“Difficult times always create opportunities to experience more love in your life.”
Cerita Passengers seumpama Adam yang mendambakan keberadaan seorang Hawa, hanya saja dalam film ini, Hawa adalah Putri Tidur. Dan Tuhan memberikan sepenuhnya pilihan kepada Adam to take actions, apakah dia akan mewujudkan desirenya sendiri, untuk ditemani oleh Hawa, meski jika hal tersebut melawan moral or whatsoever.
Spacecraft Avalon sedang menempuh perjalanan panjang membawa 5000 penumpang dan 283 awak menuju Homestead Two – semacam planet Bumi yang baru. Masih nyaris satu abad lagi sebelum mereka tiba, namun Jim Preston dan Aurora Lane terbangun dini dari hibernasi mereka. Ide cerita yang ditawarkan sebagai premis film ini sungguh menarik. Jim dan Aurora pada awalnya berusaha mencari cara untuk bisa tertidur kembali, tetapi seiring berjalannya waktu mereka menemukan rumah pada hati lawannya masing-masing, jadi mereka mutuskan untuk menghabiskan hari di Avalon, but then again of course, ‘surga’ mereka diguncang oleh sumber masalah yang membuat mereka terjaga far too early.
Passengers punya elemen yang aku cari dalam sebuah film. Aku suka cerita yang bertema isolasi, you know, film di mana karakternya harus berurusan dengan tempat yang tertutup. Dalam kasus ini that closed space adalah spaceship berteknologi tinggi itu sendiri. Dan juga, the actual space, luar angkasa adalah tempat yang selalu menarik! Kita akan melihat gimana dua insan manusia berusaha hidup di dalam lingkungan pesawat yang melaju terus di antara bintang-bintang. Avalon, sebagai tempat, tergambar dengan cantik. I really like design spaceshipnya yang futuristik, it was really cool looking. Keadaan di dalamnya benar-benar catering to sisi imajinasi kita tentang kehidupan di luar angkasa. Semuanya terlihat sangat bersih. It was ’empty’ tapi begitu sibuk hanya oleh kegiatan dua tokoh dan robot-robot pelayan. We learn how things work di dalam sana sembari juga belajar lebih jauh tentang hubungan dan siapa para tokoh utama kita sebenarnya.
Satu kata untuk menggambarkan kelebihan film ini adalah MENAWAN. Passengers, tidak diragukan lagi, is a great looking film. Efek-efek yang digunakan menghasilkan environment yang sangat cantik. Film ini disyut dengan really well. Ada satu adegan yang keren banget; Pesawat kehilangan gravitasi ketika Aurora sedang berenang di pool facility, dan airnya semacam ngapung ke udara gitu, membentuk gelembung- gelembung kubik air yang gede, kemudian saling berbenturan. Efeknya seamless sekali, antara efek komputer dengan praktikalnya menyatu dengan lembut sehingga terasa very compelling. Musiknya juga mengalun dengan menawan, namun terkadang terdengar sedikit lebih kenceng dari yang seharusnya. Kadang malah terlalu mendikte kita. Ada beberapa momen di dalam film ini yang membuatku berpikir seandainya enggak ada musik maka emosi akan bisa tersampaikan dengan lebih kuat. Musik yang sometimes jadi ‘overly loud’ membuat nuansa isolasi yang jadi tema surrounding film ini jadi tidak lagi terdengar.
Dan tentu saja, menawan adalah sebutan yang pantas untuk kita berikan kepada duet Chris Pratt dan Jennifer Lawrence. Pesona mereka sungguh kuat, obviously. Mereka bekerja sama fairly well sebagai tulang punggung film drama ini, meski dari skripnya sendiri mereka tidak diberikan terlalu banyak hal untuk mereka lakukan. Aku suka setengah bagian pertamanya, bener-bener aku menikmati melihat Chris Pratt dan Jennifer Lawrence wandering around dan berusaha untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Film ini punya elemen investigasi dan another elemen yang naturally membuat kita terinvest ke dalam tokoh-tokohnya. Ada sedikit twist moral dalam hubungan Aurora dan Jim yang membuat sejumlah skenario “What If” bermunculan di benak kita. Membuat kita ngajuin pertanyaan tentang bagaimana relationship mereka bekerja. Atau relationship manusia secara umum.
Apa penilaian secara moral terhadap pria yang menarik serta wanita yang ia cintai ke dalam keadaan susah bersamanya, seperti Jim yang kesepian membangunkan Aurora. You know, cowok-cowok pasti sering mendengar anjuran “carilah wanita yang siap diajak susah bersama” karena itu berarti dia rela berjuang bersama kita no matter what. But in turn, apakah hal tersebut benar-benar adalah tindakan yang bertanggung jawab? Film ini menggambarkan bahwasanya normal bagi seorang manusia yang tenggelam mengajak orang lain ikut tenggelam, tapinya lagi apakah itu the right thing to do? Is it really selfish bagi wanita jika ia menolak diajak susah? Or apakah all is forgiven karena in the end, kita hanyalah penumpang yang hidup seolah supir dalam dunia yang berjalan pada tracknya?
Seperti robot bartender yang enggak bisa meninggalkan belakang meja bar, film ini berjalan di sirkuit yang sudah ditetapkan. Film tidak berani untuk mengeksplorasi lebih dalam masalah moral yang sempat disentuhnya. Keseluruhan CERITA SEPERTI DISETIR OLEH AUTO-PILOT, tidak ada yang menarik dalam perkembangannya. Setelah midpoint, aku kehilangan ketertarikan untuk mengetahui kelanjutan ceritanya. Karena it is just there’s nothing that feels new about the story. Nonton film ini kita akan lantas kepikiran banyak film-film lain. Passengers bahkan ngakuin kalo mereka memang masukin banyak homage buat film klasik. Sejak dari pertama, malah, film ini ngingetin kita sama The Shining (1980), kemudian 2001: A Space Odyssey (1968), terus Gravity (2013), terus dan terus kita akan recognized elemen cerita yang “Ah mirip film itu! Yaay, kayak film yang itu tuuh!”. Di samping desain spacecraftnya, tidak ada lagi yang terasa benar-benar original dari Passengers.
It does have some investing scenes. Hanya saja, kebanyakan elemen cerita dari film ini tidak menghantarkan kita ke suatu tempat. Banyak momen ketika kita ngeliat elemen terbangun dari adegan demi adegan, membuat kita merasa akan ada sesuatu yang ‘datang’, namun turns out to be nothing. Kayak adegan menjelang babak ketiga, Jim dan Aurora harus membereskan suatu hal yang just sort of happens. Masalah yang mereka hadapi ini hanya dibahas sekilas, nyaris seolah karena film ini butuh tendangan drama semata – supaya mereka bisa tahu bagian-bagian pesawat yang belum mereka kenal, dan film butuh cara buat ngejelasin itu. Masalah mereka ini actually tidak bener-bener punya impact terhadap keseluruhan cerita.
Kritikus ternama Roger Ebert pernah bilang bahwa sesungguhnya yang penting dari sebuah film bukanlah soal film itu menceritakan tentang apa. Tetapi bagaimana film tersebut adalah tentang itu. Film selalu adalah soal penceritaan. Biasanya sih, salah satu usaha film agar punya penceritaan yang baik adalah dengan menghindari flashback. Some films pengen banget punya twist, mereka ngacak order ceritanya meskipun pada akhirnya mereka jadi harus menggunakan flashback, dan biasanya itu bukan hal yang bagus. Susunan cerita Passengers dibuat linear sehingga film ini tidak memakai satupun adegan flashback, it should be a good thing. However, Passengers adalah kasus langka di mana film ini – dia tidak terasa baru, melulu ngingetin kita dengan banyak film lain – really truly need some twist agar menjadi lebih menarik. Passengers justru bisa menjadi lebih menarik jika mereka memutar order ceritanya. Like, you know, babak satu jadi babak ketiga. Sedikit flashback tak-mengapa dipakai kalo toh nanti mentok. Kita bisa pretty much tell the same story dengan order yang dibalik seperti demikian, while also menambah rasa interesting karena dengan diceritakan terbalik kita akan belajar how all of its story reveal.
Film yang menawan. Dirinya enggak wah-wah amat, meski juga enggak seburuk itu. It’s just tidak ada yang benar-benar menarik darinya. Tidak ada elemen yang baru. Tidak ada yang terasa extraordinary. Ini adalah perjalanan di mana karakter-karakternya, dan juga ceritanya, yang cakep berjalan dengan auto-pilot. Sesungguhnya bisa menjadi film yang keren, sayangnya ia tidak berani ngepush apapun lebih jauh lagi.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for PASSENGERS.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners
And there are losers.
We? We be the judge.
Comments