THE ASSISTANT Review

 

“There’s nothing more toxic and demoralizing than having to work in a work environment where a bully or stealth harasser gets to overpower and exist daily.”

 

Seberapa aman lingkungan kerjamu? Karena walau sekalipun kita memang tidak bekerja bareng mafia yang menolak pakai masker, tidak disuruh menyapu isi dalam gunungapi, atau tidak jadi anakbuah Rita Repulsa, lingkungan kerja masih punya potensi gede untuk menjadi tempat paling menyeramkan dan ter-enggak-sehat di seluruh dunia. Jika kalian ngerasa kerja di kantor dengan aturan yang gak-jelas yang bisa longgar sesuka hati bos, atau si bos paling anti dikritik, atau kalian straight up ngerasa pernah dilecehin tapi malah dijadikan becandaan dan hal itu dianggap sudah biasa sehingga saat kalian protes justru kalian yang dianggap berlebihan dan dianggap sulit bekerja sama? Congratulations! tempat kerja Anda lebih beracun daripada judul lagu Britney Spears. Dan film The Assistant karya Kitty Green ini adalah tontonan yang tepat supaya kita bisa mengenali lingkungan tersebut dan mempertimbangkan langkah yang tepat demi masa depan.

Green menuliskan cerita ini dengan langsung mengambil tempat di pusat toxicity dan melimpahnya dominasi dan power abuse dari seorang pemimpin laki-laki; Rumah Produksi Film. You know, situasi di lingkungan itu memang sangat memungkinkan untuk ‘khilaf’, dengan begitu banyak orang yang berebut dapat posisi kerja di sana (siapa yang gak mau kerja sambil lihat artis setiap hari?), dan also dengan begitu banyak bintang-bintang muda minta peran utama; orang-orang akan rela melakukan apapun. Clearly take a jab atas terbongkarnya skandal bos Miramax tahun 2017 lalu, Green memang memposisikan film ini sebagai gambaran bagaimana pelecehan merayap di balik dinding kantor, dan dibiarkan oleh sistem yang lebih melindungi perusahaan ketimbang pekerjanya.  Kata yang jadi kunci di sini adalah ‘merayap’ karena The Assistant dibuat oleh Green dengan benar-benar senyap. Namun kesenyapan itu mendengungkan sesuatu yang begitu lantang di telinga dan pikiran kita semua. Tidak akan dijumpai adegan-adegan yang sensasional dan heboh di film ini; itulah kenapa skor audiens film ini jeblok parah. Alih-alih, semuanya dibiarkan nyaris tak bersuara. Kejadian-kejadian pelanggaran tidak pernah diperlihatkan, dibiarkan menggantung di benak kita. Membuat kita sama-sama stres dan sefrustasi Jane, tokoh utama cerita. Cara bercerita yang jenius diterapkan oleh Green dalam konteks gagasan yang sedang ia angkat. Karena memang begitulah persisnya yang dirasakan seseorang yang tahu ada yang enggak beres pada atasannya, tetapi tidak bisa – tidak berani bersuara. Bukan karena dia tidak peduli, melainkan karena practically dia melawan sistem yang menutupi.

Aku hanya bisa membayangkan berapa banyak catcalling yang mungkin sudah diterima sang sutradara hanya karena namanya

 

Keseluruhan durasi delapan-puluh-menit The Assistant berlangsung selama satu hari kerja Jane di kantor. Dia baru lima minggu kerja di sana, dan sebagai anak baru, Jane mendapat kerjaan paling banyak. Dia sudah sampai di kantor bahkan sebelum matahari terbit. Membersihkan dan merapikan ruang bosnya. Mengelap noda di sofa, tapi bukan noda kopi. Memungut anting dari lantai. Memfotokopi naskah. Menghidupkan lampu di ruangan-ruangan. Jane, seperti hari-hari sebelumnya, akan jadi orang yang paling akhir pulang karena dia bekerja keras demi karirnya (ia ingin jadi produser!). Namun menjadi asisten berarti adalah tidak banyak orang yang akan berhenti dan melihatmu dengan seksama dua kali. Jane merasa sendirian di kantor, bahkan siang hari saat rekan-rekan di ruang kerjanya (tepat di depan pintu ruang bos) sudah datang.

Semuanya diset sedemikian rupa sehingga kita benar-benar dibuat merasakan yang ada di kepala dan perasaan Jane. Inilah keajaiban dari kekuatan sudut pandang penceritaan film ini. Meskipun tidak menggunakan first-person view, malah seringkali kamera diletakkan jauh sehingga melingkupi satu ruangan, tapi film tetap berhasil menguatkan sudut pandang Jane. Kita melihat mata Jane tidak pernah ditangkap oleh orang-orang lain di kantor. Kita tidak pernah diberitahu apapun yang ada di luar jangkauan indera Jane. Bisik-bisik percakapan karyawan lain, kelebatan potongan dialog orang yang kebetulan lewat atau dilewati oleh Jane, suara-suara tidak jelas karena berasal dari sebalik pintu. Itulah informasi yang diberikan film ini kepada kita, karena itulah informasi yang nyampai kepada Jane. Dia mendengar hal-hal, dia menyimpulkan sesuatu dari hal tersebut. Dan kita share kesimpulan dan feeling yang sama dengannya. Semua pikiran, semua emosi, setiap detil kecil hal yang merundungi pikiran Jane mengumpul menjadi konflik dalam The Assistant. Makanya permainan akting dari ekspresi wajah begitu penting di sini. Julia Garner yang meranin Jane tidak pernah gagal. Setiap kali kamera meng-close up supaya kita dapat ‘melihat’ apa yang ia pikir dan rasakan, Garner mendeliver emosi-emosi tersebut dengan sempurna. Yang ia alami bukan sebatas ‘pengucilan’ yang seperti mengkerdilkan dirinya yang seorang asisten, ada sesuatu yang membuatnya cemas sebagai seorang wanita. Fakta bahwa kantor mereka kedatangan seorang wanita muda yang melamar sebagai asisten tapi lantas disuruh menemui bos di hotel, yang dijadikan becandaan oleh karyawan lain, menangkap perhatian Jane lebih dari apapun. Dan kemudian, Jane memutuskan untuk buka suara; saat itulah ketegangan film ini mencapai puncak.

Adegan Jane mengadu ke HR, aku yakin, sangat relatable untuk banyak orang yang sempat ngerasain kerja kantoran. Ataupun orang-orang yang pernah melakukan pengaduan dan ujung-ujungnya malah balik dipersalahkan. Film ini mengumpulkan semua ketoxican dan manipulasi dalam satu sekuen adegan tersebut. Kalimat ‘kamu tahu ada berapa yang mengincar pekerjaanmu?’ digunakan untuk memaksa kita menyudahi komplain atau aduan, sekaligus membuat kita merasa bersalah udah buka suara. Kita-lah yang gak tahu terima kasih. Jane menghadapi ini saat dia mulai bicara. Pihak HR dan bosnya sendiri mulai nge-gaslighting, membuat Jane merasa dia butuh mereka, membuat Jane merasa dirinya dihargai. Kamu pintar. Kita butuh lebih banyak produser wanita. Namun tetap pada akhirnya Jane disuruh meminta maaf. Tetap dialah yang salah karena noticing ada yang gak bener dan bertindak egois dengan membuka aib atau apalah alasan para atasan. Bahkan rekan-rekan Jane di ruangan pun, yang berusaha membantu Jane, tapi mereka tidak sadar melakukannya sambil menyalahkan, “harusnya kamu curhat ke kita dulu”. Ini satu lagi masalah yang disinggung oleh film ini; kadang kita gak sadar sudah ikut berpartisipasi dalam menyukseskan toxic di tempat kerja.

Tidak ada yang lebih toxic dan menghancurkan diri ketimbang bekerja di lingkungan tempat kekuasaan disalahgunakan, pelecehan ditutup, dan manipulasi menari-nari. Film ini menunjukkan apa tepatnya yang terjadi jika bawahan mulai berani angkat bicara mengenai dugaannya terhadap atasan. Film juga memperlihatkan betapa susahnya bagi mereka yang memperjuangkan untuk keluar dari lingkungan tersebut. Karena toxic itu menjalar. Bahkan mempengaruhi orangtua di rumah. Film ini menggambarkan Jane yang pintar saja enggak berkutik menghadapi sistem yang berkuasa. Namun sekarang, setelah nonton ini, kita semua sudah tahu tindakan paling pintar yang harus dilakukan jika menemukan diri berada di lingkungan kerja toxic seperti begini.

 

I wouldn’t be surprise kalo itu adalah hari Senin

Hal yang paling aku suka dari film ini adalah cara ia memperlihatkan (atau tidak memperlihatkan) tokoh bos si Jane. Kita hanya melihat sekelebatan saat dia lewat di depan kamera. Kita cuma mendengar suaranya. Bicara kepada Jane melalui telepon, dari balik pintu kantornya yang selalu tertutup jika dia ada di sana. Dan dia jarang sekali berada di kantor. Dia selalu sibuk entah ke mana – selain ke hotel, tentu saja. Kita bahkan enggak dikasih tahu namanya. Jane dan tokoh-tokoh lain hanya menyebut ‘he’ jika membicarakan dirinya. Dan ini sesungguhnya membuat tokoh ini benar-benar terasa presencenya. Bukan semata membuatnya jadi mengerikan kayak hiu yang gak pernah benar-benar ditampakkan di paruh awal Jaws (1975). Namun berkaitan dengan gagasan film, sehingga efeknya menjadi lebih kuat. Karena jika kita diperlihatkan wujudnya, jika kita melihat wajahnya, kita akan otomatis mengantagoniskan si bos sebagai tokoh cerita. Kita akan menganggapnya hanya sebagai karakter film. Yang tentu saja akan melemahkan efek film ini, karena Green tentu saja tidak menyentil satu karakter. Green ingin menjitak ‘bos-bos’ di manapun berada. Ini bukan soal satu karakter di film, melainkan soal bos-bos yang menggunakan power untuk membangun sistem yang menguntungkan dirinya sendiri. Yang memanipulasi, yang merasa untouchable. Membuat tokoh ini nameless dan faceless, menjadikannya bisa jadi siapapun, dan ini memperkuat suara film ini.




Satu hari kerja dapat menjadi sangat melelahkan dan bikin stres, seperti hari yang dialami oleh Jane. Dia berangkat dengan menyimpan optimis di hati karena berkesempatan kerja di perusahaan film, dan dia disebut cakap dan pintar dalam tugasnya. Tapi di akhir hari, Jane sudah begitu terbebani sehingga aku yakin dia memutuskan resign keesokan hari. Tapi film lebih bijak daripada diriku. Ia menghentikan cerita di malam hari. Ia membuka diskusi soal bagaimana sebaiknya menghentikan lingkungan kerja yang toxic ini. Karena it could be everywhere around. Seperti tokoh si bos yang bisa jadi siapa saja. Pada akhirnya, kesimpulan yang immediately bisa dibuat adalah bahwa ini adalah sebuah karya yang sangat thoughtful. Yang tahu benar apa yang harus disampaikan, dan cara paling efektif untuk menyampaikan suaranya tersebut. Aku bilang, this is one of the truest story out there, yang dimainkan dengan salah satu penampilan akting yang pantas untuk diganjar penghargaan tahun ini.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE ASSISTANT.




That’s all we have for now.
Bagaimana kalian melanjutkan cerita ini, apa Jane akan berhenti atau tidak?
Baru-baru ini di twitter, sutradara Indonesia Gina S. Noer mengepos aturan-main di produksi film terbarunya, dalam upaya membasmi praktek abuse dan pelecehan. Bagaimana dengan kalian, bgaimana cara kalian menyingkapi lingkungan kerja yang toxic?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



Comments

  1. arya says:

    setuju, dia kayak saking udah gatahan lagi lihat kelakuan bosnya sehingga memilih membungkus makanan dan membawanya pulang; sebuah tindakan menyudahi

  2. Yolanda says:

    Serius bisa 8 lebih bang.. wahh amaze saya.. saya jadi tertarik mau nontonnya. Karena standar 8 dari bang Arya tuh susaaaaaaaaaaaaah bangeeeeeeeeet

Leave a Reply to aryaCancel reply