“Don’t let your struggle become your identity.”
Gasing Tengkorak merupakan cabang ilmu santet dari Sumatera Barat, yang begitu populer sampai-sampai mereka membuat lagu tentangnya. Beneran deh, aku bisa tahu ada ilmu hitam yang namanya Gasiang Tangkurak karena dulu setiap siang, stasiun radio yang dipantengin ibuku selalu muterin lagu ini. Ada aja pendengar yang ngerekues! Lagu itu mendendangkan dengan kocak mantra yang dirapalkan oleh dukun ketika menyantet korban. Basically, isi lagu tersebut mirip ama adegan pembuka film ini; memperkenalkan kepada kita bagaimana sih cara kerja dan peraturan santet Gasing Tengkorak. Dan kemudian, barulah kita melihat tokoh utama.
Nikita Willy di film ini memerankan seorang penyanyi papan atas bernama Veronica yang sedang tur konser ke beberapa tempat. Karena letih, Vero sempat jatoh di atas panggung. Tapi Vero adalah pribadi yang kuat, dia menyemangati dirinya hingga bangkit. Dalam dunia hiburan, kita memang dituntut harus bisa menjaga diri sendiri. Dan Vero adalah orang yang benar- benar mandiri. Semuanya sendiri. Dia punya pesawat sendiri. Dia punya asisten sendiri yang bisa disuruh untuk mencari villa private di tempat terpencil. Di villa itulah, Vero memutuskan untuk rehat beberapa hari dari padatnya jadwal konser. Dia ingin menyendiri. Dia ingin jingkrak-jingkrakan nyanyi lagu rock Jamrud, meneriakkan resah di hati. Di sela-sela kontemplasinya antara nulis lagu jujur atau lagu yang laku, Vero juga main catur. Tapi Vero tidak lagi sepenuhnya sendiri. Saat malam tiba, tidurnya enggak lelap oleh mimpi buruk. Dia mendengar suara-suara. Matanya menangkap sekelabatan sosok. Ada orang atau sesuatu di luar sana yang ingin berbuat jahat kepada Vero dengan menggunakan gasing yang konon dibuat dari tulang jidat mayat anak kecil!
Film ini akan menjadi psikologikal horor yang sangat menakjubkan, jika saja para pembuatnya tahu apa yang sedang mereka lakukan. Gasing Tengkorak punya karakter berani dan rasional, dan mereka punya set up lokasi terpencil yang perfect banget. Kita bisa menyebut kualitas terbaik yang dimiliki film ini adalah kerja kamera dan sinematografi, namun itu sudah diharapkan karena sungguh gampang menghasilkan gambar yang bagus dengan pemandangan dan segala hal mewah itu. Redeeming quality yang dipunya oleh film ini justru terletak pada konsep ‘artis dan nama panggung’ yang belum pernah dijamah oleh horor ataupun film lain.
Ketika seorang nampil di panggung hiburan, dia akan diberikan nama alias, diberikan gaya, gimmick, supaya berbeda dan mencuat dari penampil yang lain. Karakter mereka di panggung, di televisi, akan berbeda dengan karakter sehari-hari. Persona panggung selebriti diberikan putaran psikologis yang menarik di sini. Veronica dijadikan sebagai tempat pelarian dari pribadi yang terluka oleh trauma masa lalu. Terkadang, kita begitu malu dan merasa bersalah atas apa yang pernah kita lakukan, sehingga kita membentuk identitas baru. Kita mencoba menjadi seseorang yang berbeda. Veronica sudah nyaman dengan pelariannya, tapi persoalan menjadi ruwet, karena di sisi lain, dia mulai jenuh jadi artis. Bagi Veronica, ini berubah menjadi pilihan identitas mana yang harus dibunuh.
Namun film just drop the ball gitu aja. Dari seting lokasi tertutup yang terpencil ditambah karakter yang kerap bicara sendiri – jelas ada yang enggak beres di kepalanya – film hanya kepikiran untuk menarik horor dari jumpscare. Padahal, taring cerita ini justru pada elemen psikologis. Alih-alih itu, kita malah dapat adegan Vero bermain virtual reality PS4. Serius, aku ngakak, ini mereka ngiklanin produk apa gimana sih. Tentu saja enggak, Arya kok bego sih, nampilin satu game aja pasti biayanya gede banget. Jadi tahu gak apa yang film ini lakukan? Mereka ngesyut adegan ‘video game’ sendiri. Saat device VR itu dipake oleh Vero, kita berpindah ke adegan dengan sudut pandang kamera orang pertama, siap untuk menembaki zombie-zombie di gedung terbengkalai yang gelap. I mean, wow, sekuens main game ini benar-benar ditujukan untuk festival jumpscare. Ini adalah salah satu adegan terbego yang pernah aku lihat di film horor. Cara picik untuk memancing ketakutan, dan sama sekali enggak ada hubungannya dengan cerita film, selain buat buktiin Vero memang berani. Saking beraninya, dia main game zombie, sendirian, malam-malam, di tempat yang dicurigai ada hantunya.
Bayangkan sebuah gasing yang ada porosnya; twist adalah poros utama film ini. Maksudku, as I watch this, aku bisa melihat kalo ini adalah film yang berkembang dari twist yang sudah direncanakan. Semua elemen misteri, semua aspek cerita, semua pembahasan tekanan yang dialami oleh artis, dieksekusi dengan favor ke twist ini. Dan twist tersebut enggak benar-benar make sense, at all. Kenapa hantunya muncul untuk main gasing, padahal dia bisa dengan mudah mencekek sendiri leher Vero. Siapa yang kerap ditelfon Vero, yang tahu begitu banyak tentang ilmu Gasing Tengkorak. Kenapa setelah baru saja diserang, setelah jatuh dari kamar ke kolam renang, Vero balik lagi ke kamar dengan santai ngeringin rambutnya. Dan kenapa pipi hantunya gembung nahan napas saat masuk ke dalam air???
Hal-hal tersebut adalah apa yang membuat film lemah, those were some rather weak subtle clues, dan semakin goyah lagi setelah jawabannya tersaji lewat pengungkapan twist. Film ini menyangka dirinya akan otomatis menjadi pintar dengan twist, padahal enggak. Malahan, film ini tidak harus punya twist. Film ini tidak wajib untuk ada elemen hantu ngagetin untuk jadi seram. Mereka bisa saja membuat ini sebagai drama psikologikal thriller tentang artis yang struggle antara dua identitas, yang bakal lebih menarik dan menegangkan, but they just don’t see that. Film Split (2017) bukan sukses karena penonton enggak tahu tokoh James McAvoy mengidap kepribadian ganda, twist film itu adalah bahwa ternyata ia adalah film superhero. Dan walaupun belum semeyakinkan McAvoy, Nikita Willy sudah cukup lumayan memainkan range dan level pribadi yang berbeda, perannya juga lumayan fisikal di sini. Menurutku, Willy mampu tampil lebih jika naskah memberikan kesempatan.
Jika ini tentang keadaan psikologis Veronica, maka di manakah hubungannya dengan Gasing Tengkorak, kalian tanya?
Jawabannya adalah tidak ada. Paling enggak, tidak secara langsung.
Gasiang tangkurak hanyalah elemen tambahan, yang bahkan bisa saja dihilangkan sama sekali, dan enggak akan mempengaruhi cerita.
Dengan remake Flatliners (2017)-lah, film ini punya banyak kesamaan. Kita literally bisa menemukan ranjang medis scanner otak di kedua film. Mereka juga sama-sama clueless dan enggak nyadar sudah menyetir horor ke arah yang salah. Mereka gak paham gimana horor-di-dalam-kepala bekerja. I mean, semua teror yang terjadi di film adalah kreasi kepala Veronica, kan. Jadi kenapa ada jumpscare yang ngagetin penonton. Kenapa bisa ada penampakan hantu di belakang Vero – hantu yang tidak ia lihat. Apakah kepalanya bilang, yuk kita nyebayangin di belakang kita mendadak ada hantu supaya penonton pada menjerit kaget hihihi. ‘Unggul’nya sih, film ini masukin insert adegan rekaan video game yang enggak relevan sama perjalanan karakter. What a way to break a new ground, right. Ini bisa jadi menu pilihan lain kali aku mau bikin nonton bareng film-film horor yang so bad, it’s hilarious.
The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for GASING TENGKORAK.
That’s all we have for now.
Buat yang penasaran sama lagu Gasiang Tengkorak, nih, ada teksnya kalian bisa ikutan nyanyi loh xD
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We? We be the judge.
bener banget, padahal aku itu termasuk salah satu tipe yang penakut buat nonton film horor. tapi di film ini sama sekali engga nakutin, yang ada selama nonton malah ngakak dan kebingungan ini maksud ceritanya apa ya karena gajelas banget ceritanya. dan selesai nonton berasa wasting time and money xD
Yang bikin film ini juga bingung kok, buktinya durasi cuma 80 menit tapi mereka gak tau bikin serem-serem gimana lagi, dan jadilah mereka bikin adegan playstation virtual reality ahahaha
Mungkin penulis skenario kurang “dalem” menulis cerita sehingga benang merah sebuah film tidak jelas.
kayaknya mereka takut twistnya ketahuan, sih.. padahal gak usah dibikin twist kayaknya bisa lebih bagus
Ulasannya sarkas sekali, hihihi tapi karena ulasan diatas juga saya jadi tertarik nonton ini, nonton ilegal alias mengunduh sajalah.
Setuju sama poin diatas, mungkin kalau lebih ditekankan pada elemen psikologis si artis, bakal keren ceritanya, soalnya pas nonton awal film karakter Vero ini rada ngga beres pas dia di villa sendirian, suka bicara sendiri saya pikir dia punya persona lain, itu yang saya tangkap cuma makin kesini makin ngga jelas filmnya, mutar2 ceritanya terus kayanya penulis skenarionya kebingungan sendiri, mau dibawa kemana jalan ceritanya. Andai kata penulisnya punya gagasan dan ide keren kaya Author.
Kirain film ini bakal kaya jalan ceritanya Black Swan Darren atau Perfect Blue Satoshi Kon yang keren abis itu, lebih ditekankan pada elemen psikologis karakter utama, eh ternyata ya sudahlah…. Habis nonton ini saya la la la la la sendiri saking ngga ngerti sama ceritanya, hehehe
wah keren banget kalo film ini bisa jadi Black Swan/Perfect Blue Indonesia, arahnya udah kayak ke arah sana yaa.. tapi bener makin ke akhir makin gak jelas… Kayaknya produser horor sini enggak minat bikin yang bagus. Eh, antara gak minat atau yg bikinnya gak mampu, ding xD Masak ngisi 80 menit sama horor aja mesti nyisipin adegan tembak2 zombie purapuranya video game -__-
Hahaha adegan paling epik bagian tembak-tembakan itu, baru pertama saya lihat langsung ketawa sendiri, kocak nih adegan, kwkwkwkw
Paruh pertama film sebenarnya cukup menarik, namun makin kesini semakin tidak jelas, terus hubungan gasing tengkoraknya sendiri ngga tau dimana??? Akting Nikita Willy cukup bagus diparuh awal film, cuma ya karena naskah yang lemah filmnya malah jadi kaya gasing berputar-putar, hehehe
hahaha filmnya yang gasing ternyata yaa, muter muter gajelas