KULARI KE PANTAI Review

“Sometimes it’s a journey that teaches you a lot about your destination.”

 

 

Uang tidak dapat menyelesaikan semua masalah. Tentu, dengan uang kita bisa beli semua barang, kita bisa dapetin semua fasilitas untuk mempermudah hidup. Tapi ada hal-hal tertentu yang tidak bisa diakhiri dengan uang. Melempar uang ke semua hal sesungguhnya adalah salah satu pelajaran terburuk yang bisa kita ajarkan kepada anak kecil. Karena itu tidak mengajarkan kemandirian, malas berusaha. Anak-anak harusnya diajarkan tidak sejumlah uangpun di muka bumi yang bisa membeli hormat dan diri kita sebagai manusia. If anything, larilah ke pantai, untuk mengingat kita bisa menunggangi ombak-ombak itu.

 

Samudra sih enak, ada atau enggak pun masalah, dia bisa lari ke pantai yang tak jauh dari rumahnya di Rote, Nusa Tenggara Timur. Mengendarai ombak dengan papan surf membuat anak ini tampak begitu bahagia. Sam ingin bisa seperti surfer idolanya, Kailani Johnson. Jadi begitu sekolahnya libur, Sam merencanakan liburan menyusur pulau Jawa bersama Ibunya. Dimulai dari merayakan hari ulang tahun nenek di Jakarta, hingga ke pantai tempat Kailani berselancar. Tentu saja di perjalanannya itu Sam juga bertemu dengan sepupunya. Sam melewati dan menemukan tempat-tempat indah di Jawa. Dan pelajaran berharga tentang bagaimana menjadi saudara sekaligus sahabat yang baik. Dan pengetahuan tentang siapa itu Chuck Norris.

Berlari di pantai tut..tuuu! Berlari di pantai tut..tuuu!

 

Dalam sebuah film roadtrip, kita akan mendapati  tokoh utama jarang sekali mencapai tempat yang ingin ia tuju di awal cerita. Ini karena setelah semua perjalanan yang dilalui, both inner and outer journey,  karakter tersebut akan belajar apa yang mereka butuhkan ternyata lebih penting ketimbang apa yang mereka mau. By the end of the movie, mereka sudah finish sebagai sebuah karakter. Kulari ke Pantai boleh saja agak sedikit berbaik hati lantaran tak ingin mengecewakan bagi penonton anak-anak, namun dari segi ceritanya, bukan hanya Sam melainkan juga Ibunya dan saudara sepupunya, Happy, yang ketemu dan belajar dari orang-orang yang mereka temui dalam perjalanan. Dan kita semua kecipratan oleh-oleh, ada banyak yang  bisa kita ambil dari perjalanan mereka. Selain fakta bahwa film ini bergulir dengan penuh canda yang hangat. Yang ingin merangkul kita semua dalam debur kekeluargaan. Pada satu adegan diperlihatkan Happy terpisah dari Sam dan ibunya, dia merasa takut untuk menghubungi mereka, dan kemudian dia ditenangkan oleh salah satu tokoh yang basically mengatakan keluarga akan begitu sibuk mencemaskanmu sehingga akan lupa marah kepada kita

Hati film ini terletak pada bagaimana Sam dan Happy – dua anak perempuan – yang begitu berbeda. Sam dengan flannel dan kamera fotonya, Happy dengan poni dan kacamata hitam dan handphonenya. Film dengan ceria menyentil bagaimana kita seringkali begitu nyaman dengan teknologi sehingga menganggap orang-orang seperti Sam, yang memotret alam tanpa mengunggahnya ke dalam akun instagram, sebagai orang yang kampungan. Ada momen yang begitu lucu ketika Sam dan ibunya melihat sekumpulan turis seperti mereka yang berfoto di depan Gunung Bromo, tapi mereka berfoto begitu dekat sehingga gunungnya sama sekali tidak kelihatan di kamera. Terkadang kita menukar keindahan alam dengan keindahan artifisial yang kita ciptakan untuk terlihat ‘gagah’ di dunia maya. “No fake” menjadi semacam mantra yang berulang kali disebut dan dilanggar secara aware oleh mereka berdua. Menyaksikan gimana perlahan-lahan mereka mulai saling jujur, mereka membuka ke masing-masing, Sam dan Happy saling belajar dari satu sama lain adalah apa yang membuat film ini begitu menyenangkan…

“..untuk kontemplasi, wuuu-ow!!!”

 

Masalah itu sama seperti perjalanan. Bukan soal  di mana akhirnya, melainkan bagaimana kita menuju kepadanya. Seberapa besar usaha yang mau kita lakukan untuk mencapai ujungnya. Bahkan tak jarang perjalananlah yang mengarahkan kita ke tujuan yang sebenarnya. Dari situlah rasa puas itu berasal.

 

Sebagai seorang karakter, Sam dibuat begitu hidup. She’s so fully realized. Banyak yang tokoh ini lakukan selain hobi surfing. Dia mengambil foto-foto selama perjalanan. Dia menyelipkan hasil jepretannya pada sun blocker di atas, jadi mereka bisa melihat kenangan-kenangan lucu itu di dalam mobil sambil berjalan. Dia suka bernyanyi bersama Ibu ketika mobil mereka melaju. Dia jago berantem, anaknya jagoan. Sam juga punya kebiasaan jelek berupa suka kentut sebelum tidur, dan gak boleh makan atau minum yang ada gulanya. Karena anak yang aktif ini akan berkali-kali lipet pecicilan gak mau diem setelah mengonsumsi gula. Semua aspek tokoh itu dimainkan bukan hanya untuk lucu-lucuan, namun juga berarti dalam pembentukan hubungan antara Sam dengan Happy. Maisha Kanna tampak tak canggung bermain peran, dia hits note komikal sebaik dia tampil serius.

Sayangnya, sebagai tokoh utama, dalam perkembangannya Sam menjadi kalah menarik dibanding Happy. Di cerita ini, stake lebih kerasa buat Happy yang dibesarkan jauh dari alam dan pantai. Alasan kenapa Happy ikut dalam perjalanan Sam dan Ibunya adalah sebagai ‘hukuman’ karena Happy meledek Sam sebagai anak-kampung yang norak. Jadi Happy harus kembali akrab dengan Sam karena mereka sodara. Dan the only reason Happy setuju ikut adalah karena perjalanan ini sebagai syarat dia boleh ikutan nonton konser sama teman-teman gengnya. Dibanding Sam yang sedari kecil udah akrab sama pantai dan alam,  posisi Happy di cerita ini adalah semacam fish-out-of-water. Dia melihat banyak hal yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Dia ketemu tipe orang-orang yang sama sekali baru baginya. Dan semakin jauh mereka berjalan, Happy mulai belajar untuk menyukai hal-hal yang ia temui. Dia literally ‘naksir’ sama seorang peselancar yang sebenarnya ia kategorikan sebagai ‘orang kampung’. Perkembangan Happy sebagai karakter melebihi Sam yang di akhir cerita hanya berganti gaya pakaian menjadi lebih girly. Perjalanan karakter ini terasa lebih kuat, Happy punya motivasi, dia melakukan lebih banyak pilihan sulit bagi dirinya, dia bahkan harus take care Sam yang sugar rushnya kumat. I think Happy akan menjadi pilihan tokoh utama yang lebih kuat, but I guess mereka pengen tokoh utamanya bisa berselancar sebagai hal unik yang dilakukan, dan untuk memperkuat kepentingan ‘kenapa mesti pantai’; toh jika Lil’li Latisha tidak bisa berselancar, sebenarnya mereka bisa saja menukar peran antara kedua pemain cilik ini.

Maisha dan Lil’li got spotted oleh Riri Riza dan Mira Lesmana ketika mereka bermain dalam teater musikal Petualangan Sherina. Kedua anak ini belum pernah main film sebelumnya, atau bahkan mengetahui sosok sutradara di balik film favorit mereka, Petualangan Sherina. Jadi, jangan heran melihat Mimi (panggilan Maisha) dan Lil’li begitu excited main di Kulari ke Pantai ini. Saat media gathering di Hotel Kytos, Bandung, dengan semangat khas anak-anak, mereka menceritakan pengalaman mereka syuting, yang bener-bener roadtrip.  Mimi cerita dia harus latihan surfing dulu beberapa bulan, sempet jatuh saat take adegan di atas sepeda, “Rambutku juga dipirangin” katanya ceria. Lil’li dengan bahasa inggrisnya juga mengenang bagaimana dia memang beneran gak suka main ke alam, harus berurusan dengan panas dan bahkan cacing, tapi dia menyukainya karena dia sudah lama ingin bermain film. So yea, sekarang kita tahu kenapa rintangan-rintangan yang dilalui Happy terasa real.

mereka tampak begitu in-character

 

 

Salah satu elemen unik yang dipunya oleh film adalah Happy yang bicara bahasa Inggris dipertemukan dengan seorang bule yang fasih berbahasa Indonesia. Tokoh bule ini somewhat refreshing, dia memberikan warna tersendiri lewat kebiasaan dan tindakannya, meskipun terkadang kemunculannya di sepanjang jalan kerap terasa kebetulan. Aku memang agak terbagi soal karakter ini. Interaksinya dengan Sam dan Happy dan Ibu asik untuk disimak. Tapi ada satu adegan spesifik antara Happy dengan Kak Dani ini yang buatku terasa film menjadi agak terlalu menggurui. Adalah ketika dia menolak diajak ngobrol dengan bahasa inggris dan gentian menyuruh Happy untuk stop berbahasa inggris. It’s cool dia menghormati budaya tempat ia berpijak, ia menggunakan bahasa Indonesia di sini. Tapi menyuruh anak kecil untuk berhenti menerapkan bahasa asing yang ia pelajari, yang anak itu gunakan di dalam lingkungan yang mengerti bahasa tersebut, dengan alasan bahasa Indonesia akan hilang, agak terlalu mendikte secara berlebihan menurutku.

Di awal-awal, di sela-sela product placement yang blatant dan obvious itu, film juga mengangkat dari sudut pandang orangtua Sam. Tentang ayahnya yang seperti dijauhi oleh ayah Happy dan sanak keluarga yang lain, they were giving him cold shoulders, karena keputusan ayah yang mengajak ibu dan Sam pindah ke tempat yang jauh dari keluarga yang lain. Mereka juga secara implisit menunjukkan ketidaksukaan dengan mengomentari betapa Sam tampak semakin hitam dan kumal, rambutnya pirang kusam. Dan ini membuat sedikit tensi antara ibu Sam dengan ayah Happy – mereka kakak beradik. Penyelesaian terhadap plot yang ini, terasa tiba-tiba. Masalahnya beres begitu saja. Aku ingin melihat lebih banyak penggalian tentang masalah ini, dan film mestinya bisa lebih padat dengan actually membahas ini lebih dalam.

 

 

 

Kita tidak perlu uang untuk memecahkan masalah, tapi if we do have money, gunakanlah untuk menonton film ini. Cerita keluarga yang bagus, relatable, yang memfokuskan kepada anak-anak. Menyentil banyak mengenai kecendrungan sosial yang terjadi di sekitar kita perihal teknologi dan modernisasi. Film mengajarkan anak untuk lebih dekat dengan alam, untuk berhenti menjadi pretentious. Tapi filmnya sendiri kadang tampak tampil menggurui, disebabkan oleh tokoh utama yang enggak merasakan stake cerita secara langsung. Bukan Sam yang harus berpura-pura demi diterima dalam geng pertemanan. Meskipun film juga mengajarkan kita untuk enggak keburu ngejudge orang-orang seperti Happy, tapi pandangan dari perspektif Happy akan membuat film lebih dekat – karena penonton diajak berkembang bersamanya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for KULARI KE PANTAI.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017