PENGABDI SETAN Review

“One man’s cult is another man’s religion.”

 

 

Orang yang hidup sebenarnya lebih berbahaya dari orang yang sudah mati. Terutama orang hidup yang enggak beriman kepada Tuhan. Dalam bahasa film ini; yang enggak sholat. Orang hidup dapat actually mencelakai kita. Dan pas mereka mati, orang-orang kayak gini akan bangun lagi, dan jadi hantu. Lagi-lagi menganggumu.

 

Pengabdi Setan (1980) hakikatnya adalah cerita kemenangan iman atas keingkaran. Tentang sebuah keluarga yang begitu gampangnya disusupi kekuatan hitam, diganggu, dan pada akhirnya dicelakai lantaran mereka memilih untuk berlindung kepada yang salah. Versi remakenya ini, however, masih mengeksplorasi aspek yang sama. Hanya saja kali ini digarap menggunakan teknik bercerita yang relevan dengan mainstream appeal jaman sekarang. Dan film ini sukses melakukan itu. Narasinya semakin diperluas, stake dan misterinya juga ditingkatkan.

Keluarga yang kita ikuti kali ini adalah keluarga dengan empat orang anak. Mereka ‘mengungsi’ ke rumah nenek karena rumah mereka digadai. It’s 1980s dan karir nyanyi Ibu mereka sudah meredup. Ibu sudah tiga tahun sakit parah sebelum akhirnya meninggal dengan misterius. Pasca kematian Ibu, Bapak berangkat ke kota untuk mencari penghasilan. Meninggalkan Rini, Tony, Bondi, dan Ian di rumah Nenek. Namun apa yang seharusnya anak-anak menunggu Bapak pulang, berubah menjadi mengerikan. Tanpa ada yang nunggu, Ibu mereka yang tadi baru dikubur mendadak pulang. Menebar ketakutan di tengah Rini dan adik-adiknya. Salah satu dari mereka akan diajak ke alam baka, dan Rini harus figure out siapa, kenapa, dan apa yang sebenarnya terjadi yang berkaitan dengan masa lalu orangtua mereka.

Atmosfer mencekam sedari awal sudah terestablish. Di babak awal, kita diperlihatkan kehidupan keluarga ini ketika Ibu masih hidup seadanya. Hanya bisa berbaring di tempat tidur. Ini adalah elemen yang tidak kita temukan di film orisinalnya. Kita tidak tahu seperti apa hubungan para tokoh dengan Ibu yang mayatnya sedang dikuburkan begitu film dimulai. Pengabdi Setan modern, memberi kita kesempatan untuk melihat seperti apa Ibu di mata masing-masing anaknya. At least, seperti apa Ibu saat sakit keras. And it was very interesting, kita ngeliat mereka takut kepada Ibu kandung mereka sendiri. Mereka sayang, peduli, dan ingin Ibu sembuh, namun di saat yang sama mereka tampak enggan untuk berlama-lama di kamar dengan Ibu berdua saja. Sakit Ibu yang misterius membuat sosoknya menjadi semakin menyeramkan. Bahkan Bondi terang-terangan mengungkapkan ketakutannya. Misteri ini juga langsung berpengaruh kepada kita, ada apa sebenarnya dengan si Ibu yang lagu hitsnya punya lirik bikin merinding itu.

I’m gonna make sure malam ini tidak akan sunyi

 

The whole deal soal menjadi abdi setan mendapat eksplorasi yang lebih dalam. Motivasi akan dibeberkan kepada kita, but just enough. Film ini masih menyisakan misteri yang membuat kita berpikir ke mana arah cerita dibawa. Ada beberapa referensi ke film orisinalnya – tokoh maupun pengadeganan – yang diberikan dengan subtil, yang menurutku ada beberapa yang work, ada yang enggak. Dan film ini begitu pede dengan materi yang ia punya, sehingga berani mengambil resiko berupa benturan tone cerita demi mendelivery beberapa referensi ataupun jokes.

Untuk sebuah cerita tentang sekte, film ini termasuk pengikut lantaran dia banyak memakai trope-trope cerita horor yang sudah pakem. Meninggalkan kita dengan rasa yang enggak benar-benar fresh. Rumah di area terpencil, over reliance sama jumpscare – hanya sedikit sekali adegan-adegan subtil seperti hantu nongol di cermin, elemen komunikasi dengan lonceng, sumur, elemen anak kecil yang sulit bicara. Penggemar horor jangan kuatir, penampakan hantu; kostum mayat hidup, pocong, efek dan darah dan sebagainya jelas mengalami peningkatan. Kalo Pengabdi Setan jadul masih bisa bikin kalian ketakutan, maka versi baru ini jelas akan BIKIN KALIAN JEJERITAN.

Desain produksi film ini nomor satu banget. Build up adegan-adegan seram menjadi efektif olehnya. Sinematografinya juga all-out, teknik-teknik kayak wide shot dengan kamera melengok ke kanan dan kiri, Dutch Angle untuk memperkuat kebingungan dan kengerian secara psikis, close up shot, bahkan quick cut ala Edgar Wright juga digunakan untuk mengantarkan kepada kita pengalaman visual yang bikin kita penasaran-tapi-gak-berani-melototin-layar-berlama-lama. Musik dan suara dirancang untuk benar-benar menggelitik saraf takut. Most of them are loud, jadi buat yang demen dikagetin bakalan have a scary good time nonton ini.

Personally, meskipun digunakan dengan efektif, jumpscare dalam film ini terlalu keseringan. Ngikutin kesan beberapa teknik yang digunakan hanya karena bisa, maka karena aku bisa, aku akan menarik perbandingan antara horor dengan bercinta. Saat kita nonton horor, kita gak ingin cepat-cepat teriak “aaaaaaaaaaahhh!”. Kita ingin ada build up menuju adegan menyeramkan, membangun teriak ketakutan  layaknya fore play. Dan jumpscare berujung ke premature orgasm, hanya akan membuat kita terlepas dari kengerian yang udah kebangun. Untuk kasus film ini, jumpscarenya malah sama dengan fake orgasm. Setiap kali ada setan muncul, penonton di studio ketawa sambil teriak ketakutan, lebih tepatnya ditakut-takutin. It’s annoying. Kesan yang ada adalah mereka teriak setiap kali ada hantu, untuk lucu-lucuan, atau hanya supaya dibilang berpartisipasi – kebawa reaksi video penonton premier Pengabdi Setan yang sempat rame di social media menjelang film ini rilis untuk umum.

what’s more of a sign than sign language?

 

Manusia adalah makhluk yang vulnerable. Selalu butuh untuk mencari tempat perlindungan. Kita cenderung ingin menyandarkan insecurity kepada sesuatu yang lebih gede dari kita, yang bisa kita percaya. Anak akan bersandar kepada orangtua. Orangtua yang beriman akan meneruskan cari perlindungan ke Tuhan. Dan tak sedikit yang terjerumus kepada hal-hal ghoib. Ini menjadi polemik, sebab sekte menurut satu orang adalah agama bagi orang lain.

 

Keluarga Rini tidak dekat dengan Tuhan, sebab Ibu yang menjadi pusat semesta mereka sudah lebih dahulu diam-diam menyandarkan bahu, meminta kepada setan. Journey Rini semestinya sudah jelas. Dia harus memegang kendali membawa keluarganya ke jalan yang benar. Akan tetapi, tidak seperti Pengabdi Setan dahulu yang less-ambitious – film tersebut dibikin hanya untuk menyampaikan baik melawan jahat, Pengabdi Setan versi baru ini terkesan ingin membuktikan bahwa dia bisa melakukan yang lebih baik, makanya dia banyak memakai teknik dan trope-trope film lain. Tak pelak, ini jadi bumerang.  Dalam film ini, not even Ustadz dapat mengalahkan kekuatan setan. Dan ini menihilkan keseluruhan journey dan pembelajaran. Narasi film tidak terasa full-circle. Semakin mendekati akhir, revealing atas apa yang mereka lakukan terdengar semakin konyol. Like, “Tadinya gini, eh ternyata ada diralat.” Terasa seperti film ini bernapsu untuk mengupstage plot poin mereka sendiri dengan twist dan turn yang kelamaan makin gak make sense.

At its worst, film lupa untuk mengikat banyak hal, memberi banyak celah untuk kita nitpick. Editing di bagian kejar-kejar akhir agak off, eye tracingnya membuat kita bingung persepsi dan arah bangunan rumah. Beberapa poin cerita juga tersambung dengan aneh dan goyah banget. Sepanjang bagian tengah dihabiskan Bondi tampil kayak kesurupan; berdiri diam, dia bahkan ngambil pisau, dan tau-tau di akhir, dia menjadi baik saja. Sebelum Bapak pergi ke kota, anak-anaknya mencemaskan gimana kalo nanti ada apa-apa, Bapak bilang apa sih yang bisa terjadi? Beberapa hari kemudian, nenek bunuh diri, dan kita enggak melihat usaha dari Rini ataupun Tony untuk menghubungi ayah mereka. I mean, ibu dari ayah mereka baru saja tiada, alasan apa lagi sih yang ditunggu buat nyari Bapak? Ada adegan ketika mereka nunggu jam duabelas malam, Bapak menyuruh Rini dan Tony tidur duluan pukul setengah sebelas, dia bilang dia masih kuat nungguin bareng Pak Ustadz. Adegan berikutnya yang menampilkan Bapak, jam duabelas teng ketika all hell broke loose, kita melihat beliau bobok di ranjang. Tokoh ini tidak ada determinasi sama sekali. Well, yea, semua tokoh Pengabdi Setan memang ditulis seadanya. Selain Rini, enggak banyak karakter yang dapat development, selain beberapa di antara mereka ternyata punya pengetahuan tentang Ibu, dan beralih fungsi menjadi easy eksposisi.

Karakter terbaik dalam film ini adalah si bungsu Ian (M.Adhiyat mampu menafsirkan arahan dengan baik). Tingkahnya beneran seperti anak-anak, and he was so likeable. Ketika nyawanya terancam di bagian akhir, kita beneran peduli. Tokoh ini juga satu-satunya yang punya plot. Bahkan Rini, tokoh utama, enggak berkembang banyak. Karakternya cuma sebagai si Kakak Tertua. Tara Basro dan kebanyakan pemain sudah cukup kelimpungan oleh penggunaan aksen jadul seperti pemakaian kata ‘kau’, sehingga mungkin memang penulisan karakternya sengaja tipis-tipis saja. Tony adalah anak yang paling deket dengan Ibu, setiap malam dia nyisirin Ibu. Sementara Bondi, well, anak macam apa sih yang nyebut kuburan lengkap banget dengan “areal pekuburan”? I mean, bahkan Lisa Simpson aja enggak sekaku itu ketika dia mengadu ketakutan melihat kuburan dari jendela kamarnya dalam salah satu episode The Simpsons. Bondi adalah anak paling boring sedunia, he only good at screaming like a girl. Dan Hendra, oh boy, anak Pak Ustadz ini has the worst flirting tactic ever. Dia plainly bilang ke Rini dia ngestalk kuburan dan rumah mereka di malam hari, namun dia malah melihat hantu Ibu, dan ujung-ujungnya dia ngajak Rini nginap di rumahnya.

 

 

 

Remake dari horor cult classic Indonesia ini adalah contoh penerapan yang sangat baik dari template horor mainstream James Wan. Bahkan dengan twistnya – yang merupakan upaya untuk menutupi kegaklogisan plot-plot poin – film ini pun tidak pernah terasa benar-benar fresh. Tapi ini adalah horor yang sangat fun dan enjoyable. Design dan teknik produksi kelas atas. Beberapa adegannya akan mudah sekali membuat kita menjerit kaget. Merasa kita ketakutan. Terutama jika kita nonton ini bareng-bareng dan termakan sama strategi viral video reaksi penonton premier.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for PENGABDI SETAN.

 



That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.



KONG: SKULL ISLAND Review

“You have enemies? Good. That means you’ve stood for something, sometime in your life.”

 

 

Bertamu ke rumah orang, kita mestinya sopan. Kita enggak gedor pintu depan rumahnya. Kita enggak nyelonong boy masuk tanpa permisi, apalagi kalo belum kenal. Kita enggak lupa nyiram kamar mandi sekiranya kita numpang ‘ngebom’. Heck, kita should never ngebom beneran rumah orang yang kita datengin. Tapi tim ekspedisi dalam film Kong: Skull Island terbang masuk ke pulau misterius yang baru saja ditemukan lewat citra satelit sembari memborbardir daratan. Tim yang terdiri dari beberapa ilmuwan dan sekelompok tentara itu dikirim dalam  sebuah misi pemetaan. Tentu saja, misi tersebut punya tujuan lain dan dengan segera investigasi mereka berubah menjadi acara penyelamatan diri lantaran pulau tersebut ternyata dihuni oleh monster-monster superbesar. Dan yang paling gede di antara mereka, Kong si primata raksasa, enggak demen daerahnya kemasukan tamu asing yang kasar. Berisik pula!

Beberapa sekuens aksi dan kejar-kejaran yang dihadirkan oleh film ini sangat impresif. Dan menyenangkan juga, bikin kita geregetan sendiri. Selalu menarik melihat makhluk-makhluk gede saling berantem. Actually, reboot film King Kong klasik (1933) ini adalah bagian kedua dari, atau katakanlah, ‘sekuel terpisah’ dari seri monster yang dimulai oleh Godzilla (2014). Sepertinya memang mereka berniat buat bikin cinematic universe ala-ala yang dilakukan oleh Marvel. Film ini bahkan PUNYA ADEGAN EKSTRA SEHABIS KREDIT loh. Dan kalo nantinya dunia cerita ini (mereka menyebutnya MonsterVerse) berujung dengan Kong bertemu Godzilla, well kupikir kita sudah tahu siapa yang akan menang. Kita, para penonton!

Monkey see Marvel, Monkey do Marvel

 

Ngeliat Kong menumbuk monster-monster lain adalah hiburan mutlak. It looks very cool. It’s a gigantic monster versus gigantic monster. Kalo itu enggak menghibur maka aku enggak tahu lagi apa kriteria untuk bisa masuk kotak berjudul menghibur. Adegan PERTARUNGAN TERAKHIR SI KONG ADALAH YANG TERBAIK. Sekuensnya selalu disyut dalam wide shot yang panjang dan benar-benar kerasa epik. Jordan Vogt-Roberts, sutradara film indie keren; The Kings of Summer (2013), kepilih untuk ngegawangi film ini. Kayaknya sekarang memang sudah jadi kebiasaan Hollywood buat ngegaet sutradara muda yang udah sukses nelurin karya independen. Godzilla sebelum ini, disutradari oleh Gareth Edwards yang ngeroket dengan film indienya; Monsters (2010). Film Jurassic World (2015) jugak ditangani oleh sutradara indie. It’s nice Hollywood ngasih kesempatan. Namun berkaca dari hasil akhir proyek-proyek blockbuster yang mereka tangani, aku jadi suudzon kepikiran; jangan-jangan Hollywood iri dan sengaja ngasih skrip seadanya buat sutradara-sutradara ini kerjakan.

Mas Hollywood: “Selamat yaah buat 500 Days of Summers”
Mark Webb: “Makasih, Mas. Ajak-ajak dong kalo ada proyek hehehe”
Mas Hollywood: “Oh boleh. Nih!”
(Ngasih naskah The Amazing Spiderman)
Mas Hollywood: “Coba kita lihat bisa enggak kamu bikin jadi lebih bagus”
Mark Webb: (ragu-ragu abis baca skrip sekilas) “Anu..dicoba ya, Mas…”
Mas Hollywood: “Sanggup ya sanggup, enggak ya enggak. Kamu mau gak?!”
Mark Webb: “….Oke deh…”

 

Aku enggak tahu apakah kejadiannya beneran seperti itu, namun setelah selesai menyaksikan Kong: Skull Island, pikiran negatif memang tak terbendung lagi. I kinda feel bad buat sutradara film ini. You know, seolah sutradara-sutradara indie adalah tamu di scene Hollywood, dan penghuni-penghuninya enggak suka kemudian lantas mengospek dengan memberikan materi yang banyak kurangnya.

Ketika di atas tadi aku nulis soal final battle Kong adalah yang terbaik, sebenarnya yang aku maksudkan adalah literally seperti demikian.  Adegan berantem Kong, terutama yang di akhir itu, bener-bener adalah kerja terbaik yang diberikan oleh film ini dari awal sampai akhir. Arahan film ini nyatanya lumayan jelek. Ketika kamera ngeliatin Kong, ya semuanya keren dan seru dan fun. Tetapi ketika kita nunduk ngeliat para tokoh manusia, maka kita akan ngeliat tubuh-tubuh yang siap jadi karung tinju Kong beserta penghuni pulau lainnya. Tidak ada karakter sama sekali. Film ini sempat nyinggung soal hollow earth, well yea, padahal dirinya sendiri sangat kopong dalam pengkarakteran. Editing filmnya juga terlihat kasar, dengan perpindahan yang agresif secara visual. Sebenarnya aku sedih juga ngerasa annoyed sama cara film ini disambung.

Pada bagian action, film ini banyak makek gaya slow-motion yang membuat kita jadi teringat sama film-film action Michael Bay. Sekuen berantem di bar di babak awal diedit dengan begitu parah sehingga kayak film kelas amatir. Mendengar dari musik pada banyak adegan, film ini pengen mengeluarkan suasana layaknya film perang, hanya saja terdengar enggak klop sama ‘dunia’ yang berusaha dibangun oleh ceritanya. Apocalypse Now dengan Moby Dick enggak bisa nyatu sempurna hanya karena kita muterin lagu CCR sebagai latar. And don’t make me start on the humor. Lelucon-lelucon yang terujar di sepanjang film, nyaris semuanya enggak lucu, garing. Film ini berusaha keras buat jadi lucu, but it just doesn’t work. Karena kita enggak dibuat peduli sama tokoh-tokohnya. Karena film ini tidak berhasil menghasilkan tone yang selaras.

 

Hanya dua karakter yang bisa dibilang menarik di dalam film ini. Tokoh yang diperankan oleh Samuel L. Jackson dan John C. Reilly. Cuma mereka juga yang berhasil bikin kita terkekeh ketawa. Tapi itu pun bukan karena penulisan yang oke, melainkan karena dua aktor ini actually sudah sangat kompeten dan lucu. Kharisma merekalah yang membuat dialog yang mereka ucapkan jadi ngena dan berbobot.

Hank Marlow yang diperankan John C. Reilly punya backstory cukup kompleks sebagai pejuang Perang Dunia Kedua yang terdampar di pulau ini bersama seorang tentara Jepang. Musuh menjadi teman ketika orang ngadepin masalah yang sama. Sejarah tokohnya ini sebenarnya bisa jadi landasan yang compelling sebagai pemantik emosi, namun film memutuskan bahwa Marlow paling suitable jadi karakter eksposisi semata. Marlow yang udah tinggal di pulau sejak Perang tersebut, hanya ditujukan sebagai pemberi info. Dia jadi bintang cuma di adegan eksposisi gede saat dirinya ngajak para tokoh lain ke sebuah ruangan yang banyak gambar-gambar di dinding batu, di sana dia nyeritain sejarah pulau dan peran Kong di pulau tersebut.
Tokoh Samuel L. Jackson, Jenderal Packard, ditulis punya semacam hubungan spesial dengan perang. Dia terlihat bergairah ketika mendapat panggilan tugas ke Pulau, padahal tadinya dia lesu sebab kloternya akan dipulangkan dari medan pertempuran. Penokohannya menarik, ada sesuatu di dalam dirinya, kita bisa rasakan kenapa dia butuh banget berperang. Dia menanamkan rasa dendam hanya supaya dia bisa terus punya misi. Dia ngerasa enggak hidup jika enggak mengangkat senjata, ataupun jika enggak ada perintah.

Apa yang membuat sesuatu kita anggap musuh. “Musuh itu tidak ada, sampai kita mencarinya”, film ini menggelitik kita dengan kalimat tersebut. Pertanyaan yang penting adalah kenapa kita merasa perlu mencari musuh. Dalam film ini, kita melihat Jenderal Packard terus mencari ‘musuh’ karena dia ingin menunjukkan bahwa dia punya prinsip di dalam hidup. Dia punya sesuatu yang ia lindungi, begitu juga dengan Kong. Tapi yang harus disadari adalah kita juga perlu membuka diri karena tidak semua intervensi adalah serangan; bahwa kita bisa unite dalam menghadapi sesuatu yang lebih besar lagi.”

 

Selebihnya, populasi film ini adalah tokoh-tokoh manusia yang kosong. Mereka membosankan. Ada sih yang dibikin punya anak yang menunggu di rumah, tapi kita enggak peduli. Mereka ini adalah tokoh yang diciptakan supaya Kong dan monster-monster lain punya kerjaan. Karakter yang diperankan oleh Tom Hiddleston adalah veteran keren yang jago ngetrack orang dan piawai berantem pake tongkat biliar. That’s it. Dia diajak ke Pulau karena kemampuannya ngelacak. Cuma ada satu adegan di mana dia ngobrol hati-ke-hati mengenai apa yang terjadi di masa lalunya. Tokohnya Brie Larson lebih parah lagi, cewek ini adalah fotografer. Titik, itu karakternya; liat tulang gede, dijepret. Liat suku asli, dijepret. Liat Kong berantem, dijepret. Dia enggak benar-benar ngelakuin apapun, she’s so bland.

syarat casting film ini: cakep, bisa lempar granat, dan bisa lari slow motion.

 

Visualnya juga enggak bagus-bagus amat. Beberapa momen malah terlihat palsu, kelihatan kayak tidak benar-benar ada di sana. Aku mengucek mata ketika melihat satu adegan di babak tiga, di mana Conrad dan Mason berada di antara Kong dengan Packard, karena adegan tersebut kelihatan kayak the worst green screen, kayak yang pernah kita tengok di prekuel Star Wars. Juga ketika Mason mencoba menyentuh Kong, seharusnya adegan ini sangat emosional, tapi jangankan kita, tokoh Masonnya sendiri kelihatan tidak konek dengan adegan tersebut. Jika The Jungle Book (2016) yang disyut di green room dan kelihatan kayak di hutan beneren, maka Kong: Skull Island ini kebalikannya; sebagian besar berlokasi di lapangan betulan, namun malah seluruhnya kayak ditake di dalam studio. Padahal mestinya mereka bisa bermain banyak dengan environment Skull Island yang misterius dan keren.

 

 

 

Usaha yang dilakukan oleh film ini buat nutupin kehampaan karakternya adalah dengan mendedikasikan babak ketiga sepenuhnya sebagai babak aksi dahsyat. Persis kayak yang dilakukan oleh Rogue One (2016). Mereka mengisi film dengan hal-hal yang ngereferensiin sesuatu yang sudah kita kenal sehingga kita excited, dan membawa sebanyak mungkin tokoh-tokoh yang enggak mateng digarap ke sekuens impresif di babak akhir supaya kita ngerasa “wuihhh!” dan berpikir bahwa ini adalah film yang bagus. Tapi enggak. Ini cuma usaha lain dalam mengulang dan meniru dunia sinematik Marvel demi mendulang uang. Buat yang suka ngeliat Kong berantem lawan monster doang, film ini akan menghibur berat. Namun jika suka liat monster kelahi dan actually peduli sama karakterisasi dan hal lain semacamnya, kalian enggak rugi kok kalo enggak nyempatkan waktu singgah ke hollow world film ini.
The Palace of Wisdom gives 4.5 gold stars out of 10 for KONG: SKULL ISLAND.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.