LUCA Review

“You will be free the moment you stop worrying about what other people think of you”

 

Ah, libur memang menyenangkan. Meskipun di Indonesia gak ada yang namanya liburan musim panas, tapi toh anak-anak sekolah di sini juga merasakan libur panjang di pertengahan tahun sebagai jeda tahun ajaran. Anak-anak punya waktu seharian penuh selama berminggu-minggu yang cerah untuk bermain-main. Bertualang. Mengeksplorasi imajinasi mereka. Mencoba hal-hal baru. Bagi sebagian besar dari kita, kenangan ceria berkegiatan saat libur sekolah mungkin sudah jadi ingatan yang samar. Namun justru untuk itulah film terbaru Pixar, Luca, hadir kepada kita. Untuk mengingatkan bagaimana rasanya mengarungi dunia yang punya banyak kesempatan bagi anak-anak yang berani mencarinya.

Bagaimana dengan anak-anak yang enggak berani?

Luca yang merupakan debut penyutradaraan animasi-panjang dari Enrico Casarosa akan certainly berefek lebih kuat. Karena cerita film ini memang sebenarnya dikhususkan untuk anak-anak yang belum berani, yang masih pemalu, yang merasa hidupnya harus terus dikawal ketat oleh orangtua. 

See, Luca yang jadi tokoh utama dalam film ini adalah seorang anak monster-laut. Dia hidup di bawah air di sebuah kepulauan Italia bersama kedua orangtua yang terus mengingatkannya akan bahaya di permukaan sana. “Hati-hati sama perahu monster-darat, mereka memburu kita” Begitulah kurang lebih peringatan yang diberikan ibu kepada Luca saat menggembala ikan-ikan di laut. Tetapi Luca justru tertarik sama benda-benda manusia yang jatuh ke laut. Luca ingin ke atas sana, tapi dia takut. Alberto-lah yang membuat Luca jadi cukup berani untuk diam-diam naik ke daratan. Alberto-lah yang membuat Luca surprise, karena ternyata monster-laut seperti mereka bisa berubah menjadi manusia ketika berada di darat. Dan sekarang, a whole new world opens bagi Luca yang penasaran tapi pemalu itu. Dunia dengan ikan-ikan terang di angkasa pada malam hari. Dunia dengan mesin bernama Vespa yang bisa membawa ke mana saja mereka mau. Dunia dengan teman-teman baru. Ya, berhati-hati supaya tidak kena air yang dapat membocorkan wujud asli mereka, Luca dan Alberto pergi ke kota manusia. Bersama dengan seorang anak manusia, mereka ikutan lomba supaya bisa dapat duit membeli vespa untuk menjelajahi dunia. 

lucaluca-trailer-e1619617686812-kr47fr
Literally, monster-fish out of water story

 

Right off the bat, film udah ngajarin anak-anak untuk tidak takut. Satu-satunya penghalang Luca main ke atas permukaan air, ya cuma wanti-wanti ibunya yang terlalu cemas. Tidak ada tembok tinggi, tidak ada pintu terkunci, tidak ada pagar berduri. Tidak ada tabir apa-apa yang menghalangi Luca untuk ke mana-mana. Ariel si Little Mermaid aja harus menjual suaranya kepada Ursula supaya bisa punya kaki dan mengejar cintanya ke daratan. Luca hanya perlu memberanikan diri. Dan ini hanyalah satu dari sekian banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik oleh penonton cilik yang menyaksikan film ini.

Luca yang menyembunyikan wujud asli pada akhirnya akan memberi pelajaran kepada anak-anak untuk berani dan bangga jadi diri sendiri, tidak peduli pada kata orang lain karena begitulah hidup; Akan ada orang yang menyukai dan menerima kita, tapi juga akan selalu ada orang yang tidak menyukai kita, dan tidak ada yang bisa kita lakukan terhadap itu selain menjadi yang terbaik bagi diri kita sendiri. In turn, ini tentu saja juga mengajarkan untuk menerima perbedaan orang lain. Sementara orang dewasa juga bisa mengutip pelajaran soal memberikan kebebasan untuk berkembang bagi sesuatu yang kita cintai.

 

Tadinya memang kupikir film ini tuh seperti kartun klasik Disney tersebut, hanya saja dengan cerita yang lebih ringan, nyaris tak ada stake; Lebih anak-anaklah dengan wondrous adventure yang seperti tak bertujuan. Then it strikes me. Dengan segala kemagisan visual dan kesederhanaan ceritanya, Luca ini lebih mirip kayak Ponyo, animasi fantasi dari Studio Ghibli yang juga tentang makhluk air yang bisa menjadi manusia dan penasaran sama kehidupan di darat. Kemudian seiring durasi berjalan, lebih banyak lagi referensi atau kemiripan elemen-elemen Luca dengan film-film buatan Studio Ghibli. Kota yang mereka datangi, Portorosso, hanya beda satu huruf (dan satu spasi) dengan film Porco Rosso, pakaian baju belang merah-putih dan celana panjang biru yang dikenakan teman manusia Luca (si Giulia) mirip sama pakaian teman Kiki di Kiki’s Delivery Service. Bahkan flow cerita film Luca ini mirip dengan cerita anak-anak khas Jepang pada beberapa film Ghibli. Pixar kan biasanya cenderung untuk membangun dunia dan konsep-konsep world-building. Tapi kali ini lebih sederhana. Alih-alih membuat kita menyelam ke dalam dunia monster laut, monster-monster laut itulah yang tercengang-cengang belajar kehidupan manusia. Selain aturan gak boleh basah, dan keinginan punya vespa yang muncul di menjelang pertengahan, film Luca ini berjalan tanpa ada misi ataupun rule yang membentuk cerita. Karakter-karakter kita hanya mengisi hari. Membangun vespa dari perkakas bekas. Mencoba berbagai aktivitas yang tidak bisa dilakukan di air. Kita ‘cuma’ melihat persahabatan mereka tumbuh sepanjang musim panas itu.

Cerita antara dua anak laki-laki (younger and older boy) yang menjadi semakin erat, bersama-sama di sepanjang hari itu memang membuat Luca juga jadi punya vibe yang sama dengan film Call Me by Your Name (2017). Malah sudah ada tuh di Internet yang mlesetin film ini sebagai ‘Calamary by Your Name’. Persahabatan Luca dan Alberto memang terjalin begitu erat, ada cinta yang kuat di sana, tapi aku pikir ini tidak serta merta mengarah ke hubungan romansa. Bahkan Luca dengan Giulia yang bikin Alberto kayak jealous juga enggak benar-benar strike me as a romantic relationship. ‘Cemburunya’ Alberto lebih seperti manifestasi dari abandonment issue yang diidapnya. Alberto ini sebatang kara, tapi tidak pernah ditetapkan dengan gamblang apakah dia ditinggalkan ayahnya dengan sengaja atau gimana. Tapi yang jelas, Alberto sebenarnya memang selalu menunggu ayahnya kembali. Luca -satu-satunya sahabatnya – pergi belajar dengan Giulia jelas adalah trigger bagi Alberto. Itulah sebabnya kenapa adegan di pantai yang melibatkan mereka bertiga terasa sangat sedih dan menohok buatnya karena itu kejadian ditinggalin yang sangat traumatis bagi Alberto. Tapi tentu saja, selain itu, pesan film ini untuk tidak takut ataupun tidak malu menunjukkan diri sendiri, jelas juga adalah pesan yang sangat menguatkan untuk penonton LGBT.

Bagi Luca sendiri pun, both Alberto dan Giulia adalah sahabat yang penting. Mantra “Silenzio, Bruno” yang diajarkan Alberto terbukti jadi sokongan yang kuat untuk mengenyahkan kekhawatiran dan kecemasan Luca. Dan pengetahuan yang diajarkan Giulia membuat Luca sadar terhadap apa yang sebenarnya ia cari ketika pengen Vespa untuk menjelajah dunia. Jadi sekarang tinggal Luca yang harus belajar jadi confident – menjadi diri sendiri – berdamai dengan larangan orangtuanya untuk mengejar hal tersebut.

luca-trailer-1
Call Me by Your Ghibli Name

 

Cerita dan motivasi Luca memang menjadi semakin terarah nanti saat Giulia bergabung ke cerita. Mereka akan latihan bersama. Menghadapi pembully bersama. Kita akan jadi bisa lebih peduli sama Luca dan Alberto. Tapinya juga, memang, bagian-bagian awal film ini terasa kurang ngena. Penonton yang pengen berpegang pada motivasi akan susah mencari pegangan pada karakter Luca. Mungkin keinginan Luca untuk ke permukaan bisa lebih dicuatkan lagi dengan memperlihatkan kenapa sih Luca gak betah di dalam air. You know, Ariel aja punya satu lagu yang memperlihatkan kehidupan di bawah laut yang ingin ia tinggalkan — But then again, itu karena Kerajaan Ariel bukan tempat yang buruk. Jadi adegan itu akan membuat kontras yang menarik kenapa orang mau meninggalkan tempat/statusnya yang sudah tinggi. Dengan begitu, pada Luca yang monster-laut biasa ini, harusnya keadaan di bawah laut itu lebih suram sehingga dia jadi pengen ke atas. Tapi tentu saja itu bakal ngerusak tone cerita, sehingga film ini mencukupkan dengan menghadirkan karakter paman Luca (ikan Borat!) yang aneh dan mau membawanya ke laut terdalam yang kosong. Jadi, masalah dunia Luca yang kurang dikembangkan masih bisa aku maklumi tidak dilakukan film dengan lebih kontras lagi.

Meskipun begitu, aku punya dua hal lagi untuk direwelin perihal film ini. Pertama, antagonis cerita. Si pembully yang jago naik vespa, juara bertahan dalam lomba. Karakter ini terlalu dangkal. Dia sekadar jahat, gak pakek tapi. Padahal mestinya ada depth yang bisa digali dari karakter yang umurnya jauh lebih tua daripada Luca dan anak-anak lain yang jadi lawannya dalam lomba. Film sebenarnya bisa saja mengaitkan identitasnya tersebut dengan bagaimana Luca dan Alberto menyembunyikan wujud monster mereka. Kedua, adalah soal salah satu running-joke dalam cerita. Ayah dan Ibu Luca actually ikut ke kota, dan demi mencari Luca mereka menyiram atau menjatuhkan semua anak yang mereka lihat ke air. Ini lucu, no doubt. Aku ngakak selalu. Tapi kalo dipikir-pikir aneh juga, tidakkah itu akan membahayakan? I mean, di titik itu perspektif ayah dan ibu Luca adalah bahwa penduduk kota masih beringas memburu monster laut. Kalolah salah satu anak yang kesiram itu beneran Luca, anak itu akan terekspos di tengah kota, bukankah itu – dari perspektif mereka – akan membahayakan anak mereka sendiri? Jadi ada yang gak klop dari penulisan komedi itu menurutku.

 

 

Jadi, bagaimana kesimpulanku  mengenai film ini secara keseluruhan? Visual yang cantik, suara yang luar biasa, budget dan star power yang dimiliki Pixar digabung dengan kesederhanaan cerita ala Ghibli — Aku akan nonton kapanpun di mana pun. I hope dua studio animasi ini beneran kolab di kemudian hari. Tapi sekarang, kita punya film ini, dan menurutku ini lebih dari sekadar ‘teaser’. Aku suka. Ini tipe film yang bakal langsung kurekomendasikan ke adik-adikku di rumah. Film ini baik sekali untuk ditonton anak-anak. Punya pesan yang kuat, dan gampang dicerna. Walaupun memang penulisannya bermain di tempat yang sedikit terlalu dangkal. Ada beberapa hal yang mestinya bisa lebih diperdalam, tanpa memberatkan tone secara drastis. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for LUCA.

 

 

 

That’s all we have for now.

Berturut-turut kita nonton film dengan karakter yang ditinggal oleh orangtua. Ali di Ali & Ratu Ratu Queens (2021) dan Alberto di film ini. Juga di film ini, kita melihat Luca meninggalkan keluarga dan sahabat yang ia sayangi. Alberto sempat khawatir akan ditinggalkan Luca, tapi di akhir dia menerima. Menurut kalian, apa ada perbedaan antara tindakan Luca dengan abandonment yang dirasakan Alberto terhadap ayahnya?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

Comments

  1. Kay says:

    Film ini mengajarkan pada anak-anak untuk berani kabur dari rumah dan naik vespa buat keliling dunia haaahaahaa, joking.
    Yang jadi pertanyaan sih, bapaknya Alberto kok ninggalin dia kenapa, ya? Ga ada penjelasan. Apa dia ketangkap manusia pas wujud monster lautnya kebongkar? Jadi berspekulasi.

    • arya says:

      Hahaha tapi bener juga sih, ngajarin untuk berani mandiri… kabur juga ujung-ujungnya bakal makin sayang sama orangtua kayak si Luca
      Iya tuh, bapaknya dibiarkan open.

  2. Fad says:

    Bang arya, mydirtsheet ngga ada planning buat ngeripiu series jga kah? hahah yg limited gitu kek. Haha atau mungkin ada tp akunya yg ngga nemu ya bang?

    • arya says:

      Iya nih, gak ada, soalnya aku suka angin-anginan kalo nonton series hahaha… Paling sesekali ngomen-ngomen sedikit di Twitter aja pas lagi nonton, kalo lagi ada yang mau dikomenin xD

    • arya says:

      Dan mungkin juga penontonnya kayak penonton indonesia yang terbiasa dalam setiap film harus ada cinta-cintaan. Luca gak ada itu, maka mereka ngarang sendiri aja Luca nya call me by your name-an ama Alberto xD

  3. szazelh says:

    sukak film ini ♥️♥️ cuma rada “yah kok gitu doang” pas mereka ketauan monster laut terus Papanya Giulia dan warga cepet nerimanyaa.

Leave a Reply