In the dynamic landscape of gaming, the PlayStation 5 stands tall as a beacon of cutting-edge technology and immersive experiences. As we venture further into 2024, the console’s library continues to flourish, offering a diverse array of titles that redefine the boundaries of interactive entertainment.
With 40 million units sold, the PlayStation 5 maintains its market dominance, albeit at a slightly slower pace than its predecessor, the PS4. Nonetheless, it outpaces the Xbox Series X|S in sales figures. Moreover, the console has undergone a revamp with the introduction of the PS5 Slim model, along with the addition of a portable peripheral known as the streaming PlayStation Portal.
From heart-pounding action to captivating narratives, the PS5 boasts a lineup that caters to every gaming preference. But for those who prefer playing online web games, you can check out bk8. Now here are five best PS5 games to play in 2024, promising endless hours of excitement and immersion.
Astro’s Playroom
Astro’s Playroom for the PS5 stands as a charming and innovative showcase of the console’s capabilities, serving as a delightful introduction to the world of next-gen gaming. Developed by Japan Studio’s ASOBI Team, this free-to-play title comes pre-installed on every PlayStation 5, inviting players on a nostalgic journey through the console’s history.
As Astro, a lovable robot protagonist, players embark on a whimsical adventure through four distinct worlds, each representing a different component of the PS5 hardware. With its intuitive DualSense controller integration, tactile feedback, and stunning visuals, Astro’s Playroom serves as a testament to the PS5’s innovation and sets a high bar for platformer experiences on the next generation of gaming consoles.
Baldur’s Gate 3
Developed by Larian Studios, this long-awaited sequel to the iconic Baldur’s Gate series offers players an expansive narrative-driven adventure set in the Dungeons & Dragons universe. As adventurers embark on a perilous journey filled with moral dilemmas, strategic combat encounters, and meaningful choices, they’ll navigate through a world shaped by their decisions.
With its stunning graphics, deep character customization options, and engaging storytelling, Baldur’s Gate 3 on the PS5 delivers an unforgettable RPG experience that pushes the boundaries of the genre, captivating both longtime fans and newcomers alike.
Cocoon
In Cocoon, a diminutive cicada finds itself traversing a perplexing world, armed with an assortment of abilities bestowed by orbs. Despite its seemingly simple premise, the game gradually reveals layers of complexity, with puzzles and the underlying significance of the journey unfolding gracefully as players progress.
Dead Space
Dead Space reimagines the sci-fi shooter centered on body horror, casting players as engineer Isaac Clarke who unwittingly stumbles upon a sinister conspiracy. The grotesque necromorphs, humanoid remnants of a twisted transformation, serve as haunting reminders of their former selves. The remake retains the original’s chilling atmosphere while enhancing the horror, maintaining the classic power fantasy as players evolve to confront hordes of grotesque foes.
Deathloop
Set on Blackreef Island, Deathloop unfolds in a surreal setting where perpetual revelry coexists with a relentless pursuit to eliminate our protagonist, Colt. Trapped within a recurring time loop, Colt must navigate the island’s dangers and eliminate a roster of targets to break free from the cycle. Deathloop masterfully integrates its gameplay mechanics into the loop, gradually enhancing the experience over time.
Teknologi berfungsi untuk mendekatkan yang jauh. Dan sebagai timbal baliknya, teknologi juga dapat menjauhkan yang dekat. Mae Holland merasakan langsung kebenaran pepatah masakini tersebut. Cewek muda yang diperankan oleh Emma Watson itu keterima kerja di sebuah perusahaan supergede yang bernama The Circle. Sebagai seorang cutomer service di company tak-ternama, Mae tentu saja girang ketika dia berhasil dapet posisi serupa di The Circle. Gini, bayangkan kantor Google, kemudian campurkan dengan social media, dan letakkan di lingkungan kerja yang sangat modern di mana semua ide akan dihormati dan pencetusnya akan dielukan seolah mereka adalah keturunan Albert Einstein. Begitulah lingkungan perusahaan The Circle; tempat yang sangat kekinian dan menyenangkan.
Dan semua pekerja di sana saling terhubung satu sama lain. Mae dan para karyawan yang dipanggil Circler digebah untuk selalu aktif di akun media sosial dan memberitahukan semua yang mereka lakukan ke semua pengguna. Dan eventually, Mae yang dengan cepat naik pangkat, setuju untuk menjadi seratus persen transparan. Dalam artian, dia secara sukarela memasang kamera canggih segede bola mata di badannya supaya orang-orang bisa ngikutin semua kegiatannya setiap detik dua-puluh-empat-jam sehari.
Elemen thriller coba dibangkitkan oleh film ketika Mae mulai bekerja di The Circle. Aku enggak mau repot-repot nonton trailer, jadi sebelumnya aku enggak tau ini film tentang apaan. Kesan yang datang saat melihat gestur dan aktivitas para eksekutif membuatku berpikir bahwa kantor Mae ini adalah semacam cult terselubung. Semua orang terlihat gembira ‘menjual’ kehidupan pribadi dan privasi mereka. Pemimpin dari organisasi ini; Eamonn Bailey, adalah pembicara yang begitu karismatis, membuat kita terbayang sosok Steve Jobs, hanya dengan sedikit nuansa jahat. Sepanjang film berlangsung kita akan melihat gimana mereka sama sekali tidak peduli dengan privasi, malahan mereka tampak ingin membuat ketiadaan privasi sebagai hal yang lumrah karena kita akan diperlihatkan sisi positif dari memasang kamera kecil di setiap sudut di berbagai tempat. Mae dapat banyak followers baru, posisinya kian naik, dan dia benar-benar suka dengan gagasan criminal bisa tertangkap hanya dalam beberapa menit saja. Tapi kita juga bisa melihat apa yang tidak terlihat oleh Mae, apa yang membuat keluarga dan sahabat Mae menolak online berlama-lama; semua ini mengarah kepada invasi privasi dan banyak lagi komplikasi hak-hak asasi.
Perkembangan teknologi sudah demikian pesatnya, sampai-sampai film yang didaptasi dari novel terbitan 2013 ini terasa agak ketinggalan jaman. Kita sudah tahu dan aware akan apa yang ingin disampaikan oleh film. Kata-kata “teknologi mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat” sudah kita dengar sejak beberapa tahun yang lalu. Tapi tetap saja, setiap hari perkembangan tersebut semakin gencar. Sekarang kita punya banyak aplikasi seperti Facebook Live, Insta-Story, atau malah Bigo live, yang pada beberapa kesempatan bikin kita geleng-geleng “wah, lagi liburan privasi juga liburan.”
Konsep sharing is caring adalah hal yang lumrah buat generasi milenial, namun sejatinya kita kudu berhenti sejenak dan berpikir; Apakah kita perlu ngeshare segalanya? Apakah semua pantas untuk dibagikan?
Ketakutan yang dirasakan oleh orang-orang sehubungan dengan teknologi digunakan oleh film sebagai pemancing drama. Ada ELEMEN SATIR yang lumayan kuat yang mampu mengundang sejumlah tawa. Ada elemen politik juga, di mana The Circle, demi hajat hidup orang banyak, ingin mengawasi kerja pemerintah secara langsung sehingga tidak ada penyelewengan. Namun, cara film ini mengeksplorasi elemen thriller dan dramanya sangat kacau sehingga ceritanya nyangkut di level aneh, alih-alih menarik, let alone thought-provoking. Susah aja bagi kita nerima kenyataan film bahwa ratusan orang – atau malah milyaran, seperti yang disebutkan film – mendukung ide soal kamera yang benar-benar meniadakan privasi. Iya, kita melihat beberapa komen yang enggak setuju, orang-orang terkasih dari Mae juga enggan untuk terlibat, namun film ini tidak pernah dengan mulus membahas konflik yang mestinya muncul dari potensi invasi privasi gede-gedean ini.
Instead, dari awal sampai akhir kita hanya mendapat satu insiden. Satu momen konflik. Sebagian besar film ini adalah tentang Mae ataupun pemimpin organisasi yang berbicara mempersembahkan ide mereka di depan karyawan dan eksekutif. Kita bisa melihat beberapa gagasan mereka ada yang benar, ada yang salah. Hanya saja tidak pernah berkembang menjadi konflik. Semuanya mengempis begitu saja; terlupakan, karena di adegan berikutnya semua tampak menjadi normal dan termaafkan. Di tengah-tengah film aku ngarep ada kejadian apa kek, paling enggak Mae sama sahabatnya berantem jambak-jambakan. Aku ingin lihat orang-orang itu mendapat pelajaran dan berubah. Tapi enggak ada kejadian apapun di film ini. Tidak ada resolusi yang menohok, tidak ada jawaban. Pada beberapa adegan terakhir, film mencoba untuk menjadi dramatis, hanya saja dengan absennya set up, satu konflik tersebut malah jadi abrupt dan tetep saja membuat film ini sebagai tontonan yang gampang untuk kita lupakan.
MINIMNYA KONFLIK tentu selaras dengan MINIMNYA KEPUTUSAN YANG DIBUAT OLEH KARAKTER. Inilah masalah terbesarku terhadap film The Circle. Tokoh utama kita, ‘pahlawan’ yang mestinya kita relasikan dengan diri sendiri, enggak banyak ngapa-ngapain. Mae ditulis dengan datar dan enggak menarik. Emma Watson adalah aktris yang cakap dan believable jika diberikan peran yang sesuai. Tetapi sebagai Mae, dia terdengar monoton, dengan banyak ekspresi bingung menatap layar. Interaksinya dengan karakter lain tidak lebih hanya sebagai sebagai device.
Film ini punya kebiasaan untuk memperkenalkan karakter tanpa memberinya plot ataupun hook buat kita pegang. Tom Hanks is barely in this film padahal perannya cukup penting; Bailey adalah yang terdekat yang kita punya dari seorang antagonis. Tapi meski demikian, bahkan karisma Tom Hanks enggak membantu banyak. John Boyega malah tampil lebih sedikit lagi, dengan peran yang selalu tenggelam ke background. Perannya di sini adalah sebagai Circler misterius yang mulai ‘curiga’ dan berontak terhadap organisasi. However, film menerjemahkan tokohnya ini hanya sebagai orang yang sesekali muncul untuk memperingatkan Mae. Tokoh favoritku di film ini justru adalah kedua orangtua Mae; Ayahnya (rest in peace Bill Paxton) yang mengidap MS dan Ibu yang setia mendampingi. Mereka berdua sangat penasaran sama kerjaan Mae, dan mereka adalah the voice of reason yang actually lebih mudah untuk kita dukung, dan punya relationship yang lebih menarik untuk diikuti.
Secara visual, ini adalah film yang mentereng. Namun secara teknis, film ini terasa kurang professional. Kita bisa melihat film ini dibuat dengan cakap, akan tetapi hasilnya secara keseluruhan tidak tampak seperti demikian. Yang paling kentara tentu saja adalah arahannya; sama sekali enggak spesial. Talenta para aktor disiasiakan, enggak satu pun dari mereka menyuguhkan penampilan yang memuaskan. Bahkan Tom Hanks terdengar lumayan monoton di sini. Aku baru saja pulang dari ngintip proses syuting film, maka mau tak mau aku memperhatikan gimana struktur pengambilan gambar; buat yang suka memperhatikan editing ataupun teknik ngesyut, maka pastilah bisa mengerti bahwa film ini menggunakan teknik yang enggak baik. Particularly, the way mereka menyambung adegan terasa kasar. Contohnya di adegan ketika Mae dan sahabatnya ngobrol di dalam bilik toilet terpisah. Film ini menggunakan sudut pengambilan standar untuk kedua tokoh, di mana Mae dan sahabatnya sama-sama diposisikan di tengah shot. Dan kemudian mereka ditampilkan bergantian, dengan sudut yang sama. Hasilnya cukup menggelikan, seolah Mae dan temannya itu muncul bergantian di bilik yang sama, padahal itu adalah bilik yang berbeda.
Mengetahui semua tidak pernah adalah hal yang baik. Karena itu berarti tidak ada ruang bagi kita untuk mempertanyakan sesuatu. Yang ultimately berarti tidak ada kesempatan untuk berkembang menjadi lebh baik lagi. Dan tentu saja mengetahui semua berarti tidak ada rahasia, sedangkan manusia perlu untuk menyimpan rahasia. Karena setiap kita sejatinya punya dua kehidupan, personal dan sosial. Dan di dunia di mana semuanya sudah overexposed,hal paling keren yang bisa kita lakukan adalah menjaga kemisteriusan diri.
Jika ini adalah cerita satir tentang society yang memutuskan untuk menjadi transparan sehingga tidak ada yang ditutupi, maka aku akan blak-blakan bilang ini adalah film yang membosankan. Penampilan datar dari barisan aktor yang sangat cakap. Arahan yang biasa aja dari sutradara yang mumpuni. Editing yang awful. Penulisan yang poor. Film ini is a complete mess, ia terlihat amatir padahal digarap oleh orang-orang yang bisa kita katakan sudah professional di bidangnya. Pesannya pun tidak seprovokatif yang diniatkan, lantaran we already know that. The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for THE CIRCLE.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.