“Beware of that monster called ‘self-loathing'”
Bagian kedua dari trilogi Fear Street garapan Leigh Janiak mengambil tempat pada sebuah perkemahan musim-panas tahun 1978. Kemah musim-panas sendiri memang tahun 80an sudah menjadi staple dalam cerita-cerita horor Amerika, termasuk dalam film dan dalam cerita-cerita karangan R.L. Stine sendiri. Dalam seri Goosebumps originalnya aja ada tujuh cerita yang berset di kemah musim-panas. Sehingga tentu saja makes perfect sense jika Fear Street melangkahkan kaki ke sana. Membuat cerita perkemahan anak sekolah itu menjadi lebih sadis dan lebih berdarah-darah. Sesuai dengan ‘fitrahnya’ dalam jagat film horor. Kita tentunya tahu persis nama-nama kemah Crystal Lake, kamp Arawak, kamp Stonewater, Hurrah, beserta nama-nama pembunuh psikopat yang mengganas di masing-masingnya.
Kemah musim-panas adalah panggung bermain ideal untuk horor slasher, dan untungnya bagi Leigh Janiak, film-film tersebut tidak mengeset standar yang tinggi – paling enggak, tidak setinggi standar Scream yang berusaha dicapai (dengan gagal gemilang) oleh Janiak di Bagian Pertama Trilogi ini. Subgenre dari slasher 80an ini enggak harus cerdas. Enggak harus trendi. Untungnya bagi kita, Janiak kali ini paham mengenai advantage-nya tersebut. Dia menyuntikkan segenap hati pada cerita bunuh-bunuhan dan misteri supernatural. Membuat Fear Street Part Two sedikit lebih berbobot dan lebih gampang dinikmati daripada bagian sebelumnya.
Pencarian kebenaran mitologi penyihir bernama Sarah Fier yang mengutuk kota Shadyside dengan serial-killer psikopat tak berkesudahan, membawa Deena (protagonis film bagian pertama) dan kita ke Camp Nightwing tahun 78 silam. Tepat beberapa saat sebelum kutukan penyihir itu menghantam, mewarnai kabin-kabin di tengah hutan itu dengan warna darah. Di masa lalu itulah kita bertemu dengan protagonis film bagian kedua ini. Dua kakak beradik Berman. Ada Ziggy, yang dibully oleh teman-teman dari Sunnyvale. Dan Cindy, yang bekerja sebagai pengawas perkemahan. Hubungan antara dua saudari inilah yang jadi hati dalam cerita. Karena hubungan mereka sebagai kakak-adik actually sangat tidak akur karena situasi keluarga, tapi mainly karena keduanya punya reaksi yang sangat bertolak belakang perihal dipandang kecil sebagai warga Shadyside. Ketika malam tiba, dan pacar Cindy disihir oleh kutukan sehingga menjadi Pembunuh Berkapak, Ziggy dan Cindy yang terpisah harus berusaha menyelamatkan diri sembari mencari cara untuk menghentikan kutukan tersebut. Berdua, atau tidak sama sekali.
Instantly, cerita yang jadi tubuh film bagian kedua ini terasa lebih kuat dan menarik dibandingkan film bagian pertama. Di sini kita dapat protagonis kakak-beradik yang berkonflik langsung dengan semuanya. Cerita ini sepenuhnya milik mereka. Ini bukan sekadar cerita survival dari pembunuh (yang kenal mereka secara personal), melainkan ada konflik sisterhood yang bisa kita pedulikan. Penulisan film kali ini bekerja dengan efektif mengaitkan karakter dengan bangunan mitologi, more importantly dengan kota yang menjadi bagian dari mitologi tersebut.
Soal kota tersebut actually adalah poin lemah pada bangunan film 1994. Film itu terlalu sibuk live it up ke slasher 90an sekaligus kepayahan untuk membuat protagonisnya tampak penting. Sehingga lupa untuk menghidupkan mitologi secara natural. Kebanyakan hanya lewat eksposisi, sedangkan kota Shadyside yang harusnya jadi karakter tempat mitologi tersebut bisa bersemayam dilewatkan begitu saja. Film 1978 kali ini, meskipun memang masih terdapat banyak eksposisi (kali ini tampak lebih natural karena hanya lewat buku catatan), tapi menyebut lebih banyak tentang bagaimana rasanya menjadi penduduk sebuah kota yang terkenal ‘sial’ karena banyak terjadi pembunuhan sadis. Film dengan bijak menggunakan setting kemah musim panas untuk melakukan hal tersebut. Kemah tersebut dihuni oleh anak-anak dari Shadyside dan Sunnyvale. Lewat interaksi para karakternya lah, kota-kota ini (terutama Shadyside) mulai terasa hidup sebagai karakter tersendiri. Kita melihat perbedaan status (dan bahkan nyaris perbedaan fisik) yang ditimbulkan oleh tinggal di kota tersebut. Setiap kali nama Shadyside disebut dalam perbincangan, kepercayaan kita akan kutukan dan ‘jelek’nya kota tersebut bertambah. Kita jadi seperti merasakan langsung pengaruh buruk kota tersebut kepada karakter-karakter penghuninya. Karena baik Ziggy, Cindy, maupun karakter pendukung seperti Alice dibuat punya kebencian dan ‘mekanisme bertahan’ sendiri terhadap status mereka sebagai warga.
Sadie Sink lebih beruntung dibandingkan alumni Stranger Things yang muncul di film 1994, karena dia mendapat peran yang lebih demanding secara emosi, dan literally lebih penting, pada film 1978 ini. Sebagai Ziggy, Sink harus memainkan angst remaja ke dalam note-note emosi yang intens. Ada kemarahan dan keputusasaan yang nyaris konstan harus dia keluarkan. Ziggy membenci fakta bahwa dia adalah warga Shadyside, dan tak ada yang bisa dia lakukan dengan hal itu. Dia hanya bisa menjadi diri sendiri, yang itu berarti dia harus dibully sepanjang waktu oleh anak-anak Sunnyvale. Dan ini membuatnya menjadi benci ama diri sendiri. Lalu datanglah kakaknya. Cindy (Emily Rudd diberikan karakter yang seperti ‘bermain’ dengan trope heroine slasher 80an), remaja baek-baek dengan kemeja polo putih sebagai lambang kemurnian atau kepolosan, atau apalah. Masalah Ziggy kepada Cindy adalah, kakaknya itu fake. Mencoba untuk menjadi seperti anak-anak Sunnyvale yang mentereng. Tapi tentu saja, sebenarnya ada alasan yang mengundang simpati juga kenapa Cindy memilih bertingkah ekstra-suci, tidak seperti sahabatnya, Alice, yang benar-benar embracing sisi gelap dari perkataan Sunnyvale seputar warga Shadyside.
Film bagian kedua ini memainkan konteks kota sebagai kutukan dengan lebih baik, karena semua ditempatkan ke dalam karakter. Manusia-manusia remaja dalam film ini semuanya membenci kota mereka. Bagi mereka melawan Sarah Fier adalah berjuang mengalahkan reputasi kota. Ini membuat mereka lantas membenci diri mereka sendiri. Dan nantinya mereka harus menyadari, bahwa self-loathing itulah justru sebenarnya monster yang lebih berbahaya. Mereka akan menghancurkan diri sendiri jika terus berkubang di dalamnya.
Untuk aspek horornya sendiri, film ini really embrace satu-serial-killer, dan juga tampak lebih fokus. Karena kesuperanaturalan cerita enggak jauh beda dengan monster-monster slasher seperti Jason Vorhees. Sama-sama inhuman. Dibandingkan film pertama yang tampil lebih blak-blakan dan kreatif, film kedua ini secara aksi tampil lebih tradisional. Penggal kepala dan beberapa yang seperti body-horror kayak tulang patah ataupun digerayangi lintah (dan berkecimpuk dalam kotoran) jadi sajian horor di sini. Tapi film ini justru membuktikan minimalis seperti demikian, bukan berarti tidak seram. Secara konteks justru sebenarnya lebih mengerikan, karena di sini yang dibunuhi dengan kejam pake kapak itu adalah anak-anak. Bahkan slasher 80an tidak banyak yang berani melakukannya, kebanyakan hanya menyerang remaja. Karena melibatkan anak-anak itulah, maka pembunuhan dalam 1978 ini banyak yang dilakukan di luar kamera. Tapi film memainkan semuanya dengan baik. Memperlihatkan potongan-potongan kecil anggota tubuh, membuat kita jadi membayangkan sendiri kejadiannya, and in a way, cara tersebut terasa lebih seram. Dan lebih membekas.
Apa lagi ya yang bisa kita bandingkan antara film ini dengan film pertama… oiya, keotentikan suasana. Buatku film 1994 itu gagal karena semua kemudahan dalam ceritanya malah membuat film terasa seperti sangat modern. Sementara itu, film 1978 ini punya keuntungan dari panggung kemah musim-panas tersebut. Secara kehororan, it is easier to replicate. Secara gimmick, juga enggak perlu banyak repot-repot. Film ini cukup memperlihatkan tape dan kaset berisi lagu-lagu 70an populer. Aku suka lagu-lagu rock semacam Cherry Bomb atau Carry On My Wayward Son, I mean who doesn’t. Tapi toh memang film ini terasa trying too hard untuk menghidupkan suasana, dengan memainkan lagu-lagu tersebut secara over. Yang gak benar-benar berhasil mereka perlihatkan alasan kenapa adegannya harus pakai lagu.
Fear Street 1978 adalah tontonan slasher ala 70-80an yang perfect, jika ceritanya dibuat berdiri sendiri. Sayangnya, ini adalah bagian dari trilogi. Dan konsep trilogi yang dipakai oleh Janiak membawa banyak, katakanlah, pengurangan nilai bagi performa film. Jadi, semua kejadian di perkemahan itu diceritakan kepada Deena dan adiknya, oleh C. Berman dewasa. Problema itu datang dari sini. Pertama, film ini bisa terlihat sebagai kelanjutan cerita Deena, yang Deenanya benar-benar total gak ngapa-ngapain selain duduk dengerin flashback. Ini akan membuat film bagian dua ini seperti cuma jembatan. Kedua, soal posisinya sebagai flashback itu sendiri. Ini adalah kisah dua bersaudara yang diceritakan oleh satu orang. Film akan membawa kita antara melihat sudut pandang Ziggy, dan sudut pandang Cindy. Kan jadi gak masuk akal, dari mana si satu orang yang bercerita ini tahu sudut pandang dari saudaranya – apa yang dialami oleh saudaranya. Padahal kita lihat adegannya lengkap, dan waktunya mepet sekali untuk ada tenggat si saudara telah menceritakan petualangannya. Jadi, film ini bermasalah pada perspektifnya. Dan ketiga, ini nitpick sih, tapi menurutku aneh sekali bagaimana film ini membuat siapa C. Berman itu sebagai twist, padahal siapa dia sebenarnya pasti sudah bisa langsung ditebak (karena memang gak perlu dirahasiakan). Mending mereka mengungkap kenapa C. Berman itu banyak banget ngoleksi jam di rumahnya.
Tentu, ini baru bagian kedua dari tiga cerita. Pertanyaan-pertanyaan belum terjawab pasti ada. Bisa dimaklumi film ingin ngebuild up dengan menyinggung atau memberi clue sedikit. Seperti soal mitologi penyihir, soal kekuatannya. Kita diperlihatkan ada benda berdenyut mengerikan di bawah tanah yang bikin penasaran banget. Mungkin itu hati si Sarah Feir, aku gatau. Kita mulai paham bahwa kekuatan Fier ditujukan untuk para warga Shadyside. Di film ini yang dibunuhnya cuma anak-anak berbaju biru. Tapi ketika darah menetes tulang atau kuburannya, Feir akan melepas semua pasukan psikopatnya untuk mengejar si empunya darah. Melihatnya sekarang, rule dari kekuatan penyihir ini masih membingungkan. Apalagi jika membandingkannya dengan film pertama, saat tentara si penyihir membunuh tiga orang Sunnyvale di rumah sakit, dalam rangka mengejar si Sam yang darahnya mengenai kuburan. Kinda breaking the rules? Kenapa yang dikapak paling parah di akhir film kedua ini justru bukan orang yang darah mimisannya netes (bukan orang yang harusnya jadi target pengejaran)? Dan bagaimana soal mimisan – kenapa ada beberapa orang yang mimisan, apa artinya mimisan itu?
Film ini bekerja terbaik saat dilihat sebagai cerita yang berdiri sendiri. Dia berhasil membangun mitologi dengan cara yang lebih efektif. Eksposisinya dimainkan dengan seimbang dengan penggalian karakter. Bahkan kota Shadyside berhasil dicuatkan. Karena ceritanya enggak melulu tentang orang panik dikejar-kejar. Ada momen-momen manusiawi yang bisa kita resapi di antara bunuh-bunuhan sadis ala slasher 80an. Sayangnya saat harus mengikatkan diri kepada film pertama, sebagai bagian dari trilogi, film ini justru jadi banyak minusnya. Perspekifnya jadi gak kuat, kepentingannya jadi berkurang. Eksistensi keseluruhannya jadi lemah. Tapi, sekali lagi, sebagai film sendiri, ini lebih baik daripada film bagian pertama. Lebih bisa dinikmati.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for FEAR STREET PART 2: 1978.
That’s all we have for now.
Sebelum mencapai penutup trilogi, sudahkah kalian punya teori-teori sendiri mengenai Sarah Fier?
Share with us in the comments yaa
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA