TERLALU TAMPAN Review

“Being attractive might sounds like life is easier but it’s not”

 

 

 

Akan ada masanya setiap remaja memahami makna ‘seleksi alam’ di rimba kemanusiaan. Ketika mereka melihat yang cakep dikasih izin istirahat di UKS oleh pak guru olahraga. Ketika mereka melihat yang ganteng gak pernah digalakin bu guru karena lupa mengerjakan pe-er. Ketika mereka melihat ada saja satu-dua teman mereka yang selalu dikerumunin meski gak jelas prestasinya apaan. Ketika mereka menyadari ada yang beberapa ‘hidup’nya tampak lebih mudah di sekolah dibanding mereka sendiri. Mudah untuk membandingkan hidup kita dengan hidup orang yang kita nilai lebih beruntung dan berpikir “Ah kalo saja aku lebih tinggi”, “kalo saja aku lebih langsing”, “kalo saja aku lebih putih”, “kalo saja aku lebih seksi”. Kalo saja aku lebih….. tampan.

Tapi semua itu mungkin saja tidak benar. Menjadi super kece dan selalu menjadi pusat perhatian tentu saja bisa membuat jengah orang yang mengalaminya. Mas Kulin (Oh, Ari Irham di manakah pori-pori wajahmu?), misalnya, terlahir dengan wajah yang saking overdosisnya tuh kadar ganteng, cewek-cewek yang melihat bisa langsung mimisan, kejang-kejang. Dalam satu adegan yang sangat kocak digambarkan kedatangan Kulin ke sekolah khusus perempuan membuat siswi-siswi di sana mengalami histeria massa. Bukan saja ‘lethal‘ buat wanita, ketampanan Kulin juga berpengaruh pada laki-laki. Cowok yang terkena keringatnya bakal ketularan ganteng, setidaknya selama sejam dua jam. Jadi Kulin merasa terasing oleh sikap-sikap orang yang berada di sekitarnya. Kulin menutup diri, menolak untuk berinteraksi sosial, sampai ia berkenalan dengan Kibo (tokoh Calvin Jeremy berperan lebih dari sekedar side-kick) yang lantas menjadi sobat manusia pertama yang Kulin punya. Dan bertemu dengan Rere (Rachel Amanda mencuri perhatian banget), satu-satunya cewek manis yang enggak pingsan dan mimisan saat melihat dirinya.

Kulin edisi 10 Years Challenge

 

Film ini terlalu unik untuk dicuekin. Jika biasanya cerita akan mengajak penonton bermimpi untuk jadi ganteng, maka film ini menawarkan sudut pandang baru, yang meletakkan kita pada posisi seseorang yang merasa terganggu dengan perhatian spesial dan reaksi kagum berlebihan yang ia dapatkan dari orang-orang di sekitarnya. Kita akan mendapat Kulin yang bersikap sama kayak Auggie, anak di film Wonder (2017); Kulin juga memilih untuk menutup wajahnya dengan helm. Kalian yang sudah menonton Wonder pasti akan bisa melihat uniknya paralel antara Kulin dengan Auggie yang memilih pendekatan berinteraksi  ke luar yang sama, meskipun kondisi mereka berbeda seratus delapan-puluh derajat. Momen-momen Kulin melepas helm tersebut – alih-alih digunakan untuk memantik drama seperti Auggie di Wonder – digunakan sebagai pemancing efek komedi yang benar-benar bikin geger seisi studio bioskop. Dari penggunaan nama-nama tokoh yang lucu; keluarga Kulin yang tampan semua (termasuk ibunya) punya nama yang ajaib seperti Mas Okis, Pak Archewe, Bu Suk, yang mengingatkanku sama nama-nama di komik Donal Bebek dan komik Asterix, hingga ke dialog dan adegan konyol, film menangani porsi komedinya yang absurd tersebut dengan sangat bijaksana. Timing, delivery, semuanya dilakukan dengan pas, dan tidak sekalipun tone komedi tersebut dibuat mentok sama tone drama yang juga dibangun dengan merayap perlahan sebagai lapisan di baliknya.

Well-crafted sekali gimana komedi dan drama tersebut dijalin. Film tidak pernah kehilangan irama dalam menempatkan unsur-unsur yang berpengaruh ke dalam cerita. Bahkan gerakan kamera juga diperhatikan benar mendukung ke penyampaian komedi. Penggunaan warna-warna dan treatment musik, tidak pernah terasa ‘asal tarok’, semuanya berfungsi dan sangat mengangkat emosi dan cerita yang ingin dihantarkan. Adegan Kulin, Kibo, dan Rere nyanyi di karaoke, itu misalnya; bukan hanya pemilihan lagu, blocking para pemain juga dibuat punya makna. Perlakuan-perlakuan seperti demikian, bercerita dengan perhatian terhadap detil seperti yang dilakukan oleh sutradara Sabrina Rochelle Kalangi inilah yang membuat menonton film ini menjadi mengasyikkan, di luar komedinya yang benar-benar sengaja konyol. Gaya filmnya pun unik. Karena diadaptasi dari komik online di Webtoon, sedikit banyaknya kita mendapati gaya-gaya pengaruh manga tertampilkan di film ini.

Aku tidak pernah membaca materi aslinya, aku gak punya pengetahuan apa-apa terhadap cerita film ini, jadi aku sangat tertarik untuk mengikuti ke mana kisah Kulin ini akan dibawa. Melihat Kulin yang sebenarnya penampilan, pembawaan dan kelakuannya enggak cocok dengan imej maskulin, paruh pertama film seperti ingin membawa pesan yang sama dengan iklan pisau cukur Gillette yang lagi viral di Amerika; bahwa jantan atau maskulin itu bukan semata perilaku-perilaku stereotipe ‘pria’ seperti ngomong kasar, main pukul, atau godain cewek – bahwasanya kupikir film ini lewat si Mas Kulin ingin mengomentari bahwa maskulin bukan soal penampilan. Namun kemudian, di paruh kedua, saat Kulin sudah mengembrace ketampanan yang ia miliki, film mengambil keputusan untuk lebih menonjolkan pesan bahwa setiap manusia punya kekurangan.

Punya paras rupawan ternyata tidak lantas menjadikan hidup menjadi segala mudah, tidak lantas berarti kita bisa mendapatkan semua yang kita mau. Karena sejatinya, wajah tidak membuat kita spesial. Rujukan pertama tetap kepada hati dan apa perbuatan yang kita lakukan.

 

Buatku, agak mengecewakan pilihan yang diambil oleh cerita. Aku paham kenapa cerita memilih untuk mengarah ke sana, hanya saja tetap saja ada rasa mubazir; Sia-sia rasanya elemen ‘terlalu tampan’ yang sudah dibangun sedemikian rupa, dengan konsep dan gaya humor yang lucu, yang punya underline pesan yang kuat, ternyata cuma berfungsi sebagai device dalam plot ‘saingan cinta ama sahabat’. Masalah tampannya ini pada akhirnya tidak lagi benar-benar mencuat karena tokoh utama kita terlibat dalam urusan romansa yang bisa terjadi pada siapapun, pada tokoh yang seperti apapun. Tampannya si Kulin hanya dijadikan alasan yang membuat penonton percaya dia bisa bikin deal dengan ‘Queen Bee’ di sekolah khusus wanita itu, yang menggerakkan konflik generik tersebut. Rasanya film ini remeh sekali mengambil fokus di sana, setelah semua hiruk-pikuk unik yang sudah kita nikmati.

while si angkuh Amanda mirip Regina George, Nikita Willynya mirip Lady Gaga hhihi

 

Ada sesuatu pada penulisan cerita film ini yang ‘enggak-beres’ buatku. Apa yang diinginkan oleh Kulin di awal – apa yang sebenarnya ingin dicapai oleh si Kulin ini terasa agak enggak klop. Film belum benar-benar membuat kita menyelam ke dalam kepalanya. Kulin butuh untuk diperlakukan layaknya manusia normal, tapi kita tidak diberikan kesempatan untuk melihatnya sebagai orang normal. Sebagai perbandingan, kita ambil contoh si Auggie tadi; di balik helm astronotnya Auggie adalah anak yang pintar fisika – dia mendapat respek dari kepintarannya. Sedangkan Kulin, helmnya digunakan untuk menutup wajahnya karena ia gak mau dikejar-kejar – dia mau dilihat normal, tapi Kulin tidak melakukan hal yang membuat orang melihat dirinya beyond his face. Apa kelebihan Kulin? Ini bukan soal gak pede, melainkan soal ia begitu ‘pede’ setiap orang akan menganggapnya spesial, maka ia memutuskan untuk menutup diri. Makanya Kulin ‘kaget’ ketika Rere menganggapnya biasa aja, dan apa reaksi Kulin terhadap Rere? Dia merasa dia ‘jatuh cinta’. Aku berani bertaruh bukan cinta yang sebenarnya ia rasakan, melainkan rasa penasaran. Buktinya di akhir film kita melihat hati Kulin menyala lagi mendengar komentar ‘pedas’ seorang cewek yang berbalik pergi mengenai dirinya. Buatku, Kulinlah yang justru seorang masokis, karena dia ‘suka’ ketika ada orang yang menolak dirinya yang spesial.

Bukan berarti film ini berhenti menjadi menarik buatku. Aku tetap menemukan keasyikan. Bagian ketika Kulin balik minta saran bagaimana bersikap sebagai tampan kepada abangnya yang basically seorang douchebag, ialah bagian yang membuatku paling tertarik karena ini mengubah sikap Kulin lumayan drastis. Karakter Kulin jadi unik lagi di sini sebab dia mengambil tindakan lagi. Mengenai si Kulin ini memang penulisan karakternya agak ilang-timbul. Seperti pada di awal, setelah dia menarasikan film, kita malah diperlihatkan kejadian di luar sudut pandang dia. Kita memulai dari sudut pandang keluarga Kulin yang bersekongkol untuk membuat Kulin berinteraksi dengan orang luar. Dan kemudian barulah kita mengikuti si Kulin, kita diharapkan bersimpati ketika dia ngambil keputusan untuk minggat sebab keluarganya dengan kocak mengambil keuntungan dari ketampanannya; sesuatu yang paling dibenci ama Kulin. Namun kemudian di beberapa adegan setelahnya, kita melihat Kulin ikutan bersorak dengan teman-teman sekolahnya saat mereka disetujui ngeadain prom gabungan – di mana Kulin gagal untuk menyadari dia juga sedang dimanfaatkan kegantengannya.

Aku juga mendapati adegan konsul dengan ibu juga sedikit enggak klop karena seperti ‘memberatkan’ kepada dunia. Yea, dunia took advantage of him, tapi kan Kulin sudah melakukan hal yang sama saat dia menjadi ‘cowok brengsek’ kepada teman-temannya, dan justru ulahnya sendiri yang membuat dirinya patah hati. Yang menarik adalah nasihat dari ayahnya yang sebenarnya mengatakan apa yang sudah menjadi prinsip Kulin pada awal cerita. Jadi Kulin seperti berputar di tempat, menandakan penuturan yang sedikit kurang efeisien, padahal toh perjalanan karakternya menarik; Yang Kulin perlukan adalah keluar dan berbuat salah sehingga dia sendiri juga menyadari dia enggak sesempurna yang orang-orang lihat.

 

 

Terakhir kali mendengar cerita huru-hara ketampanan, aku mendengarnya sambil serius dan agak ngeri karena ada ‘adegan’ jari-jari yang teriris. Kali ini, cerita yang punya masalah serupa tersebut bisa aku simak sambil tertawa-tawa tanpa harus segan sama Pak Ustadz. Film ini memberikan tawaran sudut pandang dan gaya yang unik sehingga terasa segar dan menyenangkan. Kita perlu melihat lebih banyak film ‘aneh’ tapi juga berisi. Namun, untuk sebuah film yang bercerita tentang mengembrace kekhususan, dirinya sendiri tampak masih belum cukup berani untuk menjadi lebih spesial lagi. Pilihan ujung ceritanya tidak benar-benar mengutilisi kekhususan itu, malah membuatnya terasa seperti persoalan biasa.
The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for TERLALU TAMPAN.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian maskulinitas itu apa sih? Penting tidak? Bagaimana pula dengan femininitas?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Comments

  1. Sursur says:

    Hahaha, cerita Nabi Yusuf. Lumayan nih filmnya buat ketawa-ketawa. Kalau gak nonton film dengan penuh perhatian seperti Bang Arya. Penonton pasti bakal terasa fresh dengan ide baru kayak gini, humornya juga lucu lah.

  2. Ridwan Alamsyah says:

    Mas arya…sebagai pecinta blog my dirt sheet aku boleh ga minta sesuatu??
    Tolong dong bikinin review singkat film the godfather..
    Makasih

    • arya says:

      wah makasih loh.. iya nih, aku kepikiran buat segmen khusus review film-film lama, Godfather tentu saja jadi pertimbangan… tapi sebagai penonton film aku rada malu juga sih, aku belum pernah loh nonton Godfather dan sekuelnya haha, padahal ni film wajib tonton banget ya

      • Ridwan Alamsyah says:

        Hahaha kirain udah nonton,,,
        Film Godfather yang kedua kalo ga salah rating imdb lumayan gede dan juga dapet beberapa piala oscar..aktor yang paling terkenal itu namanya marlon brando yang meranin tokoh don vito corleone,,salut banget ketika aku nonton aktingnya yang berkarisma…
        Ohiya ada juga film the shawshank redemption yang rating imdb paling gede…nah klo itu mas arya sdh nonton blm??

  3. mantan sider says:

    Setelah 2 thn jadi sider di sini akhirnya memutuskan utk komen juga hahaha. Setelah nonton filmnya dan liat2 beberapa review di web lain ternyata penilaian saya ngga beda jauh dengan review di sini, 6.5 dari saya. Musik, warna dan shot di film ini fresh & sangat menarik ut . Tokoh2nya pun sudah dibuat unik sejak penamaan walaupun utk peran yg steal the spotlight bagi saya di sini adalah tokoh Kibo yg juga menang banyak hahaha dan Rere saya selalu saya tunggu2 kemunculannya karena manis sekali dan yaa sangat mencuri perhatian.
    Mungkin utk bagian komedi saya lebih bisa tertawa lepas saat menonton OKB yg sedikit dark dan kemiskinan yg diolah menjadi sumber komedi dibanding film ini yg membangun komedi lebih komikal dan absurd. Tetapi di luar segala kekurangannya bagi saya film ini menjadi harapan baru utk perfilman kita menayangkan hal2 baru kedepannya

    • arya says:

      ahahha iya ya, si kibo menang banyak, meski bonyok… setuju soal perbedaan komedinya, Tampan mmg agak sedikit segmented selera komedinya; yang terbiasa ama komik jepang bahkan mungkin serial korea mungkin bakal lebih ngakak dibanding aku, karena clearly gaya film ini terpengaruh sama gaya2 tersebut

  4. lalaauliyahsn says:

    aku belom nonton sih, tapi aku pernah baca webtoonnya. sekilas liat trailernya emang udah beda sama webtoonnya. kalo di webtoon, kulin ini malah jadi kakak, bukan okis nya. kulin kalo di webtoonnya bener2 kayak nabi yusuf dah secara penampilan dan sifatnya. dia bener2 gak mau pacaran, kayak menghindar dari perbuatan kyk gitu. gak tau sih filmnya wkwk.

  5. Aaron says:

    Film yang ringan, absurd tapi seru. Sayangnya, product placement harusnya lebih halus lagi, jangan kesannya dipaksakan. Masa warung jualan satu produk yang sama di displaynya? Akting para pemain oke lah. Film ini pantas mendapat jumlah penonton yang lebih

    • arya says:

      warung yang mana tuh? hahaha.. produk placement yang lumayan iritating buatku itu di adegan ujug-ujug Kulin ama Kibo main game hape (mobile legend?), kenapa mereka gak main kartu aja – udah masuk ke cerita kan mereka hobi main kartu produk itu

      • Aaron says:

        Warung yang bentuk mobil tempat Kulin kenalan ama Rere pertama kali. Lalu di kantin, makan T**go di rumah Kibo cemilannya T**go lagi. Kayak gak ada cemilan lain apa. Untuk game wajar-wajar aja sih menurutku karena si pembuat filmnya mau mencerminkan situasi zaman sekarang mungkin.

        • arya says:

          adegannya paling ga penting dan bisa banget dibuang.. kalo yang makanan, sekalian ama cerita jalan kan, mereka lagi ngobrol, atau lagi bengong ngeliat Rere.. lah yang main game apaan, tau-tau duduk di pinggir jalan main gim hape masing-masing, gak nambah apa-apa… Mending mereka main kartu itu, trus adegannya sambil ngobrol ala adegan mahjong di Crazy Rich Asians – gapapa iklan game kartunya sekalian kalo gini mah XD

  6. Muji Hidayat says:

    Baru nonton dan langsung mikir Sabrina Rochelle Kalangi deserves another shot. Visi misi nya itu udh keliatan banget. Kita butuh comedy teen ala ala scoot pilgrim yg asik kaya gini. Karkater2 nya asik. Great review like always, Mas Arya.

Leave a Reply to Ridwan AlamsyahCancel reply