MISSION: IMPOSSIBLE – FALLOUT Review

“To hope is to gamble”

 

 

 

Sebuah rencana pembunuhan massal. Dobel agen, dan mungkin lebih. Tiga bom nuklir. Jikalah hal-hal; tersebut merupakan aba-aba “satuuu.. duaaa.. tigaa” sebelum lomba lari, maka Mission: Impossible ini adalah peserta lomba yang seketika berlari paling kencang selepas hitungan tersebut selesai diucapkan penjaga garis start.

Toh, pelakon protagonis dalam film ini memang berlari dengan waktu. Ethan Hunt dan rekan timnya yang sudah kita kenal baik – ini adalah seri keenam dalam franchise Mission: Impossible – harus bertanggung jawab setelah satu misi yang mereka emban, gagal total. Kompas moral Hunt, juga bagaimana dia kerap mengkhawatirkan keselamatan orang-orang yang ia cintai, akan menjadi ‘kelemahan’ yang ditantang kembali oleh film ini. Hunt akan dibenturkan dengan karakter yang tidak segan-segan untuk melibatkan ‘pihak tak bersalah’ demi kesuksesan misi. Tom Cruise dan Henry Cavill benar-benar tampak seperti  dua imej yang berlawan; dengan sosok Cavill menjulang sebagai sesuatu yang dulu adalah milik Cruise. Di bawah situasi yang terus menekan dan stake yang bergulir semakin besar, Hunt akan berusaha untuk membuktikan bahwa harapan adalah strategi terbaik yang bisa dipertimbangkan oleh manusia dalam berjuang.

Di dalam dunia penuh tipu muslihat, sedikit nurani sangat patut untuk dihargai. Kemanusiaan adalah harapan. Sudah semestinya kita bergantung kepada rasa untuk saling melindungi, saling memperhatikan, tidak peduli betapa kacau dan peliknya situasi. Jika dunia adalah perjudian, maka bertaruhlah pada harapan.Berbahaya, memang, apalah hidup tanpa menempuh resiko, kan?

 

Dan bicara soal berlari; Film ini akan membuat film-film aksi lain tampak seperti balita yang baru bisa berjalan. Aku enggak melebih-lebihkan. Kamu-kamu yang ngasih Buffalo Boys (2018) nilai 8 karena kalian bilang aksinya bagus, harusnya memberikan nilai 20, bahkan lebih, untuk Mission: Impossible – Fallout. Sebab ini adalah salah satu film aksi terbaik yang pernah aku tonton. Aku tidak pernah semenggelinjang ini menyaksikan sekuen-sekuen aksi sejak Mad Max Fury Road tahun 2015 yang lalu. Usaha film ini untuk menyuguhkan aksi laga yang benar-benar real luar biasa kuat dan keras. Porsi-porsi laga di film ini semuanya dirancang dan dikerjakan dengan matang dan penuh perhitungan. Bukan saja segi koreografi,  sudut pengambilan gambar; perspektif sinematografinya pun benar-benar digarap dengan cermat. Banyak sekali momen-momen tak terlupakan. Menakjubkan sekali gimana film ini seolah menantang diri untuk mengungguli adegan demi adegan. Membuat kita hanya bisa melongo di tempat duduk, berdecak kagum “gila, kok bisa ya!”

Setiap adegan aksi, entah itu berlari di jalanan maupun kejar-kejar di helikopter, semua tampak seperti versi terbaik dari apa yang mungkin untuk mereka capai. Maksudku, kalo kalian pengen bikin adegan kejar-kejaran di sekeliling kota, bikinlah aktornya benar-benar melakukan dengan kakinya sendiri. Tak pelak, sulit sekali kita bakal menemui tokoh yang total seperti Tom Cruise. Dia nekat melakukan semua tindak ekstrim yang tertulis di dalam naskah itu sendiri. Dia bergelantungan di helikopter. Dia terjun paying dengan ketinggian yang relatif rendah. Fakta menarik yang dibeberkan sebagai penghantar rilis film ini adalah Cruise melakukan aksi meloncati gedung, sampe kakinya beneran patah sehingga suting terpaksa ditunda beberapa waktu.  Dedikasi yang luar biasa. Hasilnya memang yang kita saksikan di layar itu menjelma menjadi stunt yang mencengkeram total karena kita dapat melihat adegannya sungguhan terjadi. Dan tentu saja, semua adegan aksi itu dieksekusi dengan sama luar biasanya.

Set piece dan semuanya dirancang untuk bikin kita terpana. Kebanyakan film lain akan terpojok dan menggunakan CGI untuk adegan-adegan sulit nan berbahaya, utilizing banyak teknik cut dan segala macem. Adegan Hunt naik sepeda motor dikejar-kejar di jalanan kota Paris;  Cruise tidak beraksi di depan green screen, dia tidak digantikan oleh stuntman – film lain akan membuat tokoh ini pakai helm hanya supaya wajahnya enggak kelihatan, tapi tidak buat Tom Cruise. Dia tidak mengenakan helm. Tidak pula kepalanya ditempel oleh efek ke badan pengendara lain

Ultimate Tom Cruise Shot

 

Film mungkin bisa tampak sedikit mengerem jika kita meniliknya dari segi cerita. Tentang rencana pengeboman, tentang seseorang yang berusaha menyelematkan banyak orang tanpa mempedulikan dirinya sendiri, kalian tahulah, trope begini sudah sering didaur ulang – terutama dalam genre laga. Cerita yang kita dapat di sini memang tidak sepenuhnya baru. Namun, arahan dan penulisan Christopher McQuarrie berhasil memberikan sesuatu untuk dilakukan oleh setiap anggota tim Hunt, sehingga peran mereka jadi terangkat – masing-masingnya menambah kaya sudut pandang cerita, dan pada akhirnya juga  menambah bobot ketegangan.

Luther yang diperankan simpatik oleh Ving Rhames mencoba untuk menjinakkan bom, tapi dia literally merasa tangannya kurang, jadi dia ‘terpaksa’ meminta bantuan kepada seseorang yang sama sekali belum pernah kenalan langsung sama bom. Dia juga nge-share burden yang ia rasakan sebagai seorang yang pernah diselamatkan demi ‘harga’ tertentu oleh Hunt. Simon Pegg yang senantiasa menampilkan permainan peran yang menghibur, sebagai Benji harus mencari letak bom yang satu lagi di dalam ruangan yang penuh kotak besi – yang semuanya nge”bip” kena radar, jadi dia harus segera menemukan kotak yang benar. Tokoh-tokoh pendukung juga kebagian aksi, mereka ditempatkan dalam situasi yang tampak mustahil di mana kemampuan mereka diuji. Aspek inilah yang membuat cerita terasa fresh, meskipun memang plotnya sendiri enggak exactly baru. Ada usaha untuk terus menggali perspektif dari berbagai sudut.

Tokoh-tokoh jahat di film ini juga sangat memorable. Motif mereka menarik. Kepentingan, cara, mereka dibenturkan kontras dengan milik Hunt. Bahkan, sekali lagi, buat tokoh yang minor. Seperti pada adegan berantem di toilet Grand Palais; tidak hanya Cruise dan Henry Cavill, ada satu penjahat lagi yang berbagi mempertaruhkan nyawa di sini. I mean, adegan berantemnya sangat greget dan terlihat begitu nyata lantaran film begitu berhasil menggali sudut pandang; konsep mereka menggunakan kemampuan terbaik di saat yang mustahil tetap menguar kuat bahkan di satu sekuen berantem yang simpel ini. Or even jika si penjahat ataupun tokoh yang tidak bisa berbuat banyak, mereka paling enggak diberikan adegan dengan shot yang unik, seperti saat seseorang yang terikat, tenggelam di dalam mobil.

yaiyalah mustahil, namanya juga Mission: Impossible

 

Beberapa penonton mungkin akan merasa bermasalah dalam menyimak dialognya yang memang butuh perhatian ekstra. The thing is, film laga sekeren ini toh masih bisa kita nikmati untuk aksi-aksinya, bahkan jika suaranya dimute sekalipun. Tapi kan tentu saja rasanya bakalan kurang. Film meminta kita untuk memperhatikan dengan seksama setiap dialog, karena bakal ada pengungkapan-pengungkapan yang efeknya baru akan kena jika kita mengingkat beberapa kata kunci yang pernah disebutkan oleh para tokoh. Buatku, ini adalah bentuk penghormatan film kepada penontonnya. Sebab, meskipun konsep yang mereka gunakan adalah laga yang sering bergantung kepada ‘kebetulan’, namun masih ada kesempatan untuk kita berpikir memecahkan misteri cerita. Jadi, film laga itu gak mesti mindless. Kita masih bisa terhibur sembari tetap memutar otak.

 

 

 

Justru, ini adalah apapun yang bisa kita minta dari sebuah film. Tokoh-tokohnya bisa kita pedulikan. Aksi-aksinya terlihat nyata dan bikin kita menahan napas. Ada yang bisa kita pikirkan, regarding moral dan plot cerita secara keseluruhan. Penulisannya rapi – pengungkapan, twist, secara konstan kita akan geregetan dibuat oleh film ini. Bahkan jika kalian belum pernah menonton film-film sebelumnya, seri keenam ini tidak akan menjadi masalah untuk kalian mengikuti cerita, karena ia mampu untuk berdiri sendiri.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for MISSION: IMPOSSIBLE – FALLOUT

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

ATOMIC BLONDE Review

“A secret makes a woman, woman.”

 

 

Perang informasi dan spionase selalu adalah soal fleksibilitas moral, atau bahkan meniadakan moral sejenak, hanya untuk menghancurkan musuh.

 

Makanya, historically setelah Perang Dunia Kedua, secret services MI6 mulai merekrut pria-pria pemakai narkoba, alkoholik, dan para homoseksual untuk dijadikan mata-mata. Lagian, kelompok orang-orang yang dianggap gampang menanggalkan moral tersebut sudah luar biasa berpengalaman dalam menyimpan rahasia. Kalo soal moral sih, yang namanya manusia ya jelas bukan malaikat. Namun, sebenarnya, cewek lebih ampuh dalam menyimpan rahasia. Serius, cewek mana pun yang tahu banyak akan berkata bahwa mereka belum pernah melihat ke dalam hati pria. Dan lagipula aku punya teman cowok yang kalo bohong pasti langsung ketahuan karena terlalu banyak ngedip dan keringetan, persis Nick di serial New Girl.

Di luar kemasannya yang mirip John Wick versi cewek, Atomic Blonde yang diadaptasi dari graphic novel The Coldest City adalah cerita tentang mata-mata. Kalo biasanya di akhir setiap review aku bilang, “in life there are winners and there are losers”, maka film ini punya petuah yang sedikit berbeda. Di dunia dengan orang-orang yang memakai nama alias itu, hanya ada kebohongan dan kebenaran. Kelemahan adalah ketika seseorang mempercayai orang lain. Jadi, jangan heran akan ada BANYAK TWIST-AND-TURN dalam cerita Atomic Blonde.

Paralel dengan setting sejarahnya yang menjelang peruntuhan Tembok Berlin, film ini bilang bukan senjata yang membuat kita saling tak-percaya. Senjata ada karena kita enggak bisa percaya pada siapa-siapa. Charlize Theron adalah agen mata-mata bernama Lorraine Broughton, dia tersohor oleh kemampuan penyamaran sekaligus keahlian kombatnya. Oleh atasan dan CIA, Lorraine diminta untuk berangkat ke Berlin demi menemukan List ‘penting’ berisi nama-nama orang yang diduga double-agent. Di Berlin, Lorraine akan dibantu oleh Percival (sekali lagi James McAvoy devilishly menghibur). Mereka juga harus melindungi seorang agen yang rumornya sudah hafal isi List tersebut, sehingga dia juga ikutan buron oleh orang-orang jahat.

Bukan List of Jericho loh ya!

 

Meskipun ini lebih kepada sebuah cerita mata-mata yang kompleks dengan ledakan aksi, maaaan, enggak usah ragu deh sama sekuens berantemnya. Setiap masing-masing mereka dihandle dan difilmkan dengan gaya keren, juga intens. The shots were beautiful. Lorraine bener-bener menghajar banyak orang. Kabarnya, Theron menampilkan sebagian besar adegan aksinya tanpa peran pengganti, which is incredibly amazing! Atomic Blonde digarap oleh salah seorang sutradara John Wick (2014). Dan David Leitch sekali lagi membuktikan kepiawaiannya mengarahkan adegan pertarungan tangan kosong, ataupun kejar-kejaran mobil. Bandingkan deh editing dan gerak kamera pada sekuens aksi film ini dengan Kidnap (2017). Oke, aku akan nunggu sampai sakit kepala kalian mereda setelah ngeliat adegan Kidnap.

Udah?

Well, Leitch membuat setiap bak-bik-buk terlihat menakjubkan. Gerak kameranya mulus sejalan dengan arah mata kita. Particularly sekuen pertarungan di tangga, yang kemudian berlanjut di jalanan Berlin yang ramai oleh warga yang demo. It is such a blast. Salah satu porsi aksi sinema yang paling stand out di tahun 2017.

Theron excellent banget. Ada sesuatu dari tokoh Lorraine yang membuat kita terinvest. Ya, cerita memang mengeksploitasi dirinya yang seorang cewek, but again, itu untuk menunjukkan cewek adalah pilihan yang tepat untuk dijadikan spy yang badass. Lorraine ditulis sangat dingin. Personanya udah Ice Queen banget. Itu bukan hanya karena kita ngeliat dia dua kali mandi berendem dalam es batu, ataupun minumnya selalu es kosong campur Vodka. Karakter ini seolah diselubungi misteri. Dia pintar, kata-katanya tajam, tindakannya tangkas, dia membuktikan dirinya adalah orang yang tepat untuk tugasnya. Tapi ada secercah vulnerabilitas di dalam pribadi cewek ini yang kadang terlihat. Film ini mencerminkan personality Lorraine lewat penggunaan warna. Most of the time, di momen-momen cool, Lorraine akan didominasi oleh warna biru seperti kita melihatnya di bawah air dari balik akuarium. Kemudian semburat merah akan lantas mewarnai sosok ini, entah itu api dari pemantik ataupun cahaya neon, dan sekilas kita melihatnya kembali sebagai ‘manusia biasa’. Pun begitu, Lorraine enggak selalu langsung menang berkelahi. Adegan pertama kita melihat tokoh ini, dia dalam keadaan babak belur. Karakter dan treatmentnya sendiri akan membuat kita tetap tertarik, kayak cowok kalo lagi naksir ama cewek kece yang jutek.

 

Namun tertarik enggak bisa membawa kita jauh-jauh amat. Sebab selalu ada saatnya kita ingin belajar lebih banyak tentang karakter tersebut. Hingga menjelang babak akhir, aku enggak pernah benar-benar mengerti apa sih motivasi si Lorraine. Ataupun kenapa banyak orang mengincar daftar nama yang menjadi masalah tersebut. Oke, Lorraine dan teman-temannya ingin mengamankan List, dan bad guys pengen menjualnya, tapi inner motivasi dari kenapa mereka bersedia melakukan itu adalah hal yang bikin kita berjuang untuk mengerti. Dunkirk (2017) membuktikan bahwa kita bisa kok mengikuti karakter hanya di momen yang sedang berlangsung saat itu. Hanya saja, Atomic Blonde tidak berhasil membuat rasa tertarik kita terpuaskan. Investasi kita terhadap karakter tidak membuahkan apa-apa karena kita struggling berat memahami kompleksititas ceritanya.

Penulisan tokoh-tokoh seolah dibuat sengaja untuk mengecoh kita, it full of turns. Setiap mereka diperkenalkan sebagai sesuatu dan pada akhirnya mereka ternyata adalah ‘sesuatu’ yang lebih besar. Sesuatu yang berbeda. Kita enggak diberikan banyak waktu untuk mengenal mereka. Kita dapat dream sequence untuk Lorraine. Tapi itu belum cukup. Selebihnya, untuk karakter-karakter minor, perubahan mereka terjadi begitu saja. Misalnya tokoh si Sofiia Boutella. Dia juga bermain sangat baik, namun masih belum termanfaatkan dengan sama baiknya. Relationship Delphine dengan Lorraine dapat memberikan layer yang lain pada narasi, tapi film tidak mengeskplorasinya. Cuma sebatas, there we did it.

Sofia Nutella, Charlize Terong, James McD. Oke aku lapeeerrrr

 

Film ini mengecewakan ku dari segi sudut pandang bercerita. Petualangan dengan tokoh-tokoh yang penuh muslihat, aksi yang mendebarkan, menjadi berkurang intensitasnya lantaran film menggunakan flashback. Mereka memilih untuk bertutur dengan cara Lorraine duduk diinterogasi, untuk kemudian dia menceritakan apa yang sudah terjadi. Banyak film yang juga memakai cara bercerita seperti ini, kita diperlihatkan kondisi tokoh utama sekarang seperti apa untuk kemudian kita mundur sembari dia menceritakan kisahnya. Aku enggak begitu suka cara begini karena ketegangan film jadi berkurang. Kita melihat Lorraine matanya hitam abis ditonjok, sekujur badannya dihiasi borok luka, akan tetapi kita tahu dia akan baik saja. Because she sit was there to tell the tale. Jadi, setiap berantem yang kita lihat akan bikin kita, like, “wuiihhh idih!… ah, tapi dia selamat kok.” Cerita film ini bisa menjadi lebih exciting, tensi serta stakenya lebih gede jika dimulai lurus aja dari awal ke akhir, tanpa perlu bolak-balik antara present dengan timeline sebelumnya. Lagipula, setiap kali cerita balik ke ketika Lorraine diinterogasi, segalanya terasa berjeda. Sekuens di ruang interogasi itu kering dan hampa banget, kita pengen cepet-cepet balik ke bagian Lorraine melakukan sesuatu yang badass.

Satu lagi gaya yang diambil oleh Atomic Blonde, yang menurutku agak berlebihan, adalah penggunaan musiknya. While it is nice denger lagu-lagu upbeat dari 80an – pilihan lagunya bagus – namun timing pemakaian lagu ini terasa memberatkan film lebih daripada membantunya. Soundtrack film ini ABRASIVE sekali, seolah menjadi bagian dari narasi. Seperti ketika Lorraine masuk ke bar, lagu rock itu kemudian berganti gitu saja jadi musik jazz ketika ada yang menyalakan pemantik api saat Lorraine duduk di meja bar. Ada dua atau tiga kali kejadian, di mana musik latar pelan banget, dan ketika Lorraine mulai menghajar orang, musiknya menggede sendiri begitu saja. Mereka tampaknya ingin bikin lagu-lagu itu standout, akan tetapi sepertinya bukan ide yang bagus sebab lagu-lagu itu tidak menambah kepada narasi, ataupun benar-benar penting untuk pengembangan karakter.

 

 

 

Not to say film ini style over substance. It does have a complex spy story. Dan gaya film ini memang keren luar biasa. Banyak shot ciamik. Sekuens aksi yang nampol. Tapi film ini bukan orang Jerman yang enggak bikin kesalahan simpel. Terdapat banyak pilihan editing yang tampak seperti ‘just because they can’ alih-alih yang benar dibutuhkan untuk kepentingan cerita; susunan narasi yang bolak-balik dan terasa amburadul, membuat kita sering terlepas. Apalagi di bioskop Indonesia, sensornya banyak, jadi makin terlepas, deh kita. Dan musik yang sangat menggebu-gebu, meski kepentingannya enggak segede itu buat narasi.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ATOMIC BLONDE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.