MEN Review

 

“No one can send you on a guilt trip without your permission”

 

 

Sebagai cowok, tak bisa kupungkiri, tuntutan untuk tampil ‘kuat’ itu seringkali memang ada. Bahkan dalam bentuk terkecil, lingkup sehari-sehari sekalipun, cowok sedapat mungkin diharapkan untuk tidak menunjukkan kelemahan. Tidak memperlihatkan sisi ke-vulnerable-an. Mau itu kenalan atau berdebat, cowok harus memulai duluan, dan harus dapet the last word. Kalo dibales, lawan terus. Cowok juga pantang nunggu disuruh, harus langsung take action. Permisi? Gak perlu izin-izinan. Cowok harus bisa ambil inisiatif duluan. Tuntutan-tuntutan sosial seperti itu memupuk ego para cowok. Hingga ke titik gak sehat cowok harus terus menunjukkan dominasinya. Walaupun mereka tahu mereka yang salah, walaupun mereka tahu mereka yang ngarep, mereka yang butuh, cowok akan melakukan apapun untuk assert the dominance.  Akar konflik utama dalam Men, horor simbolik terbaru Alex Garland basically adalah cowok yang mengemis untuk dimengerti oleh ceweknya, tapi karena dia cowok, maka ia menunjukkan itu dengan membuat semuanya jadi toxic, menyengsarakan, dan mengerikan bagi semua orang. Terutama bagi ceweknya.

Cewek yang dimaksud bernama Harper (diperankan oleh Jessie Buckley yang benar-benar ngasih gambaran seseorang yang terluka dalam secara emosional). Harper menyewa rumah untuk beberapa hari di pedesaan di Inggris.  Niatnya sih dia mau healing, karena baru saja mengalami ‘perceraian’ yang dahsyat dengan suami. Mereka bertengkar, Harper ngancem pergi, dan si suami ngancem akan bunuh diri kalo Harper pergi. And he did it. Harper menyaksikan raut hopeless suaminya saat pria itu terjun dari atap apartemen. Adegan peristiwa itu yang terus terbayang di benak Harper sehingga dia berlibur ke desa untuk menghilangkan semua itu. Namun orang-orang di desa itu tampak gak beres. Semua pria yang Harper temui di sana, mulai dari empunya rumah, polisi, anak remaja, hingga pendeta (kesemuanya diperankan oleh aktor yang sama, Rory Kinnear) cenderung mempersalahkan dirinya. Mengjudge dia atas hal-hal yang ia lakukan, termasuk perihal kematian suami. Keadaan menjadi semakin menakutkan bagi Harper tatkala seorang pria misterius tanpa-busana muncul di halaman rumah sewaannya.

Seolah dia adalah Adam, yang ingin menuntut tanggung jawab dari Harper yang jadi Hawa

 

Rural atau Folk Horror yang efektif selalu menggali lebih dalam daripada sekadar orang kota berkunjung ke desa yang ternyata mengerikan. Walaupun memang tak sedikit juga horor yang bekerja cuma sampai pada level desa dipandang sebagai tempat yang angker, atau kuno, dan sebagainya, tetapi sesungguhnya yang namanya horor selalu berasal dari dalam. Untungnya, Alex Garland paham hal tersebut. Dalam Men ini, Garland tidak membuat film dangkal yang horornya berasal dari luar. Ya, orang di desa yang dijumpai oleh Harper bertingkah aneh, kurang ajar, dan menyeramkan. Tapi benarkah demikian? Garland mengangkat pertanyaan tentang itu dengan membuat pria-pria tersebut diperankan oleh aktor yang sama. Apakah ceritanya mereka semua kembar? Tentu tidak. See, yang namanya film selalu adalah soal perspektif. Maka, Garland mengarahkan kita untuk melihat orang yang melihat mereka semua sebagai orang yang sama. Kita difokuskan kepada Harper. Perempuan yang berkunjung demi melupakan traumanya. Trauma inilah yang sebenarnya jadi sumber horor yang dirinya alami selama di sana. Trauma inilah yang harus dia resolve, yang harus ia konfrontasi supaya benar-benar bisa ‘sembuh’. Dengan itulah, Men menjelma menjadi rural horor yang efektif karena dia menggali horor bersumber dari emosional karakter utamanya.

Garland menggunakan kontras untuk menguarkan perasaan terasing. Desa yang hijau dan tampak sungguh hidup kayak lokasi negeri dongeng dapat jadi tempat yang begitu terpencil rasanya bagi Harper. Rumah nyaman dapat jadi creepy dan berbahaya saat dirinya sendirian, Selain itu, banyak simbol-simbol, metafora, yang digunakan Garland untuk menggambarkan keadaan horor yang menghantui Harper. Salah satu simbol yang ia gunakan adalah simbol agama. Begitu Harper sampai di rumah sewaan di desa di menit-menit awal cerita, Garland sudah langsung menanamkan pohon dan buah apel di layar. Dengan segera menekankan antara persamaan antara Harper yang memetik apel tanpa ijin dengan Hawa. Poin Garlan di sini adalah bahwa perempuan dipersalahkan. Poin yang jadi Harper’s belief sebagian besar durasi.

Memahami film ini memang agak tricky. Apalagi membuatnya, aku yakin. Kenapa? Karena ini adalah cerita yang mencoba membahas relasi antara laki-laki dan perempuan, antara maskulin dan feminim, yang ceritanya dibuat oleh laki-laki, tapi mengambil sudut pandang perempuan. Bahkan, aku mereview ini saja ngeri. Takut terdengar seperti mansplaining perasaan yang dialami oleh perempuan dalam posisi Harper. Perempuan yang merasa dipersalahkan. Yang dituduh telah menyebabkan suaminya bunuh diri. Dia percaya dia gak salah, bahwa suaminya mati karena pilihan sendiri. Bahwa mereka bertengkar karena suaminya semakin toxic. Begitu banyak film yang membahas mengenai perempuan di dunia yang didominasi oleh racun maskulinitas pria, yang mencoba mengangkat sudut pandang perempuan sebagai korban dan membuat semua karakter pria sebagai misoginis brengsek. Film-film itu biasanya membuat protagonis perempuan yang gak-punya salah dan keseluruhan film menunjukkan bagaimana dunia terbentuk menjadi tempat berbahaya bagi perempuan. Film Men ini tidak seperti itu. Di sini letak tricky-nya. Tentu, film ini tidak meleng dari perangai pria yang lebih suka menyalahkan perempuan daripada ngakuin ke-vulnerable-an sendiri, tapi Men juga berani mengangkat bagaimana perempuan juga tidak sepenuhnya benar. Karenanya, salah-salah film ini bisa terlihat sebagai kelitan pria bahwa sebenarnya mereka gak bersalah.  Harper memang punya salah. Dia merasa dihantui seperti itu (mendengar gema suaranya aja dia jadi takut sendiri) tentu karena dia merasa bersalah terhadap sesuatu. Nah, penggalian terhadap itulah – realisasi Harper terhadap salahnya apa – itulah yang berusaha dihadirkan film yang have no choices menceritakannya dengan simbol-simbol dan penggambaran membingungkan. Semata karena film ingin respek terhadap sudut pandang yang berusaha digambarkan.

‘Kesalahan’ Harper cuma dia membiarkan dirinya kena guilt trip dari suami, dan kemudian dari para pria di desa, dengan terus avoiding confrontation. Hanya setelah dia mau duduk membicarakan masalah dengan para horor di akhir cerita itulah, Harper akhirnya menemukan kedamaian. Bahwa dia kini yakin dirinya sepenuhnya tidak-bersalah, tidak ada lagi ruang keraguan. Yea, Harper mungkin mematahkan hati suaminya (digambarkan lewat para pria di desa yang patah kaki dan tangan terbelah karena ‘ulah’ Harper membela diri) tapi bukan dirinya yang membuat suaminya bunuh diri. Dengan menunjukkan ‘kesalahan’ Harper, film ingin memperlihatkan bahwa most of the time perempuan bisa terus dipersalahkan hanya karena sikap pria yang tak terkonfrontasi.

 

Adegan hamil paling disturbing!!

 

Jika penampilan eerie Kinnear yang begitu luas rangenya itu belum berhasil bikin kalian takut, jika segala kilasan imaji-imaji patung nan surealis belum bikin kalian merinding, jika gema suara Harper belum bisa bikin kalian merapatkan kepala ke dalam selimut, well, Men masih punya satu senjata-horor lagi.  ‘Senjata’ yang berhasil bikin film ini jadi salah satu horor tergila. Garland juga menyiapkan elemen body-horor ke dalam cerita. Menjelang akhir kita akan disuguhkan pemandangan disturbing ketika si pria telanjang misterius melahirkan seorang pria, dan pria itu melahirkan pria lain yang dijumpai Harper di desa. Siklus melahirkan yang terus berulang. Membayangkan adegan cowok melahirkan aja udah bikin makan malam serasa mau melompat keluar. Film ini punya berkali-kali melahirkan bukan bayi tapi manusia dewasa, lengkap dengan darah dan cairan ketuban, dan ditambah ngeri pula dengan ‘lubang’ lahir yang berbeda-beda. Ada yang menyeruak dari punggung, ada yang dari mulut, ugh! Benar-benar horrifying! Semengerikan makna yang dikandungnya. Bahwa cowok di mana-mana sama, dan mereka seperti itu karena turun-temurun dibesarkan dengan pandangan – atau juga tuntutan – untuk menjadi toxic seperti yang sudah kujelaskan di pembuka ulasan.

Ngomong-ngomong soal makna, film Men yang sedari awal enak untuk dikulik dan dipikirkan mendadak terasa kayak cuek di akhir. Simbol dan kejadian-kejadian sureal diarahkan untuk menjadi ambigu dalam usaha film untuk tak terlihat menyalahkan karakter perempuannya. Ambigu, sampai-sampai di akhir cerita penonton malah jadi tidak yakin apakah semuanya nyata atau tidak. Jika ini tidak nyata, tapi toh film memperlihatkan bekas-bekas kejadian. Tapinya lagi jika nyata, film memperlihatkan banyak hal yang mengundang pertanyaan bagaimana bisa itu semua beneran terjadi tanpa ngasih jawabannya. Semuanya tampak seperti dilempar sebagai open interpretation, walaupun di titik akhir itu kita bisa menyimpulkan makna dan gagasan cerita. Menurutku pilihan ini dapat membuat penonton jadi bingung dan merasa tidak ada pay-off. Dan aku gak yakin ini film membuat pilihan yang benar dalam mengakhiri ceritanya.

 

 

Dari rural horor ke body horor, sesungguhnya film ini adalah gambaran horor yang surealis dari tantangan /kesulitan yang harus dihadapi perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Makanya film ini terasa disturbing luar dalam. Luarnya penuh imaji yang aneh dan benar-benar bikin gak nyaman. Dimainkan dengan luar biasa sehingga nuansa creepy itu benar-benar terdeliver. Sementara dalamnya sukses bikin kita tercenung, merenungkan relasi perempuan dan laki-laki yang kian gak-sehat. Film berusaha respek dan tidak ikut menyalahkan satu pihak, sehingga pada akhirnya memilih untuk menjadi ambigu. Dan dengan menjadi itu, film sedikit kehilangan powernya. But in the end, film ini tetap salah satu penceritaan horor yang menohok. Terasa beneran seram karena mengangkat hal dari dalam. Hal yang memang beresonansi dengan permasalahan mendasar manusia. Women and men.
The Palace of Wisdom gives 7.5  out of 10 gold stars for MEN

 

 

That’s all we have for now.

Menonton film di atas, apakah ada terbersit dalam hati untuk merasa kasian kepada laki-laki tokoh ceritanya? Bagaimana pendapat kalian tentang si pria-hijau-telanjang?

Share  with us in the comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

Comments

  1. Abdi_Khaliq says:

    Akhirnya review yang udah lama direquest muncul juga setelah bolak-balik belasan kali ke blog ini. Hahahahaha
    Gila banget sih Bang Arya bisa2nya menangkap esensi cerita dengan ending terabsurd menjadi sesuatu yang mudah dipahami (Akhirnya bisa tidur tenang).
    Jujur pas ending cowok lahiran itu saya yakin sih kalo saya gak bakalan paham film ini, meski dalam hati saya tahu banget kalo itu semua ada maknanya, secara dari sutradara Garland, makannya saya dari kemarin ngebet banget pengen dijelasin sama Bang Arya makna film ini.
    Jujur saya enjoy banget nonton film ini sebelum akhirnya dibikin bloon ketika muncul adegan lahiran. 😀
    Paling suka adegan Harper mengexplore hutan hijau pas hujan rintik2, sumpah berasa healing banget, sampai bawaannya ngantuk.
    BTW seingat saya suami Harper itu kematiannya ambigu bang, dia diceritakan tidak benar2 bunuh diri, tapi terpeleset saat mencoba masuk ke apartemen Harper melalui teras tetangga di lantai atas!!!?
    Jujur saya cukup kasihan sih sama suami Harper yang kayaknya cinta banget sama istri sampai memohon segitunya gak mau cerai, cuman yah itu sifatnya jadi toxic. Dan untuk pria hijau telanjang itu, mungkinkah itu gambaran bayi laki2 yang masih polos, but I don’t know.
    Anyway thanks banget untuk reviewnya!!!

    • Arya says:

      Hahaha iya, akhirnya tertonton juga. Walau ceritanya emosional, tapi sepanjang film aku nontonnya senyum-senyum karena bagus banget, seru banyak simbolnya, banyak anehnya. Tiap adegan baru kayak ada hal baru yang bisa dibahas. Tadinya sempat bingung kan, katanya ada adegan pria melahirkan, kok gak muncul-muncul. Di mana nyambungnya bisa ada adegan melahirkan, pikirku. Eh pas di akhir muncul itu, maaann, ku malah berasa gaksiap karena pengadeganannya ternyata jauh lebih horrifying dari yang kuantisipasi hahaha.

      Ya bener, aktual peristiwanya memang ambigu – apakah beneran loncat, atau sebenarnya memang kepeleset, atau gimana – tapi Harper satu yang benar-benar clear dan important; it’s not her fault. Kasian memang sebenarnya sama si suami, desperatenya kelihatan. Tapi ya itu, toxic. Kalo di kita itu ibaratnya kayak para cowok yang meminta perempuan untuk pakai pakaian tertutup karena ‘kalo ada apa-apa nanti jangan salahin kami’. Karena itu buatku sebenarnya cowok lagi memohon-mohon kepada cewek untuk membantu mereka, karena sadar mereka lemah. Tapi ya karena ego basic cowok, jatohnya jadi seperti menyalahkan.

      Kalo pria hijau itu, aku mikirnya bayi yang mungkin ada kaitannya simbol agama lagi. Karena kutak paham agama dari sudut pembuatnya, maka tak bisa kubahas lebih lanjut

      • jebe says:

        nanya dlu bang, waktu si suami jatuh kan badannya kan menghadap ke dalam apart tu bang tapi scne selanjutnya ditemukan dia malah nancep ke pagar besi badannya menghadap keluar, menurut bang arya kesalahan flm ato si harper boong biar gak merasa berasalah krn suaminya bunuh diri karna dy,lebih nyaman pikir dy kepleset

        • Arya says:

          Guilt.

          Kupikir adegan jatuh dramatis yang mereka berhadapan itu refleksi dari rasa bersalah yang di lubuk hati dirasakan oleh Harper.
          Karena secara logis kita toh tidak mungkin bisa menangkap dengan mata, orang atau benda yang jatuh terjun bebas dari ketinggian, apalagi melihat ekspresi wajahnya dengan detil seperti adegan yang kita lihat di film ini.
          Nah, karena narasi film ini dari sudut pandang Harper, yang berarti adegan yang kita lihat itu dari sudut pandang bagaimana dia mengingat kejadian tsb, maka berarti kejadiannya tidak benar-benar seperti itu. Harper hanya melihat suaminya jatuh, tapi dalam benaknya yang merasa bersalah, dia melihat ekspresi suaminya yang menuntut dan segala macem.

  2. Revan says:

    Review incantation dong bangg lagi viral di banding2 in sama the medium nih pgn tahu pendapat banga rya lebih suka yhe medium atau malah gasuka dua2 nya

    • Arya says:

      Gak suka dua-duanyaaa hahaha, dua-duanya buatku kayak makan snack, tapi sehabis itu kenyang enggak, tapi makin lapar hahaha. Reviewnya ntar di mini-review aja yaa. Bulan ini kayaknya bakal ada, aku cuma tinggal nyari satu film lagi biar pas delapan, untuk satu artikel mini-review

  3. soearadiri says:

    Emang wajib banget nonton sih kalo film2nya Garland. Judulnya MEN, adegan pembuka langsung disuguhi pohon apel, disitu aja perasaan udah nggak enak. Aduh, analogi agama sama relasi cowok dan cewek nih. Padahal tahun lalu udah kenyang banget sama film2 yg ngangkat topik Toxic masculinity, kali ini Horror dari Garland ngangkat Toxic relationship dimana cewek yg selalu dipersalahkan. Lengkap sudah. Moga2 nanti ada juga yg ngngkat dari sudut pandang cowok. You know, kadang kita lelah juga berlaga kuat padahal mau nangis wkwk

    • Arya says:

      Kayaknya susah bikin total sudut pandang cowok kayak gitu, karena jatohnya pasti kayak pembelaan kan. Men ini kulihat sebenarnya memang ngarah ke sana juga sih, pengen ngasih lihat juga cowok toxic karena sebenarnya lemah, gak tau cara ekspresiin vulnerable-nya kayak gimana. Makanya buatku film ini jadi berimbang perspektif cowok dan ceweknya semua ada, dan gimana di dinamika seperti itu cowok akan tampil sebagai antagonis cewek.

  4. Iksan says:

    Karakter Polisi perempuan menurutku malah melemahkan cerita film ini. Backstory lokasinya jg g direveal. Kalo itu kejadiannya benar terjadi menurutku krna mmg byk bekas kejadian kejadian yg di reveal di akhir. Cm yg jd pertanyaan diluar konteks maksud filmnya yg menjelaskan relasi laki2 perempuan, entitas apa itu yg dihadapi si harper? Ini kalo film indonesia judulnya “kolor ijo beranak” wkwkwk

    • Arya says:

      Mestinya cowok semua ya haha.. tapi bisa jadi si polwan itu dimasukin biar semakin kabur reality bagi Harper, atau simply ngasih liat jadi kayak gitu pengaruh toxicnya cowok bagi cewek.
      Wah gak tau deh entitasnya makhluk apa. Bisa jadi ada mitologi dari agama mereka. Atau kalo liat hijau-hijau, ada tumbuhan-tumbuhan, trus tema tentang cowok terhadap cewek, aku cukup konten dengan tebakan entitas itu adalah MANdrake hahaha

Leave a Reply to soearadiriCancel reply