PARASITE Review

“… one must climb the ladder from the first step.”

 

 

Kecerdasaan tidak ada hubungannya dengan kekayaan. Jenius matematika enggak lantas membuat kita kaya. Pun, punya duit banyak bukan berarti jaminan seseorang berarti cerdas luar biasa. Engkau bisa saja punya duit bermilyar-milyar namun tetap tertipu oleh seseorang licik yang bahkan tidak punya buku tabungan. Thriller drama keluarga terbaru dari Joon-ho Bong membahas anekdot tersebut, tentu saja dengan nada komedi yang membuat kita tertawa, hingga kita menyadari ini sesungguhnya adalah gambaran menyedihkan yang begitu dekat dan relevan tentang betapa bodohnya kita dalam memandang perbedaan kelas sosial.

Parasit itu adalah keluarga miskin seperti keluarga Ki-taek; empat orang usia-kerja namun tak berpekerjaan selain melipat kotak-kotak pizza saat wi-fi gratis yang mereka tebengi dikunci oleh password. Mereka tinggal di rumah berserangga bau yang letaknya nyaris di bawah tanah. Pemandangan dari jendela mereka adalah kerikil di jalanan, yang akan segera dikencingi oleh seorang pemabuk. Jika mereka bilang mereka berjuang, kita certainly tidak melihatnya. Paling tidak, bukan berjuang dengan cara yang benar. Padahal mereka bukan orang tak ber-skill. Nyonya Ki-taek adalah mantan atlet lempar peluru. Putri bungsu Ki-Taek berbakat di bidang seni. Dan putra sulungnya, meskipun tidak bisa lanjut kuliah, punya kemampuan bahasa Inggris yang sejajar dengan tingkat universitas. Kemampuan bahasa inggris itulah yang kemudian menjadi pintu kesempatan. Putra Ki-taek ditunjuk untuk menggantikan temannya sebagai guru privat di rumah keluarga kaya. Rumah yang tamannya ada di atas. Bagai gula dirubung semut, keluarga kaya itu lantas jadi inceran keluarga Ki-taek; yang menggunakan segala daya upaya (alias tipu muslihat) supaya seluruh anggota keluarga bisa bekerja di sana.

cerita home invasions dan squatters mengerikan karena, siapa sih yang mau diserang di tempat kita buang air paling nyaman?

 

Celetukan sosial bukan ranah asing buat sutradara Bong. Dia sudah pernah menempatkan kita di sudut pandang orang kecil yang berjuang melawan penguasa demi kesejahteraan lewat Snowpiercer (2013) yang punya dunia unik; ‘negara’ dalam cerita itu adalah literally kereta api yang berjalan tanpa henti. However, dalam Parasite, kita ditempatkan dalam posisi yang tak-biasa. Di film ini kita diminta untuk bergerak bersama ‘orang kecil’ yang berjuang supaya hidup enak dengan mengambil cara kriminal. Ada sekuen rinci yang memperlihatkan rencana penipuan yang dilakukan oleh protagonis kita. Yang kita lihat jelas-jelas salah, tapi kita tetap peduli dan mengkhawatirkan rencana tersebut – kita tetap ingin para tokoh miskin itu berhasil. Malahan kita akan bareng-bareng menertawakan kebegoan orang kaya yang dengan gampang tertipu oleh embel-embel “dari Amerika.” Ketika cerita berubah menjadi violent, emosi yang kita rasakan kepada tokohnya pun tidak berubah. Malah berlipat lebih kuat. Film mencoba membuat kejadian berdarah itu masih punya hati. Sehingga kita menyayangkan peristiwa yang terjadi.

Semua itu bisa saja bentuk sindiran Bong kepada negara. Pemilik rumah gedong yang ‘disatroni’ oleh keluarga Ki-taek bisa jadi adalah perlambangan dari pemerintah yang lebih memperhatikan dunia internasional dibandingkan rakyat jelatanya. Standar yang begitu tinggi ditetapkan sehingga untuk membantu orang pun, si petinggi itu milih-milih. Tapi ini semuapun sejatinya sudah pernah dibahas oleh Bong dalam The Host (2006), dengan lebih blak-blakan pula dalam upaya mengingatkan induk semang alias negara yang semestinya melindungi warganya tanpa pandang bulu. Parasite, bagaimanapun juga, adalah lebih tentang para rakyat itu. Membalut ceritanya dalam subgenre horor ‘home invasions’ yang ditubrukkan dengan satu lagi subgenre horor yakni ‘squatters’ (semacam home invasions tapi ancaman datang dari dalam rumah) tidak lain tidak bukan adalah cara film untuk menyuarakan kengerian ketika rakyat menyerang rumahnya sendiri. Yang ditekankan oleh cerita kali ini adalah bagaimana penduduk miskin rela bunuh-bunuhan demi memperebutkan remah-remah kekayaan. Makanya menonton ini terasa miris. Melihat keluarga Ki-taek dan satu keluarga lagi yang jadi kejutan di pertengahan cerita, membuat kita sadar bahwa mereka semestinya tidak melakukan itu, tapi mereka pikir harus begitu.

Dunia mungkin tampak terbalik. Bagaimana mungkin orang yang sukses ternyata tidak lebih pintar daripada kita? Sebagian orang mungkin akan menuding privilege. Atau mungkin nyalahin presiden. Jika rumah adalah negara, maka kita harusnya turut menjaga dan memeliharanya. Daripada memutar otak untuk terus dijamu dan jadi freeloader, sebaiknya kita mulai berpikir apa yang bisa kita lakukan untuk membuat rumah semakin nyaman ditinggali.

 

 

Rumah di bawah tanah dan hunian di lantai atas, orang kaya yang bego dan orang miskin yang cerdik, semua itu tentu saja ada maknanya. Bong ingin menunjukkan kepada kita bahwa satu-satunya pembeda antara si kaya dan si miskin – antara konglomerat dan melarat – bukan pada kecerdasan, bukan pada kesempatan, melainkan pada letaknya. Atas dan bawah yang sebenarnya terhubung oleh tangga. Tinggal menaiki tangga itulah yang menjadi soal. Tapi terkadang, orang untuk naik tangga aja males. Dan orang males ‘keunggulannya’ adalah pikirannya bisa lebih ‘cerdas’, kayak keluarga Ki-taek di film ini. Mereka mau bekerja, tapi hanya jika mereka bisa menyedot keuntungan darinya, dengan cara yang cepat. Ada yang lompat-lompat dari satu anak tangga ke dua anak tangga di atasnya. Ada yang berusaha mencari jalan naik yang lebih gampang. Tapi tentu saja resikonya besar. Bahkan yang hati-hati naik tangga saja bisa terpeleset dan jatuh.

Hanya ada satu cara untuk ke atas. Hanya ada satu cara untuk jadi sukses, kaya, atau makmur. Berusaha dengan giat. Bekerja dengan benar. Jangan ambil jalan pintas. Jangan anggap kesuksesan sebagai sesuatu yang harus dicurangi. Jika mengkehendaki sesuatu, kita harus mengusahakannya. 

 

Terpeleset di tangga actually dijadikan poin penggerak di dalam cerita. Kita melihat beberapa kali para tokoh ‘gagal’ mempertahankan posisi mereka di tangga, karena mereka tidak mengambil langkah yang benar. Di ending film, menaiki tangga  ditekankan kembali sebagai jalan keluar yang disadari oleh tokoh utama cerita. Yang lantas membuat kita ikut menghela napas, ah seandainya dari awal mereka begitu. Di sisi lain, gerak-maju narasi dalam film ini tampak terlalu penting untuk dimulai oleh adegan terjatuh di tangga yang membuatnya tampak sebagai kebetulan. Filosofi tangga dan pentingnya adegan tersebut kita bisa paham. Namun, membuat film ini sendiri menjadi terlalu fantastical. Membuatnya tampak konyol, malah. Dan ketika satu tokoh mengulangi kesalahan yang sama, jadinya annoying. Kita punya bangunan cerita yang kuat, dengan tokoh-tokoh unik yang membuat kita peduli, tapi cerita butuh untuk orang berdiri menguping di atas tangga dan kemudian terjatuh begitu saja; agak kurang memuaskan, dan ya, memaksa.

sudah jatuh, ditimpuk batu pajangan pula!

 

Tubuh besar cerita film ini memang tampak seperti terdiri dari dua bagian. Paruh pertama yang menitikberatkan kepada drama. Dan paruh kedua yang berupa sajian mendebarkan. Sekilas memang seperti kelokan yang cukup tajam, tetapi sebenarnya transformasi cerita ini sudah di-foreshadow di awal oleh kemunculan serangga-bau alias stinkbugs. Hewan ini memegang peranan cukup penting karena dia berfungsi sebagai perlambangan dan akar dari motivasi salah satu tokoh. Serangga-bau actually will come full-circle sebagai relik pada arc salah satu tokoh. Dan merupakan salah satu dari banyak elemen pada film ini yang bekerja efektif dan bertanggungjawab membuat cerita semakin menarik untuk diikuti.

 

 

 

Bermain dengan banyak tone cerita, film-film biasa akan tersandung, terjatuh bergulung-gulung menjadi satu gumpalan yang kacau. That’s not the case for this film. Dari awal hingga akhir, mata kita akan terpaut kepada adegan demi adegan. Memanfaatkan materi cerdas, permainan akting yang meyakinkan, dan kerja kamera yang membuat kita menyaksikan langsung seperti lalat yang hinggap di rumah film itu, penceritaan drama thriller ini bekerja dengan luar biasa efektif. Dia mengambil waktu, dan tidak terburu-buru mengembangkan semuanya. Demi menyampaikan gagasannya, film yang tadinya tampak manusiawi mau tak mau harus berkembang ke arah yang lebih fantastical – dalam sense edan dan di luar nalar – dengan beberapa plot poin memiliki unsur kebetulan. Bagi sebagian penonton hal tersebut dapat mengurangi kepentingan film ini, but still, film korea yang judul aslinya Gisaengchung ini adalah tontonan yang seru dari awal hingga akhir.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for PARASITE.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian, kenapa pinter tidak lantas membuat kita kaya? Apa sih yang sebenarnya membuat orang-orang miskin? Apakah karena beneran bodoh atau dibodoh-bodohi?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

SPIDER-MAN: FAR FROM HOME Review

“Treated like children but expected to act like adults”

 

 

Blip – peristiwa di mana separuh penghuni Bumi lenyap oleh jentikan Thanos – mengakibatkan cukup kekacauan untuk membuat hidup sosial menjadi awkward. Yang selamat kini menjadi lima tahun lebih tua, karena waktu berjalan normal bagi mereka. Sementara orang-orang yang menjadi korban – kemudian dikembalikan oleh Hulk ke dunia dalam Avengers: Endgame (2019) – tetap di usia yang sama saat mereka menghilang meskipun seharusnya umur mereka sudah nambah lima tahun. Mereka ini yang harus menyesuaikan diri dengan orang-orang di sekitar yang tadinya lebih muda menjadi sebaya – atau bahkan lebih tua daripada mereka. Meskipun Spider-Man: Far from Home menggambarkannya dengan ringan dan membuat kita tertawa karena sepertinya hal tersebut tampak sangat komikal, tapi sesungguhnya dampak Blip tersebut enggak jauh-jauh amat dari yang kita duga. Blip memaksa remaja untuk menjadi lebih tua dari mereka seharusnya.

Karena remaja di dunia nyata pun menghadapi hal yang sama seperti Peter Parker, MJ, dan teman-teman setiap harinya; kecanggungan berinteraksi sosial di mana orang-orang mengharapkan mereka untuk bertindak seperti orang dewasa sekaligus masih meremehkan karena mereka dianggap masih kecil.

 

Sulitnya mengarungi hidup di masa remaja, di mana kita ingin dianggap dewasa tapi gak mau dihadapkan sama tanggungjawab orang dewasa, menjadi tema besar dalam sekuel dari Spider-Man: Homecoming (2017) garapan Jon Watts ini. Disimbolkan oleh kegalauan Peter Parker memilih prioritas hidupnya. Meskipun sudah diingatkan oleh Nick Fury bahwa dirinya sudah pernah bertempur di luar angkasa, Peter Parker masih merasa belum siap untuk menjadi pahlawan-super pembela kebenaran seperti Avengers. Seperti Tony Stark, mentor sekaligus figur ayah baginya. Mungkin sepatu besi itu memang terlalu besar untuk diisi. Atau mungkin Parker menyadari tanggungjawab pahlawan super begitu besar, dan bahkan bisa beresiko besar terhadap dirinya dan orang-orang sekitar. Yang jelas, saat study-tour bersama teman-teman sekelasnya, Parker cuma ingin satu hal. Bisa berliburan bersama M.J. Tapi trip mereka ke kota-kota di Benua Eropa somehow bertepatan dengan koordinat kemunculan monster-monster elemental. Membuat Parker harus memilih. Meneruskan hidupnya bersama teman-teman sebagai remaja yang mulai mekar rasa cinta. Atau mengemban tugas berat bersama Nick Fury dan Mysterio; seorang superhero dari dimensi lain untuk mengalahkan para monster dengan mempertaruhkan segala hal, termasuk masa remajanya tersebut.

What would Tony Stark do?

 

Seperti Homecoming, Far from Home juga bekerja terbaik sebagai film remaja. Ini udah kayak film remaja dengan topeng superhero. Kuatnya keinginan Parker terhadap M.J. sampai-sampai membuat kita bisa lupa loh kalo ini film superhero. Dan mereka berdua ini memang cute banget relationshipnya hhihi. Sutradara Jon Watts berhasil membangun elemen cinta-remaja ini sebagai fondasi yang menggerakkan sekaligus sebagai salah satu pilar cerita. Karena elemen tersebut merupakan faktor penting untuk menunjukkan kedewasaan Parker. Dan film sangat bijaksana dalam menangani proses pendewasaan ini. Parker tidak lantas dibuat sebagai si serius hanya karena dia sudah mengalami apa yang ia alami sebagai salah satu dari Avengers. Parker juga tidak digambarkan depresi atau terhanyut oleh dukanya terhadap Tony Stark. Parker dipersembahkan kepada kita sebagai cerminan remaja diri kita saat menghadapi masalah. Kita pengen bareng teman-teman. Kita pengen ‘liburan’ dari semua itu. Kita pengen menyerahkan beban itu kepada orang yang lebih dewasa. Menjadikan kita lebih takut akan kehilangan semua itu, lebih dari takut terhadap monster. Remaja punya ‘masalah penting’ sendiri, dan butuh proses untuk menyortir itu semua. Itulah yang disebut dengan pendewasaan. Dan apa yang terjadi pada Peter Parker dalam film ini menggambarkan itu semua dalam tingkatan yang lebih super, karena elemen superhero yang dimiliki oleh cerita.

Salah satu yang banyak dipertanyakan penonton pada Homecoming adalah soal Spidey yang gak punya ‘spider-sense’. Di film ini ternyata terbukti bahwa ‘spider-sense’ merupakan bagian dari proses pendewasaan si Spider-Man sendiri. Ada development yang dapat kita lihat mengenai kemampuan unik Spidey tersebut dalam film ini yang berhubungan dengan pembelajaran inner journey yang disadari oleh Peter Parker.

Makanya Tom Holland tampak sangat cocok dan nyaman bermain sebagai Peter Parker. Holland juga sedang dalam pendewasaan menjadi tokoh ini, film membuat mereka – Parker dan Holland – seperti tumbuh bersama. Sehingga kita mendapat satu karakter yang tampak benar-benar hidup. Aku sendiri gak akan punya masalah melihat Tom Holland terus memainkan Spider-Man, I mean, cukuplah gonta-ganti reboot-reboot lagi superhero yang satu ini. Lantaran mereka sepertinya sudah menemukan yang sangat pas. Chemistry awkward Holland dengan tokoh-tokoh lain juga sangat mengena. Khususnya kepada Zendaya yang menjadi MJ Aku suka banget couple ini.  Zendaya juga benar-benar cool memainkan versi karakter Mary Jane (meskipun namanya di sini adalah Michelle Jones) paling cool yang pernah aku lihat dalam film-film Spider-Man.

Di antara mencoba menarik perhatian MJ, dengan bersosialisasi bersama teman-teman, Parker juga harus beraksi memenuhi panggilan Nick Fury. Membuat film ini pun harus beranjak menggarap adegan aksi yang dipenuhi oleh efek-efek CGI yang menawan. Aksi Far from Home digarap dengan lebih intens dibandingkan film pendahulunya, kita merasakan stake, sebab Spidey di sini benar-benar digenjot untuk terus bergerak dan mengambil keputusan. Pun aksi di sini terasa lebih spesial lantaran berhubungan dengan kekuatan Mysterio. Buat penggemar komik ataupun game Spider-Man pasti sudah tahu siapa dan apa yang bisa dilakukan oleh Mysterio. Buat yang belum tahu, aku gak akan bilang banyak selain kekuatannya berhubungan dengan ilusi. Film melakukan ilusi-ilusi tersebut dengan sekuen aksi yang luar biasa. Untuk originnya sendiri, film mengambil cerita yang berbeda dengan versi komik sehingga Mysterio dalam film ini masih punya kejutan untuk para penggemarnya. Meskipun memang untuk penonton yang mengerti bagaimana film terstruktur, cerita sudah bisa tertebak. Agak sedikit obvious; mengingat Spider-Man yang ragu – malahan hampir seperti tak ingin – menjadi superhero, maka antagonis haruslah seseorang yang actually pengen dipanggil sebagai superhero. Penampilan Jake Gyllenhaal, however, membuat Mysterio karakter yang layak untuk diperhatikan, regardless. Dia membuat kita percaya, sebagaimana Mysterio membuat banyak tokoh di film ini percaya. Padahal sebenarnya banyak yang masih harus dimasukakalkan jika kita memperhatikan motivasi ataupun ke-plausible-an tindakan dan ‘cerita’ tokoh ini.

Tom Holland ada di Holland

 

Jika kita melakukan reach untuk melihat di balik keseruan menonton drama remaja superhero ini, maka sesungguhnya kita akan melihat banyak hal-hal yang patut dipertanyakan. Film menjawab itu semua dengan membuatnya sebagai komedi. Dan komedi dalam film ini memang berjalan efektif. Membuat kita tertawa. Membuat kita melupakan yang sebelumnya kita pertanyakan. Film menggunakan humor bukan hanya sebagai hiburan, melainkan juga sebagai alasan. Peristiwa Blip tadi, misalnya. Sehabis Endgame, internet meledak oleh teori-teori penonton tentang bagaimana film tersebut gagal memperlihatkan dampak pemulihan Blip terhadap kemanusiaan. Apakah Avengers masih bisa disebut sebagai pahlawan. Far from Home memberikan jawaban atas teori-teori penonton tersebut, tapi mereka tidak benar-benar menjawab melainkan ikut bermain-main dengannya. Efektif memang, kita merasa sudah terjawab dan puas oleh tertawa.

Akan ada banyak momen seperti demikian; ketika film mulai gak masuk akal dan mengalihkan perhatian kita dengan menyambungnya – dalam tingkatan tertentu mengubahnya – menjadi adegan kocak. Contoh yang paling ‘menggangguku’ adalah adegan yang melibatkan Spider-Man dengan kereta api. Film membawa kita melewati fase ini dengan cepat begitu saja saat kita diberikan aftermath yang berupa adegan komedi. Rombongan sekolah Parker juga sebenarnya hanya berfungsi sebagai transisi komedi. Mereka ada di sana, tidak pernah benar-benar berada dalam bahaya, hanya untuk melontarkan celetukan-celetukan lucu sembari menunggu untuk diselamatkan. Dan mengingat ada empat kali bencana yang mirip terjadi, maka porsi menyelamatkan mereka terasa lumayan repetitif. Malahan sedikit memaksa. Karena film harus terus memperlihatkan dua ‘habitat’ Parker ini; teman sekolah dan rekan menyelamatkan dunia.

 

 

 

Sebagai yang langsung menyambung runut kejadian Avengers: Endgame, juga sebagai film yang membungkus phase ketiga dari Marvel Cinematic Universe, film ini punya tanggung jawab besar untuk menjelaskan banyak hal. Dia memilih melaksanakan tugasnya dengan nada komedi. Komedi menjadi lebih penting lagi saat cerita remaja yang diusung harus memiliki kepentingan sebagai episode superhero. Jadi film berusaha menyeimbangkan tone cerita yang ia miliki. Untuk sebagian besar waktu, dia berhasil. Kita mendapat tontonan yang menyenangkan di atas petualangan cinta yang membuat kita gregetan. Kita terinvest ke dalam semua aspek ceritanya, tidak hanya ingin melihat Spidey beraksi. Semuanya terasa punya kepentingan sehingga menontonnya tidak bosan. Ceritanya sendiri pun terasa segar karena untuk pertama kalinya kita dapat cerita solo Spider-Man yang berlangsung di banyak tempat selain New York. Semua hal tersebut actually adalah ilusi yang dilakukan oleh film. Dan di momen-momen ketika kita ‘berkedip’, adakalanya kita melihat sesuatu yang tampak jelas disembunyikan oleh komedi dalam film ini, dan kita sadar cukup banyak yang agak maksa dalam film ini. Tapi di samping semua itu, film ini menyenangkan. Aku suka gimana mereka membuat tokoh-tokohnya berbeda dari yang kita kenal. Dan benar-benar excited setelah menyaksikan mid-credit scene film ini!
The Palace of Wisdom gives 7 gold stars out of 10 for SPIDER-MAN: FAR FROM HOME

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Kalimat judul ‘Far from Home’ bisa diartikan sebagai gambaran posisi Peter Parker yang sudah jauh dari remaja normal. Bahwa dia punya tanggungjawab, dan dia harus melaksanakannya. There’s no turning back. Sehubungan dengan itu, bagaimana sih pendapat kalian tentang remaja yang dituntut harus mengemban tanggung jawab orang dewasa? Haruskah?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.