THE BLACK PHONE Review

 

“A name pronounced is the recognition of the individual to whom it belongs.”

 

 

Waktu ku kecil, kami yang masih anak-anak punya jam batasan bermain. Terus, gak boleh main sendirian ke tempat sepi. Karena, kata orangtua, banyak penculik anak kecil yang berkeliaran, Isunya, penculik anak itu lagi nyari tumbal untuk bikin jembatan! Jadi anak-anak bandel yang suka main ampe malam, ataupun yang berkeliaran gak jelas, bakal diculik dan dipotong kepalanya untuk dijadikan pondasi jembatan. Ngeri ya hahaha. Masa kecilku itu padahal pertengahan tahun 90an loh. Bergidik juga sih begitu memikirkan kalo di 90an aja ‘ancaman’nya begitu, gimana dengan keadaan di tahun-tahun di atas itu. Tahun 70an misalnya. Saat lebih banyak lagi jembatan yang belum dibangun. Apa itu berarti penculik juga lebih banyak? Yang jelas, tahun segitu serial killer masih banyak. Mereka jadi urban legend, jadi momok bagi semua orang, khususnya anak-anak. Fenomena ini yang diangkat kembali oleh Scott Derrickson, yang juga kembali ke genre horor yang jadi akar karir filmnya. Lewat film The Black Phone, Derrickson membawa kita merasakan seperti apa hidup jadi anak 70an di mana anak-anak bisa diculik siang hari bolong di tengah jalan, dan dipukuli oleh orangtua yang mabok di rumah.

Bicara soal horor dan anak-anak, memang harusnya ada batasan jelas. Mana yang ‘untuk’ mana yang ‘tentang’. Anak-anak sendiri perlu untuk diperkenalkan, dikasih lihat, hal-hal gelap seperti kematian, kehilangan, kekerasan yang memang bisa menimpa ataupun yang memang bakal mereka lalui di dalam kehidupan. Maka menghandle horor dan anak-anak ini haruslah hati-hati. Ada satu batasan lagi yang wajib diperhatikan. Yakni batas eksploitasi anak di dalam genre itu sendiri. Ada banyak film yang membuat horor anak-anak tapi tidak jelas peruntukannya, kayak The Doll 3 baru-baru ini. Film tersebut mengandung tema kehilangan, kecemburuan, hingga bunuh diri pada anak-anak. Materi yang dewasa, diberikan rating yang dewasa pula karena mengandung kekerasan berkaitan dengan karakter anak yang diportray, tapi penulisannya sangat sederhana. Seperti menjadikan anak-anak sebagai objek derita, di dalam sebuah cerita yang didesain untuk bisa ditonton oleh anak-anak itu sendiri (walau bahasannya sebenarnya dewasa). Sebenarnya buat orang kita, it’s not exactly news, sih, Anak-anak jaman dahulu malah dipaksa nonton film PKI alias salah satu film thriller terseram yang pernah dibikin oleh filmmaker kita. Jadi mungkin, menakut-nakuti anak-anak sudah mendarah daging. Film superhero Indonesia aja dibikin kelam dan sadis kok. Makanya, film The Black Phone ini mesti kita jadikan pembanding, bagaimana membuat cerita horor dengan karakter anak-anak, yang membahas peristiwa kekerasan yang bisa dialami anak-anak di dunia nyata, tanpa terasa eksploitatif.

Pelajaran yang langsung bisa kita petik sehubungan itu adalah bahwa The Black Phone tidak pernah ditujukan untuk anak-anak. Film ini komit dengan rating dewasa, dan menunjukkannya ke dalam desain penceritaan yang dewasa juga. Kita di sini akan melihat anak-anak berantem, tonjok-tonjokan hingga berdarah-darah, karakter anak yang dibully mulai dari oleh teman sekolah hingga oleh ayahnya sendiri, anak-anak yang tewas dibunuh. Kita melihat karakter anak yang terus dipush untuk berhadapan dengan hal mengerikan seorang diri. Eh enggak sendirian, ding, karena kita menghadapi bersama dirinya! Ya, tak sekalipun anak-anak dalam The Black Phone kelihatan sebagai objek. Kita tidak ‘menyaksikan’ mereka diculik, dibunuh, ketakutan. Kita ikut merasakan horor yang mereka alami. Feeling teror yang konstan itulah yang menandakan film ini kuat sekali menampilkan perspektif karakter anak yang genuine.

Untung mereka gak tinggal di kota masa kecilku, terornya bisa nambah. Teror mati lampu!

 

Gak usah nunggu lama, transisi tone di prolog alias menit-menit awal sebelum kredit pembuka muncul aja udah gila banget rasanya! Sehabis sorak sorai kompetisi di lapangan baseball, lalu set up relasi karakter utama, semuanya beralih muram saat van hitam itu muncul di tikungan. Best part dari film ini memang adalah babak set upnya. Tiga puluh menit pertama saat kita diperkenalkan kepada lakon cerita dan panggungnya. Kota Colorado itu terasa gak aman. Sudah banyak anak-anak sekolah yang diculik. Beberapa di antaranya, dikenal baik oleh Finney (Mason Thames jadi anak yang pemalu, tapi punya lengan yang kuat!) Babak awal film ini melakukan banyak sekaligus, tapi sukses berat dalam tugasnya, Karakterisasi Finney dan relasinya dengan beberapa karakter kunci berhasil dimantapkan. Finney suka roket, Finney naksir cewek tapi gak berani bilang, Finney tipe anak yang sering dibully, dia butuh bantuan dari teman-teman, bahkan dari adiknya, Gwen. Yang btw diperankan dengan natural dan kocak oleh Madeleine McGraw. Hubungan kedua kakak adik ini dengan ayahnya juga dilandaskan. Tentu saja, Finney jadi korban penculikan berikutnya. Dia toh harus belajar stand up for himself. Nah, di ruang bawah tanah tempat dirinya disekap penculik itulah Finney harus mulai belajar. Also, sesuatu hal mistis terjadi. Telepon dinding yang sudah rusak yang kabelnya gak nyambung itu berdering. Finney mengangkat, dan dia mendengar ruh para korban bicara kepadanya. Mencoba membimbing Finney untuk take action berusaha keluar dari sana.

The Black Phone diangkat dari cerita pendek karangan Joe Hill, putra dari novelist horor kawakan Stephen King. Sedikit banyak, pengaruh bokapnya dapat kita rasakan di balik cerita Hill ini. Terutama dari unsur mistis dan psychic yang dikandung cerita. The Shining, misalnya, ada yang namanya ‘shine’. Kekuatan yang membuat Danny Torrance bisa telepati, punya penglihatan, dan bisa baca pikiran, yang digunakan sebagai fasilitas tak-terjelaskan untuk bantu memajukan plot. Hantu-hantu yang datang untuk membantu Finney juga mengingatkanku kepada hantu penolong di Pet Sematary. Aku gak tahu materi asli Black Phone ini memperlakukan unsur-unsur tersebut seperti apa, aku belum baca cerita pendeknya. Namun dari yang kulihat tertampil di sepanjang durasi, The Black Phone tidak membuat mistis tersebut jadi terlalu menggampangkan. Cerita lain akan settle dengan menjadikan hantu dan kekuatan psychic itu sebagai kemudahan. Alih-alih itu, The Black Phone berusaha mengangkat ‘fasilitas’ ini menjadi sesuatu. Adik Finney yang punya kekuatan penglihatan lewat mimpi diberikan konflik dengan ayahnya, sekaligus juga menyenggol urusan reliji. Meskipun sedikit aspek reliji ini dimainkan lebih sebagai komedi, tapi setidaknya lapisan karakternya bertambah. Dan bantuan dari hantu-hantu enggak lantas membuat aksi dan pilihan Finney jadi selesai. Bayangkanlah seperti petunjuk kasar. Masih banyak yang harus dipelajari, masih banyak yang harus diperjuangkan oleh Finney dengan tangannya sendiri.

Seperti halnya genre lain, dalam horor pun ada klise. Tapinya lagi tidak semua klise harus diberantas, ada juga klise yang masih worked, misalnya dalam horor adalah soal bahwa yang paling mengerikan justru adalah manusia. The Black Phone punya klise ini. Yang horor adalah penculiknya. The Grabber (kayaknya ini peran paling deranged yang pernah dibawakan oleh Ethan Hawke) jauh lebih berbahaya daripada hantu-hantu, karena dia penjahat. Hantu-hantu berdarah itu korban. Persoalan hantu jadi tantangan bagi The Black Phone sebagai horor. Bagaimana membuat makhluk halus berpenampilan mengerikan tetap seram tapi kalah menakutkan dari manusia yang bahkan tidak diperlihatkan secara langsung membunuh karakter anak-anak (kalo di film kita pasti ada adegan yang memperlihatkan The Grabber bunuhin anak kecil dengan sadis). Perhatikan jumpscare yang dilakukan oleh film ini setiap kali kemunculan hantu. Film tidak membuatnya over. Melainkan seadanya, tidak pake suara mengagetkan. Cukup membuat kita ketakutan dari build up kemunculan tapi tidak sampai merampas kita dari simpati ataupun apa yang harusnya kita rasakan kepada mereka yang cuma korban. Segala ‘teatrikal’ justru diberikan kepada The Grabber. Yang gak langsung membunuh, melainkan main mindgame dulu dengan korban. Menikmati jebakan mental yang dia buat sendiri. Yang pake topeng yang berbeda-beda setiap kali kemunculannya.

Topengnya didesain oleh Tom Savini, makanya tampak familiar mirip ama topeng The Fiend di WWE!

 

In many ways, The Grabber yang merasa Finney spesial ini adalah paralel dari kehidupan si karakter utama. The Grabber bisa simbol dari bully yang ia terima. The Grabber yang punya adik ini juga bisa dilihat sebagai lawan dari hubungan Finney dengan Gwen, adiknya. Dan yang paling utama adalah soal banyaknya jenis topeng The Grabber, bersisian dengan Finney yang enggak populer dan bahkan bisa dibilang ‘tidak kelihatan’ di sekolah oleh teman-temannya. Dicuekin. Jadi walaupun karakter The Grabber tidak dikembangkan mendalam, tapi dari desain karakternya dia sudah jadi antagonis yang efektif untuk protagonis kita. Afterall, ini adalah cerita tentang anak yang harus belajar stand up for himself.

Satu yang menarik dicuatkan oleh film dengan subtil ini adalah soal kepentingan dari sebuah nama. Hantu-hantu tidak bisa lagi mengingat nama mereka, Finney yang berbohong soal namanya, dan ending film berupa cewek yang ditaksir Finney menyebut namanya. Nama, seperti wajah di balik topeng, adalah identitas. Hal yang tidak ‘dipunya’ oleh anak-anak korban bully dan korban KDRT seperti Finney. Karena mereka merasa kecil. Film menyebut nama Finney baru dikenal saat dia hilang diculik, The Black Phone menunjukkan bahwa konfirmasi nama oleh orang lain dapat memberikan kekuatan seperti yang kita lihat ketika para hantu jadi merasa damai setelah diberitahu namanya. Perjuangan Finney pun akhirnya menutup ketika dirinya sudah direcognize dengan nama di akhir cerita.

 

Sebagai adaptasi dari cerita pendek, kesan agak dipanjang-panjangin masih sedikit menghantui film ini. Babak kedua yang memperlihatkan proses Finney berusaha melarikan diri, bisa terasa repetitif. Walaupun film memang berusaha menaikkan tantangan, mulai dari Finney harus menggali dengan tangan kosong, ke harus memanjat dengan kabel, hingga ke membuat jebakan dan perkakas. Persoalan mistis dan kekuatan vision adiknya yang tak-terjelaskan pun dapat membuat penonton yang mengharapkan penjelasan pun sedikit kurang puas. Beberapa orang mungkin juga bakal mengeluhkan film ini lambat, tapi aku bisa lihat itu hanya karena horor dalam film ini tidak mencapai ketinggian yang mereka harapkan. Bahwa film ini ternyata hantunya baik, sehingga momen-momen jumpscare yang ditunggu untuk seru-seruan itu gak benar-benar terbayar. Buatku sendiri, film ini amat memuaskan. Aktingnya really good semua. Arahan horor dan dramanya selaras. Babak satunya justru yang paling enak untuk disimak. Aku suka lihat relasi Finney dengan adiknya, dengan temannya. Rasanya sudah lama sekali gak nonton film horor tentang anak-anak yang benar-benar mencekam dan gak sekadar membuat mereka jadi objek. Dan lebih lama lagi rasanya kita gak mendapat karakter horor edan yang pakai topeng keren.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE BLACK PHONE

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian anak-anak jaman dulu mengalami tantangan yang lebih dibandingkan dengan anak-anak jaman sekarang?

Share  with us in the comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 


Comments

  1. Iksan says:

    Tantangan anak zaman dulu ya jelas lebih berat dr generasi Z bang. Semua tidak serba instan sprti skrg. Lha yg aneh di film ini. 2 bersaudara dlm 1 rmh tp tdk tau kalo saudaranya nyekapin anak2. Agak konyol disitu.

    • Arya says:

      Nelpon pacar aja lebih susah jaman dulu ya hahaha, adanya telpon rumah tau-tau yang ngangkat bokapnya

      Bego sih adiknya itu, karena dia makek sih kayaknya, atau sibuk di dunia sendiri jadi gak nyadar. Film masukin ini kayaknya buat narik perbandingan kakakadik

Leave a Reply