“The fear of facing your fears is harder to overcome than the fear itself.”
Kutukan jelas bukan hal yang kita minta sebagai oleh-oleh yang dibawa ibu dari Jepang. Namun justru kutukan Ju-On itulah yang dibawa oleh seorang wanita ke rumahnya yang beralamat di 44 Reyburn Drive (44 angka sial di Jepang). Si wanita berakhir menjadi Kayako versi Amerika. Dan rumahnya, well, beberapa kasus kematian dan pembunuhan misterius yang ada di file kepolisian di sana semuanya selalu berakar dari rumah tersebut. Detektif Muldoon yang baru saja pindah ke daerah sana menjadi tertarik dan berniat mengusut tuntas misteri. Tapi dengan membuka pintu rumah, Muldoon – seperti sejumlah orang sebelum dirinya – menjadi termasuk sebagai bagian dari kutukan. Kejadian-kejadian aneh mulai terus menghantui, Muldoon harus segera memecahkan misteri dan mengenyahkan kutukan sebelum kekuatan gelap itu merangkul putra semata wayangnya.
The Grudge bisa disebut sebagai remake, tapi sebenarnya dia lebih bertindak sebagai sekuel spin-off adaptasi. Masuk akal gak sih kedengarannya? Haha anyway, timeline film ini berlangsung setelah kejadian di Ju-On: The Grudge original, hanya saja dengan tokoh hantu yang berbeda. Kutukan itu dianggap sebagai virus, dan virus ini sekarang ada di Amerika. Jadi semua elemen-elemen horor di original yang lebih bergaya Jepang, disulihkan menjadi lebih akrab buat penonton di belahan dunia barat. Sebagai upaya untuk membuat The Grudge sebuah bagian dari semesta Ju-On, film ini menggunakan gaya bercerita yang sama. Dengan banyak narasi; berpindah-pindah antara sudut pandang satu tokoh dengan tokoh lain. Sementara pusatnya adalah rumah tempat kutukan kematian itu bersarang. Ya, dapat dikatakan tokoh utama film ini adalah kutukan itu sendiri, dengan rumah sebagai perwujudannya.
Aku dulu suka banget Ju-On, aku gak pernah nonton yang versi Amerikanya yang dimainkan oleh Sarah Michelle Gellar dan bahkan Ju-On versi terbaru yang katanya udah versus versusan ama Sadako kayak Freddie vs. Jason, tapi aku dan teman-teman dulu kalo nginap pas besok libur sekolah, selalu menyetel film Ju-On 1,2,3. Dari yang tadinya takut dengar kretekan napas Kayako, kami lantas becandain suara itu dan suara ngeong-nya Toshio. I remember fondly membaca nama-nama tokoh yang muncul berlatar putih setiap transisi narasi dalam film-film Ju-On. Film asli Jepangnya memang bahkan lebih acak lagi, dengan lebih banyak tokoh. Dari anak sekolah, berikutnya bisa saja cuma tukang antar makanan yang dijadikan sudut pandang, dan baru lama lagi cerita kembali ke anak sekolah tadi.
Setidaknya ada empat narasi yang terhimpun di dalam The Grudge baru ini. Lima jika menghitung cerita keluarga ibu dari Jepang yang menjadi awal mula horor di sini. Dengan Muldoon sebagai protagonis utama yang narasinya sebagai penghubung. Karena selama penyelidikannya itulah, kita akan dibawa ke narasi-narasi yang lain. Ada tentang keluarga real estate yang sedang menanti bayi mereka. Ada tentang keluarga tua yang menghuni rumah ini setelah kasus pertama terjadi. Ada tentang detektif yang menangani kasus ini sebelum Muldoon. Seharusnya ini menjadi menarik sebab mereka semua diberikan dasar cerita tersendiri, mereka punya kesamaan masalah dengan Muldoon. Yakni soal mereka gak benar-benar membicarakan problema mereka dengan keluarga/pasangan/rekan. Mereka takut menga-acknowledge keadaan yang menakutkan. Satu detektif yang menolak mengakui dugaan bahwa mereka hadapi adalah supernatural. Karakter yang diperankan John Cho lebih memilih untuk tinggal di rumah kosong – menemani anak kecil yang jelas-jelas aneh alias bukan manusia – ketimbang seranjang dengan istrinya membicarakan kondisi janin mereka. Tokoh bapak yang memilih diam membiarkan istrinya yang sakit bercengkrama dengan hantu-hantu karena dia ngarep istrinya juga bisa tinggal dan komunikasi dengannya saat ‘pergi’ nanti. Semua ini paralel dengan Muldoon (Andrea Riseborough vibenya udah kayak Naomi Watts di Ring digabung Winona Ryder di Stranger Things, namun dengan less-charisma) yang mencoba menghindari anaknya dengan pekerjaan. Dia takut anaknya masih belum bisa melupakan kepergian sang ayah.
Muldoon punya kode khusus yang ia gunakan saat berkomunikasi dengan putranya. “Saat takut, pejamkan mata, dan hitung sampai lima”. Kalimat ini dimainkan oleh film sebagai ‘mantra’. Bukan saja ini dipakai sebagai momen-momen manis, melainkan juga berperan nantinya sebagai faktor scare dan punya bobot pada elemen misteri. Kalimat juga punya fungsi yang lebih dalam. Ia merupakan gagasan subtil yang disampaikan oleh film.
Menutup mata memang bukan saran bagus untuk orang yang mau melangkah. Menutup mata, dalam konteks orang yang ketakutan, memiliki makna untuk melihat lebih banyak ke dalam diri, melupakan sejenak distraksi di sekitar. Dalam gelap hanya ada diri dan intensi kita. Taktik Muldoon ini adalah cara untuk menghimpun kekuatan dan semangat diri sendiri, untuk sesaat meniadakan pengaruh buruk dari luar yang terkadang menghentikan kita. Karena seringkali menghadapi ketakutan jauh lebih menakutkan dibanding ketakutan itu sendiri.
Dari karakter-karakternya memang film ini tampak dibuat dengan serius. Seperti menyadari bahwa tidak ada hal baru yang sebenarnya ditawarkan. Dan dengan ruang gerak yang terbatas, film hanya punya karakter. The Grudge dikerjakan oleh sutradara yang membuat horor artistik low-budget The Eyes of My Mother (2017), Nicolas Pesce. Di film itu kita dapat merasakan kreasi dan ide-idenya yang cukup ambisius, Pesce bebas di sana, makanya horornya terwujud mengerikan. Kita dapat menjumpai secercah kreasi serupa pada The Grudge. Adegan seperti saat seseorang jatuh dari tangga, atau lingering shot rumah di kredit penutup mampu membuat kita bergidik ngeri. Sesempit itulah ruang gerak yang ia punya, karena film ini diniatkan studio untuk jadi horor yang benar-benar appeal buat penonton umum, khususnya penonton barat arus mainstream. And by that, it means membuat film ini jadi memenuhi dua kriteria: Satu, harus mengandung unsur-unsur Ju-On. Dua, scarenya harus niruin gaya-gaya Conjuring.
Makanya film ini gak bekerja dengan efektif. Dan kegagalan itu berada di tempat yang cukup fatal. Di horornya. Studio mempekerjakan sutradara arthouse, tapi mengukungnya dalam jalur mainstream. Horor film ini malah mengandalkan jumpscare-jumpscare. Mengharuskan Pesce secara konstan menghadirkan jumpscare yang ia gak paham. Jiwa film ini enggak pernah cocok dengan fisiknya. Akan ada banyak sekali adegan hantu jumpscare yang seperti dipaksakan karena bahkan kemunculan hantunya agak sulit dicerna. Alih-alih hantu ketimuran, kita akan melihat hantu yang lebih mirip zombie, dan mereka akan menyeringai membuka mulut sebesar-besarnya. Ini gak seram, malahan konyol. Mengagetkan, hanya karena ada musik kenceng. Ingat ketika aku menuliskan tokoh utama film ini adalah rumah dan hantunya? Well, dengan teknik horor yang semurahan ini – dengan sosok hantu yang lemah secara visual, protagonis kita tidak bisa berbuat banyak. Mereka malah terlihat sok dramatis. Ditambah dengan misteri yang enggak benar-benar baru; fans Ju-On akan sangat hapal dengan kejadian dan beberapa adegan creepy yang merupakan recycle dari Ju-On sebelumnya, maka The Grudge terlihat seperti usaha yang sia-sia belaka.
Penggemar Ju-On bakal merasa bosan menyaksikan ini, sebab ini bukanlah visi baru seperti yang tertulis pada posternya. Penonton baru yang belum mengenal Ju-On, role kutukan dan misteri serta struktur bercerita yang mengundang untuk berpikir, seharusnya menjadi hal yang baru yang menarik minat. Film gagal mendeliver ini, lantaran karakter-karakternya susah untuk dipedulikan. Antara mereka terlampau serius atau horornya terlalu receh. Konflik malah sepertinya datang dari pembuatnya, mungkin dia menutup mata, mengenyahkan keraguan beserta seluruh passionnya, dan just go with it the way studio wants to.
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for THE GRUDGE.
That’s all we have for now.
Gimana dengan kalian? Ketakutan apa di dalam hidup yang harus kalian hadapi? Apa yang kalian lihat saat menutup mata sebelum menghadapinya?
Share with us in the comments
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.