THE MARVELS Review

 

“The greatest mistake you can make in life is to be continually fearing you will make one.”

 

 

Berikut alasan kenapa film superhero komik Marvel mulai kehilangan appeal si mata penonton. Pertama, konsep multiverse yang seperti pedang bermata dua; bikin seru tapi sekaligus juga membuat cerita jadi redundant dan kehilangan stake karena karakter yang mati tidak lantas berarti mereka ‘mati’ selamanya. Kedua, model sinematik universe yang menjadi begitu kompleks sehingga orang mau nonton satu film aja harus ‘ngerjain PR’ alias nonton film dan serial-serial suplemennya terlebih dahulu. MCU – dan IP superhero lain yang ingin mengikuti jejaknya – tentu harus menyadari gak semua penonton film terbiasa dengan desain ala komik seperti demikian, serta bahwa film haruslah bisa berdiri sendiri secara utuh sebelum dihias dengan teaser-teaser penyambung ke ‘episode berikutnya’. Inilah yang terasa sekali diperjuangkan keras oleh The Marvels karya Nia DaCosta. Entry lanjutan Phase 5 yang sebenarnya cukup fresh dengan variasi pada menampilkan perspektif tiga superhero sentral yang saling terpaut, tapi juga gak bisa bebas dari eksposisi buru-buru yang tampak semrawut.

Carol Danvers selama ini menjaga semesta dari luar angkasa. Hanya ditemani kucing oren alien. Captain Marvel kita terbiasa beroperasi sendirian. Sampai ketika kekuatannya tanpa sengaja saling terkait dengan kekuatan light-based lainnya. Yaitu kekuatan milik Monica Rambeau, dan kekuatan milik superhero remaja Ms. Marvel. Terkait di sini maksudnya adalah ketiga superhero ini tidak bisa mengeluarkan kekuatan penuh mereka tanpa membuat mereka saling bertukar tempat. Membingungkan bagi musuh, mereka sendiri, dan kita. Keadaan tersebut membuat mereka bertiga harus dekat-dekat, membuat mereka harus bekerja sama sampai biang semuanya, si Dar-Benn pemimpin baru bangsa Kree yang berniat mencuri sumberdaya planet lain dengan bracelet sakti serupa milik Ms. Marvel, dikalahkan.  Secara personal, bagi Carol ini juga adalah perjuangan emosional. Karena dia punya konflik relasi yang belum ter-resolve dengan Monica (ponakan angkat yang ia tinggalkan sejak kecil). Serta ia harus menjaga dan menerima keberadaan Ms. Marvel, yang actually sangat mengidolakan dirinya.

Bayangkan terjebak bareng fans petakilan dan ponakan yang membuatmu merasa bersalah

 

Itulah PR-PR itu. Kenapa Monica bisa punya kekuatan superhero. Siapa Kamala si Ms. Marvel. Kenapa dia bisa punya bracelet yang sama dengan si musuh utama. Film ini sadar bahwa mereka gak bisa mengandalkan penonton untuk nonton WandaVision ataupun Ms. Marvel. Not to mention film pertama Captain Marvel. Sehingga film ini ‘terpaksa’ menggunakan babak pertama cerita dengan full ngasih rekap apa yang terjadi pada serial mereka masing-masing. Cara yang dilakukan untuk menyampaikan tsunami informasi tersebut memang cukup kreatif, misalnya lewat gambar-tangan ala komik. Akan tetapi seharusnya babak krusial tersebut digunakan untuk lebih kuat melandaskan fondasi journey karakter macam apa yang harus dilalui oleh karakter utama. The way cerita The Marvels terbentuk adalah lebih seperti kisah tentang tiga superhero terjebak dalam keadaan unik dan mereka harus belajar bergerak dalam keadaan tersebut untuk mengalahkan musuh.

Dan dengan bentukannya tersebut, film ini memang terasa menyenangkan. Yang kita tonton bukan lagi sekadar Captain Marvel, superhero superkuat, yang bersikap dan gestur stoic. Monica dan Kamala bukan hanya jadi pendukung untuk perkembangan karakter Carol, tapi mereka juga mendukung untuk memberikan lebih banyak warna kepada keseluruhan film. Monica menjadi voice of reason yang menambatkan Carol kepada konflik-konflik kerabat, konflik-konflik yang manusiawi. They go all the way back, dan film menjadikan relasi mereka sebagai hati dari cerita. Kamala berfungsi sebagai comedic relief, sekaligus jadi perwakilan penonton remaja yang tentunya juga mengidolakan tokoh superhero. Kamala adalah kita kalo kita mendadak ketemu sama idola. Dua karakter ini juga memperdalam role dunia MCU. Kupikir Kamala dan keluarga Pakistan-Amerikanya bakal terutama menarik bagi penonton Indonesia, karena kapan lagi kita bisa dapat representasi muslim dalam lingkup jagat superhero. Di pertengahan awal, film juggle dari perspektif dan environment ketiga karakter sentral. Untuk penonton casual, bagian ini mungkin sedikit bingung, meski seru. Perlahan, begitu cerita telah menempatkan mereka bersama-sama, cerita akan lebih mudah dicerna, dan interaksi tiga karakter ini – momen-momen mereka berusaha bonding dan bekerja sama – akan jadi pesona tersendiri. Kuat oleh girl power pula.

Aku sendiri cukup terhibur juga Brie Larson kembali mendapat kesempatan untuk menunjukkan sisi ‘dork’nya.  Ngingetin kayak waktu dia di Scott Pilgrim ataupun ketika jadi bintang tamu di serial Community. Di film ini dia jadi Captain Marvel yang lebih ‘cair’ dari yang sudah-sudah. Dan menurutku memang Brie ini lebih dapet meranin karakter yang awkward ketimbang yang pure stoic. Sisi yang lebih emosinal dari Carol juga berusaha digali. Selain dengan Monica, Carol juga berurusan pribadi dengan Dar-Benn. Dinamika protagonis dan antagonis di sini sebenarnya cukup menarik. Benar-benar epitome dari baik dan jahat itu hanya soal sudut pandang. Bagi Dar-Benn mencuri laut hingga matahari planet lain memang didasarkan oleh balas dendam kepada Captain Marvel, tapi itu tindakannya itu juga ia lakukan untuk menghidupkan kembali planetnya yang ‘lumpuh’ akibat Captain Marvel yang menghancurkan A.I. di planetnya. Captain Marvel mereka anggap sebagai Annihilator, dan sebutan itu ‘memakan’ dari dalam. Karena membuatnya merasa telah gagal sebagai pahlawan. Tindakannya untuk menolong malah berdampak buruk.

Berpuluh-puluh tahun Captain Marvel menghindar dari pulang ke Bumi karena dia merasa telah gagal. Dia takut ketahuan telah gagal sebagai pahlawan, sebagai sosok panutan bagi Monica. Tangled-nya kekuatan mereka bertiga membuat Captain Marvel mau tak mau harus berkonfrontasi dengan perasaannya tersebut. Dan pada akhirnya dia belajar banyak dari Kamala dan Monica, belajar untuk menghadapi ketakutannya tersebut.

 

Dari muatannya, memang film ini harusnya bisa mencapai level menghibur sekaligus emosional.  Banyak sekali tempat film ini bisa mengeksplorasi cerita. Tapi aku gagal paham kenapa film ini malah termasuk film Marvel yang durasinya paling singkat. Ini seperti ketika kita punya banyak bahan untuk dimasak, tapi kitanya sendiri ogah berlama-lama di dapur. Hasilnya ya bahan-bahan itu dimasak ala kadarnya. Tiga karakter sentral; Kamala, Carol, Monica seharusnya adalah tiga karakter dengan journey masing-masing. Tapi most of the time di paruh awal, mereka ini satu dimensi. Mereka lebih sering tampak kayak tiga traits yang membentuk satu orang ketimbang tiga karakter kompleks masing-masing. Coba tonton lagi dan hitung sendiri berapa lama Kamala bertingkah kayak fans yang starstruck yang comically mendamba aproval dari Captain Marvel sebelum akhirnya dia bersikap lebih manusiawi.

Captain Marvel nyanyi Black Sheep lagi, please

 

Ah, aku hampir lupa sama actionnya. Actionnya ngisi di slot-slot standar formula film superhero. Di babak awal. Di tengah saat mereka ‘kalah’. Dan final boss fight. Variasi jurus-jurus dan kemampuan mereka seru. Kamala bisa bikin platform dan shield kayak Steven Universe. Monica bisa tembus-tembus kayak Noob Saibot. Captain Marvel bisa menumbuk sambil terbang cepet banget kayak Super Saiyan. Adegan mereka berantem sambil berpindah-pindah juga sebenarnya seru, walau sempat ngeselin juga mainly karena editingnya agak kurang mulus. Adegan aksi mereka ini sifatnya serius. At one point, seorang karakter tertusuk. Aksi-aksi ini pun memang terasa agak gak masuk juga dengan interaksi-interaksi atau detour komedi yang lebih sering dilakukan oleh film ini.

Sepertinya karena dibebankan oleh banyaknya eksposisi dan waktu yang kurang renggang, maka film jadi terutama mengandalkan tone komedi. Like, bahkan Nick Fury di film ini gak ngelakuin banyak selain ngasih celetukan atau komentar lucu. Tone-tone komedi film ini jadi semakin liar sehingga aku jadi bertanya-tanya kenapa mereka gak sekalian bikin film kartun saja. Sebenarnya oke saja kalo memang diniatkan seperti itu. Adegan-adegan seperti evakuasi stasiun ruang angkasa dengan menggunakan kucing-kucing alien yang ngasih vibe komedi agak horor, ataupun adegan nyanyi-nyanyi ala Bollywood dengan menampilkan aktor Korea (apakah ini bentuk ke-ignorant barat yang nganggep semua Asia sama? haha), akan terasa lebih klop kalo film memang diniatkan sebagai komedi petualangan absurd. Namun film ini terlalu sibuk untuk menghamparkan informasi pada babak pembuka, membuat tiga karakter sentral lebih sebagai spektrum sikap berbeda dari satu kesatuan yang sama, sehingga tone film tidak benar-benar terbangun dan film lantas berjalan dengan nada yang serampangan antara konyol dan heartfelt. Seperti tidak ada ritme.

 

 




Memang menghibur, tapi ‘menghibur’ bukan lantas berarti film yang bagus. Menghibur hanya berartinya karakternya menyenangkan, dialog dan kejadiannya lucu, petualangannya seru. Film ini berkisah tentang Captain Marvel yang kekuatannya terpaut kusut dengan kekuatan dua superhero lain. But also film ini sendirinya juga bercerita dengan silang sengkarut. Kebutuhan untuk memuat banyak eksposisi berusaha ‘dimuluskan’ lewat nada komedi, yang membuat bagian yang lebih emosional dan serius justru jadi seperti bagian yang disematkan. Naskah jadi terlalu lama masuk ke dalam bagian yang penting, dan bahkan setelah itupun naskah masih memuat detour konyol. Film ini mungkin mampu membuat kita sedikit tertarik kembali kepada superhero, tapi belum cukup untuk mengembalikan genre ini kepada pencapaian kualitas film-film awal dari MCU.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE MARVELS

 

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian tertarik dengan kelompok Avenger remaja yang sedang berusaha dikumpulkan oleh Kamala pada mid-credit scene? Apakah menurut kalian storyline itu bisa membuat penonton tertarik kembali dengan MCU?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini,  kalian yang masih pengen tontonan seru bisa coba serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



VALERIAN AND THE CITY OF A THOUSAND PLANETS Review

“History is written by the victors.”

 

 

Apalah artinya sejarah, cuma dongeng yang disepakati bersama. Dulu banget Napoleon pernah berkata begitu. Kalimat yang enak banget buat diperdebatkan, namun berdering benar dalam film science fiction terbaru garapan Luc Besson yang diadaptasi dari komik asal Perancis.

 

Satu ras alien nyaris punah lantaran planet hunian mereka meledak, sebagai korban dari peperangan antargalaksi. Bayangkan Batman berantem dengan Superman di tengah kota. Gedung yang hancur, nah seperti itulah nasib planet cantik yang kita lihat di adegan pembuka film ini. Catatan tentang peristiwa naas tersebut dihapus oleh sekelompok orang jahat yang enggak ingin ‘prestasi’nya diketahui umum karena bakal berpengaruh terhadap apa yang sudah mereka usahakan selama ini. Mayor Valerian mendapat premonition tentang peristiwa itu. Bersama partner in crimenya, Sersan Laureline yang kece, Valerian mencoba memecahkan apa yang terjadi sekaligus berusaha untuk membantu segelintir penyintas ras tersebut mengembalikan peradaban, menyelematkan mereka dari kemusnahan.

Valerian and the City of a Thousand Planets seharusnya dijuduli Valerian and the City of a THOUSAND AWWWWWW. Visual film ini benar-benar spektakuler. Kita bisa dengan gampang nulis artikel internet semacam “Seribu Hal yang Menakjubkan di Valerian” karena memang ada sangat banyak penampakan yang bikin kita takjub. Efek CGInya terender mulus banget. Film ini dengan sukses menghidupkan fantasi penggemar science fiction di seluruh dunia; ada banyak jenis alien yang muncul dan desain mereka semua amat kreatif. Yang membuat rasa tertarikku semakin terpancing adalah sense optimis yang terkandung di dalam ceritanya. Universe dalam film ini berpusat di sebuah stasiun luar angkasa luar biasa besar. Ribuan alien dan manusia tinggal harmonis di sana. Montase di awal membuat kita mengerti gimana perdamaian semesta itu  bisa tercapai. It’s weird, but it’s okay to dream, kan ya. I mean, toh membuatnya menjadi relevan dengan kondisi dunia. Di mana kita mengharapkan hal yang sama bisa terjadi di dunia. Film ini pun berhasil meletakkan kita ke dalam perspektif baru; sudut pandang survivor yang sebenarnya enggak ada kaitan langsung dengan perang.

Gajah sama gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah.

 

Ini adalah petualangan luar angkasa yang seperti gabungan Avatar, The Matrix, dan yes, Star Wars. Meskipun begitu, film ini masih terasa orisinil. I have to say beberapa sekuens aksi film ini bakal bikin kita menahan napas. Valerian memanfaatkan konsepnya dengan baik, kita dapat menikmati contohnya di adegan kejar-kejaran antardimensi di Pasar. Di bagian tengah juga ada sekuen yang amazingly stunning di mana Valerian dengan suit pelindungnya berlari gitu aja, ‘menembus’ dinding-dinding, dan kita ngikutin dia melewati beragam environment dengan cepat. Permainan CGI yang luar biasa. Memang sih, beberapa  terasa seperti gabungan beberapa hal yang sudah pernah kita lihat, tetapi tetap teramat menarik karena dipersembahkan dengan lumayan unik. Adegan yang menyenangkan, nonetheless. Film ini punya banyak aspek untuk kita sukai.

Dalam kartun Dragon Ball kita belajar kalo sebuah planet intinya udah hancur, maka tidak butuh waktu lama buat keseluruhan planet tersebut runtuh dan menjadi debu di tata surya. Ini jualah yang menjadi masalah pada film Valerian; Inti narasi film ini tidak pernah benar-benar kuat. Jika kita liat dari dasar storytellingnya banget, maka kita akan menemukan kekecewaan. Narasi mengalami banyak pergantian tone, dan lebih sering ketimbang enggak, ceritanya highly uneven. Ada satu poin dalam narasi ketika kita mendadak diperkenalkan kepada tokoh yang diperankan oleh Rihanna. Kita ngeliat kebolehannya dia menari sembari instantly ganti kostum (udah kayak musik video), yang kemudian membawa kita ke adegan penyusupan yang kocak dan inovatif, untuk kemudian berakhir dramatis. Tonenya berganti dengan cepat, dan clashnya kentara sekali.

Valerian terutama bercerita dengan mengandalkan humor, dan untuk sebagian besar waktu enggak ada penonton yang tertawa. Ketika Valerian dan Laureline berinteraksi – Valerian menggoda, dan Laureline menepis dengan mau mau tapi dingin – humornya enggak nyampe. Datar. It just doesn’t work. And a lot of that datang dari ketiadaan chemistry di antara dua tokoh lead kita. Bantering keduanya kayak enggak punya jiwa. Kalaulah boleh diadu, permainan akting Cara Delevingne lebih meyakinkan daripada Dan DeHaan. Tokohnya pun memang lebih menarik Laureline sih. Bisalah disejajarin ama hero-hero wanita yang lagi hits sekarang. Cara memainkan tokohnya dengan level fierce yang pas, sehingga para penonton yang cowok pun bakal ikut penasaran ‘ngedapetin’ hatinya. Sebaliknya, Valerian malah terlihat seperti anak remaja yang pengen banget menjadi keren seperti Han Solo. Tokoh utama kita ini mestinya adalah seorang yang cocky, semau gue, lady-killer, dan ketika dibutuhkan; dia cakap beraksi. Tapi tidak sedetikpun dari dua jam lebih film ini aku percaya dan yakin kalo tokoh ini adalah space adventurer paling keren sealam semesta. Dan DeHaan adalah aktor yang cakap, tapi di film ini dia sangat enggak pas dengan peran yang ia dapatkan.

“ella ella eh eh”

 

Pretty much seluruh momen film ini disyut di hadapan green screen. CGI efeknya menawan. Gambarnya halus. Downsidenya memang adalah aktor-aktor yang terlibat bakal kesusahan untuk stay in character. Dan DeHaan serta Cara Delevingne cakep banget di kamera, beautiful people yang kamera udah jinak deh sama mereka. Namun berinteraksi dengan  practically nothing bukanlah hal yang gampang untuk dilakukan. Kedua aktor kadang terlihat off, maka terang saja kita enggak begitu tersedot kepada petualangan mereka. Relationship mereka kayak dipaksakan, dialog yang mengisi ‘pacaran’ mereka berdua antara humor gak-kena dengan kalimat puitis seputar tumbuhnya rasa cinta yang bikin kita meringis geli.

 

Ketika dua kubu atau lebih beradu, pemenang dari benturan tersebut akan mengukuhkan diri. Dibuatlah catatan kemenangan gimana heroiknya peristiwa yang mereka alami. Sementara yang kalah, akan menjadi catatan kaki. Mereka ada dalam belas kasihan pihak yang, katakanlah, hidup untuk menceritakan kisahnya. Terlebih buat pihak yang jadi colaterral damage, yang sengaja dikorbankan. Mereka enggak akan disebut sampai ada celah bagi pemenang untuk memanfaatkan mereka demi keuntungan sendiri.   

 

 

Masih ada banyak kesenangan yang bisa didapat dari menonton film ini. Punya tampilan yang cantik, semarak oleh warna dan efek yang mulus. Mampu membangun universe yang spektakular dan benar-benar hidup. Film ini akan menumbuhkan banyak pengikut yang setia dan sangat passionate, yang masih akan membicarakan film ini bahkan setelah bertahun-tahun. Para penggemar yang masih akan cinta dan enggak akan peduli bahwasanya penceritaan film ini sangat uneven. Banyak pergantian tone, menghantarkan kepada humor yang enggak bekerja dari tokoh lead yang hampir punya sedikit sekali chemistry.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for VALERIAN AND THE CITY OF A THOUSAND PLANETS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE SPACE BETWEEN US Review

“The greatest gift you can give to someone is the space to be his or herself”

 

 

Jarak di Antara Kita…….

….Ha! Judulnya aja udah mengisyaratkan ini bakal jadi sesuatu yang cheesy banget, well ya meski sekaligus juga memang permainan kata yang menarik. Mengartikan ungkapan “Boys are from Mars” secara harafiah, The Space Between Us bercerita tentang seorang cowok yang gede di planet asal Marvin musuh Bugs Bunny, dan cowok ini diam-diam menjalin pertemanan spesial dengan cewek di Bumi. Kalian pikir LDR itu sulit, coba bandingkan dengan Gardner dan Tulsa dalam film ini. Mereka chatting antarplanet, mereka belum pernah ketemu satu sama lain; karena lahir di Mars, keadaan tubuh Gardner actually disangsikan berfungsi dengan baik di planet kita. Namun tentu saja biar dramatis, maka kita akan ngeliat Gardner, against all odd, berusaha menapak jalan pulang ke Bumi – demi menemui Tulsa serta mencari ayahnya yang enggak ada seorang pun yang tahu siapa.

Selalu menyenangkan melihat karakter mengalami sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya. Perasaan joy kita bakal keangkat tinggi menyaksikan Gardner ngerasain mandi hujan untuk pertama kali. Momen-momen dia berjalan sendirian, dengan sedikit canggung karena berat oleh gravitasi bumi, momen dia bertanya “apa yang paling kalian sukai tentang Bumi?” kepada setiap orang yang dia jumpai adalah momen yang genuinely menyenangkan.

Asa Butterfiled bisa dengan memesona memainkan karakter yang polos enggak-banyak pengalaman, namun tidak mesti innocent. Tokohnya pintar, dia actually ngelakuin banyak pilihan yang risky – enggak membosankan kayak waktu jadi lead di Miss Peregrine’s Home for Peculiar Childern (2016). Memasangkannya dengan Britt Robertson yang di real life tujuh tahun lebih tua membuat kesan ‘jauh’ kedua insan ini terasa natural. Britt di sini sebagai cewek yang street-smart. Clash antara dua karakter ini cukup menarik, I do like karakter Tulsa, masuk akal gimana dia yang dibesarkan dari orangtua asuh satu ke yang lain merasa urgen buat mempertemukan Gardner dengan sang ayah. But to be honest, ketika Britt dan Asa menyentuh ranah romansa, aku enggak bisa ngerasain spark di antara mereka. Sekali lagi, mereka terlihat ‘jauh’. Ada yang gak klop dari koneksi mereka sebagai pasangan, especially the way Tulsa manggil Gardner dengan “Bub”. Britt Robertson adalah salah satu aktor yang fleksibel dalam soal usia, maksudku, dia kerap memerankan tokoh yang rentang usianya sangat variatif. Tahun 2016 kemaren, dia jadi mama muda, dia hamil dalam setiap film yang ia bintangi. Dan sekarang dia kembali jadi gadis remaja. Kupikir masalahnya bukan pada akting atau di dianya sendiri sih, melainkan lebih kepada kita sudah punya ekspektasi Britt bakal move on memainkan tokoh yang lebih dewasa. Dengan cerita yang lebih matang pula tentunya.

sayang sekali mereka lupa menjemput Matt Damon di atas sana

 

Para aktor dalam film ini kelihatan sangat berusaha. Gary Oldman turut bermain, bersama Carla Gugino dan Janet Montgomery. While Janet sebagai ibu Gardner enggak banyak mendapat screen time, Gary dan Carla mencoba melakukan yang terbaik menghidupkan karakter yang hanya berlarian dan menghabiskan waktu dalam komunikasi yang enggak efektif. Ketiga orang ini berperan sebagai pihak NASA yang bertanggungjawab pada proyek pemukiman di Mars.

See, sebelum kita masuk ke kisah cinta Gardner dan Tulsa, film ini akan menggugah moral kita terlebih dahulu dengan sesuatu yang sebenarnya adalah elemen cerita yang sangat segar. Saking freshnya, elemen ini bisa dijadikan satu film sendiri, yang bahkan punya potensi lebih menarik ketimbang apa yang kita dapatkan dari menonton The Space Between Us. I was actually feeling really intrigued by the first 15-minutes. Aku sudah siap untuk ngeliat romansa cheesy, but hey, malah disuguhin sama permasalahan manusiawi. Tokoh Gary Oldman mengirim enam astronot sebagai manusia pertama yang akan tinggal di Mars, namun setengah jalan ke sana, janin mengisi rahim si kapten astronot. Tentu anugrah tak-terduga ini mengacaukan protokol, apalagi setelah melahirkan di Mars, sang kapten meninggal. Kejadian ini ditutupi lantaran ekspedisi gede itu bakal ter-reflect bad ke publik. Yang tentu saja memunculkan pertanyaan, bagaimana nasib sang anak? Dibesarkan di atas sana, jauh dari peradaban manusia normal? Atau dibawa pulang dengan resiko membunuhnya?

Mau di planet manapun, keadaannya selalu sama. Anak-anak bakal mengantagoniskan orangtua, terutama jika figur orangtua tersebut mengekang mereka. Dalam kasus Gardner yang kabur dari NASA, yang juga integral dengan arc si Tulsa, ini adalah metafora dari seorang anak yang lari demi mencari tahu siapa dirinya, untuk mencari jati diri. Mencari tempat yang familiar dengan diri. Dan orangtua yang keep their children in the dark, they should have know better Bahwa terkadang, jarak perlu untuk diberikan kepada orang yang kita cinta.

 

Untuk sebuah film yang membicarakan tentang kehidupan di tempat tanpa gravitasi, The Space Between Us sendirinya sudah seperti CERITA YANG MELAYANG BEGITU SAJA. Dia tidak bisa menemukan pijakan. Apa yang ingin penonton lihat adalah bagaimana mereka memainkan gimmick cinta beda-planet, akan tetapi film ini mengeset elemen cerita dengan tone yang serius dan thoughtful di awal, hanya untuk meninggalkan elemen tersebut begitu saja; menimpanya dengan pancingan-pancingan dramatis yang standar. Film ini kelihatan seperti ingin menjadi banyak sekaligus. Hasilnya adalah perjalanan yang membosankan, tidak ada elemennya yang bekerja dengan baik, satu-satunya yang bikin kita melek adalah adegan-adegan yang menjadi unintentionally hilarious sebagai akibat dari numpleknya penulisan skenario film ini.

Ada bagian soal anak yang bosen dikurung, yang resolve menjadi perjalanan ngeliat balon-balon dan ketemu Indian hippie. Ada bagian temenan sama robot, you know, ala-ala pesan moral Artificial Intelligent; Gardner dan robot pengasuhnya kayak “Aku sedih loh, bukannya kita teman?”/”Kamu kan robot, mana punya perasaan”. Ada juga bagian yang mengingatkan kita sama Wall-E; sebelum berangkat ke Bumi ketemuan ama Tulsa, Gardner yang begitu ingin ngerasain hubungan manusia menonton film cinta jadul dan dia berlatih adegannya. Tentu saja, juga ada bagian roadtrip romantic saat Gardner dan Tulsa kabur mencari alamat ayah sambil diuber-uber oleh NASA. Yang dengan cepat menjadi konyol, kayak, Tulsa yang tiba-tiba nyanyi pake gaun di swayalan. Siapa sih yang lagi di perjalanan jauh malah milih pakai gaun?? Ada juga satu adegan di kafe di mana tiba-tiba ada cowok sok akrab yang nimbrung dalam obrolan mereka, who the hell is that guy anyway?!  Dan bagaimana dengan remaja yang bisa ngendarain pesawat, normal toh

Bagi film remaja, sepertinya sudah menjadi kebutuhan primer buat mengantagoniskan orang dewasa. Film ini mencoba untuk membuat Gary Oldman and-the-gank kelihatan jahat di mata Gardner dan Tulsa, but of course kita tahu lebih baik – kita tidak pernah melihat mereka sebagai badguy yang mau mencelakakan, dan itulah sebabnya kenapa elemen ini tidak bekerja.

but hey, kita dapat adegan ledakan. It’s a good thing, right?

 

Dari gimana hidup di Mars, cerita dibawa kembali ke Bumi, dan sesungguhnya sangat susah buat menarik kembali perhatian kita. I mean, seexciting apa sih kejadian di Bumi dibandingkan dengan di Mars? Film ini sepertinya aware dengan hal tersebut, jadi mereka memasukkan apapun biar bagian di Bumi menjadi menarik. Akan tetapi akibatnya ada BANYAK KEENGGAKKONSISTENSIAN, sampai-sampai kita bingung sendiri ini film niat apa enggak sih. Seting waktu ‘masakini’ film ini adalah di masa depan, enam belas tahun dari 2018, tahun kematian ibu Gardner. Bumi dan Mars bisa ditempuh dengan hanya tujuh bulan perjalanan. Gawai terlihat mentereng, desain laptop sudah demikian majunya. Tapi pakaian, mobil, pesawat, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan masa kini kita semua. Penulisan Gardner juga linglung, dia malah cenderung kayak orang gua ketimbang orang dari Mars yang sudah maju. Masuk akal jika dia euphoria pacaran ataupun mandi hujan, karena itu adalah hal baru yang sekali itu pernah ia rasakan. Tapi heran dan ketakutan ngeliat kuda? C’mon masa iya dia belum pernah liat hewan di internet? Terkecuali di act ketiga, kita bisa melupakan sama sekali bahwa Gardner adalah orang Mars, karena dia bertindak kayak orang ‘sakit’ instead.

 

 

 

Lucu betapa penuhnya film ini namun enggak benar-benar ada bobot yang terasa. Film ini harusnya mendengar sendiri pesanya; berikan ‘jarak’ supaya elemen cerita bisa berkembang. Akan bisa lebih baik jika film ini memfokuskan kepada Gardner sebagai lead tunggal, film bisa dimulai dengan kehidupannya di Mars terus dia menemukan video keberangkatan ibunya, sehingga kita enggak perlu ngeliat prolog sebagai sepuluh-menit-pertama yang enggak benar-benar memberi bayangan tentang pusat cerita. Malahan apabila film ini just stick menjadi full cheesy, mungkin tetep akan lebih baik. At least, it would be enjoyable dalam level ‘so bad it’s good’. Nyatanya, kisah anak dari planet ketutup oleh banyak hal, termasuk oleh drama cinta yang enggak klik. Dan keinginan buat ngasih twist yang sebenarnya enggak perlu-perlu amat. Apakah film ini berupa action, komedi, romance, sci-fi, adventure, not even pembuatnya tahu pasti. Drama ini persis seperti pemandangan set Mars yang ia tampilkan; kering meranggas.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for THE SPACE BETWEEN US.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

PASSENGERS Review

“Difficult times always create opportunities to experience more love in your life.”

 

passengers-poster

 

Cerita Passengers seumpama Adam yang mendambakan keberadaan seorang Hawa, hanya saja dalam film ini, Hawa adalah Putri Tidur. Dan Tuhan memberikan sepenuhnya pilihan kepada Adam to take actions, apakah dia akan mewujudkan desirenya sendiri, untuk ditemani oleh Hawa, meski jika hal tersebut melawan moral or whatsoever.

 

Spacecraft Avalon sedang menempuh perjalanan panjang membawa 5000 penumpang dan 283 awak menuju Homestead Two – semacam planet Bumi yang baru. Masih nyaris satu abad lagi sebelum mereka tiba, namun Jim Preston dan Aurora Lane terbangun dini dari hibernasi mereka. Ide cerita yang ditawarkan sebagai premis film ini sungguh menarik. Jim dan Aurora pada awalnya berusaha mencari cara untuk bisa tertidur kembali, tetapi seiring berjalannya waktu mereka menemukan rumah pada hati lawannya masing-masing, jadi mereka mutuskan untuk menghabiskan hari di Avalon, but then again of course, ‘surga’ mereka diguncang oleh sumber masalah yang membuat mereka terjaga far too early.

Passengers punya elemen yang aku cari dalam sebuah film. Aku suka cerita yang bertema isolasi, you know, film di mana karakternya harus berurusan dengan tempat yang tertutup. Dalam kasus ini that closed space adalah spaceship berteknologi tinggi itu sendiri. Dan juga, the actual space, luar angkasa adalah tempat yang selalu menarik! Kita akan melihat gimana dua insan manusia berusaha hidup di dalam lingkungan pesawat yang melaju terus di antara bintang-bintang. Avalon, sebagai tempat, tergambar dengan cantik. I really like design spaceshipnya yang futuristik, it was really cool looking. Keadaan di dalamnya benar-benar catering to sisi imajinasi kita tentang kehidupan di luar angkasa. Semuanya terlihat sangat bersih. It was ’empty’ tapi begitu sibuk hanya oleh kegiatan dua tokoh dan robot-robot pelayan. We learn how things work di dalam sana sembari juga belajar lebih jauh tentang hubungan dan siapa para tokoh utama kita sebenarnya.

everything is waaay cooler in space!
Everything is waaayyy cooler in space!

 

Satu kata untuk menggambarkan kelebihan film ini adalah MENAWAN. Passengers, tidak diragukan lagi, is a great looking film. Efek-efek yang digunakan menghasilkan environment yang sangat cantik. Film ini disyut dengan really well. Ada satu adegan yang keren banget; Pesawat kehilangan gravitasi ketika Aurora sedang berenang di pool facility, dan airnya semacam ngapung ke udara gitu, membentuk gelembung- gelembung kubik air yang gede, kemudian saling berbenturan. Efeknya seamless sekali, antara efek komputer dengan praktikalnya menyatu dengan lembut sehingga terasa very compelling. Musiknya juga mengalun dengan menawan, namun terkadang terdengar sedikit lebih kenceng dari yang seharusnya. Kadang malah terlalu mendikte kita. Ada beberapa momen di dalam film ini yang membuatku berpikir seandainya enggak ada musik maka emosi akan bisa tersampaikan dengan lebih kuat. Musik yang sometimes jadi ‘overly loud’ membuat nuansa isolasi yang jadi tema surrounding film ini jadi tidak lagi terdengar.

Dan tentu saja, menawan adalah sebutan yang pantas untuk kita berikan kepada duet Chris Pratt dan Jennifer Lawrence. Pesona mereka sungguh kuat, obviously. Mereka bekerja sama fairly well sebagai tulang punggung film drama ini, meski dari skripnya sendiri mereka tidak diberikan terlalu banyak hal untuk mereka lakukan. Aku suka setengah bagian pertamanya, bener-bener aku menikmati melihat Chris Pratt dan Jennifer Lawrence wandering around dan berusaha untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Film ini punya elemen investigasi dan another elemen yang naturally membuat kita terinvest ke dalam tokoh-tokohnya. Ada sedikit twist moral dalam hubungan Aurora dan Jim yang membuat sejumlah skenario “What If” bermunculan di benak kita. Membuat kita ngajuin pertanyaan tentang bagaimana relationship mereka bekerja. Atau relationship manusia secara umum.

Apa penilaian secara moral terhadap pria yang menarik serta wanita yang ia cintai ke dalam keadaan susah bersamanya, seperti Jim yang kesepian membangunkan Aurora. You know, cowok-cowok pasti sering mendengar anjuran “carilah wanita yang siap diajak susah bersama” karena itu berarti dia rela berjuang bersama kita no matter what. But in turn, apakah hal tersebut benar-benar adalah tindakan yang bertanggung jawab? Film ini menggambarkan bahwasanya normal bagi seorang manusia yang tenggelam mengajak orang lain ikut tenggelam, tapinya lagi apakah itu the right thing to do? Is it really selfish bagi wanita jika ia menolak diajak susah? Or apakah all is forgiven karena in the end, kita hanyalah penumpang yang hidup seolah supir dalam dunia yang berjalan pada tracknya?

What If, you “meet me in outer space?” like the Stellar song?
What If, you “meet me in outer space?” like the Stellar song?

 

Seperti robot bartender yang enggak bisa meninggalkan belakang meja bar, film ini berjalan di sirkuit yang sudah ditetapkan. Film tidak berani untuk mengeksplorasi lebih dalam masalah moral yang sempat disentuhnya. Keseluruhan CERITA SEPERTI DISETIR OLEH AUTO-PILOT, tidak ada yang menarik dalam perkembangannya. Setelah midpoint, aku kehilangan ketertarikan untuk mengetahui kelanjutan ceritanya. Karena it is just there’s nothing that feels new about the story. Nonton film ini kita akan lantas kepikiran banyak film-film lain. Passengers bahkan ngakuin kalo mereka memang masukin banyak homage buat film klasik. Sejak dari pertama, malah, film ini ngingetin kita sama The Shining (1980), kemudian 2001: A Space Odyssey (1968), terus Gravity (2013), terus dan terus kita akan recognized elemen cerita yang “Ah mirip film itu! Yaay, kayak film yang itu tuuh!”. Di samping desain spacecraftnya, tidak ada lagi yang terasa benar-benar original dari Passengers.

It does have some investing scenes. Hanya saja, kebanyakan elemen cerita dari film ini tidak menghantarkan kita ke suatu tempat. Banyak momen ketika kita ngeliat elemen terbangun dari adegan demi adegan, membuat kita merasa akan ada sesuatu yang ‘datang’, namun turns out to be nothing. Kayak adegan menjelang babak ketiga, Jim dan Aurora harus membereskan suatu hal yang just sort of happens. Masalah yang mereka hadapi ini hanya dibahas sekilas, nyaris seolah karena film ini butuh tendangan drama semata – supaya mereka bisa tahu bagian-bagian pesawat yang belum mereka kenal, dan film butuh cara buat ngejelasin itu. Masalah mereka ini actually tidak bener-bener punya impact terhadap keseluruhan cerita.

Kritikus ternama Roger Ebert pernah bilang bahwa sesungguhnya yang penting dari sebuah film bukanlah soal film itu menceritakan tentang apa. Tetapi bagaimana film tersebut adalah tentang itu. Film selalu adalah soal penceritaan. Biasanya sih, salah satu usaha film agar punya penceritaan yang baik adalah dengan menghindari flashback. Some films pengen banget punya twist, mereka ngacak order ceritanya meskipun pada akhirnya mereka jadi harus menggunakan flashback, dan biasanya itu bukan hal yang bagus. Susunan cerita Passengers dibuat linear sehingga film ini tidak memakai satupun adegan flashback, it should be a good thing. However, Passengers adalah kasus langka di mana film ini – dia tidak terasa baru, melulu ngingetin kita dengan banyak film lain – really truly need some twist agar menjadi lebih menarik. Passengers justru bisa menjadi lebih menarik jika mereka memutar order ceritanya. Like, you know, babak satu jadi babak ketiga. Sedikit flashback tak-mengapa dipakai kalo toh nanti mentok. Kita bisa pretty much tell the same story dengan order yang dibalik seperti demikian, while also menambah rasa interesting karena dengan diceritakan terbalik kita akan belajar how all of its story reveal.

 

 

 

Film yang menawan. Dirinya enggak wah-wah amat, meski juga enggak seburuk itu. It’s just tidak ada yang benar-benar menarik darinya. Tidak ada elemen yang baru. Tidak ada yang terasa extraordinary. Ini adalah perjalanan di mana karakter-karakternya, dan juga ceritanya, yang cakep berjalan dengan auto-pilot. Sesungguhnya bisa menjadi film yang keren, sayangnya ia tidak berani ngepush apapun lebih jauh lagi.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for PASSENGERS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 
We? We be the judge.

HIDDEN FIGURES Review

“Mathematics is not about numbers, equations, computations, or algorithms; it’s about understanding.”

 

hidden-figures-poster

 

Quick questions!

Ayo sebutkan siapa manusia pertama yang terbang ke luar angkasa? “Yuri Gagarin!”

Siapa orang Amerika pertama yang mengelilingi orbit bumi?John Glenn!!”

Orang pertama yang menjejakkan kaki di bulan adalah?Neil Armstrong!!!”

 

Kita semua pasti tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kita semua pasti pernah baca mengenai tokoh-tokoh bersejarah itu. Everyone talks about them, pria-pria yang paling pertama menjelajah ruang angkasa. Mereka adalah bagian penting dalam sejarah umat manusia. Tapi tahukah kita siapa yang bekerja di belakang sana, ilmuwan-ilmuwan yang membuat segala perjalanan meninggalkan gravitasi itu menjadi mungkin? Fokus kita enggak pernah mengarah kepada scientists yang manjat-manjat tangga nulis di papan itu, padahal mereka juga tak kalah pentingnya, and yea some of them are women. Dan untuk bikin hal lebih mengejutkan lagi, terutama di tahun 1960an yang penuh diskriminasi, ‘komputer-komputer’ di meja NASA tersebut adalah wanita berkulit hitam.

I didn’t really know much about Katherin G. Johnson, Dorothy Vaughan, Mary Jackson, atau beberapa tokoh sejarah lain yang diceritakan dalam film ini. On the other hand, aku selalu tertarik sama astronomi dan luar angkasa, and I kind of like math, jadi space movie yang ada matemnya benar-benar memancing rasa ingin tahuku. Rasanya keren aja, melalui film ini kita bisa belajar lebih banyak tentang para ‘hidden-figure’ yang berjasa di balik peluncuran manusia ke luar angkasa. See, judul filmnya ada udah fun abis. Punya makna yang mendua. Ini adalah tentang angka-angka rumus yang berhasil ditemukan to make the said breakthrough. Dan dalam artian yang lebih dalam lagi, Hidden Figures juga adalah tentang wanita-wanita di balik suksesnya NASA, wanita-wanita yang tersembunyikan oleh status sosial mereka di masa yang masih kental oleh prejudice masalah warna kulit.

Aku actually recognized apa yang ditulisnya… so yea.. NERD! *sorakin rame-rame*
Aku kadang recognized apa yang ditulisnya… so yea.. NERD! *sorakin rame-rame*

 

Dalam film ini tergambarkan bagaimana ketiga wanita yang kerja di NASA tersebut meski termasuk pelopor dalam kerjaan mereka, mereka actually masih harus kerap dealing with prasangka-prasangka publik, yang mana adalah hal lumrah kala itu. Dalam bekerja mereka menemui banyak kesulitan; rekan-rekan kerja yang tidak mengizinkan mereka melakukan kerjaan yang harus mereka lakukan, mereka tidak dikasih izin buat mengakses file-file tertentu. Mereka juga tidak diperkenankan berada pada beberapa lokasi di kantor. Katherine, malahan, harus berlari menempuh jarak yang lumayan jauh cuma buat ke kamar kecil karena kulit hitam ditempatkan di restroom khusus yang terpisah dari pegawai kulit putih. Everything is difficult for them. Hidden Figures adalah tentang seputar karakter-karakter ini navigate lingkungan kerja NASA, memecahkan masalah prejudicenya sembari menemukan formula matematika yang bisa digunakan dalam ‘perlombaan tak-resmi’ antarnegara adi-daya soal pengiriman manusia terbang ke angkasa luar.

Hidup itu kayak matematika. Setelah menambah dan mengurangi, kita akan bisa mendapatkan hasil. Dan lebih penting lagi, hidup, sebagaimana menyelesaikan masalah matematika, membutuhkan pengertian dan pemahaman.

 

Setiap film yang membahas mengenai masalah rasisme selalu cenderung untuk menjadi serius. Kebanyakan akan digarap dengan arahan yang membuat filmnya hanya cocok untuk konsumsi penonton dewasa, you know, dengan kata-kata tak senonoh dan adegan yang overly intense. Padahal sangatlah penting bagi anak-anak muda untuk menonton film dengan pesan yang baik seperti ini. Hidden Figures, untungnya, berani tampil sebagai film yang bisa ditonton bahkan oleh anak kecil. Film ini memastikan pesannya mengenai kesetaraan manusia tanpa mengenal perbedaan ras dapat mencapai dan accessible kepada seluruh lapisan masyarakat. Film ini tidak takut dianggap terlalu jinak atau terlalu family-friendly sehingga jatoh di pasaran. And guess what? Film ini justru tampil really well di box office luar, actually termasuk yang dapat penjualan paling baik di antara nominasi Best Picture Oscar 2017 yang lain. Hidden Figures adalah FEEL GOOD-MOVIE YANG DILAKUKAN DENGAN CARA YANG TEPAT. What you see is what you get, pesannya terhampar jelas.

Terkadang memang film ini terasa sedikit teatrikal, elemen stick-it-to-the-man benar-benar ditonjolkan. Namun tidak pernah menjadi terlalu oversentimentil. Maksudnya, kita tidak dimanjakan, filmnya tidak sekonyong-konyong nyuruh kita puas dengan menyajikan adegan-adegan di mana orang ‘jahat’ mendapat balasan setimpal. This is a feel-good movie, akan tetapi film ini berhasil ngemanage sehingga dirinya doesn’t get too unrealistic. Ada beberapa adegan di mana kita bakal pengen melihat tokoh-tokoh tertentu eventually really get what’s coming to them, dalam batasan yang masih wajar dan enggak lebay. Ini adalah jenis film di mana kita akan melihat tokohnya mencoba menggapai tujuan mereka, dengan cara mereka menghadapi tantangan, tidak peduli rintangan or everything else around them, dan menggunakan kemampuan mereka — dalam hal ini kepintaran otak kiri dan kanan yang seimbang – semaksimal mungkin. Ada satu adegan hebat dan sangat emosional dalam film ini, di mana Katherine akhirnya ngerasa ‘sudah cukup’ dan dia menyuarakan semuanya harus disudahi. Adegan tersebut punya flow yang really well. Membuktikan bahwa semua teknis storytelling; arahan, akting, dan penulisan bekerja dengan sangat mulus.

“ABC is easy as 123” Well, it should be, right?
“ABC is easy as 123” Well, it should be. Right..?

 

Cukup langka melihat karakter-karakter seperti yang dimiliki oleh Hidden Figures dalam tayangan yang berdasarkan kisah nyata. Performances mereka pun teramat fantastis secara merata. Taraji P. Henson is very good memainkan Katherine, mathematician yang berpikir rasional di tengah keadaannya, she wants to get the job done because she loves what she does, dan dia menambah berkali lipat emosi pada karakternya. Sebagai Dorothy Vaughan ada Octavia Spencer yang selalu bermain amazing, perannya di film ngingetin aku sama perannya dalam film The Help (2011). Aku suka sekali reaksinya saat anak-anaknya diusir dari perpustakaan. Peran Mary Jackson oleh Janelle Monae juga punya obstacle sendiri dalam usahanya menjadi black female engineer pertama. Kita merasakan koneksi kepada orang-orang ini. Kita ngerasain struggle mereka, bahwa mereka bukan tokoh pasif. Kita ngecheer aksi ‘perlawanan’ mereka. Kita mulai menjadi begitu peduli sama mereka, sehingga kita jadi ingin nonjok muka tokohnya Jim Parsons.

Angin segar adalah kenyataan bahwa film ini tidak diarahkan menjadi cerita serius dengan some political agenda. In the end, ini adalah tentang gimana menghilangkan prejudice, gimana untuk tidak menjadi rasis, karena yang terpenting adalah mewujudkan keinginan bersama.

Karakter yang dimainkan oleh Kevin Costner bilang “Everybody in NASA pees the same color.” Itu adalah momen yang sangat keren menyaksikan orang yang punya mindset spesifik tentang gimana mereka memandang orang lain. Baginya it’s all about finishing the job dan semuanya harus work around prasangka rasis. Malahan ada tokoh seperti astronot John Glenn yang dimainkan asik oleh Glenn Powell, yang just don’t even recognized ada perbedaan di antara barisan mereka. Dia justru mempercayakan keberangkatannya kepada wanita-wanita ini.

Being a story yang mau memperkenalkan ketiga wanita berjasa tersebut, cerita Hidden Figures sayangnya tidak hanya mengambil tempat di kantor NASA (yang terdepict compelling dengan segala kesibukannya). Kenapa aku bilang ‘sayangnya’ karena actually film akan membawa kita pulang ke rumah tokoh masing-masing untuk melihat kehidupan mereka bersama keluarga. Di sinilah elemen romance film ini pasang-sabuk-dan-meluncur, namun I didn’t feel that. Romansa film ini tidak terflesh out dengan baik, tak lebih hanya sebagai subplot supaya membuat kita semakin terhanyut ke dalam the feel-good momen. Diniatkan, romansanya sweet banget. Harapnya, sih, ada spark antara Katherine dengan Kolonel Johnson yang diperankan dengan sangat charming oleh Mahershala Ali, namun enggak pernah aku terattach ke dalam hubungan mereka. Elemen drama cinta ini tidak menambah banyak bobot kepada keseluruhan cerita. Film ini menyadari itu, makanya dengan bijak kita dibawa sesegera mungkin kembali ke lingkungan NASA. Sisi dramatis film ini sesungguhnya memang terletak di perjuangan Katherine dan teman-temannya dalam menemukan terobosan dalam aerospace engineering.

 

 

 

Yang suka film-film historical science bakalan jatuh cinta sama film ini. Setelah membaca tentang sejarah mereka lebih lanjut, sepertinya memang film ini secara sejarah lumayan akurat untuk sebagian besar waktu. Dalam usahanya menyampaikan pesan kesetaraan dan tidak membeda-bedakan demi kepentingan yang lebih utama, film ini mengambil langkah berani, take-off dengan menjadi family friendly alih-alih film yang menunjukkan keseriusan dengan serentetan kata vulgar dan adegan ‘keras’. Tentu, drawbacknya adalah film ini jadi menjurus ke teatrikal, namun it holds on the tension dan intensitas very well.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for HIDDEN FIGURES.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.