“It’s never too late to be who you might have been”
Ada stereotipe yang erat melekat kepada penduduk Staten Island, kota kecil di pulau selatan bagian dari New York, yang sebagian besar memang membuat mereka dapat citra yang kurang membanggakan. Akibat gambaran serial tivi seperti Jersey Shore, remaja-remaja di Staten Island kini dikenal sebagai makhluk yang ignorant, sukanya party, ‘makek’, keras kepala, dan cewek-ceweknya hobi banget tanning ampe kulit jadi berwarna orange. Gaya bicara hingga kosa kata khas mereka pun sering diperolok. Dan walaupun stereotipe itu cuma karakterisasi dan gak semuanya benar, tidak semua remaja di sana beneran seperti demikian, Scott Carlin, menghidupi ‘traits’ tersebut hampir seratus persen, yang lantas membuatnya pantas untuk menyandang gelar Raja di Staten Island.
Cobalah berdialog sama Scott. Maka dipastikan dia akan ngelindur, hampir seperti bercanda tapi dia serius. Ajak dia ngobrol soal kehidupan; dia akan nyerocosin pandangan kekanakannya yang menyebalkan. Ajak dia berbincang soal pekerjaan, well, semoga beruntung menjawab jawaban yang positif darinya. Scott ingin jadi tattoo artist, tapi gambar karyanya hanya sedikit lebih baik dari corat-coret anak SD. Scott punya angan untuk membuka restoran tato, orang datang untuk makan sekaligus ngantri ditato. Mimpinya itu benar-benar merangkum kepribadian Scott. Dia punya passion, tapi terlalu nyeleneh. Dia mau berusaha, tapi terlalu lambat. “I am still figuring things out”, katanya, membuat sebal ibu serta adik perempuannya yang baru saja masuk kuliah. Bahkan pacarnya sendiri, cewek Staten Island tulen yang mau membuat ‘Staten Island great again!’, muak dengan Scott yang seperti mengulur-ulur hubungan mereka.
Sebagian besar film The King of Staten Island ini akan terasa seperti sajian slice of life. Tontonan kehidupan yang seperti tanpa tujuan, melainkan hanya memperlihatkan keseharian Scott, young-adult pengangguran umur 24 tahun yang masih tinggal serumah dengan ibunya yang sudah belasan tahun menjanda. Ketika sang ibu mulai berhubungan ke arah yang serius dengan seorang pria pemadam kebakaran, barulah film ini kelihatan tujuannya sebagai drama. Karena Scott gak suka pria tersebut. Untuk alasan yang personal. Dia membenci pemadam kebakaran karena pekerjaan itulah yang merenggut ayah kandung dari dirinya. Ayah yang meninggalkannya dengan segudang prestasi dan pencapaian dan kisah-kisah kepahlawanan yang eventually menjadi beban bagi kehidupan Scott sebagai orang dewasa.
Melihat Scott melewati hari demi hari dengan practically gak melakukan apa-apa yang penting, secara mengejutkan sangat menyenangkan. Bahkan debat kusirnya dengan teman segeng, dengan pacar, dengan adik, begitu amusing. Kita bisa menangkap secercah poin ‘kebenaran’, atau mengerti alasan Scott, dan kita dapat melihat tokoh ini bukanlah seorang bad-boy. Suatu waktu dia menolak ikut gengnya merampok toko obat, menunjukkan Scott tahu mana baik mana yang buruk. Namun dia seringkali jadi kayak asshole dan bikin sekelilingnya kesel karena gak kunjung berubah. Itu semua hanya karena dia punya self esteem yang kelewat rendah. Dan inilah sebenarnya purpose dari cerita. Mengawal Scott mengenali masalah dalam dirinya, mencari penyebab kenapa standarnya begitu di bawah, dan dia seperti nyari alesan untuk menjadi lebih baik, dan berkonfrontasi dengan itu.
Semua itu karena Scott dibesarkan dengan cerita kepahlawanan sang ayah. Pemberani, baik hati, bertanggung jawab, selfless. Legenda di komunitas pemadam kebakaran. Ibunya menceritakan kehebatan ayah kepada Scott, malah membuatnya merasa itu adalah garis yang terlalu tinggi untuk dilewati. Apapun yang terjadi ia tidak akan bisa menjadi sehebat ayahnya. Sehingga selain menjadi gak suka ama kerjaan pemadam kebakaran, Scott juga jadi males berusaha tinggi-tinggi. Daging cerita ini terletak pada momen ketika Scott mulai – walaupun terpaksa – masuk ke dunia pekerjaan yang ditinggalkan oleh ayahnya. Melihat seperti apa hidup sebagai pemadam kebakaran, mengetahui resiko-resikonya, dan ultimately mendengar langsung seperti apa sebenarnya sang ayah di luar kerjaan dan prestasi-prestasi tersebut. Scott enggak sadar inilah yang ia butuhkan. Untuk mengenal ayahnya, sebenar-benar kenal. Luar-dalam. Baik-buruk. Film lain akan memperlihatkan tokoh seperti Scott ini akhirnya menjadi pemadam kebakaran handal juga sebagai bentuk transformasi dan penyadaran diri. Namun The King of Staten Island tahu persisnya penyadaran itu seperti apa dan sekaligus mengerti bahwa perubahan itu butuh proses. Film bercerita dengan sangat bijak, dan bekerja segrounded-grounded-nya sehingga kita terus merasakan sesuatu yang real hingga ceritanya usai.
Tidak ada kata terlambat dalam menyadari siapa dirimu sebenarnya. Scott; dia bukan sebatas stereotipe remaja di suatu kota, dia bukan seniman tato yang gagal, atau bahkan – dia bukan anak pahlawan. Melainkan, yang harus disadari olehnya sendiri bahwa, dia adalah anak ayahnya. Just that. Sehingga dia bisa mengerti bahwa hidupnya adalah sepenuhnya keputusan sendiri, tidak berdasar atas standar yang ditetapkan oleh orang lain.
Yang membuat film ini unik adalah bahwa sebenarnya cerita ini bertindak sebagai semi-autobiografi. Sutradara Jude Apatow menulis naskah film ini bersama pemeran Scott, komedian Pete Davidson, yang di real life adalah anak seorang pemadam kebakaran yang juga jadi pahlawan dalam bertugas. Tepatnya, Ayah Pete gugur saat menyelamatkan orang-orang pada tragedi 9/11. Momen pada ending film ini dijadikan tribute untuk kejadian tersebut. Aku gak bakal bilang konteks atau kejadian tepatnya ending film ini seperti apa. But momen terakhir film ini adalah Scott sedang di Manhattan dan dia melihat ke arah Menara Kembar seharusnya berada. Yeah, saat mengetahui informasi ini semuanya juga jadi klik buatku. Aku sampai “wow, makanya” berkali-kali.
Wow, makanya Scott di film ini begitu natural. Davidson memainkan tokohnya dengan sangat personal. Memerankan karakter yang mirip dengan diri sendiri jelas bukan perkara gampang. Apalagi dengan tone komedi di balik drama yang harus dikenai. Salah-salah karakter tersebut hanya akan jadi seperti parodi yang sama sekali enggak manusiawi. Davidson berhasil keluar dari jebakan karikatur tersebut. Dia mengeksplorasi grief terhadap kematian ayahnya, perjuangan dalam hidup menjadi dewasa, relasi dengan keluarga; dia menarik semua itu dari dalam hatinya dengan tidak pernah berlebih. Just enough untuk membuat tokohnya menjadi sedemikian nyata. Film ini punya pesona sehingga kita tetap peduli pada Scott. Meskipun bagi tokoh lain, dia menyebalkan. Komedi yang hadir dari dialog dan interaksi tokoh ini tidak sekalipun terasa dipaksakan. Para tokoh pendukung, dan juga remaja-remaja Staten Island yang lain tidak serta merta annoying karena kita dapat melihat menembus stereotipe yang udah terbentuk.
Normalnya, film kayak gini akan langsung mulai dari titik terendah tokoh, lalu babak satu berakhir dengan dia keluar dari zona itu, yang berarti Scott mulai tercemplung ke dunia ayahnya. Cerita biasanya akan berakhir dengan Scott menjadi semacam pahlawan. Tapi arahan Apatow sama sekali berbeda. Dia menarik jauh ke belakang. Kita baru melihat Scott berada di pemadam kebakaran setelah midpoint. Dan film seperti berakhir prematur, sebelum Scott benar-benar punya pencapaian. Ini, dan fakta bahwa durasi cerita mencapai dua jam lebih, sekiranya berpotensi membuat penonton gak-sabar dan menyerah pada kejengkelan. It really takes a while untuk film ini berjalan sesuai tujuannya. Paruh pertama – yang bagian ‘slice of life – berjalan seperti ngalor ngidul. Banyak juga tokoh yang ilang-timbul begitu saja, persis kayak di real life; orang-orang akan keluar masuk hidupmu tapi kita juga move on dan terus berjalan. Hanya saja memang dapat dimengerti kalo mungkin ada sebagian dari kita yang geram ingin meringkas ceritanya menjadi bagian-bagian penting saja yang ditampilkan.
Aku pun sempat berpikir demikian. Namun jika memang cerita ini dipersingkat, enggak perlu se-elaborate itu melihat kegiatan Scott dan kawan-kawan, menurutku film akan kehilangan pesonanya. Aku meragukan hasilnya akan menjadi lebih menarik, atau bahkan lebih baik. Karena tujuan film membuat paruh awal yang berkepanjangan dan ke mana-mana itu adalah untuk menghidupkan Staten Island itu sendiri sebagai sebuah karakter. Dari bagaimana penduduknya, seperti apa rupanya, semua dijadikan sebagai penciri karakter. Jadi selain untuk meng-emphasize persoalan ‘figuring things out’ supaya kita makin relate, di separuh awal film juga ingin membangun tempat itu bersama dengan tokoh utamanya. Sehingga Staten Island juga mendapat lapisan di balik stereotipe yang menimpanya.
Sajian komedi yang penuh pesona. Baik itu dari karakter maupun dari kota yang menjadi tempat para karakter itu hidup. Kuat oleh sense of realism karena berhasil mengakomodasikan statusnya sebagai drama-komedi semi-otobiografi tanpa terpeleset menjadi sebuah parodi. Tentu saja semua ini tercapai berkat arahan dan permainan akting yang luar biasa. Ceritanya memang tergolong panjang dan seperti terbagi menjadi dua bagian. Namun kita tidak akan bosan ataupun merasa jengkel kepada tokohnya. Melainkan akan merasa hangat oleh momen-momen ajaib-tapi-genuine di dalamnya. Dan Scott dalam film ini bisa jadi inspirasi bagi orang-orang yang juga lagi terlunta-lunta dalam hidup, membantu kita untuk “trying to figure this shit out”.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE KING OF STATEN ISLAND.
That’s all we have for now.
Bagaimana dengan daerah/kota kelahiranmu? Apakah kalian punya koneksi dengannya? Sebesar apa peran kota terhadap pendewasaanmu?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA