“Life is a teacher and Love is the reward in all its forms.”
Film ini sudah berjasa besar dalam mengingatkanku untuk, sebisa mungkin, enggak lagi nonton trailer. Film apapun.
Tidak ada yang lebih ngeselin daripada getting your expectations high up dengan nonton lima-menit-or-so video promo, untuk kemudian mendapati filmnya enggak live it up dengan apa yang sudah mereka imingkan. Ini lebih parah daripada diphpin cewek. Trust me, pengalaman nonton akan lebih menyenangkan jika kita mengetahui sesedikit mungkin tentang film yang bakal ditonton. Jadi itulah kenapa aku males nonton trailer. Tapi kadang ngehindarin trailer cukup sulit daripada kelihatannya. I mean, setiap ke bioskop kita mau-tak mau harus ngeliat beberapa. In fact, saat di bioskop, aku justru lebih senang ketemu trailer ketimbang harus ngeliat iklan komersial. Which is remind me..,
Bioskop, kenapa harga tiketmu semakin mahal tapi iklan malah tambah banyak? Apa kami beneran disuruh nambah bayar buat nontonin iklan?!
Begitulah aku kenal dengan Collateral Beauty. Aku nonton trailernya yang diputer di bioskop sekitaran jelang akhir tahun lalu, and I was intrigued by it. Film ini mempersembahkan sesuatu yang unik. Trailernya nyeritain sebuah plot. Ada seorang pria yang dikunjungi oleh personifikasi dari Kematian, Cinta, dan Waktu. Mereka bicara kepadanya, mereka mencoba membantu pria ini keluar dari situasi yang sulit. Dari trailernya seolah ini adalah perjalanan spiritual yang penuh pesan filosofis. Bertabur bintang papan atas pula. Will Smith, Keira Knightley, Edward Norton, Kate Winslet, geng nominator Oscar deh pokoknya. Aku serius nungguin film ini tayang. Namun kemudian, ilang begitu saja di bioskop. Kalah saing ama Rogue One, mungkin saja. Tenggelam sama dua film komedi hits akhir taun Indonesia, bisa jadi. Jawaban yang bisa kusimpulkan dari ketika nonton ini adalah, mungkin para bintang top tersebut malu. Mereka memang seharusnya malu udah main di film ini. Trailernya bo’ong banget. Cerita film sebenarnya sangat berbeda dari apa yang dijual pada trailer. Not even close.
Film ini sesungguhnya juga bikin aku kagum.
Sebagian besar adegan disyut dengan sangat cakap, menghasilkan visual yang cakep. Penampilan aktingnya pretty good, seperti yang bisa kita harapkan dari para aktor sekelas mereka. Serius nih, aku kagum. Para aktor tersebut bekerja keras, terutama Will Smith. He’s really trying in this. Penampilannya di sini seolah dia sedang mainin film buat nominasi Oscar, seperti yang biasa ia lakukan di film-film ‘andelan’ lain sekitaran Desember setiap tahunnya. Tapi bener deh, gimana film ini bisa membujuk aktor-aktor lain untuk main di film ini adalah hal yang pantas kita admire. I mean, Collateral Damage, eh sori maksudnya, Collateral Beauty punya PLOT LINE YANG LUAR BIASA BEGO, sehingga fakta film ini bisa muncul sebagai suatu eksistensi aja udah merupakan hal yang menakjubkan. Amazing. Amazingly insulting buat cerita-cerita bagus yang masih keliaran nyari jodoh di luar sana, sih lebih tepatnya.
Collateral Beauty menceritakan tentang seorang bisnis man yang sukses bernama Howard. Setelah kematian putrinya yang baru berusia enam tahun, Howard mengucilkan dirinya sendiri. Menutup perasaannya. Dia menolak bicara kepada orang lain, termasuk kepada karyawan dan teman-temannya. Plot utama film ini dibeberkan dalam rentang dua-puluh-menit pertama dan plot tersebut benar-bener beda dari apa yang sudah trailer bikin kita percaya.
Howard begitu patah hati oleh kepergian putrinya sehingga kerjaannya terbengkalai. Tiga teman, yang juga adalah karyawannya, khawatir mereka bakal kehilangan pekerjaan jika Howard terus-terusan ‘pendiem’ kayak gini. Alih-alih beresin urusan dengan klien, Howard menghabiskan jam kantor dengan nyusun domino dan ngeberantakinnya sendiri. Jadi, Whit, Claire, dan Simon (berturut-turut diperankan oleh Edward Norton, Kate Wisnlet, dan Micahel Pena) yang ingin nyelametin leher masing-masing, menyewa private investigator buat ngintilin ke mana Howard pergi. Dengan skill deduksinya, si detektif berhasil mengetahui bahwa Howard mengirim surat kepada Kematian, Cinta, dan Waktu. NOT! Si detektif actually ngebongkar kotak surat, bayangin hahahaha! Kemudian tiga temen Howard membayar tiga pemain teater buat mendatangi Howard berpura-pura jadi sosok Kematian, Cinta, dan Waktu. Supaya apa? Supaya si detektif bisa ngerekam percakapan Howard dengan mereka dan nantinya rekaman tersebut diedit sehingga yang terlihat hanya Howard bicara dengan diri sendiri. Rekaman editan inilah yang nanti digunakan oleh tiga temen Howard buat ditunjukin ke klien; sebagai bukti Howard rada sedeng dan dia enggak seharusnya berada di posisi sebagai atasan, dan pada akhirnya mereka bertiga bisa tetep kerja.
See, plotnya persis kayak film ini sendiri. Manipulatif.
Menakjubkan bukan gimana orang-orang kantoran itu punya teknologi yang canggihnya nyaingin teknologi Hollywood; mereka bisa menghapus satu manusia utuh dari video handphone. Haha..ha. Ada begitu banyak hal gak masuk akal pada penulisan narasinya. Kita bisa ngomong sampai bibir item soal betapa terriblenya teman-teman Howard. Misi film ini sepertinya memang ingin nunjukin bahwa istilah temen makan temen di dunia kerja itu adalah hal yang nyata. Apa yang mereka lakuin di sini – Howard sedang dalam keadaan broken yang mendalam, mereka malah nyewa orang, berencana untuk membuat Howard seperti orang gila – it is just tindakan yang, Cinta di AADC 2 bilang “apa yang kamu lakuin itu jahat”. Dan film ini mencoba untuk merasionalkan hal tersebut di akhir.
Sebenarnya adalah konsep menarik tentang hubungan antara manusia dengan Kematian, Cinta, dan Waktu. Sejatinya tidak ada awal dan akhir, waktu hanya digunakan untuk mengukur eksistensi. Kita hanya merasa ada waktu ketika kita either sedang bersama atau sedang pisah dari seorang yang kita cintai. Tapi ultimately kita sering enggak sadar, seperti Howard, bahwa indahnya cinta terus berlanjut bahkan setelah kematian. Film ini nunjukin trauma mengakibatkan Howard menjadi lebih dekat dengan orang-orang yang shared cinta yang sama seiring berjalannya waktu. Hidup mengajarkannya tentang kematian, dengan cinta sebagai hadiahnya. Cinta melampaui waktu dan kematian; dalam kematian ada cinta, dan dalam waktu tidak ada kematian. We are all connected dengan hal tersebut.
Sayangnya perhatian Collateral Beauty sepenuhnya hanya tercurah kepada nyembunyiin twist sehingga film ini lupa untuk membangun cerita yang benar-benar menyentuh hati. Ada dua ‘kelokan’ cerita di dalam fim ini, yang dua-duanya terungkap menjelang akhir. Dan sama-sama enggak masuk akal. Satu yang menyangkut Howard, jika dipikir-pikir merupakan kebetulan yang teramat mengada-ada. Logikanya nol besar dan actually malah makin merusak film secara keseluruhan. Twist yang satu lagi berdasar kepada bahwa ternyata tidak hanya Howard yang belajar, ketiga temannya actually juga dibahas personal ama tiga ‘spirit’ tersebut. Film ini mencoba membuat kita mempertanyakan apakah ketiga pemain teater tersebut adalah spirit beneran, namun sekali lagi, hal ini justru makin memperparah narasi dan plot line yang memang sedari awal sudah horrible and crazily stupid.
Tidak pernah kita diperlihatkan kehidupan bahagia Howard bersama putrinya, selain adegan memori yang itu-itu melulu, sehingga kita kesusahan buat konek dengan karakternya. Kita tidak pernah melihat sisi bahagia dari Howard. Tidak ada adegan interaksi dengan putrinya, yang mana sangat krusial buat fondasi emosi. Padahal mestinya di dalam film semua harus dikontraskan. Namun karena film ini terlalu napsu nyembunyiin cerita, we don’t get to see that. Hanya ada satu adegan di pembuka di mana Howard girang, dia tertawa, dia ngasih pidato tentang kesuksesan. And that’s it. Cerita lompat ke tiga tahun kemudian di mana Howard pasang tampang sedih ke semua orang.
Hal terbaik yang kita bisa bilang buat film ini bahwa dirinya adalah suguhan dengan penampilan akting yang baik namun punya beberapa cacat dalam penulisan dan narasinya. Sesungguhnya film ini sendiri pun sadar akan kelemahannya, tahu bahwa cerita yang ia punya penuh oleh keenggaklogisan, jadi makanya mereka nekat bikin trailer yang nipu abis. Mereka enggak bisa hanya mejengin wajah-wajah pemain yang pernah jadi nominasi Oscar. Jadi ya, mereka butuh some terrible bait-and-switch. Karena, selain dengan trailer, dengan apalagi mereka bisa menjual diri dengan meyakinkan?
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for COLLATERAL BEAUTY.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We? We be the judge.
aku suka ceritanya.. tmn2 punya rencana yg unik dan jenius kalo menurutku..
tapi jahat banget rencananya ahahaha