“Mathematics is not about numbers, equations, computations, or algorithms; it’s about understanding.”
Quick questions!
Ayo sebutkan siapa manusia pertama yang terbang ke luar angkasa? “Yuri Gagarin!”
Siapa orang Amerika pertama yang mengelilingi orbit bumi? “John Glenn!!”
Orang pertama yang menjejakkan kaki di bulan adalah? “Neil Armstrong!!!”
Kita semua pasti tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kita semua pasti pernah baca mengenai tokoh-tokoh bersejarah itu. Everyone talks about them, pria-pria yang paling pertama menjelajah ruang angkasa. Mereka adalah bagian penting dalam sejarah umat manusia. Tapi tahukah kita siapa yang bekerja di belakang sana, ilmuwan-ilmuwan yang membuat segala perjalanan meninggalkan gravitasi itu menjadi mungkin? Fokus kita enggak pernah mengarah kepada scientists yang manjat-manjat tangga nulis di papan itu, padahal mereka juga tak kalah pentingnya, and yea some of them are women. Dan untuk bikin hal lebih mengejutkan lagi, terutama di tahun 1960an yang penuh diskriminasi, ‘komputer-komputer’ di meja NASA tersebut adalah wanita berkulit hitam.
I didn’t really know much about Katherin G. Johnson, Dorothy Vaughan, Mary Jackson, atau beberapa tokoh sejarah lain yang diceritakan dalam film ini. On the other hand, aku selalu tertarik sama astronomi dan luar angkasa, and I kind of like math, jadi space movie yang ada matemnya benar-benar memancing rasa ingin tahuku. Rasanya keren aja, melalui film ini kita bisa belajar lebih banyak tentang para ‘hidden-figure’ yang berjasa di balik peluncuran manusia ke luar angkasa. See, judul filmnya ada udah fun abis. Punya makna yang mendua. Ini adalah tentang angka-angka rumus yang berhasil ditemukan to make the said breakthrough. Dan dalam artian yang lebih dalam lagi, Hidden Figures juga adalah tentang wanita-wanita di balik suksesnya NASA, wanita-wanita yang tersembunyikan oleh status sosial mereka di masa yang masih kental oleh prejudice masalah warna kulit.
Dalam film ini tergambarkan bagaimana ketiga wanita yang kerja di NASA tersebut meski termasuk pelopor dalam kerjaan mereka, mereka actually masih harus kerap dealing with prasangka-prasangka publik, yang mana adalah hal lumrah kala itu. Dalam bekerja mereka menemui banyak kesulitan; rekan-rekan kerja yang tidak mengizinkan mereka melakukan kerjaan yang harus mereka lakukan, mereka tidak dikasih izin buat mengakses file-file tertentu. Mereka juga tidak diperkenankan berada pada beberapa lokasi di kantor. Katherine, malahan, harus berlari menempuh jarak yang lumayan jauh cuma buat ke kamar kecil karena kulit hitam ditempatkan di restroom khusus yang terpisah dari pegawai kulit putih. Everything is difficult for them. Hidden Figures adalah tentang seputar karakter-karakter ini navigate lingkungan kerja NASA, memecahkan masalah prejudicenya sembari menemukan formula matematika yang bisa digunakan dalam ‘perlombaan tak-resmi’ antarnegara adi-daya soal pengiriman manusia terbang ke angkasa luar.
Hidup itu kayak matematika. Setelah menambah dan mengurangi, kita akan bisa mendapatkan hasil. Dan lebih penting lagi, hidup, sebagaimana menyelesaikan masalah matematika, membutuhkan pengertian dan pemahaman.
Setiap film yang membahas mengenai masalah rasisme selalu cenderung untuk menjadi serius. Kebanyakan akan digarap dengan arahan yang membuat filmnya hanya cocok untuk konsumsi penonton dewasa, you know, dengan kata-kata tak senonoh dan adegan yang overly intense. Padahal sangatlah penting bagi anak-anak muda untuk menonton film dengan pesan yang baik seperti ini. Hidden Figures, untungnya, berani tampil sebagai film yang bisa ditonton bahkan oleh anak kecil. Film ini memastikan pesannya mengenai kesetaraan manusia tanpa mengenal perbedaan ras dapat mencapai dan accessible kepada seluruh lapisan masyarakat. Film ini tidak takut dianggap terlalu jinak atau terlalu family-friendly sehingga jatoh di pasaran. And guess what? Film ini justru tampil really well di box office luar, actually termasuk yang dapat penjualan paling baik di antara nominasi Best Picture Oscar 2017 yang lain. Hidden Figures adalah FEEL GOOD-MOVIE YANG DILAKUKAN DENGAN CARA YANG TEPAT. What you see is what you get, pesannya terhampar jelas.
Terkadang memang film ini terasa sedikit teatrikal, elemen stick-it-to-the-man benar-benar ditonjolkan. Namun tidak pernah menjadi terlalu oversentimentil. Maksudnya, kita tidak dimanjakan, filmnya tidak sekonyong-konyong nyuruh kita puas dengan menyajikan adegan-adegan di mana orang ‘jahat’ mendapat balasan setimpal. This is a feel-good movie, akan tetapi film ini berhasil ngemanage sehingga dirinya doesn’t get too unrealistic. Ada beberapa adegan di mana kita bakal pengen melihat tokoh-tokoh tertentu eventually really get what’s coming to them, dalam batasan yang masih wajar dan enggak lebay. Ini adalah jenis film di mana kita akan melihat tokohnya mencoba menggapai tujuan mereka, dengan cara mereka menghadapi tantangan, tidak peduli rintangan or everything else around them, dan menggunakan kemampuan mereka — dalam hal ini kepintaran otak kiri dan kanan yang seimbang – semaksimal mungkin. Ada satu adegan hebat dan sangat emosional dalam film ini, di mana Katherine akhirnya ngerasa ‘sudah cukup’ dan dia menyuarakan semuanya harus disudahi. Adegan tersebut punya flow yang really well. Membuktikan bahwa semua teknis storytelling; arahan, akting, dan penulisan bekerja dengan sangat mulus.
Cukup langka melihat karakter-karakter seperti yang dimiliki oleh Hidden Figures dalam tayangan yang berdasarkan kisah nyata. Performances mereka pun teramat fantastis secara merata. Taraji P. Henson is very good memainkan Katherine, mathematician yang berpikir rasional di tengah keadaannya, she wants to get the job done because she loves what she does, dan dia menambah berkali lipat emosi pada karakternya. Sebagai Dorothy Vaughan ada Octavia Spencer yang selalu bermain amazing, perannya di film ngingetin aku sama perannya dalam film The Help (2011). Aku suka sekali reaksinya saat anak-anaknya diusir dari perpustakaan. Peran Mary Jackson oleh Janelle Monae juga punya obstacle sendiri dalam usahanya menjadi black female engineer pertama. Kita merasakan koneksi kepada orang-orang ini. Kita ngerasain struggle mereka, bahwa mereka bukan tokoh pasif. Kita ngecheer aksi ‘perlawanan’ mereka. Kita mulai menjadi begitu peduli sama mereka, sehingga kita jadi ingin nonjok muka tokohnya Jim Parsons.
Angin segar adalah kenyataan bahwa film ini tidak diarahkan menjadi cerita serius dengan some political agenda. In the end, ini adalah tentang gimana menghilangkan prejudice, gimana untuk tidak menjadi rasis, karena yang terpenting adalah mewujudkan keinginan bersama.
Karakter yang dimainkan oleh Kevin Costner bilang “Everybody in NASA pees the same color.” Itu adalah momen yang sangat keren menyaksikan orang yang punya mindset spesifik tentang gimana mereka memandang orang lain. Baginya it’s all about finishing the job dan semuanya harus work around prasangka rasis. Malahan ada tokoh seperti astronot John Glenn yang dimainkan asik oleh Glenn Powell, yang just don’t even recognized ada perbedaan di antara barisan mereka. Dia justru mempercayakan keberangkatannya kepada wanita-wanita ini.
Being a story yang mau memperkenalkan ketiga wanita berjasa tersebut, cerita Hidden Figures sayangnya tidak hanya mengambil tempat di kantor NASA (yang terdepict compelling dengan segala kesibukannya). Kenapa aku bilang ‘sayangnya’ karena actually film akan membawa kita pulang ke rumah tokoh masing-masing untuk melihat kehidupan mereka bersama keluarga. Di sinilah elemen romance film ini pasang-sabuk-dan-meluncur, namun I didn’t feel that. Romansa film ini tidak terflesh out dengan baik, tak lebih hanya sebagai subplot supaya membuat kita semakin terhanyut ke dalam the feel-good momen. Diniatkan, romansanya sweet banget. Harapnya, sih, ada spark antara Katherine dengan Kolonel Johnson yang diperankan dengan sangat charming oleh Mahershala Ali, namun enggak pernah aku terattach ke dalam hubungan mereka. Elemen drama cinta ini tidak menambah banyak bobot kepada keseluruhan cerita. Film ini menyadari itu, makanya dengan bijak kita dibawa sesegera mungkin kembali ke lingkungan NASA. Sisi dramatis film ini sesungguhnya memang terletak di perjuangan Katherine dan teman-temannya dalam menemukan terobosan dalam aerospace engineering.
Yang suka film-film historical science bakalan jatuh cinta sama film ini. Setelah membaca tentang sejarah mereka lebih lanjut, sepertinya memang film ini secara sejarah lumayan akurat untuk sebagian besar waktu. Dalam usahanya menyampaikan pesan kesetaraan dan tidak membeda-bedakan demi kepentingan yang lebih utama, film ini mengambil langkah berani, take-off dengan menjadi family friendly alih-alih film yang menunjukkan keseriusan dengan serentetan kata vulgar dan adegan ‘keras’. Tentu, drawbacknya adalah film ini jadi menjurus ke teatrikal, namun it holds on the tension dan intensitas very well.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for HIDDEN FIGURES.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners
And there are losers.
We? We be the judge.