pun tidak pernah tampak manis. Kecuali pada adegan-adegan musikal yang tampak berada di luar dinding cerita – yang mana membuat film ini sedikit membingungkan. Pengki dan Aida menjadi dekat dengan begitu cepat, sehingga kita tidak benar-benar peduli ketika Aida mulai dalam bahaya dalam cengkeraman Said. Stake dalam cerita serta merta tergampangkan. Pengki punya semua jawaban, entah itu dari uang ataupun dari alat-alat temuan temannya. Tak sekalipun kita merasakan ada yang benar-benar dalam bahaya – inilah tanda betapa elemen dalam film tidak tercampur dengan baik. Kita hanya dapet konyolnya saja, which is fine dalam komedi yang hanya menyasar komedi, tapi film ini menargetkan banyak hal pada narasinya.

unsur betawinya juga seperti ketinggalan entah di mana di tengah cerita

 

Buatku, the last straw adalah bagaimana cara film mengakhiri ceritanya. Hmm.. atau seharusnya aku menulis bagaimana cara film tidak mengakhiri ceritanya. It was very insulting memotong film di tengah-tengah sekuen seperti yang dilakukan oleh film ini.  Penonton berhak mendapat penutup. Kita sering mengejek film cinta-cintaan kayak ftv atau sinetron, padahal justru Benyamin Biang Kerok inilah yang sinetron layar lebar yang sebenarnya.  Mereka pretty much sama saja dengan menabuhkan tulisan ‘bersambung’ di layar dan tidak semestinya, tidak ada alasan, yang namanya film berakhir dengan demikian. Film seharusnya tertutup. Ada awal, tengah, akhir. Memotong akhir tanpa ada babak penyelesaian adalah tindakan yang lancang, bagaimana seorang bisa menyebut dirinya pembuat film jika ia tidak benar-benar membuat sesuai dengan kaidah film? Benyamin Biang Kerok hanyalah sebuah franchise ‘reborn’ berikutnya setelah Warkop DKI. Bahkan jika dibandingkan pun, Warkop DKI Reborn adalah film yang lebih baik karena mereka tidak pernah ingin menjadi lebih dari diri mereka yang sebenanrya; sebuah tontonan konyol. Seenggaknya Warkop DKI sedari awal sudah ‘mengakui’ film mereka berformat part 1 dan part 2. Dan mereka juga tidak memotong film di tengah-tengah aksi, mereka masih punya batasan penutup yang jelas di antara dua part. Wow , aku gak percaya tiba harinya aku membela film Warkop DKI Reborn, mungkin ini langkah mundur yang kuperlukan.

 

 

Kita memang kadang perlu mundur, tapi seberapa jauh. Satu pertanyaan lagi yang aku yakin menghinggapi benak kita saat menonton ini “Ini beneran film buatan Hanung, siapa biang kerok sebenarnya di sini?”. Bahkan menyebut ini sebagai film cari uang pun sesungguhnya tidak tepat. Karena ini actually bukanlah sebuah film. Ini adalah insult yang mengapitalisasi kenangan terhadap seorang seniman sebesar Benyamin Sueb.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for BENYAMIN BIANG KEROK.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SPIDERMAN: HOMECOMING Review

“You don’t get what you deserve, you get what you earn.”

 

 

Gimana kalo Spiderman kudu ngejar penjahat ke daerah perumahan yang enggak ada gedung-gedung bertingkat? Gimana jika Spiderman terpaksa harus ngelayap melintasi tanah lapang? Di mana dia bisa nyantolin jaringnya untuk berayun, coba? Masa iya dia mesti lari – enggak keren amat. Dan kalo sudah berayun, gimana kalo tiba-tiba jaringnya putus? Pertanyaan-pertanyaan konyol tersebut benar-benar dialamatkan oleh reboot Spiderman terbaru atas nama Marvel Cinematic Universe ini. Mempersembahkan kepada kita perspektif yang sama sekali segar dari sang superhero laba-laba. Gimana ‘pabila Peter Parker yang masih sangat belia harus memilih antara nyelidikin transaksi senjata alien atau datang ke pesta demi pamer buat cewek yang ia taksir?

Arahan dari Jon Watts mengayunkan cerita keluar dari fokus penceritaan yang sudah-sudah. Sukur Alhamdulillah film ini paham mengenai karakter-karakter yang ia adaptasi. Sekaligus juga mengerti bahwa dirinya harus menjelma menjadi sesuatu yang berbeda. Bukan sekedar rehash dari apa yang sudah kita lihat sebelumnya. Ini adalah film Spiderman keenam sejak 2002, dan Homecoming ini adalah FILM SPIDERMAN TERBAIK YANG KITA LIHAT SETELAH TIGA-BELAS TAHUN, semenjak Spiderman 1 dan 2 garapan Sam Raimi. Kita toh tidak perlu lagi melihat versi lain dari cerita origin yang membahas gimana Peter Parker digigit oleh laba-laba radioaktif, ataupun soal Peter Parker yang dealt with kematian Paman Ben. Film kali ini adalah tentang cerita gimana Peter Parker menjalani hidup sebagai manusia laba-laba; Kita akan diperkenalkan kepada Peter Parker yang masih SMA, dia anak sekolahan biasa – lengkap dengan permasalahan abege. Dia harus ke sekolah tepat waktu, dia harus mikirin cewek mana yang diajak ke pesta dansa homecoming di sekolah, dia ikut lomba sekolah sembari bolak-balik mengamankan lingkungan. Singkat kata, film ini adalah tentang Peter Parker belajar menjadi pahlawan yang bertanggung jawab, dia bertumbuh dari Spiderboy menjadi Spiderman.

sepertinya karena belum akil baligh, makanya spider sense Peter belum tumbuh

 

Meskipun kebanyakan orang (terutama orang yang berambut merah dan bernama Ron Weasley) sangat takut sama laba-laba, tetapi dari sekian banyak pahlawan super di komik, Spiderman adalah tokoh yang paling gampang untuk direlasikan oleh para pembaca (dan tentu saja, penonton). Publik relates to Spiderman so much karena Spiderman adalah karakter yang sangat dekat. Dia bukan orang kaya, dia bukan makhluk asing. Dia seperti kita-kita, Peter Parker punya masalah yang sama dengan kita. Bedanya, dia juga adalah superhero; sesuatu yang kita semua impi-impikan sejak kecil.

 

 

Jika topeng superheronya kita buka, maka di lapisan terdasar kita akan melihat bahwa ini adalah cerita tentang KEHIDUPAN ANAK REMAJA. It’s very clear while watching it bahwa film ini mengambil inspirasi dari film-film anak SMA. Literally ada adegan ketika Spiderman berlari melintasi pekarangan rumah yang dikontraskan dengan klip film remaja klasik Ferris Bueller’s Day Off (1986) yang terlihat di televisi rumah temen Peter. Sebagian besar waktu kita akan ngikutin Peter dealing dengan masalah anak sekolah. Keren melihat Spiderman beraksi, does whatever a spider can, dan sesungguhnya adalah experience yang sama-sama menyenangkan untuk melihat tokoh ini dalam cahaya yang lebih grounded. Dalam, katakanlah, pergerakan yang lebih lambat. Ada banyak downtime dalam narasi, di mana alih-alih aksi pahlawan berkostum, kita melihat Peter berinteraksi sebagai anak normal. Dia naksir cewek, dia yang nerd dibully oleh teman sekelas, people don’t like him. Bahkan ia diacuhkan oleh mentornya sendiri. Spidey pengen dilibatkan; bayangkan punya jiwa muda on top of punya kekuatan dan gaul dengan Ironman, namun gak bisa bilang ke siapa-siapa. Itulah yang dirasakan oleh Peter. Dan film ini berani untuk mengambil banyak waktu untuk mengeksplorasi supaya kita bisa menumbuhkan apresiasi terhadap tokoh ini. Momen-momen Peter sebagai anak biasa inilah yang merupakan elemen penting, elemen yang menyeimbangkan tokohnya seperti pada komik.

Namun, memang aku bisa melihat anak-anak kecil akan cukup bosan menonton ini. Aku nonton ini bareng adekku yang baru 8 tahun, dan dia fokus ke layar hanya pada saat Spidey beraksi. Bisa dimaklumi karena anak kecil ingin liat Spiderman menjadi Spiderman. Penonton dewasa tentunya akan bisa mengapresiasi perjalanan karakter Peter Parker yang ditulis dengan mendalam. Sejatinya, penggemar komiknyalah yang akan sangat terpuaskan sebab kita akan melihat our friendly neighborhood Spiderman diportray sesuai dengan yang di komik, persis seperti kita mau. But also, ada beberapa perubahan yang dibuat kepada beberapa karakter penting, yang mana berpotensi untuk bikin fans garis keras yang hanya mau segalanya sempurna ngamuk-ngamuk ngomel di kolom komen internet. While adalah angin segar melihat Bibi May versi yang lebih muda, aku bisa mengerti kenapa ada yang protes soal tokoh The Shocker dan The Tinkerer yang dijadikan lebih sebagai sidekick penjahat utama. Aku gak mau spoiler, tapi menurutku tokoh MJ di sini adalah cewek yang keren, walaupun film ini mengangkat sisi awkward antara Peter dan MJ dari angle yang berbeda.

Kalo ada yang benar-benar jadi keren, maka itu adalah The Vulture. Marvel Cinematic Universe selalu kepayahan dalam menghadirkan tokoh penjahat yang meyakinkan, dan akhirnya dahaga kita terhadap villain yang bisa kita peduliin terpuaskan sudah. Michael Keaton did a really great job menghidupkan tokoh ini, mungkin karena dia udah terbiasa mainin peran manusia bersayap hhihi. The Vulture punya kedalaman karakter, perkembangan tokoh ini mengejutkanku, karena ternyata dia diberikan hubungan personal dengan Spiderman, yang mana membuat adegan mereka ngobrol di mobil menjadi adegan yang hebat. Bahkan jauh sebelum adegan tersebut terjadi, kita sudah diberikan alasan untuk mengerti motivasi The Vulture, untuk memahami cara pikirnya. Part paling menarik dari tokoh ini tentu saja adalah gimana penamaannya sangat pas dengan apa yang ia kerjakan; The Vulture basically ngumpulin dan mencuri benda-benda rongsokan bekas alien dan para Avengers untuk ia gunakan memperkuat diri, persis kayak apa yang dilakukan oleh burung hering beneran sebagai burung pemakan bangkai.

Aku juga paham kenapa banyak yang mempermasalahkan soal spider sense yang ada-tapi-tiada dalam cerita. Sepintas dalam percakapan disebutin Spiderman di sini memiliki kemampuan tersebut, akan tetapi tidak pernah ada adegan yang menunjukkan demikian. Terlalu banyak adegan Spidey disergap dari belakang oleh The Vulture, Spidey bahkan enggak tahu temennya ada di kamar ketika dia menyelinap masuk. Lalu of course, adegan Spiderman ngendarai mobil yang punya sistem deteksi rem. Belum lagi kostumnya yang dilengkapi komputer kayak kostum Iron Man. Dan dia punya teman yang nunjukin arah. I mean, buat apa teknologi itu kalo Spidey punya alarm natural? Semuanya memang terasa ‘mengurangi’ kemampuan Spiderman, but yeah, ini integral dengan apa yang mau disampaikan; bahwa Peter Parker adalah remaja, dia belum pernah ngendarain mobil, dia masih perlu banyak bantuan,  baik sebagai pahlawan super maupun sebagai seorang manusia.

Tema terpenting film ini adalah apa yang membuat seorang menjadi kuat. Apakah Peter Parker butuh kostum untuk menjadi Spiderman, bisakah dia menjadi Spiderman tanpa kostum? Stark menyebutkan jika tidak bisa apa-apa tanpa kostum, maka itu berarti Peter tidak pernah pantas untuk mengenakannya. Ini kayak kita pengen punya blog, tetapi kita enggak bisa nulis. Kita harus mengasah kemampuan dulu untuk layak menyandang, apalagi memanfaatkan fasilitas. Ibaratnya bersusah dahulu, bersenang kemudian.

 

 

Dan ngomong-ngomong, blogger itu bukan wartawan beneran.

 

Kepolosan dan naifnya Peter Parker  ditangkap sempurna oleh Tom Holland, aktor ini sukses berat menjadi both Spidey yang amazing dan Peter yang everyday kid dengan segudang masalah. Tokoh ini superkocak dan amat likeable. Hubungannya dengan Tony Stark juga menarik. Susah untuk tidak terhibur melihat Robert Downey Jr. sebagai Tony Stark. Namun, memang kadang perannya di sini acap terasa seperti device yang memudahkan saja. Actually, salah satu masalahku buat film ini adalah porsi aksinya yang enggak pernah benar-benar terlihat susah untuk si Spiderman. Tidak intens seperti apa yang diperlihatkan oleh Sam Raimi; tidak ada momen seperti Spidey babak belur dan Green Goblin ngancem bakal ngebunuh Mary Jane, tidak ada urgensi aksi seperti Spidey dengan topeng terbuka menahan kereta yang nyaris mengoyak tubuhnya menjadi dua. Action pada film kali ini menyenangkan dan light-hearted, enggak brutal dan intens. Cerita menuntut supaya Spidey kerap dibantu agar nanti bisa belajar sendiri pada sekuen resolusi.

 

 

 

Marvel bisa membuat film solo yang berdiri sendiri yang baik seperti Winter Soldier (2014), ataupun sebuah extravaganza universe seperti Civil War (2016). Dan film ini terletak di antara keduanya. Pada lapisan drama, sesungguhnya film ini kokoh untuk berdiri sendiri – dia berbeda dari penceritaan Spiderman yang lain. Namun, lebih sering ketimbang tidak kita ngerasa, “oh itu anu dari film ono!” Ada kepentingan yang berkurang karena it feels kayak kita nonton serangkain event yang digunakan untuk ngesetup film Spiderman dan MCU berikutnya. Poin bagusnya adalah ini adalah cerita set up yang sangat menarik, teramat menghibur, seru, dan cenderung ringan. Tokoh-tokohnya dimainkan dengan luar biasa, dengan interpretasi yang bisa bikin fans girang. Namun juga ada beberapa perubahan, terutama pada casting dan karakterisasi, yang dapat memancing fans untuk protes. However, tidak banyak korban jatuh dalam film ini. It could use some intensity dan actual stakes sebenarnya bisa lebih diamplify lagi.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SPIDERMAN: HOMECOMING

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

 

THE MUMMY Review

“The hardest thing in the world is to accept that something is wrong with you, face the uphill road to recovery ahead, and realize that none of it makes you less than human”

 

 

Dalam The Mummy, kita akan diingatkan bahwa masa lalu enggak bisa dikubur selamanya. Yes, selamat deh buat yang berusaha move on, hidup pasukan “Always” Snape. Past will always find a way to bite us in the butt, dalam film ini masa lalu, ya, harafiah datang dalam sesosok mayat (or not, jeng jeng!!) kuno yang terkubur di dalam bumi, berbalut perban, dan beretina dua, per bola mata.

I love The Mummy (1999) with Brendan Fraser. Walaupun saat menontonnya aku belum tau mana film yang bagus, mana film yang jelek, namun paling enggak film itu menghibur. Ia seru, lucu, dan ketika beranjak ke elemen seram, whenever Imhotep berteriak menggelegar, aku sukses ngumpet di belakang sofa. Karena lagi puasa, aku gak boleh su’udzon bahwa franchise ini direboot demi lembaran tunai belaka. Faktanya, memang, The Mummy adalah bagian dari Dark Universe, dunia cinematic penuh oleh Gods and Monsters yang lagi digiatkan oleh Universal. Kalian tahu monster-monster klasik kayak Frankenstein atau Drakula? Nah, mereka semua dibuat ulang untuk kita pelototin sama-sama di bioskop.

Kali ini, tokoh utama kita adalah sejenis tentara yang suka ‘mengutil’ emas dan benda-benda berharga yang bisa ia temukan (dan cari) di medan perang, yang diperankan oleh Tom Cruise. Karena perangainya itu, Tom Cruise dan temennya yang berpangkat Kopral dikejar-kejar oleh pemberontak Irak, hingga mereka memanggil bantuan udara. Namun bukan hanya tentara ISIS saja yang kocar-kacir ditembak oleh helikopter, sejumlah besar massa tanah kota tempat mereka berada pun turut sirna. Menampakkan makam rahasia di baliknya. Seperti pada film pertama, mereka membuka makam tersebut, sehingga terlepaslah raga busuk jahat yang bersemayam di dalamnya. Tom Cruise dan teman-temannya, including cewek arkeolog yang kerjaannya diselametin melulu, musti berburu relik kuno. Sembari diuber-uber oleh badai pasir berwajah si mumi cewek.

“gue cium, kering lo!”

 

Meski memang ini bukan kali pertama ada mumi cewek, still Ahmanet sebagai main villain adalah sebuah tiupan angin segar. Sofia Boutella ngejual peran ini dengan amat baik. Dia adalah salah satu spot cerah dalam film ini. Dia nyeremin, dia sadis, pada satu titik dia berusaha terlihat baik menipu daya dalam menjustifikasi aksinya – tapi tetep aja I was like, “go away spider-mummy-woman!!”, dan dia kadang mirip Jupe. Film ini memainkan sudut baru dalam hubungan antara protagonis dengan antagonisnya, di mana ‘Sang Terpilih’ dalam cerita ini justru adalah cowok yang diuber untuk dikorbankan oleh wanita.

Film baru ini punya banyak sekuen aksi yang exciting dan menawarkan hal-hal fun. Desain produksinya juga kelas atas, filmnya terlihat keren. Spesial efek sekuen-sekuen tersebut are so good. Menurutku akan ada banyak penonton yang terhibur oleh aksi-aksi seru yang melibatkan tokoh-tokoh horor. Adegan pesawat jatuh adalah highlight terkeren sepanjang presentasi dan Tom Cruise sekali lagi membuat rekan-rekannya menderita lantaran dia enggak tanggung-tanggung dalam menjalankan adegan, terutama bagian action. Tom Cruise sekali lagi menunjukkan dedikasinya. Dia melakukan berbagai adegan dengan maksimal like no one else. Di sini, dia bukan hanya karismatis, tapi juga kocak. Tokohnya diberikan banyak dialog lucu, yang sebagian besar bergantung kepada waktu penyampaiannya. Dan his comedic timing is actually really excellent. Nick ia perankan sehingga menjadi gampang untuk disukai sebab tokoh ini juga bukan seperti peran-peran hero yang Tom Cruise biasa mainkan. Nick is a kind of dick. Dia lebih seperti penjarah daripada tentara yang mengayomi, serius deh, pada dasarnya dia bukan hero. Dia lebih kayak terjebak situasi, dia ada di sana, jadi sekarang dia harus deal with it. Tapi justru di situlah letak daya tariknya. Aku ngakak ngeliat Nick kabur gitu aja naik mobil, ninggalin ceweknya di tengah hutan, dia benar-benar gak berhenti, si cewek yang musti ngejar. Dan ketika dia bilang “kupikir parasutnya ada dua..” kita tahu itu jujur dari hatinya – ngorbanin diri enggak terlintas dalam pikirannya saat itu.

Kejahatan diibaratkan sebagai penyakit yang diam-diam bersarang di dalam diri manusia. Makanya, kejahatan juga bisa disembuhkan. Hal paling sukar di dunia adalah mengakui ada yang salah pada diri kita. Dan tentu saja, dibutuhkan keberanian yang luar biasa gede untuk mencari pertolongan saat kita menyadari kita punya ‘penyakit’ di dalam diri. Dan menerima kenyataan akan dua hal tersebut tidak mengurangi nilai kita sebagai manusia.

 

 

“Kita harus segera keluar dari sini, Nick!”
“Nick, gue digigit laba-laba!”
“Nick, let’s go, Nick!”
“Niii~~~iiickkk!!”

Sebagai sidekick, ada Jake Johnson. Di sini perannya sebagai sobat yang terus ngikutin ke mana tokoh utama kita pergi dengan komentar-komentar komikal. Pada awalnya, aku juga terbahak. You know, aku ngikutin serial New Girl, dan di sana Jake berperan sebagai tokoh yang bernama Nick. So begitu di film ini, dia kayak sengaja nyebut nama tokoh Tom Cruise setiap kali merengek, and it’s really funny hearing how he says it. Tapi tentu saja, karakter sidekick yang terlalu komikal seperti ini dengan cepat menjadi annoying. Kemunculan si Chris Vial actually dikurangi setelah babak satu, dan tetap saja setiap kali kesempatan langka di mana ia menampakkan diri, adegan dan komedinya enggak benar-benar bekerja dengan baik.

Ada dinamika yang dimainkan terkait dua tokoh wanita satu-satunya dalam film ini. Si mumi digambarkan sangat ‘aktif’, dia langsung mengincar cowok-cowok di titik terlemah kodrat mereka, sedangkan Jenny, si cewek arkeolog yang diperankan oleh Annabelle Wallis, diportray sebagai cewek baik-baik yang lebih kalem, yang jadi love interest tokoh utama. Ketika aku nulis tokoh ini ‘kalem’, ketahuilah itu sebenarnya aku berusaha ngebaik-baikin, karena tokoh Jenny ini, faktanya, adalah salah satu tokoh paling annoying dan paling enggak berguna dalam sejarah perfilman dalam kurun waktu dekat ini. Beneran, setelah kita melihat Wonder Woman (2017) yang tentang cewek luar biasa mandiri dan kuat yang diarahkan oleh sutradara yang juga cewek, The Mummy punya nyali untuk membawa kita mundur ke jaman jahiliyah di mana tokoh cewek yang dimilikinya completely totally useless. Jenny enggak nambah banyak buat cerita. Dia butuh untuk diselamatkan pada setiap kesempatan. Dia jarang sekali ngelakuin sesuatu yang berguna, dia enggak mecahin teka-teki, dia cuma ‘pesawat-sederhana’ yang membantu tokoh utama bepergian ke tempat yang dibutuhkan, dan kalo lagi enggak pingsan, kata-kata yang keluar dari mulutnya hanya eksposisi belaka. JENNY ADALAH CONTON MODEREN DAMSEL IN DISTRESS PALING PAYAH.

“dunia belum berakhir, bila kau mumikan aku”

 

 

Secara garis beras, eh sori efek puasa hemm,… secara garis besar, narasi film ini tersusun oleh formula EKSPOSISI, AKSI, EKSPOSISI, AKSI, SETUP FOR DARK UNIVERSE, AKSI, EKSPOSISI, SETUP, DAN GITU SETERUSNYA. Sepuluh menit pertama actually adalah menit-menit panjang paparan melelahkan yang diceritakan langsung kepada kita oleh tokoh yang bukan tokoh utama. It just doesn’t make sense dalam hal gimana storytelling yang baik dan benar. Film ini memang terlihat sebagai usaha untuk memperkenalkan Universe yang sedang dibangun oleh Universal, sehingga mereka lupa untuk bercerita dengan asyik, seperti layaknya film yang berdiri sendiri. Tokoh di awal film, akan muncul lagi di pertengahan, dan meski sebenarnya aku gak ada masalah sama Russel Crowe – he’s really good seperti biasa dan tokoh yang ia perankan benar-benar menarik – namun tetap saja kehadirannya menambah sesak suasana. Malahan, melihat Russle Crowe dan Tom Cruise ngobrol berdua di film ini, rasanya amazing banget, kayak ngeliat dua main eventer WWE just kill it on the mic.

The Mummy tidak punya arahan emosional yang lurus. NARASINYA SUMPEK. Fokusnya pada set up untuk film berikutnya, juga tentu saja ada homage untuk seri terdahulu. Adegan-adegan aksi yang exciting diselingi oleh eksposisi yang memberatkan – mereka bahkan ngerasa perlu untuk benar-benar mengungkapkan seberapa jauh jarak dari Mesir ke Persia. Dan semua itu adalah karena film ini ditulis dengan keroyokan. Cek deh ke imdb, writernya ada enam kepala. Ceritanya dikembangkan oleh banyak pendapat dan memang kelihatan; jadi gak heran kenapa screenplay film ini jadi terasa tidak teroganisir dengan baik. Film ini lebih ke action, despite naturally punya elemen horor, dan malah resort ke jumpscare-jumpscare.

Kalo ada yang bisa dipelajari oleh orang Mesir, maka itu adalah gimana mereka memperlakukan si Jahat dengan respek. Mereka membuatkan makam yang indah dengan arsitektur yang sangat cermat. Walaupun segala sistem dari makam tersebut ditujukan supaya yang di dalam enggak keluar lagi, tapi itu menunjukkan bahwa yang terburuk dari kita pun tidak bisa dipandang sebelah mata.

 

 

 

Dimulai dengan cukup enggak-enak, dan berakhir dengan bikin hati makin masygul. I mean, kalo mau ditutup dengan ‘iklan buat the next installment’ seperti itu, at least lakukan setelah closing credit bergulir. Film ini hanya berupa paparan-aksi-setup. Namun, desain produksinya membuat kita enggak bisa semena-mena mengutuk film ini jelek. Beberapa adegan aksinya genuinely menarik dan seru. Penampilan Tom Cruise berada di atas yang lain, di mana jadinya kita enggak mendapatkan chemistry yang asik dari hubungan para karakter. Film ini padat tanpa ada arahan emosi yang jelas. It’s loud, berantakan, sampe-sampe saat menonton kita akan kepikiran “kayaknya mejamin mata enak, nih!” Tapi film ini masih bisa ditonton dengan ‘okelah’ kok, terutama kalo kalian sebodo amat sama storytelling, lagi gak punya tontonan lain, atau lagi nyari kesibukan dalam rangka nungguin bedug maghrib.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for THE MUMMY.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

POWER RANGERS Review

“Don’t expect to see a change if you don’t make one.”

 

 

Ayayayay, Zordon! Mereka sekali lagi membuat reboot dari acara tv anak-anak jadul dengan nuansa yang cukup kelam dan karena mereka ingin membangun franchise yang baru jadi kita harus duduk dulu mantengin cerita asal muasal sebelum kita dapat bagian aksi penuh nostalgia yang notabene hanya porsi itulah yang mendorong kita buat datang ke bioskop. Jadi, gimana nih Zordon? Kita pasti nonton dong ya?! Yayayaya!!

Buat anak-anak yang gede di tahun 90an, Power Rangers bisa jadi adalah bagian yang tak-terpisahkan dari kenangan masa kecil. I mean, setiap anak cowok pasti pengen jadi kayak Tommy si Ranger Hijau. And their first crush pastilah Kimberly. I know I did haha.. Dulu aku dan temen-temenku setiap sore keluar pake kaos warna-warni dan kami main Power Rangers, berantem-berantem di rumput. Ada juga yang kebagian jadi monster. Ceritanya kami karang bareng, bahkan karena yang main terlalu banyak, kami sampai nyiptain Ranger sendiri, kayak Ranger Orange atau Ungu. Yang cewek-cewek pun akhirnya ikutan main, dan karena kehabisan warna, kami bikin cerita tentang Power Rangers yang ketemu sama geng Sailor Moon.

It was so fun back then, jungkir-jungkir balik, mengangguk-angguk, meng’wush-wush’ setiap pukulan karena memang begitulah film Power Rangers. Over-the-top, seratuspersen hiburan, dan filmnya sendiri benar-benar nikmatin memposisikan diri sebagai personifikasi dua kata tersebut: Fun dan Lebay. Film pertamanya yang keluar tahun 1993 was so bad it’s good. Jadi aku masuk ke bioskop nonton versi reboot ini dengan girang, expecting hal cheesy yang sama, dan turns out aku mendapat lebih. Dan sayangnya aku enggak bisa bener-bener bersuara bulat bilang aku suka sama film ini.

Sincerely yours, The Power Rangers Club

 

Adegan pembuka film ini terlihat menjanjikan. Tim Power Rangers yang dipimpin oleh Ranger Merah Zordon kalah telak. Salah satu teman mereka, Ranger Hijau Rita Repulsa, turn on against them dan pada detik-detik krusial, meteor menghantam medan pertempuran – memisahkan Zordon dan Rita, dan kita dibawa ke masa kini. Mengetahui Rita akan bangkit dan kembali menghancurkan dunia dengan kekuatan emasnya, Zordon berusaha mencari pasukan Power Rangers yang baru. Unfortunately for Zordon, lima orang yang berhasil menemukan koin morphingnya, lima manusia yang pantas menyandang kekuatan sebagai Rangers, ternyata adalah remaja. Masih anak kemaren sore yang labil, dengan segala masalah dunia darah muda mereka. Jadi mereka perlu digembleng terlebih dahulu. Kita akan melihat kelima tokoh kita berusaha untuk saling mengenal dan menumbuhkan rasa persahabatan. Karena bukan saja mereka tidak mengenal satu sama lain, masing-masing mereka actually adalah anak-anak bermasalah dengan mental either pemberontak ataupun terlalu indiviualistis.

Ini seperti film The Breakfast Club (1985) mendapat kekuataan berubah wujud dan menjadi Chronicles (2012), dan kemudian bertarung dengan robot-robot seperti di Pacific Rim (2013).

 

Power Rangers garapan Dean Israelite bukan hanya berjuang pada konsistensi naskah, namun juga kesulitan buat nentuin pijakan ke mana film ini akan dijual. Babak pertama dan kedua Power Rangers terasa LEBIH COCOK BUAT DITONTON OLEH REMAJA yang udah lumayan dewasa, karena there’s no way anak kecil bisa betah dicekokin cerita pengembangan karakter dengan pacing seperti ini. Sedangkan babak terakhir adalah big-action total yang enggak peduli lagi sama kedaleman tokoh dan lain-lain. But actually, dua babak pertama itulah yang jadi bagian favoritku. Iya, film ini niru The Breakfast Club dengan tokoh-tokoh kita kena detensi segala macem, namun selama itu jadi alasan supaya para tokoh ini jadi punya karakter dan backstory, aku toh seneng-seneng aja. Paling enggak, filmnya sendiri jadi jauh lebih berbobot ketimbang Kong Skull Island (2017). Kalo ada orangtua yang ngajak anak-anak kecil nonton film ini, maka mereka pastilah canggung ketika film ngebahas siapa para tokoh. Mereka bukan the perfect hero, mereka remaja bermasalah, like in, masalah yang lebih dewasa. And in the end, orangtua dan anak kecil pada sepakat mereka ingin film ini cepet-cepet beralih ke adegan robot berantem melawan monster.

Jason adalah atlet sekolah yang udah ngecewain ayahnya lantaran ketangkep tangan dalam sebuah tindak prank, dan sekarang kelangsungan prestasinya dipertaruhkan. Kimberly dijauhin oleh temen-temen setelah insiden penyebaran foto tak-senonoh. Zack adalah penyendiri yang salah-dimengerti oleh orang lain, dia actually taking care ibunya yang sedang sakit. Triny adalah anak baru yang rebelling against semua stereotipe, dan film ini berani banget mengangkat Triny sebagai pahlawan anak-anak yang openly admit that she’s gay. Dan sebagai heart of the group, ada Billy; autis, korban bully, kena detensi lantaran kotak makan siangnya meledak. Film benar-benar menyempatkan waktu supaya karakter kelima anak ini terbangun dengan baik, sehingga pada akhirnya kita memang menjadi peduli kepada mereka. Menjadi Ranger enggak sekonyong-konyong bisa berubah dan bertarung, kita akan melihat mereka kesusahan untuk berubah. Mereka gagal bekerja sebagai sebuah tim, di sinilah letak hook cerita; tentang gimana remaja ini berusaha saling mengenal satu sama lain, despite of their angst and their problems. Kita terinvest kepada mereka, momen saat mereka beneran bisa berubah (and that’s not until 90 minute into this movie) terasa sangat menghentak.

Adegan api unggun semestinya adalah salah satu adegan terpenting di film ini, namun sayangnya adegan tersebut tidak terasa lebih dari sekedar tiruan The Breakfast Club. Alasan kenapa dalam Power Rangers development karakter seperti begini tidak maksimal adalah karena ada perbedaan kebutuhan tokoh dari kedua film ini. Pada The Breakfast Club, remaja-remaja tersebut kudu bisa melihat bahwa di balik label mereka adalah pribadi yang sama, so in the end they wear the labels proudly together karena mereka tahu label-label tersebut tidak berarti apa-apa. Pada Power Rangers, label ini coba diaddress but it doesn’t do anything karena pada akhirnya para tokoh menggunakan topeng untuk menutupinya. Mereka berubah, literally, mereka mencari sisi baik dari sifat mereka. Mereka enggak bisa berubah, sebelum mengubah ‘diri’ mereka masing-masing. They hide their labels instead.

 

Sebagaimana terdapat shot-shot yang diambil dengan keren – aku suka kerja kamera yang acapkali bikin kita ngerasa so-in-the-moment – penampilan akting para pemain yang kece pun cukup mumpuni. Enggak ada yang keliatan kayak akting level FTV. Mereka semua capable menyampaikan emosi meskipun memang penulisan ceritanya tidak pernah berhasil menjadi sesuatu yang punya dampak yang kuat. Ada begitu BANYAK PERGANTIAN TONE yang membuat cerita ini menjadi labil; ini mau serius apa gimana sih? Kayak di pembuka tadi, image api ledakan meteor terdissolve menjadi lambang tim sekolah dan menit berikutnya kita dapet adegan konyol soal Jason yang ‘memerah’ sapi jantan. Duh! Atau ketika setelah magnificent momen kita ngeliat Zord dan para Ranger bersiap, kita lantas disuguhi adegan Zack yang diem-diem nyobain zordnya, menghancurkan pegunungan for no reason. Di satu saat kita coba dibuat terenyuh oleh pengakuan dan rasa bersalah Kimberly, dan di saat lainnya kita diliatin Rita Repulsa sedang mengunyah donat. Film ini berpindah dari serius ke sepele tanpa tedeng aling-aling, dan itu bukanlah gimana film yang bagus dibuat.

Bicara soal Rita Repulsa, Elizabeth Banks bermain cukup total sebagai penjahat utama. Penampakannya nyeremin. Tapi ada yang kurang pada tokohnya ini. Dengan pahlawan kita yang enggak lurus-lurus amat, Rita juga enggak terasa terlalu jahat. Motifnya standar, dia enggak benar-benar ngelakuin hal yang membuatnya menjadi sosok penjahat yang berbeda. Sukur waktu Rita kalah dan ditampar ke luar angkasa, film ini enggak ngebikinnya kayak adegan kekalahan Team Rocket di kartun Pokemon hhihi

Goldar “Crush” is about to visit the Suplex City

 

Action yang kita tunggu-tunggu dateng barengan sama perasaan nostalgia. Ada sensasi di hati begitu lagu tema Power Rangers terdengar. Aku ngikik ngeliat mereka berantem sambil nyeletuk-nyeletuk lucu. Aku terlonjak ngeliat ‘the real’ Tommy dan Kimberly muncul sebagai cameo di menjelang akhir. Koreografi berantemnya terlihat menyenangkan dan power ranger banget. Aku pada akhirnya bisa memaklumi perihal penampakan kostum baru mereka yang tampak terlalu ngerobot, karena ternyata film berhasil ngejual aspek kostum ini sebagai sesuatu yang benar-benar dibutuhkan oleh Rangers. Efeknya juga keren. Terlihat berat beneran. Saat mereka lari dari markas ke mulut goa, aku kepikiran kayaknya berat banget memakai kostum tersebut.

Dan memang hanya nostalgialah yang jadi andelan babak ketiga. Segala build up tuntas remeh begitu saja. Adegannya memang seru namun tidak ada apa-apa lagi di sana. Standar huge-explosive-big-fight-scene. Penampakan Zordnya aneh, aku heran kenapa zord Ranger Hitam bukan Mastodon kayak di original. Megazordnya terlihat rapuh dan enggak gagah. Begitu juga dengan Goldar. Karakter-karakternya juga mundur jadi cheesy. Bagian inilah yang paling mudah dinikmati oleh anak kecil, karena yang kayak beginilah the real Power Rangers. But at this point, kita sudah nunggu terlalu lama, capek oleh pergantian warna cerita, sehingga kita enggak bisa lebih peduli.

 

 
Ini adalah action superhero movie yang cukup seru. Berusaha menjadi dewasa, meski tidak menyumbangkan hal yang baru dalam elemen berceritanya. Dari semua remaja berattitude tersebut, Ranger favoritku adalah Triny, si basketcase of the group. CGI bekerja lumayan baik, tampilan Zordon, Alpha, dan kostum Rangernya keren dan terlihat kekinian. Zord, robot, dan monster, sebaliknya, terlihat parah dan generic. Jika saja film ini ‘tahu diri’, jika saja film ini tidak terlalu banyak berganti-ganti tone, jika saja film ini enggak labil dan masukin banyak elemen film lain yang lebih sukses, kita akan bisa lebih mengapresiasinya. But no, jurus Megazord melawan Goldar adalah German Suplex, kayak di film Dangal (2016), aku enggak ngerti kenapa jurusnya mesti itu; tokohnya enggak ada yang pegulat padahal. Film ini kesulitan bahkan untuk mastiin buat siapa dirinya dibuat. Mestinya Jason dan teman-teman belajar berubah dari film ini, karena ada begitu banyak perubahan tone di sepanjang narasi. Alih-alih menjadi fun dan cheesy seperti biasa, film ini berubah menjadi dua hal lagi; aneh dan sedikit tidak-nyaman untuk ditonton.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for POWER RANGERS.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.