POWER RANGERS Review

“Don’t expect to see a change if you don’t make one.”

 

 

Ayayayay, Zordon! Mereka sekali lagi membuat reboot dari acara tv anak-anak jadul dengan nuansa yang cukup kelam dan karena mereka ingin membangun franchise yang baru jadi kita harus duduk dulu mantengin cerita asal muasal sebelum kita dapat bagian aksi penuh nostalgia yang notabene hanya porsi itulah yang mendorong kita buat datang ke bioskop. Jadi, gimana nih Zordon? Kita pasti nonton dong ya?! Yayayaya!!

Buat anak-anak yang gede di tahun 90an, Power Rangers bisa jadi adalah bagian yang tak-terpisahkan dari kenangan masa kecil. I mean, setiap anak cowok pasti pengen jadi kayak Tommy si Ranger Hijau. And their first crush pastilah Kimberly. I know I did haha.. Dulu aku dan temen-temenku setiap sore keluar pake kaos warna-warni dan kami main Power Rangers, berantem-berantem di rumput. Ada juga yang kebagian jadi monster. Ceritanya kami karang bareng, bahkan karena yang main terlalu banyak, kami sampai nyiptain Ranger sendiri, kayak Ranger Orange atau Ungu. Yang cewek-cewek pun akhirnya ikutan main, dan karena kehabisan warna, kami bikin cerita tentang Power Rangers yang ketemu sama geng Sailor Moon.

It was so fun back then, jungkir-jungkir balik, mengangguk-angguk, meng’wush-wush’ setiap pukulan karena memang begitulah film Power Rangers. Over-the-top, seratuspersen hiburan, dan filmnya sendiri benar-benar nikmatin memposisikan diri sebagai personifikasi dua kata tersebut: Fun dan Lebay. Film pertamanya yang keluar tahun 1993 was so bad it’s good. Jadi aku masuk ke bioskop nonton versi reboot ini dengan girang, expecting hal cheesy yang sama, dan turns out aku mendapat lebih. Dan sayangnya aku enggak bisa bener-bener bersuara bulat bilang aku suka sama film ini.

Sincerely yours, The Power Rangers Club

 

Adegan pembuka film ini terlihat menjanjikan. Tim Power Rangers yang dipimpin oleh Ranger Merah Zordon kalah telak. Salah satu teman mereka, Ranger Hijau Rita Repulsa, turn on against them dan pada detik-detik krusial, meteor menghantam medan pertempuran – memisahkan Zordon dan Rita, dan kita dibawa ke masa kini. Mengetahui Rita akan bangkit dan kembali menghancurkan dunia dengan kekuatan emasnya, Zordon berusaha mencari pasukan Power Rangers yang baru. Unfortunately for Zordon, lima orang yang berhasil menemukan koin morphingnya, lima manusia yang pantas menyandang kekuatan sebagai Rangers, ternyata adalah remaja. Masih anak kemaren sore yang labil, dengan segala masalah dunia darah muda mereka. Jadi mereka perlu digembleng terlebih dahulu. Kita akan melihat kelima tokoh kita berusaha untuk saling mengenal dan menumbuhkan rasa persahabatan. Karena bukan saja mereka tidak mengenal satu sama lain, masing-masing mereka actually adalah anak-anak bermasalah dengan mental either pemberontak ataupun terlalu indiviualistis.

Ini seperti film The Breakfast Club (1985) mendapat kekuataan berubah wujud dan menjadi Chronicles (2012), dan kemudian bertarung dengan robot-robot seperti di Pacific Rim (2013).

 

Power Rangers garapan Dean Israelite bukan hanya berjuang pada konsistensi naskah, namun juga kesulitan buat nentuin pijakan ke mana film ini akan dijual. Babak pertama dan kedua Power Rangers terasa LEBIH COCOK BUAT DITONTON OLEH REMAJA yang udah lumayan dewasa, karena there’s no way anak kecil bisa betah dicekokin cerita pengembangan karakter dengan pacing seperti ini. Sedangkan babak terakhir adalah big-action total yang enggak peduli lagi sama kedaleman tokoh dan lain-lain. But actually, dua babak pertama itulah yang jadi bagian favoritku. Iya, film ini niru The Breakfast Club dengan tokoh-tokoh kita kena detensi segala macem, namun selama itu jadi alasan supaya para tokoh ini jadi punya karakter dan backstory, aku toh seneng-seneng aja. Paling enggak, filmnya sendiri jadi jauh lebih berbobot ketimbang Kong Skull Island (2017). Kalo ada orangtua yang ngajak anak-anak kecil nonton film ini, maka mereka pastilah canggung ketika film ngebahas siapa para tokoh. Mereka bukan the perfect hero, mereka remaja bermasalah, like in, masalah yang lebih dewasa. And in the end, orangtua dan anak kecil pada sepakat mereka ingin film ini cepet-cepet beralih ke adegan robot berantem melawan monster.

Jason adalah atlet sekolah yang udah ngecewain ayahnya lantaran ketangkep tangan dalam sebuah tindak prank, dan sekarang kelangsungan prestasinya dipertaruhkan. Kimberly dijauhin oleh temen-temen setelah insiden penyebaran foto tak-senonoh. Zack adalah penyendiri yang salah-dimengerti oleh orang lain, dia actually taking care ibunya yang sedang sakit. Triny adalah anak baru yang rebelling against semua stereotipe, dan film ini berani banget mengangkat Triny sebagai pahlawan anak-anak yang openly admit that she’s gay. Dan sebagai heart of the group, ada Billy; autis, korban bully, kena detensi lantaran kotak makan siangnya meledak. Film benar-benar menyempatkan waktu supaya karakter kelima anak ini terbangun dengan baik, sehingga pada akhirnya kita memang menjadi peduli kepada mereka. Menjadi Ranger enggak sekonyong-konyong bisa berubah dan bertarung, kita akan melihat mereka kesusahan untuk berubah. Mereka gagal bekerja sebagai sebuah tim, di sinilah letak hook cerita; tentang gimana remaja ini berusaha saling mengenal satu sama lain, despite of their angst and their problems. Kita terinvest kepada mereka, momen saat mereka beneran bisa berubah (and that’s not until 90 minute into this movie) terasa sangat menghentak.

Adegan api unggun semestinya adalah salah satu adegan terpenting di film ini, namun sayangnya adegan tersebut tidak terasa lebih dari sekedar tiruan The Breakfast Club. Alasan kenapa dalam Power Rangers development karakter seperti begini tidak maksimal adalah karena ada perbedaan kebutuhan tokoh dari kedua film ini. Pada The Breakfast Club, remaja-remaja tersebut kudu bisa melihat bahwa di balik label mereka adalah pribadi yang sama, so in the end they wear the labels proudly together karena mereka tahu label-label tersebut tidak berarti apa-apa. Pada Power Rangers, label ini coba diaddress but it doesn’t do anything karena pada akhirnya para tokoh menggunakan topeng untuk menutupinya. Mereka berubah, literally, mereka mencari sisi baik dari sifat mereka. Mereka enggak bisa berubah, sebelum mengubah ‘diri’ mereka masing-masing. They hide their labels instead.

 

Sebagaimana terdapat shot-shot yang diambil dengan keren – aku suka kerja kamera yang acapkali bikin kita ngerasa so-in-the-moment – penampilan akting para pemain yang kece pun cukup mumpuni. Enggak ada yang keliatan kayak akting level FTV. Mereka semua capable menyampaikan emosi meskipun memang penulisan ceritanya tidak pernah berhasil menjadi sesuatu yang punya dampak yang kuat. Ada begitu BANYAK PERGANTIAN TONE yang membuat cerita ini menjadi labil; ini mau serius apa gimana sih? Kayak di pembuka tadi, image api ledakan meteor terdissolve menjadi lambang tim sekolah dan menit berikutnya kita dapet adegan konyol soal Jason yang ‘memerah’ sapi jantan. Duh! Atau ketika setelah magnificent momen kita ngeliat Zord dan para Ranger bersiap, kita lantas disuguhi adegan Zack yang diem-diem nyobain zordnya, menghancurkan pegunungan for no reason. Di satu saat kita coba dibuat terenyuh oleh pengakuan dan rasa bersalah Kimberly, dan di saat lainnya kita diliatin Rita Repulsa sedang mengunyah donat. Film ini berpindah dari serius ke sepele tanpa tedeng aling-aling, dan itu bukanlah gimana film yang bagus dibuat.

Bicara soal Rita Repulsa, Elizabeth Banks bermain cukup total sebagai penjahat utama. Penampakannya nyeremin. Tapi ada yang kurang pada tokohnya ini. Dengan pahlawan kita yang enggak lurus-lurus amat, Rita juga enggak terasa terlalu jahat. Motifnya standar, dia enggak benar-benar ngelakuin hal yang membuatnya menjadi sosok penjahat yang berbeda. Sukur waktu Rita kalah dan ditampar ke luar angkasa, film ini enggak ngebikinnya kayak adegan kekalahan Team Rocket di kartun Pokemon hhihi

Goldar “Crush” is about to visit the Suplex City

 

Action yang kita tunggu-tunggu dateng barengan sama perasaan nostalgia. Ada sensasi di hati begitu lagu tema Power Rangers terdengar. Aku ngikik ngeliat mereka berantem sambil nyeletuk-nyeletuk lucu. Aku terlonjak ngeliat ‘the real’ Tommy dan Kimberly muncul sebagai cameo di menjelang akhir. Koreografi berantemnya terlihat menyenangkan dan power ranger banget. Aku pada akhirnya bisa memaklumi perihal penampakan kostum baru mereka yang tampak terlalu ngerobot, karena ternyata film berhasil ngejual aspek kostum ini sebagai sesuatu yang benar-benar dibutuhkan oleh Rangers. Efeknya juga keren. Terlihat berat beneran. Saat mereka lari dari markas ke mulut goa, aku kepikiran kayaknya berat banget memakai kostum tersebut.

Dan memang hanya nostalgialah yang jadi andelan babak ketiga. Segala build up tuntas remeh begitu saja. Adegannya memang seru namun tidak ada apa-apa lagi di sana. Standar huge-explosive-big-fight-scene. Penampakan Zordnya aneh, aku heran kenapa zord Ranger Hitam bukan Mastodon kayak di original. Megazordnya terlihat rapuh dan enggak gagah. Begitu juga dengan Goldar. Karakter-karakternya juga mundur jadi cheesy. Bagian inilah yang paling mudah dinikmati oleh anak kecil, karena yang kayak beginilah the real Power Rangers. But at this point, kita sudah nunggu terlalu lama, capek oleh pergantian warna cerita, sehingga kita enggak bisa lebih peduli.

 

 
Ini adalah action superhero movie yang cukup seru. Berusaha menjadi dewasa, meski tidak menyumbangkan hal yang baru dalam elemen berceritanya. Dari semua remaja berattitude tersebut, Ranger favoritku adalah Triny, si basketcase of the group. CGI bekerja lumayan baik, tampilan Zordon, Alpha, dan kostum Rangernya keren dan terlihat kekinian. Zord, robot, dan monster, sebaliknya, terlihat parah dan generic. Jika saja film ini ‘tahu diri’, jika saja film ini tidak terlalu banyak berganti-ganti tone, jika saja film ini enggak labil dan masukin banyak elemen film lain yang lebih sukses, kita akan bisa lebih mengapresiasinya. But no, jurus Megazord melawan Goldar adalah German Suplex, kayak di film Dangal (2016), aku enggak ngerti kenapa jurusnya mesti itu; tokohnya enggak ada yang pegulat padahal. Film ini kesulitan bahkan untuk mastiin buat siapa dirinya dibuat. Mestinya Jason dan teman-teman belajar berubah dari film ini, karena ada begitu banyak perubahan tone di sepanjang narasi. Alih-alih menjadi fun dan cheesy seperti biasa, film ini berubah menjadi dua hal lagi; aneh dan sedikit tidak-nyaman untuk ditonton.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for POWER RANGERS.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

Comments

Leave a Reply