“Life is not a competition.”
Hidup memang keras. Kalian boleh saja bagian dari grup nyanyi yang aca-awesome sewaktu di kampus, namun tetap berakhir gak sukses di pekerjaan yang juga gak keren-keren amat. Masing-masing anggota Barden Bella terbukti ngalamin ini. Bahkan Beca yang udah mewujudkan mimpinya jadi musik produser, keluar dari pekerjaan. Idealismenya enggak ketemu jalan nyambung ama ide kreatif klien. Jadi, para Bella sekarang punya waktu luang untuk ngumpul-ngumpul lagi. Mereka kangen nyanyi bareng. Diundang oleh ayah Aubrey yang tentara, Bella ikut tur USO – nyanyi keliling Eropa. Tapi tentu saja yang namanya tur, bukan mereka saja yang meramaikan acara. Barden Bella bertemu dengan grup musik lain, dan ‘teman-teman’ baru mereka itu actually bermain dengan alat musik. Ada grup rocker cewek, band country, juga duo musik elektronik. Mengetahui tur ini bisa saja adalah penampilan bareng terakhir mereka, Bella bertekad mempersembahkan yang terbaik. Supaya mereka terpilih sebagai band pembuka di acara puncak tur bersama pemusik DJ Khaled.
Aku sudah nonton Pitch Perfect (2012) lebih banyak dari yang seharusnya. Oke, aku ‘mungkin’ pernah muterin film ini nonstop seharian sambil belajar bikin sketch kala itu.. Aku-muternya-hampir-tiap-hari, aku ngaku. I was so surprised by that film. Kocak, pemainnya likeable, ceritanya seger banget – jika kita melihat ke belakang ke dunia perfilman saat itu -, anak kuliahan yang ingin mengerjakan yang ia suka – tentu kita bisa relate ke sana. Aku suka suara Anna Kendrick, aku juga suka lagu Cup yang kukasih Best Musical Performance untuk My Dirt Sheet Awards, Rebel Wilson’s antics, lagu-lagu mash upnya, kaki Alexis Knapp, ada banyak yang bisa disukai dari sana. Aku bahkan tahu The Breakfast Club (1985) dari film ini. Pitch Perfect actually adalah urutan paling wahid di daftar film favoritku tahun 2012. Dan tiga tahun setelah itu, sekuel film ini muncul. Nyaris dari nada ke nada, dari beat ke beat, filmnya mirip. Dan buatku Pitch Perfect 2 (2015) merupakan sedikit kekecewaan, but you know, kita gak bisa benar-benar mencibir mendengar lagu Flashlight dan melihat penampilan panggung DSM.
Tapi serius, aku gak pernah berharap Pitch Perfect dibikin sekuelnya. Apalagi jadi trilogi seperti kenyataan sekarang ini. Musik yang asik dan unik dan komedi dead-pan, itulah kekuatan utama franchise ini. Dan bahkan semua itu bisa jadi repetitif dan menjemukan jika terus dilakukan tanpa ada perubahan. Sepuluh menit pembuka film Pitch Perfect 3, kita mendengar akapela lagu Toxic, Barden Bella nyanyi di kapal alih-alih panggung, dan kemudian Fat Amy terjun dari langit-langit. Tak lama kemudian kapal tersebut meledak, para Bella loncat ke air. And I was like, wow, MEREKA BERBEDA SEKARANG!
Pitch Perfect 3 tampaknya mendengarkan koor suara penggemar, dan mereka dengan berani mengambil langkah gede untuk melakukan pembaruan di sana sini pada ceritanya. Mereka menambahkan elemen action, mereka menambahkan hal untuk dilakukan oleh para Bella selain bernyanyi dan melontarkan lelucon yang gitu melulu-melulu. Regarding menyanyi, film ini menaikkan permainan mereka. Untuk pertama kalinya, Barden Bella tampak gak yakin dengan akapela. Tidak banyak akapela yang kita dapatkan di sini, at least enggak sebanyak di dua film pendahulunya. Dan ini sesungguhnya bisa jadi pedang bermata dua; penonton yang ingin melihat mereka bernyanyi akapela akan jadi sedikit kurang puas, tapi untuk penonton yang menginginkan musik; well, film ini punya musik-musik bagus dari genre yang lebih beragam.
Jika kita melihat kembali dari film pertama, bila kita melihat gambaran utuh serial ini, Pitch Perfect 3 bekerja efektif sebagai bagian penutup. Mereka menggali masa lalu. Tokoh-tokoh mendapat penutup buat arc mereka, dan arc itu berlangsung dari film yang pertama. Beberapa tokoh mestinya bisa dipresentasikan dengan lebih baik lagi, tapi secara keseluruhan, film ini berhasil membungkus cerita sama seperti yang dilakukan Cars 3 (2017) terhadap franchise Cars. At it’s heart, ini adalah tentang keluarga, bahwa keluarga harus saling support, walaupun kadang tak selalu bersama. Dalam film sebelumnya, Bella sudah mengestablish bahwa mereka adalah keluarga, namun di sini mereka harus belajar memperluas keluarga mereka, bukan lagi semata soal tradisi. Satu adegan yang aku suka adalah ketika band lain mendadak nyanyi bareng, mereka melanggar aturan permainan Riff-Off, dan cewek-cewek kita enggak mengerti kenapa para pesaing mereka melakukan hal tersebut.
Barden Bella, terutama Beca, yang sudah berkompetisi dari dua film pertama, gagal untuk melihat bahwa hidup yang sebenarnya bukanlah sebuah perlombaan. Terutama dalam keluarga. Kita tidak saling bersaing dengan keluarga. Jikapun ada, maka lawan kita sesungguhnya adalah waktu. Karena kemenangan dalam hidup adalah ketika kita sebagai keluarga bersikap saling mendukung, tidak mengecewakan satu sama lain.
Ceritanya sendiri jadi terasa sangat padat, bukan dalam artian yang bagus. Kita melihat banyak cerita sampingan, di antaranya ada Fat Amy yang ketemu dengan bokapnya, ada Aubrey yang pengen ketemu sama bokapnya, ada Chloe yang lagi berflirt-flirt ria sama tentara pemandu mereka. Juga ada cerita tentang dua komentator acara (duet Elizabeth Banks-John Michael Higgins memberikan banyak sumbangan komedi) yang bernapsu untuk mendokumentasikan detik-detik kejatuhan Beca dan teman-teman. Mereka ngikutin ke mana Barden Bella pergi dengan komentar-komentar sarkas yang berhasil memancing gelak tawa penonton di studio. Kehadiran elemen-elemen narasi tersebut dibutuhkan dan integral sama tubuh besar cerita, cerita-cerita tersebut tidak tercampur dengan benar. Flownya enggak mulus. Film ini berusaha menampung banyak, tapi penulisan tidak mampu merangkai semuanya dengan baik.
Dan tetap saja ada yang tokoh yang gak kebagian, mereka hanya dapat sepatah dua patah kalimat. Hailee Steinfeld is barely there, aktris ini underutilized banget padahal kita udah melihat sebagus apa dia jika diberikan kesempatan. Malahan, kebanyakan pemain film di sini menyuguhkan akting yang membuat kita berharap mereka dapat unjuk kebolehan di film yang terstruktur lebih baik. Rebel Wilson, khususnya, sangat bersinar di film ini. Komedi-komedi yang bekerja baik itu datang darinya. Dia juga hilarious di bagian aksi.
Berusaha menjadi lebih besar, film ini nekat menjadikan root yang udah bikin dirinya digemari penonton sebagai nomor dua. Film ini melakukan seperti apa yang dilakukan oleh tokoh utamanya; ngemash up genre, sayangnya kadang yang miss terasa lebih banyak dibandingkan yang hit. Bagaimana pun juga, sebagai penutup, film ini berhasil menunaikan tugasnya. Ceritanya terasa konklusif. Messy sebagai diri sendiri, akan tetapi film ini cukup bersinkronisasi dengan dua film sebelumnya. Jikapun ada masalah yang kita temui, maka itu adalah lantaran seri ini enggak perlu banget dibikin sekuel sedari awal. Lebih baik dari yang kedua, namun itu enggak berarti banyak.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for PITCH PERFECT 3.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017