WONDER WOMAN Review

“Wars will remain while human nature remains.”

 

 

Udah kodratnya manusia demen berantem. Cuma kita, loh, spesies yang berperang karena sedikit perbedaan aja. Dan film Wonder Woman actually adalah suara yang kita butuhkan untuk mengatasi tabiat buruk penuh prasangka dan kebiasaan mengotak-ngotakkan. Wonder Woman, bukan saja merupakan film DC Universe pertama sejak trilogy Batmannya Christopher Nolan yang legitimately bagus, film ini juga punya kepentingan yang begitu besar untuk ditonton hari-hari sekarang banget. Film ini worked on so many level. Dia punya relevansi dan kedalaman emosi yang menggapai kita semua, lewat karakter-karkaternya berbicara dengan lantang tentang kebutuhan kita akan harapan dan keyakinan. Buat penggemar komik atau serial originalnya pun, Wonder Woman melampui apa yang diharapkan. Tentu saja, melampaui dalam cahaya yang positif.

Pertama dan terutama sekali, ini adalah cerita asal muasal Diana sebagai seorang superhero. Film yang panjang, tapi enggak akan jadi masalah karena kita perlu untuk melihat darimana dia berasal, literally dan figuratively. Kita perlu untuk bisa melihat kenapa Diana menjadi the way she is. Kita akan berkunjung ke kampung halamannya, sebuah pulau bak surga, yang dihuni oleh kaum Amazon yang seluruhnya adalah wanita. Di sana Diana sedari kecil sudah enggak sabar untuk dilatih bertempur menjadi seorang pejuang. Oleh ibunya, dia diceritakan kisah tentang dewa-dewa dan manusia, gimana Dewa Perang, Ares, menanam bibit kebencian dan prasangka demi membuat para manusia saling berperang. Ares terasing oleh Zeus, dan kaum Amazon dititah untuk berlatih sebagai persiapan bertempur melawan Ares. Kemudian seorang pria manusia terdampar di pulau Diana, sepasukan tentara Jerman mengekor di belakang puing pesawatnya. Dari pria tersebut, Diana menjadi tahu akan keadaan dunia luar; Perang Dunia I lagi hits. Percaya ini ada kaitannya dengan Ares, Diana tergerak untuk pergi membantu perang melawan Jerman.

Pulau Surga banget

 

Cerita superhero semestinya tidak berpuas menuhin misi sesak oleh adegan-adegan aksi dan komentar-komentar talk trash ataupun yang konyol. DC Universe melakukannya dengan benar kali ini. Wonder Woman punya skrip yang ketat, pengkarakteran tokoh-tokohnya ditulis sangat kuat. Semua elemen digunakan untuk membangun karakter Diana, really catering into her upbringing. Ada warna kebanggaan dan harapan yang melekat erat. Dan film ini melakukan apa yang tidak dilakukan oleh Captain America: The First Avenger (2011); kita benar-benar melihat seting perang, lantaran Diana terlibat langsung di dalam perang tersebut. Film ini juga punya serangkaian lelucon, actually sangat kocak. Film ini paham untuk memerah canda dari trope-trope klasik Wonder Woman. Tidak seperti film-film DC sebelumnya, Wonder Woman tidak mengubah perspektif kita terhadap sang superhero. Film ini embrace the nature dan membuat kita merasakan sensasi wonder dunia dan karakter si Diana. The movie knows how to make fun of the whole origin concept, bagian mana yang konyol, dan mengolahnya menjadi dialog yang ringan dan menghibur.

Dan Gal Gadot, tak pelak, adalah keajaiban – the wonder woman – yang berhasil ditemukan oleh tim casting. Cewek ini adalah hal terbaik dari film Batman v Superman (2016). Dalam film ini kita melihat lebih banyak darinya, tentunya. Untungnya. Dia memainkan Diana penuh oleh asa, joy, dan tanpa kesinisan. GAL GADOT OWNS THE ROLE seperti Hugh Jackman owned Wolverine. Mulai sekarang, setiap kali ada yang nyebut Wonder Woman, kita akan teringat Gal Gadot. Meskipun ini adalah film yang tokoh utamanya wanita, kisah Diana bukan semata cerita tentang pemberdayaan perempuan. Diana bukan cewek sempurna yang benci pria, dan pria-pria di sekitarnya adalah pribadi yang tercela. Wonder Woman, malahan, adalah cerita yang membawa rasa setara. Manusia adalah equal, sama rata baiknya-sama rata cacatnya. Tidak seperti Jyn Erso dalam Rogue One (2016) yang self-sufficient gitu aja, Diana akan diperlihatkan banyak belajar. Dia sangat naïf dan film memberikan kita kesempatan untuk berjalan bersamanya. Kita akan merasakan semua gejolak naik-turun emosi Diana.

Diana tumbuh dengan percaya akan keperluan untuk bertempur, dia ingin memenuhi takdir sebagai seorang Amazon untuk membela dunia dari kacau dan kehancuran perang. Dia pejuang yang gigih dan gak sabar untuk unjuk kebolehan mengalahkan musuh, tetapi tujuannya berperang hanyalah untuk mengakhiri perang itu sendiri. Semakin banyak dia melihat sendiri keadaan para korban perang, semakin yakinlah ia akan kepentingan untuk menghentikan perang, dan hal tersebut membuatnya semakin ‘mengamuk’ sekaligus enggak pasti serta ketakutan untuk melepaskan kekuatan sejatinya. Misi Diana berubah dari yang tadinya enggak personalpersonal amat – dia ‘hanya’ melaksanakan apa yang ditugaskan oleh Dewa – menjadi lebih pribadi dan rasa kebenaran dirinya semakin bertumbuh. Kerja permainan peran Gadot sangat luar biasa dalam menghidupkan emosi dan motivasi Diana, sembari dia menyaksikan peradaban dan kemanusiaan yang menderita.

Dalam perang akan selalu ada pengorbanan dan penderitaan; kehilangan yang amat besar. Di saat-saat seperti itulah, di saat kita tidak bisa lagi melihat alasan untuk percaya. keyakinan menjadi hal yang paling penting. Kemampuan kita untuk percaya tanpa alasan untuk percaya, ditambah dengan kemampuan kita untuk berbuat baik di tengah-tengah penderitaan dan resiko kehilangan nyawa sendiri, adalah dua hal yang membantu kemanusiaan untuk bangkit. Sehingga bukan tidak mungkin, memberikan kesempatan kepada kita untuk sebuah penebusan.

 

 

Gadot juga sukses berat mengimplementasikan keahlian krav maga nya ke dalam sekuen-sekuen aksi Diana. Hand-to-hand combat film ini sangat keren, kebanyakan adalah wide shot yang sangat aktif, dengan koreografi yang, mungkin saja, mengeset standar baru dalam action superhero. Ada sejumlah momen aksi kecil-kecilan, namun aksi gedenya ditawarkan dalam tiga kali kesempatan oleh film ini, satu pada masing-masing babak. Dan setiap kali sekuen aksi itu berlangsung, maaaan, rasanya puas banget. Aku beneran ikut goyang-goyangin pergelangan tangan niruin Diana menangkis peluru di bagian zona perang, persis kayak orang yang masa kecilnya kurang bahagia. Pertempuran kaum Amazon di pantai itu bener-bener instant classic! Karena terlihat sangat berbeda dan baru. Dan tentu saja, intens. Porsi aksi finalnya lumayan berat oleh CGI, namun bisa dimengerti karena Wonder Woman bukanlah manusia normal. Begitu juga dengan musuhnya. Dan lagipula at that point, kita sudah begitu terinvest dan peduli terhadap karakternya, sehingga CGInya yang mirip-mirip final battle di Batman v Superman, kali ini dapat termaafkan.

and not to be confused sama film lokal jadul Darna Ajaib

 

Bukan hanya Diana yang belajar pelajaran berharga, film ini punya dua tokoh yang belajar di luar ‘kenyamanan’ dunianya. Tadi aku sempat menyinggung soal equality, dan yang kumaksud adalah tokoh Steve Trevor, pria yang terdampar di pulau Diana. Steve adalah peran terbaik kedua dari Chris Pine setelah Hell or High Water (2016). Babak pertama film actually adalah tentang Steve yang belajar tentang dunia dan motivasi Diana. Pria ini sudah lelah berperang, dia ingin menghentikan perang secepatnya dengan sedapat mungkin tidak menjatuhkan lebih banyak korban. Aksinya sekarang terbatas hanya yang mungkin-mungkin saja. Namun kehadiran Diana dan segala desirenya, membuat Steve jadi punya alasan baru untuk percaya, untuk mengambil resiko yang lebih besar. Dia merasa lebih optimis terhadap kemanusiaan, dan terhadap cinta. See, relationship Diana dan Steve adalah sangat compelling. Chemistry keduanya turut terasa genuine. Aku sangat tersentuh di bagan akhir film karena aku sudah begitu peduli. Mereka berdua belajar terhadap masing-masing. And it’s not like, Steve adalah si lemah yang harus diselamatkan. Steve memberikan banyak untuk pengembangan karakter Diana, dan begitupun sebaliknya.

Film ini berani menyisihkan waktu untuk momen-momen kecil, yang tak jarang melibatkan tokoh-tokoh minor. Semuanya demi kepentingan menambah layer dan pengembangan terhadap karakter Diana. Seperti adegan Steve ngajarin Diana berdansa. Jarang loh, ada film superhero yang tipikalnya penuh aksi kayak gini yang mau ngerem sebentar untuk momen-momen kecil yang sebenarnya merefleksikan luka, yang membiarkan tokohnya menjadi manusia biasa. Tapi dalam film ini, bukan hanya adegan tersebut exist, namun juga berarti banyak untuk karakter mereka. Dan membuat relationship keduanya jauh lebih terflesh out. Bahkan tokoh jahatnya diberikan cerita dan motivasi yang membantu karakter Diana lebih jauh.

Kekejaman bisa menyamarkan kelemahan dan ketakutan, kejahatan bisa menyamarkan keputusasaan dan kematian, dan apa yang ingin kita salahkan sebagai penyakit di dunia kadang-kadang tidak sepenuhnya bersalah dan hanya bertanggung jawab bukan dengan cara yang semula kita duga.

 

Ada tiga tokoh jahat dalam film ini, dan masing-masing berbicara hal berbeda yang penting buat pertumbuhan cara pandang Diana. Namun tetap aku merasa tokoh jahat ini terlalu ‘lemah’. Sebagian dari mereka tidak terlalu terdevelop baik, sebagai seorang karakter. Ada adegan ketika Letnan jahat mengunci beberapa perwira Jerman di dalam ruangan berbom asap dan dia melemparkan satu masker ke dalam ruangan tersebut. Kemudian si jahat ini tertawa terbahak-bahak bersama dokter asistennya, dia bilang “biar pada rebutan, padahal maskernya juga enggak ngefek kok hauhahahaha!!” Terkadang tokoh-tokoh jahat ini terasa terlalu over dan enggak masuk ke dalam nuansa ceritanya, dan ini membuatku sedikit kecewa. Aku suka melihat tokoh jahat yang benar-benar ‘kuat’ dan menacing. Mungkin adegan rada-konyol tersebut disengaja, aku enggak tau, tapi di akhir ada lagi adegan yang bikin aku ngakak out-of-place, yaitu ketika Diana mau ngelawan Ares, namun pedangnya ketinggalan di atap, menciptakan momen awkward di tengah-tengah bantering kata-kata antara mereka.

 

 

 

 

Ini bukan film DC terbaik, but hell yea, this is what a superhero movie supposed to look like. Adegan aksinya fenomenal, seru, epic bangetlah pokoknya! Dan actually digunakan untuk mengembangkan karakter yang diberikan ruang untuk belajar banyak. Diana enggak sekonyong-konyong perfect, enggak ada yang selevel ama dia. Kita melihat dia belajar, kita malah belajar bersamanya. Sinematografinya benar-benar wah, dan kerasa banget perpindahan set mengiringi tema ceritanya. This film actually really colorful. Musiknya juga, setiap kali musik tema khas itu terdengar, aku merinding girang. Penampilan akting yang keren dari pemain yang beragam bangsa, sesuai dengan kepentingan film ini yang berkomentar soal bias sosial dan persamaan derajat. Meski tokoh-tokoh jahatnya bisa lebih dikembangin, sih.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for WONDER WOMAN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

NIGHT BUS Review

“An eye for an eye only ends up making the whole world blind.”

 

 

Paman Gober si bebek paling tajir di dunia hobi naik bus karena katanya angkutan umum jauh-dekat ongkosnya sama. Sama-sama murah, maksudnya hihi. Paman Gober enggak tau aja kalo dengan naik bis, kita bakal kaya; oleh pengalaman. Karena di dalam bis yang melaju tersebut kita pasti akan berjejelan dengan penumpang lain. Ada emak-emak rempong, preman-preman bau rokok, bapak-bapak kantoran, dan kalo beruntung kita sesekali bisa ketemu ama makhluk manis dalam bis. Segala macem latar belakang. Rupa-rupa deh warnanya.

Kayak bus Babad yang siap berangkat sehari-semalam ke kota Sampar dalam film Night Bus. Aku sendiri suka naik kendaraan umum lantaran aku memang demen memperhatikan orang-orang. Makanya aku kecewa setelah nonton The Girl on the Train (2016), film tersebut gagal ngedeliver premis tokoh yang suka memperhatikan orang sehingga dia merasa perlu untuk campur tangan terhadap masalah orang yang ia perhatikan di transportasi umum. Film itu malah berkembang menjadi drama dari perspektif satu orang. Night Bus, however, adalah film yang berjubel oleh karakter.

Menonton film ini KITA SEAKAN IKUT MENJADI PENUMPANG BUS BABAD, observing satu persatu orang-orang asing tersebut. Tidak ada tokoh utama di sini, kita tidak tahu motivasi sebagian besar dari mereka apa. Kita cuma tau ada si supir hanya ingin sampai menghantarkan penumpang yang jadi tanggung jawabnya dengan selamat. Ada stokar yang rada tengil namun cukup baik hati membiarkan anak kecil tanpa-tiket duduk di kursi sendiri tanpa perlu dipangku. Ada orang buta yang selalu positif, ada orang kaya, ada pasangan cewek dengan cowoknya yang penakut, ada wartawan, ada cewek manis yang pendiem, sepuluh menit pertama dalam film ini menghantarkan tugas sebagai perkenalan singkat sekaligus mengeset mood. Bahwa instantly kita akan ngerasa khawatir sama mereka semua, karena Sampar tujuan mereka adalah daerah konflik. Dan di menit-menit awal, film did a good job dengan tersirat ngejual daerah tersebut sebagai zona yang berbahaya.

bukannya bau balsem, bus malam yang satu ini akan anyir oleh bau darah

 

 

Perjalanan tragis mereka ditranslasikan kepada kita sebagai dua jam PERJALANAN PENUH CEKAM DAN EMOSI. Tadinya aku kira ini bakal jadi semacam confined-space whodunit thriller, tapi ternyata tebakanku took a wrong turn as film ini menyentuh lebih jauh sisi traumatis manusia. Ini kayak thriller bergaya roadtrip, yang tentu saja ada elemen ruang tertutupnya. Kita akan belajar lebih banyak tentang siapa-siapa saja penumpang bus. Apa kaitan dan pandangan mereka terhadap konflik atau perang antargolongan. Bus Babad membawa orang-orang tak bersalah, mereka bagai pelanduk yang permisi numpang lewat di antara gajah-gajah yang lagi berantem, dan film ini benar-benar menggali gimana dampak pertikaian terhadap orang-orang seperti penumpang bus tersebut.

Serangan ditimpal dengan serangan. Kau garuk punggungku, aku akan gantian menggaruk punggungmu. Jika setiap mata dibalas dengan mata, maka dunia akan buta. Konflik dan pertikaian tidak akan menyelesaikan apa-apa. Apinya akan merembet membakar semua yang berada di tengah-tengahnya. Menarik gimana film ini menawarkan solusi dengan kiasan ‘kenapa mesti mandi kalo nanti kotor lagi?’ Dampak perang tidak akan hilang. Ada tokoh ibu penjaga warung yang enggak mau berbicara dengan orang karena nanti toh perang akan memakan semuanya. Mungkin saja, apa yang harus kita lakukan adalah dengan tidak memulai gesekan sama sekali.

 

Ada sedikit eksposisi setiap kali cerita butuh untuk menerangkan konflik pertikaian. It could have been handled dalam cara yang lebih compelling. But for the most part, film ini bercerita dengan subtle. Kita belajar karakternya dengan perlahan, kita harus menyimak semua. Kadang petunjuk tentang backstory mereka ada di percakapan yang terjadi menjelang pertangahan. Kita harus memilah semua informasi yang seliweran di antara pemandangan visual kondisi di dalam bus yang terlihat sangat contained ini. Visualnya agak sedikit goyah ketika beberapa green screen dan efek berusaha diintegralkan ke dalam efek-efek praktikal. Kadang film ini terlalu gelap, dan tak-jarang kamera terlalu banyak bergoyang sehingga sekuens aksi menegangkan yang terjadi di layar menjadi sulit untuk kita tangkap. Tingkat violence film ini lumayan tinggi, udah kayak nyaingin film PKI dengan segala dialog “jenderal, jenderal!” dan adegan penyiksaan. Aspek yang paling aku suka dari film ini adalah gimana dirinya hadir dengan sangat grounded. Penampilan akting di sini semuanya meyakinkan. Dialek dan intonasi bahasa melayu deli dan langkat terdengar dengan pas dan enggak dibuat-buat. Aku ngerasa seperti udah mudik mendengar dialog-dialog film ini, karena di kampung halamanku memang pake bahasa longor-longor seperti tokoh-tokohnya.

Di antara semua penampilan yang seragam bagus, Teuku Rifnu Wikana mencuri show dengan tokoh yang paling vokal. Kita melihatnya berusaha menjalin hubungan dengan penumpang lain, dan actually relationshipnya dengan supir adalah salah satu emotional core cerita. Para penumpang diberikan moral dan cela sehingga mereka menjadi menarik, kita peduli terhadap kondisi mereka. Kita penasaran pengen tau siapa mereka. Terutama kita terasa terinvolve ke dalam panik dan guncangan yang menimpa mereka semua. Meskipun ada juga sih yang terasa annoying. Kayak si wartawan, dari pertama udah kelihatan he’s a sneaky guy, dan sikap-sikap kebajikan yang kadang ia tampakkan enggak pernah terasa tulus. Hubungan antara kedua anak muda yang ingin ke Sampar cari kerja juga enggak terlalu menarik karena eksekusinya datar gitu aja. Arc favoritku adalah yang dipunya oleh karakternya Hana Prinantina; dia dokter koas – cewek ini bisa menolong korban, dan ultimately skrip memberinya bentrokan saat dia memilih untuk menolong serdadu atau enggak karena suatu peristiwa di masalalunya. It was so heartwrenching, mestinya tokoh ini diberikan lebih banyak pengembangan alih-alih sengaja disimpan, you know, tokohnya Hana enggak banyak diberikan dialog lantaran film ini ingin ‘merahasiakan’ dirinya sebagai emotional twist.

“Eh longor, udah nonton kau ada satu pilem baru judulnya ‘Naik Bus’?”

 

Bagian paling menarik memang adalah ketika momen-momen seperti tokoh Alex Abbad menunjukkan simpati kepada Nenek dan Laila, atau ketika penghujung balas dendam tokoh Hana, atau juga ketika salah satu pasukan separatis meminta untuk ditembak. Momen ketika pelaku perang kejatuhan beban moral, ketika ada dilema yang membayangi mereka. Formula cerita perang yang bagus selalu seperti ini. Menyentuh zona abu-abu kemanusiaan. Akan tetapi, setelah kejadian di babak ketiga, arah jalan film ini sepertinya hanya ke poin dramatis semata. Kelompok pemberontak yang muncul di babak ini benar-benar murni jahat. Dan dilema moral yang semestinya jadi soal, hanya diberikan kepada penumpang bus yang notabene korban perang. Supaya kita kasian sama mereka, supaya kita merasa mereka itu kita, jika kita ada di tengah-tengah medan pertempuran. Seharusnya film ini juga menggali dari sisi Kolonel Sahul, tapi enggak, karena sekali lagi mereka ngerasa perlu untuk masukin elemen twist.

Dalam sense fokus ke elemen menyayat hati ini, Night Bus terasa kayak salah satu animasi klasik dari Studio Ghibli, Grave of the Fireflies (1988). Film anti-perang yang sama-sama dibuat dengan bagus, tapi kepentingannya buat sedih-sedih semata. Semua cerita dibuild buat bikin kita merasa sedih, semuanya ditargetkan kepada kematian orang-orang tak berdosa. Tentu saja, kayak Grave of the Fireflies, tokoh gadis cilik di film Night Bus juga sudah dipatri untuk mati. Adalah hal yang bagus film ini mencoba melakukan sesuatu yang jarang dengan enggak netapin tokoh utama, kita dibuat enggak tahu siapa yang bakal selamat, namun pada akhirnya ini lebih seperti usaha untuk memancing dramatis semaksimal mungkin. Hanya sedikit dari emosi tokoh-tokoh film ini yang terasa otentik. Kematian memang menyedihkan, namun film ini tidak punya hal lebih jauh yang dibicarakan selain jadi korban sia-sia itu adalah sangat heartbreaking. Aku enggak bilang film enggak boleh pengen jadi sedih doang, tapi itu adalah jalan yang mudah, dan I’d like to see movie yang lebih challenging dan film ini sebenarnya bisa menjadi lebih menantang pikiran.

 

 

 

Sangat unik, kehadiran film ini sangat diperlukan mengingat scene perfilman tanah air yang kurang variasi. Punya original look, punya cerita yang grounded dengan tokoh-tokoh yang menarik dan manusiawi. Diperankan dengan sangat meyakinkan. Ini adalah salah satu dari film yang punya nilai lokal yang kuat. Menyentuh lewat ceritanya yang mencekam, hambatan di jalan buat film ini adalah arahannya yang menyasar kepada sisi dramatis yang begitu diextent sehingga terasa manipulatif. Bahkan musiknya kerap terdengar terlalu ‘lantang’. Tidak bicara lebih dari gimana perang tidak punya manfaat melainkan hanya menyebabkan orang-orang sipil menjadi korban. Dengan sengaja memilih penceritaan dari perspektif penumpang bus, moral dan segala kemanusiaan diberikan kepada tokoh-tokoh ‘korban’ just so kepergian mereka terasa menyedihkan. Enggak salah, hanya saja ini adalah cara yang paling gampang, dan cara inilah yang dipilih oleh film.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NIGHT BUS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We? We be the judge.