LIFE Review

“… the only form of life we have created so far is purely destructive.”

 

 

Jake Gyllenhaal di luar angkasa? C’mon gimana aku bisa bilang “tidak” kepada film ini!

Jadi ceritanya, Jake bersama Deadpool dan empat astronot lain harus stay di orbit buat mengawasi misi Mars Pilgrim 7; mencari sampel kehidupan di Planet Merah. Keenam kru harus menjemput dan memastikan spesimen organis dari planet Mars itu bisa nyampe Bumi dengan selamat, karena tentu saja itu merupakan penemuan yang sangat luar biasa. Dibawalah organisme tersebut ke stasiun luar angkasa mereka, diteliti, dirawat baik-baik. Enggak ada yang curiga dong, ketika alien imut tersebut mulai bergerak. Jake dan teman-teman malah girang, begitu juga orang-orang di Bumi. Si alien diberi nama Calvin. Namun, apa yang tadinya hanya satu sel dengan cepat berkembang menjadi susunan jaringan otot, otak, dan indera. Dan horor! Sekarang misi enam manusia itu berputar 180 derajat menjadi menjauhkan makhluk cerdas, highly adaptable, dan berbahaya ini dari Bumi, dan dari diri mereka sendiri.

Seperti kamera yang berkesinambungan ngesyut aktivitas di dalam stasiun luar angkasa pada sepuluhan menit pertama, film ini pun akan terus mendera kita dengan perasaan teror dan terkurung begitu Calvin mulai menjebol kotak penangkarannya. Discovery yang kita dapati adalah bahwa ternyata film ini enggak berniat membahas hal-hal filosofis. Ini bukan jenis film di mana Jake Gyllenhaal punya kembaran ataupun mimpi didatengin kelinci dan dia harus mencari tahu makna di balik semuanya. There’s really nothing beyond pembahasan bahwa di dunia ini kita enggak sendirian dan setiap makhluk hidup berhak atas yang namanya bertahan hidup. Life adalah HOROR SURVIVAL DI LUAR ANGKASA. Dengan kehadiran tropes standar, dirinya mungkin akan mengingkatkan kita sama Alien (1979) atau malah premisnya bikin teringat dengan game jadul Game Boy Advance; Metroid Fusion, film digarap dengan sangat capable dan punya perspektif penceritaan yang cukup berciri. I mean, kita enggak bisa ngeshoot down film ini “enggak original!” begitu saja. For once, gimana tokoh film ini ngetreat Calvin saja sudah membuatnya agak berbeda dengan survival horor kebanyakan.

“we’re not alone.. there’s more to this I know”

 

Pace yang lumayan cepet, namun tetep terasa contained. Setnya terlihat compelling dan memenjarakan, meskipun mungkin mata kita masih terbuai oleh menterengnya pesawat Passengers (2016). Kita akan menikmati perasaan terkungkung dan mencekam yang dialami oleh para tokoh. Aku enjoy ngeliat mereka main kucing-kucingan dengan Calvin yang bisa nyelip masuk ke mana-mana. In fact, ada banyak waktu ketika aku malahan ngecheer si alien yang kayak gabungan gurita dengan amuba tersebut. Karena dalam film ini, kita enggak benar-benar yakin mesti ngedukung tokoh yang mana.

Semenjak Alien memang terbit semacam tren di dalam genre survival horor bahwa semakin penonton enggak bisa menerka tokoh mana saja yang bakalan selamat, maka itu artinya film semakin sukses ngedeliver elemen aksi dan horornya. Life juga sukses bikin kita nerka-nerka siapa yang mati duluan, aku kecele juga karena tadinya kukira tokoh kulit hitam yang bakal mati duluan, malahan kayaknya di trailer aja dia udah game over hhihi, tapi enggak. Namun faktor enggak bisa nebak yang selamat ini tidaklah lantas dijadikan alasan untuk sengaja tidak mengembangkan para tokoh manusia. It would be suck buat ngeliat tokoh-tokoh hanya jadi korban gitu aja tanpa kita merasa kehilangan atas mereka. Film butuh supaya skripnya memegang satu karakter sebagai pondasi agar strukturnya bisa kuat. Dalam Life, kita bisa menyaksikan ada usaha untuk memberikan personality kepada para tokoh manusia.

Dari enam, ada tiga yang diberikan backstory. Well, ya lumayanlah dibanding kosong melompong. Yang paling menarik adalah ahli biologi Hugh Derry yang diperankan oleh Ariyon Bakare. Hugh yang kakinya cacat merasa lebih hidup di luar angkasa, dia enggak perlu pakai kursi roda di atas sini. Dan kemudian, sebagai orang yang bertanggung jawab langsung dalam mengurus Calvin, Hugh memberikan pandangan yang menarik ketika dia merasa bersalah atas apa yang sudah dilakukan oleh alien tersebut. At one point, Hugh tampaknya sudah terattach secara emosional kepada Calvin.

Sudah seperti orangtua dengan anaknya sendiri. Hugh ngerasa bertanggung jawab karena dia yang sudah memberikan kesempatan hidup buat Calvin. Eventually ini menjadi konflik moral yang sempet disinggung sekilas banget oleh film; seperti apakah tepatnya tanggungjawab tersebut, apakah dengan memberikan hidup maka kita juga yang bertugas untuk menghentikannya. Tidak seperti hape – setiap kali kita ngecharge, kita meniupkan kehidupan kepada baterainya, Calvin actually adalah makhluk hidup yang berhak untuk bertahan. Sayang memang film ini tidak menggali lebih jauh soal hubungan menarik yang terbentuk antara Hugh dengan Calvin.

 

Sesungguhnya ada orangtua beneran dalam ensemble ini, tokoh yang dimainkan oleh Hiroyuki Sanada adalah seorang yang baru saja menjadi bapak. Namun backstory personal ini tidak berkembang lebih jauh karena kelahiran putranya tersebut hanya digunakan sebagai pemantik emosi. Kesempatan besar juga dilewatkan dalam penanganan karakter Jake Gyllenhaal. Dia memerankan David, seorang dokter yang actually sudah berada di sana selama 473 hari, paling lama di antara rekan-rekannya. David begitu betah di luar angkasa, dia enggan balik ke Bumi, dan alasan di balik itu semua cukup menarik; dia enggak tahan melihat apa yang bisa kita lakukan terhadap sesama. Dokter ini sangat terpukul setelah apa yang ia saksikan saat dikirim ke medan peperangan. Sayangnya, motivasi dan traits personal David enggak pernah sekalipun dikaitkan sebagai lapisan cerita. Hanya dibahas begitu saja, dan tidak hingga di akhir backstorynya ini memberikan impact.
Selebihnya ya, mereka cuma ada di sana, dengan peran minimal masing-masing. Ryan Reynolds di sini hanyalah seorang astronot realis yang keren penuh komentar lucu. PENGARAKTERAN YANG TIPIS BANGET. Kharisma dan kemampuan para aktor yang membuat film ini watchable.

Atau mungkin, kita beneran betah duduk lantaran ingin melihat gimana aktor-aktor tersebut menemui ajal. Bukan bermaksud sadis, tapi memang film ini mendadak menjadi KREATIF SAAT PARA TOKOH MENEMUI AJAL. Cara matinya, gimana mereka ngesyut adegan mati tersebut, lumayan unik. Lagian, kita juga enggak bisa jadi lebih peduli lagi sama mereka. So much for survival thing, kita malah dibuat penasaran pada apa yang bisa dilakukan oleh Calvin. Meskipun disebutkan sebagai makhluk karbon seperti manusia, sepanjang film kita akan melihat alien ini ngelakuin hal luar biasa, dia tahan api, dia bisa mencerna tikus dengan cepat bulat-bulat, dia bisa ‘tahan napas’ di outer space. Kontras banget sama tokoh manusia yang kerap mengambil keputusan-keputusan yang bego. Pada satu sekuen Calvin meloloskan diri, ada seorang tokoh yang terus mengambil tindakan yang bakal bikin kita jerit-jerit stress. Satu sekuen loh itu bayangkan, apa yang mau didukung dari karakter manusianya coba! Orang-orang pintar ini kayak pada berlomba nyari cara paling bloon buat mati.

“dumb ways to die, so many dumb ways to die”

 

Soal twist endingnya, aku enggak tahu, it did feels like they want to push it into a sequel tapi aku enggak yakin. Apakah endingnya resolving a plot? Aku enggak mau spoiler banyak, tapi in a way, iya, ada tokoh yang plotnya, istilahnya, ‘kebales’. Apakah ending ini stupid? Jawabannya iya juga, wakwaw banget, kerasa film ini dibuat ya cuma supaya mereka bisa seru-seruan dengan bagian akhir ini. Kayak saat pitching mereka bilang gini “gimana kalo kita bikin film alien seru kayak Alien, tapi endingnya dibikin mirip-mirip Gravity, gini nih sini deh aku bisikin…” dan voila, film ini lantas diperjuangkan untuk hidup supaya adegan surprise ini terlaksana. Apakah endingnya ini worked? Iya juga, ini bekerja sebagai paradoks tentang kehancuran manusia akan datang sebagai akibat dari apa yang kita hidupkan.

Hidup adalah proses. Bukan hanya pengciptaan, melainkan juga kehancuran. Pada akhirnya ini adalah soal siapa yang memiliki naluri bertahan yang paling kuat. Siapa yang rela menghancurkan demi kelangsungan. Apakah manusia akan punah jika suatu saat ada spesies yang lebih ‘canggih’ sekaligus lebih ‘primal’ seperti Calvin? Atau sebaliknya, apakah kehancuran adalah satu-satunya bentuk kehidupan yang bisa kita ‘hidupkan’?

 

 

 
Film ini mengembalikan kita kepada citarasa alien tradisional setelah kedatangan Arrival (2016) yang begitu berbeda. It is a fast-paced, confined-space survival horror yang tau persis apa yang ia lakukan. Tone dan arahannya ketat menghasilkan petualangan hidup-mati yang mendebarkan. Namun tidak banyak yang terkandung di dalamnya. Enggak kosong total sih; setengah berisi, dan film ini pun tidak ingin disibukkan dengan mengisi sampai penuh. Dia malah kelihatan lemah saat berusaha menjadi sedikit berbobot. Ditambah dengan banyaknya bad decisions yang dilakukan oleh para tokoh, film ini tampaknya justru hidup dengan membiarkan mereka mati.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for LIFE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

Leave a Reply