KERETA BERDARAH Review

 

“Trains are a reminder that life is always on the move.”

 

 

Naik kereta api, tut.. tut.. tut!! Siapa hendak semaput? Genre horor kita dibawa naik kereta api oleh sutradara Rizal Mantovani. Kereta api sendiri, selalu adalah setting yang menarik untuk dijadikan cerita. Malah udah kayak subgenre tersendiri. Mau itu misteri detektif kayak ceritanya Agatha Christie, Murder on the Orient Express, atau action kayak Bullet Train, drama thriller psikologis The Girl on the Train, atau bahkan kisah perjuangan kayak di film jadul Kereta Api Terakhir, mekanisme dan cara kerja kereta api yang melaju cepat dan banyak gerbong mampu menambah suasana semakin intens lewat konsep kereta api yang unik; ruang tertutup yang bisa mencakup begitu luas. Belum lagi ruang tersebut juga menawarkan tantangan pada pemandangan sinematik yang mungkin untuk dicapai. Metaforanya juga bisa banyak. Kereta api yang berhenti di tiap-tiap stasiun bisa dilihat sebagai perlambangan kehidupan. Bong Joon Ho, misalnya, mengomentari struktur kelas sosial masyarakat pada Snowpiercer, film sci-fi post apocalyptic yang menceritakan penyintas yang berada dalam kereta api yang melaju kelilingi dunia. Maka dari itulah film Kereta Berdarah ini bikin penasaran. Meskipun kecurigaanku soal film ini mungkin cuma ingin meniru Train to Busan (2016) – horor zombie populer dari Korea yang juga merupakan komentar sosial dari gaya hidup kapitalis yang individualis – ketat membayangi, aku menontonnya karena ingin tau apa yang mau ditawarkan oleh film ini dengan penggunaan set kereta api.

Sentral dari cerita adalah dua kakak beradik, Purnama dan Kembang. Purnama ngebook perjalanan naik kereta api khusus ke resort untuk menghabiskan hari bersama adik kesayangannya. Sebagai perayaan dia sudah keluar dari rumah sakit. Tapi dua kakak beradik, dan penumpang lainnya, hanyalah turis. Mereka gak tahu menahu kalo kereta dan jalurnya yang baru saja diresmikan itu punya masalah, bahkan sejak masih dalam proyek pengerjaan. Jalur Kereta Sangkara yang bergerbong lima, dibuat menembus hutan lebat keramat. Hutan yang kini penunggunya amat sangat marah. Perjalanan Purnama dan Kembang yang mestinya ceria berubah menjadi mengancam nyawa karena setiap kali kereta mereka masuk terowongan, akan ada gerbong yang menghilang. Diteror lalu diambil oleh sang penunggu untuk dijadikan bagian dari hutan.

Naik bis, terjebak konflik separatis. Naik keretaapi, kena teror hantu. Kak Hana lain kali naik pesawat aja yaa!

 

Keputusan film tepat dengan early membahas drama di balik hubungan Purnama dan Kembang. Purnama yang tampak bersemangat (dimainkan oleh Hana Malasan  sebagai karakter yang tampak ceria, ekspresif, dan rather flirtatious di luar) ternyata menyimpan sesuatu. ‘Rahasia’ Purnama akhirnya terbaca oleh Kembang (Zara Leola jadi adik yang tampak lebih ‘realistis’ dari kakaknya). Dan tahulah kita semua kalo Purnama yang baru keluar dari rumah sakit, ternyata bukan karena dia telah sembuh dari kanker. Purnama hanya mencuri waktu untuk menghabiskan hari-hari terakhirnya bersama sang adik. Bagi Purnama, hidupnya telah ada di stasiun terakhir. Dengan actually membicarakan hal ini di awal-awal, ketika nanti teror supernatural beneran terjadi menimpa Purnama dan Kembang, kita jadi punya pegangan dramatis untuk mengkhawatirkan mereka. Bukan lagi sekadar pengen mereka survive dari setan. Melainkan ada layer yang lebih dalam. Relasi dan konflik yang sudah dibangun ini menambah intensnya horor karena kita jadi peduli apakah mereka bakal tetap bersama atau tidak.

Namun hidup bukanlah stasiun, Hidup justru adalah kereta apinya. Inilah yang jadi inner journey Purnama. Hidup adalah kereta api yang terus bergerak, stops at no station. Dari lahir hingga mati, kehidupan merupakan perjalanan yang konstan oleh perubahan dan tantangan.

 

Sangkara yang jadi nama kereta api yang mereka tumpangi diambil dari bahasa sanskerta.  Yang dapat diartikan sebagai perjalanan batin yang mencerminkan pengalaman, pertumbuhan, dan perubahan seseorang dalam konteks emosional dan spiritual. Ini klop dengan yang dilalui Purnama, seorang penderita kanker yang sudah mau menyerah dan pasrah menghadapi akhir hayatnya. Yang sudah capek berjuang. Horor dan teror gaib yang dia alami bersama adik yang berusaha ia lindungi akan membuka matanya untuk melanjutkan hidup. Sebagai protagonis utama, Purnama memang tidak terlalu banyak dikenai derita fisik lagi, tapi mentalnya-lah yang terus ‘diserang’. At one point, dia melakukan suatu hal mengerikan yang bisa dilakukan oleh manusia beradab, yaitu membunuh orang. Gak sengaja atau tidak, dia harus dealing with aksi yang ia lakukan ini mentally.

Secara desain memang penulisan film ini cukup niat. Dari urusan nama misalnya, bukan hanya Sangkara tadi yang seperti dipikirkan untuk perlambangan. Ada juga nama karakter yang bakal jadi kayak heads up terhadap apa yang terjadi pada karakter itu di akhir cerita. Perkara setting kereta api sebagai konsep horor, dimainkan oleh film menjadi teror yang time sensitive dari gerbong-gerbong yang menghilang setiap kali kereta masuk melewati terowongan. Ini menghasilkan dua efek yang berbeda, pertama karakter jadi berburu dengan waktu untuk segera keluar dari gerbong yang bakal menghilang – ini menambah keseruan. Dan kedua, membuat cerita jadi predictable dan repetitive. Sehingga jadi agak boring. Desain hantunya sendiri sebenarnya seram dan juga klop dengan cerita. Bentuknya berupa demon stration, eh salah, demon hutan, Setan dengan sulur-sulur kayu yang bakal menjerat korban. Membuat mereka keluar urat-urat sebelum akhirnya meledak. Mitologi kemarahan setan digali dari tema manusia dan alam, serta kepercayaan mistis vs, pandangan materialistis. Tapi dalam penceritaannya, disederhanakan lagi menjadi si kaya lawan si miskin. Di ‘gerbong’ inilah film stop bekerja original dan malah jadi kayak di’shoe-horned’ kepada cerita Train to Busan.

Kecurigaanku yang merambat tadi ternyata benar. Film ini jadi agak lupa diri karena di tengah, dia jadi lebih kayak kopian versi lite dari Train to Busan. Ujug-ujug ada soal orang kaya yang gak mau orang miskin masuk ke gerbong eksekutif/VIP mereka. Ada bisnisman jahat yang mau cari selamat sendiri. Ketika Train to Busan melakukan bahasan itu, tema ceritanya tepat dan konsisten. Film itu ingin menunjukkan gimana orang Korea modern lebih memilih untuk selamatkan diri sendiri, atau golongan mereka. Jurang pemisah antarkelas di sosial mereka terbentuk karena orang jadi individualis baru bisa sukses. Bahkan karakter utamanya paralel dengan bapak kaya yang egois, karena dia juga awalnya cuma mementingkan keselamatan putrinya. Pada Kereta Berdarah, bahasan si kaya dan si miskin kayak dipaksa masuk karena tidak benar-benar inline dengan permasalahan perjuangan hidup yang dimiliki Purnama dan adiknya. Pembahasannya pun seadanya kayak gimana orang kaya sombong kepada orang miskin seperti di sinetron-sinetron.

review Kereta Berdarah
Serem-serem begitu, kereta api mah aman nyimpan uang di dalam tas, gak ada yang nuker jadi keramik

 

Ini makin unfortunate karena sebenarnya bahasan pekerja lawan bos juga sudah dibuild up. Tapi karena gak paralel dengan karakter utama, maka dua bahasan ini gak benar-benar saling menyokong. Dan Putri Ayudya yang berperan sebagai penumpang yang identitasnya adalah istri dari pekerja proyek rel yang hilang – yang udah ngasih penampilan akting sangat serius sebagai seorang dengan bantuan pendengaran, kayak melebihi dari yang diniatkan film – jadi kayak tidak diberdayakan maksimal oleh film ini. Dengan level akting begitu, mestinya ada lebih banyak adegan dan bahasan cerita tentang permasalahan karakternya. Buatku kasian sekali karakter dengan bobot tak kalah dramatis ini terkesampingkan. Penonton di studioku malah ketawa dengan nada “oh please not again” loh waktu dia untuk kesekian kalinya ngasih lihat foto suaminya kepada karakter lain. Menurutku, penonton gak salah juga bereaksi begitu. Toh basically memang cuma itu yang dilakukan oleh karakter Ramla ini pada sebagian besar durasi. She needs more screen time.

Di babak akhir, film memang kembali ke rel yang lurus yakni permasalahan Purnama dan Kembang, dan untuk beberapa waktu, mereka bersama Ramla. Film menghandle penyelesaian dengan cukup tepat, melingkar ke permasalahan Purnama di awal. Menutup journey-nya for good. Namun di bagian ini aku juga berpikir harusnya film bisa melakukan dengan lebih baik lagi. Karena ending film yang mestinya haru, sekaligus optimis, cenderung lebih terasa flat. Karena film kebanyakan mengeja apa yang sebenarnya terjadi kepada para karakter. Momen-momen penyelesaian itu diisi terlalu banyak oleh eksposisi penjelasan, padahal mestinya bisa lebih kuat (dan aku yakin penonton pun pasti bisa menyimpulkan sendiri) jika film menyerahkan kepada tanda-tanda fisik dari karakter yang selamat. Tapinya lagi, kalo diingat-ingat memang begitulah sebagian besar dialog film ini ketika hal sudah mulai ‘menapaki’ misteri. Dialognya suka berubah menjadi ejaan penjelasan. Takut yang dirasakan karakter aja sering kurang membekas karena dialog mereka jadi lebih menjelaskan gerbong hilang setelah lewat terowongan.

 




Film ini sebenarnya punya modal untuk jadi dirinya sendiri. Karakterisasi dan drama personal diberikan kepada tokoh utama ceritanya. Inner journeynya ada. Ini kan sebenarnya adalah perjuangan seorang penderita kanker untuk mengarungi hidup. Untuk memperkaya bahasan, film juga punya komentar tentang nasib pekerja di perusahaan yang cuma tau cuan dan citra. Film juga punya unsur lokal dengan kepercayaan tahayul, dikontrakan dengan pandangan modern.  Desain horornya juga stands out enough. Tapi semua itu belum digodok dengan benar-benar matang. Film ini jadinya kayak mencukupkan diri dengan goal sederhana yaitu menjadi seperti Train to Busan, dan modal-modal tadi dijejalkan ke penceritaan yang serupa film tersebut. Agak sayang aja film ini kemungkinan hanya akan diingat karena bandingannya dengan film lain yang lebih populer, padahal mestinya kita bisa punya horor decent dengan setting kereta api, 
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for KERETA BERDARAH.

 

 




That’s all we have for now.

Apa kalian punya pengalaman seram waktu naik kereta api?  Apa film favorit kalian yang berlangsung di dalam kereta api?

Silakan share ceritanya di komen yaa

Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE COMMUTER Review

“For the love of money is the root of all evil.”

 

 

Setiap hari selalu bertemu, bertukar-pandang tanpa sengaja, mengangguk menyapa seadanya, tentu mampu menumbuh perasaan kenal di antara orang-orang asing. Tapi ini bukan soal cinta. Ini soal rasa curiga. Michael MacCauley setiap hari naik kereta komuter yang sama. Mantan polisi yang baru dipecat dari perusahaan asuransi ini bisa dibilang sudah akrab dengan penumpang-penumpang lain, juga dengan pegawai kereta. Makanya, ketika ditantang permainan kecil-kecilan oleh seorang wanita, MacCauley setuju aja. Mencari seseorang yang ‘berbeda’ di dalam kereta tentu tampak gampang bagi dirinya yang punya skill observasi yang tinggi. Apalagi permainan hypothetical tersebut berhadiah serius; seratus ribu dolar. MacCauley butuh duit itu untuk keluarganya. Tapi permainan ‘Di mana Waldo’ tidak pernah segampang kelihatannya. Malahan, menjadi semakin susah karena kita tidak mampu melihat. Tantangan yang diterima MacCauley semakin lama bukan saja menjadi semakin sulit, namun juga menjadi semakin berbahaya. Sebab banyak nyawa yang dipertaruhkan di sana. Termasuk nyawa MacCauley sendiri!

Akhirnya aku dapat juga thriller di kereta api yang sesuai dengan harapanku. I mean, Murder on the Orient Express (2017) tetap yang terbaik memutar balik ide gimana jika penumpang kereta api ternyata sudah saling kenal – bukan strangers, tapi film ini adalah adaptasi novel klasik. Sejak dibuat kecewa oleh The Girl on the Train (2016), aku jadi tertarik pengen melihat thriller menegangkan di kendaraan umum yang mengeksplorasi penumpang yang benar-benar asing satu sama lain. Karena aku sendiri suka naik kendaraan umum, aku suka mengamati para penumpang, dan honestly aku kadang sering ngarep ketemu kasus yang seru. Tapi itu akan menjadi pengalaman yang sangat mengerikan. Makanya aku jadi pengen sekali melihat film yang benar-benar membahas soal tersebut. Night Bus (2017) tadinya kupikir akan jadi pemuas, namun film tersebut terlalu condong ke isu politiknya. Night Bus bagus tapi terlalu serius dengan gol untuk menjadi sajian dramatis.

Buatku, The Commuter adalah film thriller di atas kendaraan tertutup yang selama ini kuidamkan. It is really entertaining. Enggak menjadi terlalu serius, ataupun berat, sutradara Jaume Collet-Serra mengerti komposisi yang dibutuhkan. Dibuat olehnya The Commuter sebagai sajian thriller bercampur aksi yang pas, yang plot dan narasinya enggak ribet-ribet amat, dengan tokoh yang bisa kita dukung keselamatannya.

tut tut tut siapa hendak semaput

 

Kesulitan dalam menangani tokoh utama salah satu adalah kita ingin membuatnya terlihat kuat dan bisa dipercaya, sekaligus juga membuatnya tidak tanpa kelemahan. Michael MacCaulay yang diperankan oleh Liam Neeson adalah karakter yang ditulis sempurna untuk situasi yang ia hadapi. Dia adalah pria baek-baek, seorang kepala keluarga yang ingin berikan yang terbaik, sebagaimana dia juga ingin membantu orang lain. MacCaulay adalah jenis pria yang bisa kau jumpai di temapt-tempat umum, kau duduk di dekatnya, dan sama sekali enggak merasa terancam. Akan tetapi, alih-alih seperti Fahri yang ditulis hidup tanpa tuntutan dalam film Ayat-Ayat Cinta 2 (2017), MacCaulay disuntikkan ambiguitas moral ke dalam karakternya. Yang membuat tokoh ini bercela, dan eventually menjadi menarik. Dihadapkan oleh kesulitan finansial, tokoh kita dituntut untuk memilih sesuatu yang bertentangan dengan kompas hidupnya. Uang seratus ribu dolar dapat menjadi miliknya, asalkan dia bisa menemukan seseorang; dan MacCaulay menerima tawaran ini meskipun dia tidak mengetahui pasti apa yang akan terjadi pada seseorang tersebut – mungkin saja dilukai atau dibunuh. Aspek karakternya ini sangat menarik sebab dia tidak lagi hanya seorang pria yang punya kemampuan khusus yang ingin ‘menyelematkan’ keluarganya. Dia adalah pria yang harus memilih antara keluarga atau orang lain. Moralnya lah yang dipertaruhkan di sini.

Uang adalah akar dari semua kejahatan. Film ini menantang kita dengan pertanyaan apa yang akan kita lakukan jika dihadapkan dengan situasi seperti MacCauley; diberikan pilihan untuk menerima uang meskipun kita tahu akan ada pihak yang merugi karenanya, on the other hand kita yang akan rugi jika enggak menerimanya. Ini sudah seperti pilihan antara komersil atau moralitas. Tapi sebenarnya, bukan uanglah yang menyebabkan orang bertindak jahat. Akan tetapi, kecintaan berlebihan terhadap uanglah yang ultimately akan membuat kereta api hidup kita melenceng keluar dari rel.

 

Sebuah penulisan karakter yang menarik, yang membuat kita peduli. Kita ikut merasakan kebutuhannya,  tantangan-tantangan yang menghalangi, sekaligus kita ingin melihat dia melakukan hal yang benar menurut moralnya. Inilah yang membuat film menjadi thriller yang menarik.

Inilah yang menggulingkan bola aksi itu, membuat setiap sekuen aksinya menjadi semakin besar lantaran kita paham akar masalah, apa yang menjadi ‘kelemahan’ dari tokoh utama. Yea, Liam Neeson udah gak muda lagi, melihat dia dipukuli dapat menyebabkan kita meringis kasihan juga. Film ini pada dasarnya adalah sebuah laga, jadi kita bakal melihat banyak adegan-adegan fisikal. By the end of this movie, MacCaulay akan babak belur. Tetapi pukulan itu juga datang dari sisi mental. Dan itu telak sekali. Mid-point film di mana MacCaulay  sudah gabisa mundur lagi, dia musti menemukan orang yang dicari, tapi sekarang untuk menyelamatkannya  adalah bagian film yang terdeliver dengan baik. Bagian yang menarik lainnya adalah ketika MacCaulay actually berkomunikasi dengan para penumpang. Dia harus menanyakan siapa mereka, dengan cara yang enggak menimbulkan kecurigaan kepada dirinya sendiri. Tentu saja ini menjadi tantangan tersendiri. Dia harus mencari bahan percakapan, menghindari supaya enggak awkward karena beberapa dari penumpang yang ia tanyai adalah wanita muda. Menurutku ini adalah ide yang sangat bagus dari sudut pandang thriller. Film ini punya lengkap; Bahaya dari aksi di mana dia bisa mati karena jatuh dari kereta, ataupun dari di mana dia menangani situasi yang canggung menginterogasi orang-orang, tanpa menakuti mereka.

ih, kokmuter

 

Collet-Serra memang meniatkan film sebagai tontonan hiburan. Sekuen-sekuen aksinya benar-benar gede dan berlebihan. Kita akan melihat orang melompat dari gerbong kereta yang mau tergelincir dan hal-hal heboh semacam itu. Beberapa aspek di film ini memang tampak enggak plausible. Enggak mungkin banget terjadi. Segala gerakan MacCaulay dimonitori oleh tokohnya Vera Farmiga, dan sebagai cewek misterius dia mengomandoi semua langkah-langkah berikutnya, seperti orang menggerakkan bidak catur, yang kalo kita pikir-pikir balik timing kejadian-kejadian di film ini amatlah gila-bisa-pas banget. Akan tetapi, Collet-Serra menyelamatkan film ini dari bagian-bagian gak-mungkin tersebut dengan menangani porsi berantem dengan sangat baik. Dalam kereta api ini kita tidak akan menjumpai berantem dengan kamera yang goyang-goyang. Enggak akan kita temui editing yang cepet-cepet. Multiple takes pada film ini dibuat seakan menjadi satu take panjang dengan memanfaatkan sempitnya lokasi. Atmosfer klaustrofobis terasa menguar dalam adegan battle, dan ini membuat kita menjadi sangat greget menontonnya.

 

 

 

While punya tokoh yang menarik, situasi yang memberikan rintangan yang jarang, aksi-aksi bagus dengan pace cepe yang efektif memanfaatkan kondisi, filmnya sendiri enggak benar-benar menantang ataupun memberikan jawaban ataupun sesuatu yang sama sekali baru. Ini adalah thriller yang sangat enjoyable dan tidak pernah dirinya minta dipandang sebagai sesuatu yang lebih dari kata fun. Jadi kita akan menemukan banyak hal yang implausible, yang menurutku adalah kelemahan pada film ini yang mestinya bisa dihindari. Atau dicari rute lain sehingga menjadi lebih mungkin untuk terjadi ataupun dipercaya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 for THE COMMUTER.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017