“You are never truly alone.”
Jomblo, berdasarkan penyebab, banyak jenisnya. Ada yang menjomblo karena masih merasa perlu untuk bertualang mencari yang cocok. Ada yang sengaja jomblo karena masih mau hidup bebas. Ada juga yang seumur-umur jomblo lantaran gak berani mengungkapkan perasaannya. Ebi adalah jenis jomblo yang terakhir. Yang paling mengenaskan. Penonton yang udah ngikutin Ebi dari film pertamanya yang rilis 2015 pasti hapal masalah mental yang diderita oleh cowok ini; susah ngomong sama cewek. Di film yang kedua ini kita akan dibawa mengulik sedikit lebih dalam kenapa lidah Ebi suka kelu di hadapan cewek cakep. Kenapa Ebi, yang udah deket banget ama si cantik Angel, ternyata masih single.
Menjelang usia 30 tahun, Ebi semakin merasakan tekanan dan desakan untuk segera punya pasangan. Adik dan teman-teman baru Ebi berusaha meyakinkan dirinya untuk segera menembak Angel. Atau paling enggak, cari cewek, supaya bisa segera angkat kaki dari klub Single – bayangkan kelompok “Single & Sufficient” yang dibuat oleh Jess dalam serial New Girl, tetapi klub Ebi ini anggotanya cowok virgin-virgin tua yang jauh lebih menyedihkan dengan aktivitas yang lebih jauh dari kata menyenangkan. Di balik tampang blo’on penuh ngarepnya, Ebi mulai merasakan depresi yang perlahan tumbuh seiring percaya diri yang terus berkurang. Ini membuatnya hampir dipecat dari kafe tempat ia manggung berstand-up comedy. Karena orang-orang mulai bosen dengan lawakannya yang itu-itu melulu. Ebi has come to terms dengan trauma masa kecilnya, di mana ia ditolak mentah-mentah saat dengan pedenya ‘menembak’ cewek teman sekelasnya. Supaya ia bisa menemukan keberanian untuk menghadapi kejutan-kejutan di dalam hidupnya.
Kejutan terbesar yang kita dapati pada Single Part 2 adalah bahwa ini sebenarnya merupakan perjalanan Ebi dari jomblo menjadi seorang ‘playboy’; Dalam sense, Ebi harus menyadari hubungan-hubungan spesial yang sudah ia jalin dengan setiap orang yang ada dalam hidupnya. Sebab pertanyaan penting yang diajukan film ini adalah apa sih arti jomblo itu sesungguhnya. Benarkah kita pernah benar-benar sendirian hidup di dunia.
Single 2 boleh jadi adalah proyek transisi Raditya Dika yang sendirinya sudah meninggalkan masa-masa jomblo yang nelangsa. Untuk menunjukkan proses pertumbuhan itu, film ini dibuatnya menjadi jauh lebih dewasa ketimbang film-film buatannya sebelumnya. Single 2 mencoba untuk lebih sering menyasar ke ranah drama yang agak lebih serius. Tapi kita dapat merasakan ada sedikit kebingungan pada proses kreatif film ini. Film seperti enggak yakin dalam memutuskan cara yang tepat untuk mentackle materi mereka tanpa meninggalkan target pasar yang lama secara keseluruhan. Mereka enggak yakin penggemar Dika sudah turut bertumbuh bersama mereka. Jadi kita mendapatkan adegan patung monyet yang bisa berbicara. Film masih merasa perlu dibantu oleh kekonyolan, film masih merasa perlu untuk meniru komedi gaya anak muda stoner film barat. Literally, magic mushroom adalah device penting yang membawa plot masuk ke dalam babak ketiga. Alih-alih membuat tokohnya mengambil keputusan, alur film bertema kedewasaan cinta ini bergerak oleh tokoh utama yang mabok dan dibanting ke lantai semen oleh kakek-kakek.
Saat menonton ini, aku ngiri sama para pengunjung kafe di tempat Ebi manggung. Mereka bisa dengan selownya ngeloyor keluar kafe karena jengah mendengar Ebi terus-terusan mengasihani diri. Karena itulah persisnya yang sebagian besar kurasakan. Aku ingin cabut dari studio. Film ini sama sekali tidak menyenangkan. Bahkan untuk standar Raditya Dika yang udah ‘jago’ menggarap komedi dari premis orang jomblo mencari cinta, cerita usang film ini terasa begitu sok-sok sedih sehingga menjadi annoying. Ebi adalah tokoh utama yang membuat kita ingin menonjok wajahnya. Dia sedih dirinya masih jomblo, tapi dia tidak menunjukkan usaha. Kita diharuskan sedih gitu aja melihat dirinya tidak bisa bilang “gue cinta ama elo” ke cewek yang ia taksir. Kita diminta untuk bersimpati melihat dia mengasihani dirinya sendiri setelah ia tidak menghindar dari keputusan ketika pilihan itu datang. I mean, dari mana tawa itu bisa datang jika kita dipaksa untuk merasa kasihan? Bukankah ini seharusnya adalah cerita komedi?
Hampir semua adegan dimainkan untuk komedi yang sudah sering kita lihat pada film-film Raditya Dika. Dia diberikan saran oleh temennya, dan betapapun wajahnya kelihatan sangsi, dia tetap melakukan saran tersebut tanpa memikirkannya. Tentu saja adalah hal yang bagus jika film komedi punya banyak adegan komedi. Hanya saja, tentu akan lebih bagus lagi jika komedi tersebut punya bobot ke dalam cerita, actually integral ke dalam perkembangan cerita, bukan sekedar momen lucu untuk ditertawakan. Klub Single yang diikuti Ebi seharusnya bisa dimainkan lebih banyak ke dalam cerita. Atau setidaknya, keberadaannya tidak demikian membingungkan. Kita paham Ebi masuk jadi anggota karena dia jomblo, dan dia takut melepas status tersebut karena itu bakal berarti ada kemungkinan dia kehilangan Angel selama-lamanya jika ia mencoba untuk melepas kejombloan dengan nembak Angel, maka Ebi masuk klub sebagai pembenaran bahwa jomblo tidak menyedihkan. Tapi kenapa klub itu dibuat tidak pernah tergambar; jomblo-jomblo saling support supaya enggak sedih-sedih amat, atau supaya menimbulkan keberanian dapat pacar? Kita melihat anggota yang dapat pacar dan anggota yang punya rekor jomblo terlama sama-sama dikasih ucapan selamat – jadi apa tujuan klub ini exactly? There’s also part ketika Ebi terlibat sesuatu dengan seorang transgender; yang menurutku mereka bisa membuat cerita dari sini kalo memang niat menggali yang baru, namun pada akhirnya memang hanya sebagai komedi saja. Yang tampak seperti usaha lemah memancing kelucuan kayak yang dilakukan pada Stu dengan ladyboy Thailand di The Hangover Part II (2011).
Ada banyak layer drama yang seharusnya bisa digali, dijadikan fokus. Bahkan jika fokus di masalah adik dan keluarga yang terlalu ikut campur, mungkin film bisa jadi lebih menyenangkan dan dewasa. Single 2 tampak berambisi menyatukan semua yang terpikirkan. Masalah saingan cinta juga kembali dimasukkan. Sehingga semua elemen cerita film ini terasa kurang masak. Tokoh-tokohnya terdengar sama-sama komikal semua. Dengan penampilan akting yang secara seragam di batas standar ke bawah. Yang paling mending cuma si Annisa Rawles yang bermain sebagai Angel; tokoh yang paling terbingungkan oleh Ebi. Aku juga lumayan salut tokoh Angel tidak terjatuh dalam kategori ‘manic pixie dream girl’. Ada nice set-up terkait Angel yang di akhir cerita membuat kita bertanya apakah film sedang ‘menghukum’ dirinya atau cerita memang sedang dalam proses semakin memperkuat sudut pandang tokoh ini – mungkin untuk installment berikutnya.
Ketika bicara relationship, kita akan berpikir tentang pasangan. Padahal itu bukan satu-satunya jenis hubungan. Jomblo dalam satu jenis hubungan, tidak berarti kita ‘jomblo’ juga di aspek lain dalam hidup. Kita punya keluarga. Kita punya teman. Tetangga. Rekan kerja. Hobi. Agama. Jangan biarkan kesepian menelan kita. Fokuslah pada semua cinta yang ada di dalam hidup.
Menurutku, durasi dua-jam lebih terlalu berlebihan untuk film ini. Cerita bisa lebih tight jika dibuat untuk durasi standar 90 menitan saja. Fokus cerita tentang ketakutan Ebi jadi kabur lantaran durasi yang kepanjangan. Kita terlalu lama merasa kesal karena di separuh awal kita tidak tahu kenapa EBi yang sedih dan takut jomblo tidak berusaha keras sedari awal. Kenapa dia mundur setiap kali ‘kebetulan’ ada cowok lain datang di antara dia dan gebetan. Untuk sebagian besar waktu, progresnya yang diset dari mengasihani diri menjadi bisa menertawai diri dan angkat kepala menghadapi yang ia takutkan, membuat Ebi tampak bland dan menyebalkan untuk diikuti. Mungkin film memang meniatkan kita untuk merasa geregetan terhadap sikap Ebi di awal, dan perlahan hingga pada akhirnya kita akan merasakan simpati karena kita diberitahu Ebi berada dalam kondisi ‘dia-sudah-menang-tapi-dia-belum-tahu’ sehingga kita mendukungnya. Tapi sekali lagi, ada komplikasi yang tak diperhitungkan yang membuat cerita ini berakhir ‘membingungkan’, karena Ebi tidak pernah diperlihatkan mengkonfrontasi masalahnya dengan Angel sehingga di akhir itu dia tampak seperti mengkonfirmasi perkatan salah satu tokoh kepada dirinya; bahwa dia adalah seorang playboy.
Seperti Ebi yang bingung, ibunya Angel yang bingung, Dika juga bingung mengeksplorasi kejombloan di usia dewasa tanpa meninggalkan penonton remaja. Sehingga kita yang nonton pun ikutan bingung. Gimana bisa simpati kalo tokohnya membuang kesempatan dan gak ada usaha. Gimana bisa ketawa kalo tokohnya mengasihani diri terus. Inner journey film ini sebenarnya lumayan menarik dan masuk akal. Akan tetapi satu jam lebih ngebangun perkembangan hanya untuk magic mushroom membukakan jalan untuk the rest of the story; sesungguhnya adalah sesuatu yang konyol. Penceritaan yang banyak kekurangan ini seharusnya dilakukan dengan lebih kompeten sehingga bisa lebih enak penonton ikuti dan benar-benar mengenai notes dan gagasan yang diinginkan.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for SINGLE 2
That’s all we have for now.
Apakah punya pasangan beneran lebih baik? Sudikah kalian bertanya ke dalam hati kenapa sebenarnya dirimu masih jomblo?
Tell us in the comments
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.
Setelah baca review ini, saya merasa sudah berbuat benar dengan menonton semua film libur Lebaran, kecuali film ini. Sejak menonton film Target tahun lalu, sudah agak anti dengan film-film Raditya Dika yang intinya cerita tentang dia dekat dengan seorang cewek.
Oh iya, ditunggu ya review 4 film Lebaran lainnya.
Siaapp, ni baru yang pertama, semoga aku nontonnya bertingkat dari film lebaran terburuk hingga yang terbaik ahahaha
Geregetan sih liat Ebi, ceritanya ga maju2 dari takut nembak dan sekalinya berani ada aja faktor luar ga masuk akal yang menghalangi. Padahal ceweknya cantik banget dan udah buka pintu lebar-lebar. Ga suka sih, padahal yang Single 1 termasuk film Radit yang paling kusuka. Rencana nonton film lebaran lain mas?
kepanjangan memang filmnya, banyak yang bisa disingkat..
tentu dong, tinggal 2 lagi yang belum kutonton
Tapi masih dikasih skor 4 ya? Hmmm menarique….
for not getting thru dan di tengah jalan malah jiper balik ke zona nyaman kekanakan haha
Heran lihat Raditya Dika, karakter di filmnya gak lebih dari cowok bloon nan polos. Begitu terus diulang-ulang. Udah gitu peran utama yang terkesan dipaksakan. Entah karena aturan dari Soraya atau bukan, tapi Dika sudah saatnya mengeksplor peran yang lebih beragam di bidang akting. Sudah saatnya pula cari rekan penulis yang kompeten biar bisa lebih berkembang dan out of comfort zone.
incerannya tetep di anak-anak muda sih.. padahal seru kalo dia bikin yang sesuai dengan pertumbuhan dirinya.. masak sih ga bisa cari becandaan di luar jomblo yegak. Lihat saja ke depannya, seharusnya dia bisa bikin materi dari soal kehidupan rumah tangga, punya anak, dan sebagainya
Mungkin gak harus based on life experience, yang penting ceritanya relevan sama mayoritas penonton. Gw bosen sih nengok Dika begini2 melulu, terkesan dipaksakan jadi lead actor di setiap filmnya tapi aktingnya juga kurang.
nah iya, untuk soal lead actor itu aku juga setuju. Udah berapa film sih dia, tapi aktingnya gak ada peningkatan, cuma ganti nama tokoh tok. Mungkin sudah tabiatnya tidak mau berkembang, ya materi candaan, ya permainan akting
Pesan untuk Radit. Lu udh ngomongin jomblo di twitter udh 10 tahun kali. Bosen bang, wkwkwk
eksplorasi sampe kering wkwkwk