THE BELKO EXPERIMENT Review

“Morals – all correct moral laws – derive from instinct to survive.”

 

 

Jika kalian kerja sebagai pegawai kantoran, maka kemungkinannya adalah kalian lagi baca ulasan ini secara diam-diam di dalam kubikel kecil yang layar komputernya nyaris penuh oleh kertas-kertas kecil berisi catatan kerja dan foto-foto orang tersayang. Aku sendiri belum pernah ngerasain, mainly because I sill live in the edge of rainbow at fantasy world, tapi dari yang kudengar ruang persegi yang not exactly privat itu bisa menjadi penjara tersendiri khususnya bagi karyawan yang kerja pagi pulang nyaris pagi lagi enam hari seminggu. Kubikel adalah sel, dan kantor beserta segala rutinitasnya adalah penjara.

Perasaan terperangkap tersebut diamplify oleh film The Belko Experiment; dijadikan premis yang teramat menarik di mana kedelapan puluh karyawan perusahaan non-profit Belko di Colombia literally dikurung di dalam gedung kantor. Dan mereka semua diperintah untuk membunuh sejumlah orang oleh suara misterius dari intercom. Jika gagal, mereka akan ditumpas satu demi satu secara acak lewat bom yang unknowingly telah terpasang di tracker pada kepala mereka.

Ide ngurung orang dan menyuruh mereka bunuh-bunuhan selalu adalah ide yang hebat. It’s an easy sell. Film ini basically kayak Battle Royale (film Jepang keluaran tahun 2000), dicampur The Hunger Games, dicampur lagi sama The Purge (2013) – yang satu ini juga garapan rumah produksi yang sama, yang numplek plek di komunitas kecil lingkungan kantoran. Konsep yang menarik. Dalam film ini kita akan melihat gimana berbagai macam orang punya respons yang berbeda-beda ketika dihadapkan kepada situasi di bawah tekanan yang sangat ekstrim. Kita diberi kesempatan untuk mengenal sepintas beberapa kepala dari delapan-puluh, sehingga kita tahu siapa yang berada di pijakan moral yang bagaimana. Ada yang berusaha berpikir jernih untuk keluar dengan selamat dari sana, seperti tokoh hero kita, Mike Milch (John Gallagher Jr jadi mr. goody two shoes di sini). Ada yang langsung resort ke nembakin orang-orang; untuk nyelametin dirinya, John C. McGinley yang meranin si boss Wendell Dukes secara ironis menjadi musuh bagi bawahannya yang helpless. Tentu saja, juga ada yang semacam ‘pemikir’ teori konspirasi yang percaya bahwa kejadian tersebut adalah scam dan semuanya disebabkan karena mereka minum air mineral dari perusahaan, so pecahkan saja galonnya sampai tumpah!

oh tidak, jangan minuumm!!!

 

To be honest, kalo aku terjebak di sana, aku akan jadi salah satu orang ikutan si Marty ngumpulin bom dari kepala mayat-mayat. Menariknya film ini memang karena ia mampu membuat kita berandai-andai gimana pabila situasi tersebut datang kepada kita. Elemen KEKERASAN YANG DIJADIKAN SOROTAN UTAMA membuat kita tidak bisa untuk tidak menikmati The Belko Experiment. Film ini nyaris seperti film-film jadul John Carpenter, dari segi gory grindhousenya.

Apa yang akan kita lakukan ketika kita dipaksa untuk melakukan sesuatu yang kita tahu itu salah. Langkah apa yang kita lakukan untuk membela diri. Akankah kita menarik pelatuk itu? Ataukah kita akan mendahulukan moral untuk melakukan yang benar di tengah-tengah situasi yang menekan dan mengerikan.

 

 

Sebetulnya hal tersebut menimbulkan sedikit kontra, The Belko Experiment adalah film yang menjual violence dan situasi serta komentar sosial yang timbul membuat kita memikirkan dengan khidmat at the moment. Namun kita seharusnya melihat film sebagaimana kita melihat dunia; not for what it is, but rather for what it should be, sehingga kita bisa mengubahnya menjadi lebih baik. The Belko Experiment terasa lebih cocok jika diarahkan ke jalur yang lebih ‘ringan’, dengan sudut satir dan dark-comedy yang lebih tajam. Sebab, untuk sesuatu yang mengeksplorasi situasi yang terrifying seperti demikian, film ini terlalu serius, terlalu over-the-top sehingga tidak ada hal-hal kreatif yang muncul dari penggarapan tema tersebut.

James Gunn yang menulis The Guardians of the Galaxy satu dan dua, juga dipercaya untuk menulis screenplay dari film garapan Greg McLean. Dan dalam film ini memang terasa ada sesuatu yang bagus tertulis di dalamnya, hanya saja eksekusinya enggak berhasil menunjukkan itu. Kita mengenal Gunn dari selera humor unik yang ia sematkan dalam karyanya, however, dalam film ini sense humornya enggak benar-benar terasa, kecuali pada satu, dua baris dialog. Social study tentang perilaku manusia yang mestinya bisa lebih menarik diceritakan secara nyindir oleh komedi cerdas, malah terbebani oleh betapa serius semua elemen terasa. Fokusnya terutama kepada memancing drama dengan cara paling biasa yang bisa dipikirkan. Misalnya, ketika para pekerja itu terbagi menjadi kelompok-kelompok, mereka seketika menjadi kelompok baik dan kelompok jahat. Persoalan mengenai mana yang ‘benar’ tidak pernah benar-benar digali, mengakibatkan film jadi kurang menantang. Hanya sekilas ketika film memberikan justifikasi terkait keberadaan keluarga yang menunggu di rumah, tetapi tentu saja susah untuk kita merasakan simpati ke kubu yang berpistol dan berisi orang-orang penguntit dan kasar.

Menunjukkan dengan sadis gimana sebuah perusahaan secara fundamental mampu ‘bermain-main’ dengan hidup karyawannya. Mendorong mereka untuk melakukan sesuatu lebih jauh tanpa perlu terseret secara emosi lewat struktur manajemen yang faceless. Serta menunjukkan secara implisit lewat diversity tokoh dan seting lokasi ceritanya, bahwa dalam bisnis gede, kebangsaan pada akhirnya hanyalah pembatas dan kebaikan moral tidak pernah ada di dalamnya.

 

Bahkan ketika film ini goes full-on blood and gore, korban-korban itu totally mati sia-sia. I mean, adegan bunuh-bunuhannya membosankan. Ada adegan yang literally mereka barisin orang untuk ditembaki. Mengenai efek, beberapa bakal bikin kita kagum juga, efek prostetik kayak tengkorak yang remuk sukses bikin meringis. Namun kecenderungan film ini untuk memilih langkah yang paling enggak kreatif dalam tiap kesempatan, membuat adegan-adegan pembunuhan tidak memiliki dampak yang diinginkan. Tokoh yang mati hanya terasa mereka ada di sana untuk menuh-menuhin kuota manusia. Ada beberapa tokoh yang dibuat seolah-olah punya kans dan punya saga, adegan kerap dipotong menunjukkan usaha dan pilihan mereka, namun ternyata gak berakhir ke mana-mana. Begitu pun ada banyak plot device yang dilempar begitu saja ke kita tanpa diikuti dengan penyelesaian yang kreatif ataupun berbeda.

“he said to not touch his stapler…”

 

Endingnya adalah bagian yang paling “..meh.” Bland dan sangat konvensional. Yang paling mengecewakan adalah film ini diakhiri dengan sekuens yang didedikasikan untuk ngeset up film selanjutnya. I cannot stress this enough; mental film yang sengaja banget ngejual sekuel alihalih bercerita untuk film itu sendiri adalah mental yang harus dimentalin jauh-jauh. Sama seperti dengan The Mummy (2017), kalo kita ngerasa nonton ini hanya karena biar di kemudian hari gak nyesel “aduh, belum nonton yang pertama”, itu berarti kita udah played right into their pocket. Ini kayak kalo kita mau beli rumah, namun bangunannya ala kadar, dan si agen rumah sukses membujuk kita untuk beli dengan alasan nanti di kompleks situ bakal dibangun mall. Begitulah persisnya film ini; enggak ada yang bisa kita ambil di akhir, selain pengetahuan bahwa film ini bakal ada sekuelnya.

 

 

 

Horor bisa menjadi sangat menarik jika diolah dengan benar. Dan film ini punya konsep dan ide yang sangat compelling dan menantang, hanya saja mereka mengambil langkah yang paling biasa dalam mengolahnya. Bahkan ketika menjadi sadis, adegannya juga enggak kreatif dan enggak sepenuhnya memuaskan penggemar genre ini. Cerita tentang eksperimen sosial, tapi sedihnya, enggak punya banyak untuk dikatakan. Argumen yang sempat bangkit dinegasi oleh keputusan untuk menjadikan ini baik melawan jahat. It’s really nothing kecuali adalah eksperimen untuk meihat seberapa besar orang-orang penasaran menunggu filmnya yang kedua.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE BELKO EXPERIMENT

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

Comments

Leave a Reply