MIRACLE IN CELL NO.7 Review

 

“Poor people lose. Poor people lose all the time”

 

 

Miracle in Cell No.7 dari Korea Selatan sudah diremake setidaknya oleh empat negara lain sebelum Indonesia. Fakta bahwa cerita tentang mentally challenged person yang dipenjara dan dihukum mati atas kriminal yang tidak pernah ia lakukan ini cocok dan bisa sukses tertranslasikan ke dalam sejumlah kultur negara berbeda sesungguhnya bicara banyak soal bahwa hal yang merata dari sebuah keadilan adalah ketimpangannya. Sistem hukum yang lemah, yang tajamnya ke bawah doang, ternyata adalah masalah yang seragam, baik itu di Korea, Turki, India. Dan tentu saja di Indonesia. I’m not a big fan of remakes, yang cuma sekadar mengadegankan-ulang alias cuma meniru versi aslinya, tapi begitu melihat nama yang menggarapnya, aku tahu bisa menaruh sedikit harapan kepada Hanung Baramantyo. Yang aku percaya tidak akan membiarkan cerita ini lewat di depan hidungnya, bergerak di bawah tangannya, tanpa menambahkan perspektif atau statement atau gagasannya sendiri terhadap tema yang dikandung.

Dari segi cerita dan bangunan narasinya, ternyata, tidak banyak yang diubah. Film ini dengan ketat mengikuti versi original yang rilis tahun 2013.  Ceritanya dibingkai ke dalam sebuah persidangan.  Wanita pengacara muda mengajukan tuntutan terhadap kasus dari dua puluh tahun yang lalu. Kesaksiannya terhadap kasus tersebutlah yang actually kita simak sebagai narasi utuh. Tentang Dodo Rozak yang harus terpisah dari putrinya, Kartika, karena Dodo jadi tersangka tunggal kasus pembunuhan seorang anak kecil. Pria dengan keterbelakangan mental ini harus mendekam di penjara. Bayangkan John Coffey di The Green Mile (1999), film dari cerita karangan Stephen King, hanya tanpa badan kekar dan kekuatan ajaib. Itulah Dodo. Dia cuma punya satu keinginan, ketemu lagi sama Kartika. Tapi bukan lantas berarti Dodo tidak membawa mukjizat – atau miracle. Napi-napi yang satu sel dengannya-lah yang duluan merasakan pengaruh positif dari Dodo. Sifat baik hati Dodo menghangatkan selnya. Terlebih ketika para napi membantu untuk menyelundupkan Kartika ke dalam sel penjara. Wuih, langsung semarak! Bukan hanya satu sel, kelamaan Dodo memgubah satu penjara jadi tempat yang lebih hangat. Semua orang di sana kini berusaha membantu Dodo keluar dari penjara, membantu membuktikan Dodo tidak bersalah supaya dia bisa terus bersama Kartika. Halangannya cuma satu. Hukum yang dingin, menekan, dan semena-mena kepada orang kecil seperti Dodo dan Kartika.

Jangan sampai ruang sidang jadi kayak ruang kelas anak TK  juga hihihi

 

Perbedaan yang langsung ter-notice olehku adalah gak ada Sailor Moon. Pada film aslinya, ‘Kartika’ suka banget ama Sailor Moon, dan si karakter kartun Jepang ini actually jadi bagian penting yang membuat ‘Dodo’ sampai dipenjarakan. Kepentingan Sailor Moon tidak sampai di situ, karena film original turut menjadikannya sebagai penunjuk kepolosan si ‘Kartika’. Bahwa anak perempuan cerdas yang mengurus ayahnya tersebut masih punya sisi kanak-kanak. Sehingga menghilangkan motivasi Kartika untuk punya tas sekolah bergambar karakter tersebut, berarti menghilangkan sebagian identitas karakternya. Reaksi pertamaku adalah kasihan. Mungkin film enggak simply mengganti Sailor Moon dengan karakter lain karena susah menemukan simbol kanak-kanak apa yang hits. Itu kan artinya kasihan banget anak-anak Indonesia, gak punya karakter kartun idola. Masa iya harus diganti jadi tas bergambar idol K-pop haha.. Tapi itu take yang gak ngefek ke penilaian film keseluruhan, aku cuma miris aja sama anak-anak jaman sekarang. Untuk menilai film ini sendiri, kita harus melihat apa pengganti yang disiapkan oleh film, oleh Hanung, bagaimana dia membuat karakter Kartika tetap punya ruh sebagai anak yang mandiri, cerdas, namun, well, tetap masih anak-anak.

Keseluruhan konteks inilah yang dialter sedikit oleh Hanung. Kartika dibuat gedean, di film ini Kartika sudah bersekolah SD. Kartika membantu pekerjaan Dodo, yang di film ini dibuat sebagai tukang balon keliling. Balon inilah yang jadi simbol kepolosan Kartika – dan juga ayahnya – alih-alih Sailor Moon. Balon ini juga digunakan Hanung untuk semakin menguatkan hubungan tematik ke ending yang berhubungan dengan balon udara. Konteks simbol yang semakin jelas berhubungan seperti itu dilakukan lebih baik oleh film ini, sebab di film original kepentingan mereka dengan balon udara tidak benar-benar diestablish. Film Hanung ini sudah mengikatnya dengan erat sejak awal. Membuat Kartika slightly older juga memberikan ruang bagi film untuk menaikkan level dramatisasi dan keseriusan pada ceritanya. Film original diwarna dengan cerah, dan dijual lebih sebagai drama komedi. Hanung, sebaliknya, lebih fokus kepada drama. Makanya warnanya jadi kontras, kadang kuning, kadang biru agak gelap. Meskipun sama-sama dipajang sebagai tontonan untuk semua umur, Miracle in Cell versi Indonesia didesain sebagai sebuah drama yang sedikit lebih serius.

Hubungan karakternya lebih digali. Kita sekarang diberikan backstory tentang ibu Kartika. Bagaimana relasi dan pengaruh sosok si Ibu terhadap cara Dodo bersikap kepada sesama, dan membesarkan Kartika. Ini menambah depth bagi karakter sentral kita. Dodo dan Kartika versi ini lebih bisa kita mengerti. Lucunya versi Hanung ini adalah, dia menjadi lebih dramatis justru dengan mengembangkan karakternya keluar dari trope dramatic. Film originalnya bagiku memang masih beroperasi atau masih mengandalkan karakter dari trope dramatic. Like, gak mungkin kita gak bersimpati dan sedih melihat mentally challenged person yang baik hati terpisah dari anak, keluarga, satu-satunya. Tidak banyak growth atau perkembangan yang dialami oleh karakter. Film original itu lebih menyasar kepada kita, mengajak untuk tidak berprasangka dan segala macem. Film versi Hanung memberikan ruang bagi karakter untuk bertumbuh, dan lebih dalam daripada sekadar trope. Perjalanan Kartika menjadi pengacara demi menegakkan keadilan untuk ayahnya menjadi lebih terasa dramatis tatkala kita tahu sebenarnya Kartika diharapkan untuk menjadi dokter. Fokus utama memang tetap pada hubungan (tak terpisahkan!) antara Dodo dan Kartika, tapi film versi ini juga memberikan lebih banyak soal hubungan antara Kartika dengan ayah angkatnya (yakni kepala penjara) yang tersentuh oleh hubungan ayah-anak Dodo dan Kartika. Hubungan yang telah direnggut dari si kepala penjara.

Selain memperlihatkan soal hukum semena-mena sama rakyat kecil tak berdaya, film juga mengangkat soal kehilangan orang yang disayangi. Betapa itu jadi perasaan yang bakal terus menghantui. Gak bakal hilang. Dan adalah tergantung masing-masing untuk bersikap gimana terhadap perasaan tersebut. Kartika menggunakannya untuk mendewasakan diri. Kepala penjara bertekad untuk tidak membiarkan orang lain mengalami perasaan sedih serupa. Sementara antagonis di sini justru menyerah kepada perasaan duka tersebut dan membuat hal jadi semakin buruk dengan ‘menularkannya’ kepada orang lain. Sikap yang gak healing siapa-siapa.

 

Sailor Moon – Moon – Bulan – Moon cake – Kue terang bulan – Martabak!

 

Supaya gak depresi-depresi amat, humor yang jadi nilai jual film aslinya tetap dipertahankan. Di tangan sutradara lain ini bakal jadi tantangan yang berat, karena sekarang film memuat dua tone yang semakin kontras. Tapi Hanung yang memang kuat arahan dramatis dan karakternya, membuat itu tampak mudah. Range yang diperlihatkan film ini luar biasa. Antara bagian sedih (banget), adegan kekerasan polisi yang cukup bikin meringis, ama obrolan berbau komedi, mampu hadir tanpa terasa mentok. Melainkan berimbang dan natural. Contoh gampang untuk melihat ini: lihat saja karakter napi yang diperankan oleh Indro Warkop. Aku gak pernah melihat Indro bermain di luar role komedi receh. Tapi di sini, aku kadang jadi genuinely ngeri melihatnya kayak preman beneran, dan kadang kocak juga. Penampilan akting di film ini semuanya meyakinkan seperti demikian. Vino G. Bastian sebagai Dodo; tak pernah terlihat kayak mengolok-olok. Respek terhadap karakter, timing komedi, serta bobot drama berhasil ia sajikan tanpa over dan tumpang tindih. Yang make or break the movie jelas adalah akting karakter anak kecil. Serius. Bukan hanya di film Indonesia, tapi di film luar juga. Karakter anak kecil akan jadi penentu karena menggarap karakter anak kecil itu tantangan bagi orang dewasa. Jangan sampai anak kecil itu malah kelihatan seperti orang dewasa yang berusaha menjadi anak kecil. You know what I mean. Apalagi konteksnya adalah anak kecil yang mandiri dan cerdas. Untuk itu aku salut sama Graciella Abigail, yang mampu menerjemahkan tantangan peran yang diarahkan Hanung menjadi sebuah penampilan akting yang benar-benar deliver. Gak hanya tampak seperti dia dipakai karena jago nangis, atau karena mirip sama counterpart versi Korea. Inilah satu lagi kekuatan film ini. Di balik keberhasilannya jadi mirip sama versi Korea, film ini juga nawarin sesuatu yang lebih.

Setting Indonesia berhasil dirasukkan ke dalam cerita. Antagonis yang ketua partai politik menambah tajam gagasan soal hukum yang mudah dikendalikan sama yang punya kuasa. Choir yang jadi kasidah, suasana natal yang diubah menjadi menjelang lebaran, membuat film bukan hanya dekat tapi juga berhasil dimasukkan ke dalam bahasan soal pengampunan dan ‘terbang’ dalam muatan yang spiritual. Diversity film tetap terjaga lewat celetukan karakter dan adegan-adegan lain yang benar-benar menghidupkan suasana di penjara. Adegan yang menurutku dilakukan lebih baik oleh film ini dibandingkan dengan film aslinya adalah saat para Napi berusaha merekaulang kejadian kematian yang dituduhkan kepada Dodo. Adegan ini dilakukan di tengah-tengah lorong sel sehingga semua napi, bukan hanya yang satu sel, ikut melihat dan terinvolve ke dalam drama Dodo. Sehingga outcome dari adegan tersebut terasa lebih menggetarkan. Tapi ada juga adegan yang dilakukan film ini kurang kuat dibandingkan film aslinya. Misalnya pada adegan balon udara di menjelang akhir. Aku lebih suka adegan pada film aslinya, karena lebih gelora aja melihat para napi membantu menghalangi para polisi mengejar balon udara. Untuk soal adegan courtroom drama, aku gak sepenuhnya mengerti peradilan di Indonesia bedanya apa dengan di Korea Selatan, tapi buatku sebagai sebuah tontonan drama, adegan-adegan di courtroom tersebut sudah berhasil menjalankan fungsinya.

 




Melihatnya secara cerita memang tidak banyak perbedaan. Bangunan dan narasinya sama. Dialog-dialognya juga mirip dengan versi aslinya. Aku masih ingat karena malam sebelum ke bioskop aku tonton ulang versi Koreanya. Tapi film ini berhasil memasukkan konteks yang sedikit lebih dalam, dengan mengembangkan backstory dan relasi karakter lebih jauh lagi. Yang diincar oleh remake Indonesia ini adalah tontonan yang lebih dramatis. dengan mengusung konteks yang lebih lokal,  tanpa kehilangan ruh aslinya, Dan semua itu berhasil dilakukan. Dengan gemilang dan sungguh emosional.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for MIRACLE IN CELL NO.7

 

 




That’s all we have for now.

Apakah memasukkan orangtua ke dalam penjara berarti memisahkan orangtua dari anaknya? Apakah itu hal yang manusiawi, atau hanya jadi manusiawi kalo orangtuanya adalah orang kaya seperti kasus di televisi yang tengah marak?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



Comments

  1. Albert says:

    Hore dapat 7,5 nih. Di antara film2 besar belakangan aku paling suka Miracle ini sih dibanding Pengabdi Setan atau Raden Saleh. Aku ga nonton versi Koreanya dan sekarangpun ga minat nonton. Rasanya kalau dibandingin remake pasti ada aja kurangnya. Ada untungnya juga walau udah duga Dodo bakal mati, rasanya masih ada dikit harapan kalau enggak tahu ceritanya. Siapa tahu balonnya berhasil misalnya.

    Aku yang rada ganjal di tengah2 pas sidang banding Dodo itu, tiba2 Mawar muncul dan sidangnya pindah ke sidang masa depan.Tapi sosok Dodonya ada, jadi aku bingung ini ilustrasi atau Dodonya masih hidup. Kupikir pertama cuma bayangan, tapi kok ga hilang2 jadi kupikir bener hidup, eh ternyata bener bayangan. Ini kurang smooth kok, misal Mawar itu maki2 pengacaranya. Lha di sidang masa depan ga ada pengacaranya, sedangkan di sidang masa lalu Mawar yang ga ada.

    • Irfan says:

      Izin berpendapat Mas Albert dan Mas Arya, kalau dari pendapatku, mungkin peleburan drama dan komedi (dan mungkin a bit of fantasy) agak kurang mulus. Aku ga nonton film Koreanya, tetapi apakah adegan balon udara di akhir untuk menyelamatkan Dodo dan Ika itu bersifat real? Karena aku merasa film ini adalah film drama yang sifatnya realistis. Bagian kekejaman polisi, penguasa yang semena-mena, panti asuhan yang depressing, sepertinya tidak bisa aku sinkronkan di kepala dengan napi kumpul-kumpul dan applausing untuk reka ulang sidang atau adegan percobaan kabur menggunakan balon udara (yang sebetulnya secara logika tidak cukup cepat untuk kabur, serta dimudahkan dengan sipir di menara yang tertidur). Tetapi overall, film ini tentu jauh lebih worth it daripada Mendarat Darurat hehe

      Di antara film-film Indonesia yang high profile di tahun 2022 ini, sepertinya aku masih lebih terkesan dengan Raden Saleh. Dengan segala kekurangannya, kesan yang dibuat setelah menonton bahwa Indonesia bisa membuat film heist dengan cukup decent, melebihi ekspektasi. Aku merasa Miracle bisa lebih baik lagi lebih ke fakta bahwa film ini adalah sebuah remake.

      • Albert says:

        Sebetulnya menurut kalian ini film fantasi atau realistis harusnya ya? Movfreak bilang ini film fantasi tapi dibuat realistis di Indonesia. Ya adegan balon udara itu katanya yang versi Korea lebih indah dan dramatis ya? Ya aku ga nonton Koreanya, pas nonton Indo sih secara emosi pengennya berhasil. Tapi setelah sekarang kupikir ya ga masuk akal sih kalau berhasil ya. Anggaplah lolos, gimana turunnya terus seoragn terbelakang dan anak kecil bisa lari ke mana ? Hehehe. Aku juga baru ingat satu hal mengganjal lagi. Berarti Dodo ini ke rumah pejabat sampai 2x ya? Aneh rasanya kemarin kan udah pulang, besoknya bisa mangkal di sana lagi.

        Aku malah Raden Saleh di bawah harapan nih. Di review sana ga kubilang. Yang di paro awal masuk akal tapi aku ga seneng. Ya di antaranya ada yang komen ga paham rencana heist pertama ini mau apa, aku juga ga paham tapi gagalnya sih paham. Yang heist kedua sesuai kekurangan di review, tapi seru juga nontonnya. Iya gimanapun bangga Indonesia bisa buat film Heist gini. Udah termasuk keren walau ada kekurangan.

        • Arya says:

          Circumstance kasusnya memang agak maksa sedari versi originalnya sih. Sama-sama ‘kok bisa ketemu lagi’. Tapi versi Indonesia lebih lumayan, karena at least Dodo yang ‘memilih’ untuk ada di depan rumah itu lagi. Kalo di versi original, si anak calon tewas itu yang tau-tau nyamperin Dodo lagi.

          And hey, kalo kata rule storytelling Pixar: Kebetulan untuk masukin karakter ke masalah itu tidaklah mengapa. Yang gak boleh itu adalah kebetulan yang dilakukan sebagai cara karakter keluar dari masalahnya”

          • Albert says:

            Waduh, Mendarat Darurat termasuk enggak ya kebetulan yang dilakukan untuk keluar dari masalah, hehehe. Kalau di versi Indonesia ini kan kita ga diliatin apa yang terjadi sama anak mati ini sebelum reka ulang di penjara, mas. Jadi kayak misteri gitu, di Korea begitu juga ga? Apa langsung diliatin matinya gimana? Lalu Dodo ini tau ga ya dalam ceritanya kalau bakal dihukum mati? Aku pas lihat endingnya itu sedih karena merasanya Dodo sama Kartika kayak ga paham mau pisah selamanya, perpisahannya ya mirip kayak pisah biasa seperti yang awal di sekolah itu.

          • Arya says:

            Sama, versi Korea juga gitu. Gak diliatin anak itu matinya gimana. Ketauannya ya pas reka ulang itu, berdasarkan keterangan Dodo yang berhasil diulik lebih baik/cermat oleh para napi, ketimbang oleh persidangan yang memang tidak menanyai perspektif Dodo melainkan cuma nge-coerce dan framing dia buat ngakuin hal yang mau didengar oleh penuntut aja. Nah, satu lagi yang dikontraskan dengan baik oleh Hanung soal itu. ‘Persidangan’ dari para napi dengan persidangan actual.

            Si Dodo kayaknya tau tapi belum memaknai banget hukuman mati itu seperti apa. Makanya di akhir itu ada adegan dia lari balik lagi ke tempat Ika, memohon-mohon tolong saya-tolong saya, kan. Kayaknya di titik itu dia baru sadar benar bahwa dia gak bisa sama Ika lagi selamanya.

            Kebetulan untuk mengeluarkan karakter itu ya contoh paling dekatnya yang aku tonton, si Raden Saleh sih. Kebetulan Dini melihat mereka beraksi, lalu menelepon, dan menawarkan pembeli, sehingga geng Piko jadi dapat reward yang menuntaskan masalah keuangan mereka di akhir. Kalo Dini gak nelpon, ya belum kelar masalah mereka soal duit.

          • Albert says:

            Iya sepakat, kupikir juga gitu mas. Aku ya yakin Dodo enggak tahu sampai dia balik itu. Aku kok lebih sedih perpisahan sebelum dia balik itu ya. Kasihan liat mereka yang pamit biasa tapi kita tahu ga bakal ketemu lagi dibanding pas dia balik teriak tolong saya itu.

          • Arya says:

            Aku juga ngiranya versi Indonesia ini bakal ‘lebih tega’ alias gak bikin si Dodo balik teriak-teriak nangis dan si Ika terus nunggu. Lebih sedih yaa. Tapi mungkin kalo gitu, dirasa gak ngasih justice ke karakter Dodonya. Like, dia harus dikasih kesempatan untuk tahu dan fully grasp apa yang terjadi

      • Arya says:

        Nah iya, makanya aku juga merasa adegan balon udara di film ini tidak sepowerful di versi original. Karena di film ini kesannya realistis sebagai usaha terakhir mereka. Di film original, yang lebih sebagai komedi, balon udara itu persembahan terakhir – ide konyol yang mendadak muncul – dari para napi untuk membantu Dodo. Tapi secara feel, penonton udah tahu itu gak bakal berhasil. Dramatic pointnya adalah Dodo merasakan terbang dan dapat momen bersama Kartika, something to remember by Ika. Makanya di film asli, ada polisi yang mengejar (dan ditahan oleh napi), dan ada polisi yang membiarkan. Sipir di menara tidak tidur, melainkan menemani Dodo ngobrol dengan santainya.

        Soal napi bisa diskusi bareng itu karena sebenarnya di titik itu sudah sebagian besar orang di komplek penjara itu sudah mulai respek sama Dodo, mereka ‘hadir’ di sana untuk sama-sama membuktikan Dodo benar-benar tidak bersalah. Aku lebih suka menampilkan begini, dibanding versi asli yang mereka diskusi dengan diam-diam, gak dinotice sama yang lain. Growth efek Dodo ke sekeliling itu lebih dapet di versi Indonesia, meski yah, balon udara itu jadi agak ‘baling’ ke growthnya. Paling cocok sih kalo digabung-silang. Reka-ulang di penjaranya pake versi Indonesia, balon udaranya pake versi Korea haha

        • Irfan says:

          Sepertinya aku harus nonton yang versi Korea ya buat referensi hehe

          Jadi menurut mas arya dibanding versi Korea, sepertinya adegan para napi kumpul dan membantu Dodo itu bisa lebih pas “mengantarkan” ke adegan balon udara yaa. Lebih dapet feelnya bahwa semua ada di belakang Dodo dan memberikan Dodo kesempatan untuk bersama Ika untuk kali terakhir. Cuma mungkin buatku, aku butuh adegan lagi sebelum para napi kumpul untuk lebih menguatkan bahwa para napi sudah begitu terkesan dan respek kepada Dodo. Apa maksudnya yang adegan kebakaran ya? Tetapi sepertinya adegan itu lebih untuk mendapatkan respek dari sipir bukan sih? Supaya kesannya tidak “out of nowhere” tau2 para napi mendukung Dodo, termasuk napi gahar yang udah bakar penjara hehe

          Mungkin akan lebih pas jika balutan utamanya lebih ke komedi ya. Agar kita bisa lebih menyesuaikan beberapa adegan (ex. adegan kebakaran seems superserious, yet the same person who started the fire eventually helps with the balloon) yang menurutku seperti tidak masuk ke “logika film”nya.

          • Arya says:

            Bener, yang kebakaran itu untuk respek ke sipir. Yang rekaulang di depan semua orang itu untuk lihatin para napi/para orang jahat lebih punya nurani ketimbang hukum itu sendiri. Treatment bagus yang dilakukan Hanung di film ini dengan membuat rekaulang itu dilakukan geng Dodo di publik space lapas. Jadi semua napi yang di sana tahu, ikut mendengar. Sekuen rekaulang itu kalo kita perhatikan ada awal-tengah-akhir tersendiri. Napi yang lain awalnya kan cuek, lalu semakin terinvolve, sampai akhirnya semua memperhatikan. Gerak kamera di sekuen itu juga mengalami perkembangan untuk mewakili tahapan Dodo dapat respek tersebut.

            Adegan kebakarannya jadi lebih intens dan kayak seserius Sayap-Sayap Patah jadinya ya? haha. Iya sih, agak kurang klopnya di situ. Sama di balon udara, yang mereka pakek acara perpisahan dramatis seolah itu usaha real yang plausible dilakukan

          • Irfan says:

            Oh i see mas, ternyata kita bisa lihat fungsinya sebagai kontras dari hukum yang berlaku kepada Dodo. Nah kalo gini aku lebih bisa memasukkan ke logika film yang sudah terbangun di kepalaku hehe. Kalo ga salah kamera dibikin berputar (agak sering ini, di sidang juga hehe) terus memperlihatkan perkembangan dari napi sepi sampai ramai.

            Iya adegan balon udara itu sebetulnya kita ngerti kalo itu sebagai perpisahan dramatis antara Dodo, seorang ayah penjual balon, dengan anaknya. Hanya saja film mengwalinya dengan menunjukkan jika hal ini plausible untuk dilakukan, sehingga seperti terasa kurang make sense dan mengganggu rasa emosional yang harusnya kita dapat. Btw kalo di versi Korea diajak ngobrol dengan santai dengan sipir penjaga menara ya mas? Kayanya kalo dibuat juga di versi Indo kayanya bakal lebih terasa manusiawinya ya hehe

          • Arya says:

            Haha iya, yang di korea itu like, si sipir di menara nanya kalian ngapaiin, dijawab ‘halo paaak, kami terbang paaak’ sama Dodo dan Ika. Dan si sipir itu mengiyakan dan angguk-angguk aja

            Kalo yang di adegan sidang memang dari koreanya udah ada muter-muter, tapi memang tak seintens yang dilakukan Hanung xD

    • Arya says:

      Kayaknya itu makinya ke pengacara tergugat, cuma biar dramatis disamain timingnya ama kejadian di masa lalu, pas sebelum pengacara di situ menjawab. Jadi seolah bicara langsung ke pengacara di masa lalu.

      Hahaha, itulah salah satu bedanya. Kalo yang Indonesia ini dibuat kayak last hope yang bakal berhasil. Versi Koreanya, feelnya agak beda. Lebih ke kita tahu itu usaha yang gak realistis, mantik dramatik poinnya dari situ. Dari gimana dengan polosnya Dodo senang terbang, tapi kita tahu there’s no way itu bakal berhasil

  2. Buku Tulis Garis-garis says:

    Salah satu film, yang ntah gak ngerti, bisa ditonton 2 rasa sekaligus. Sedih, tapi juga lucu. Ada saat-saat di film, aku nangis banget, tapi abis itu ketawa ngakak. Walau udah lupa sama yang versi aslinya. Gak nonton ulang.

    Dilanjut, sama mereka semua, ibarat kata, satu lapas nimbrung buat bikin reka adegan Dodo dan ngedukung dia. Itu gokil, sih. Salah satu adegan yang paling hangat juga di film ini.

    Gak nyangka Bang Arya ngasih 7.5. Aku agak gak sreg pas adegan lapas dibakar, kayak, ujug-ujug. Oh, tapi itu buat bangun empati kepala sipirnya, karena Dodo yang nolongin dia.

    Intinya sih, salah satu film remake Indo yang cukup berhasil. Jempol 2, deh.

    • Arya says:

      Haha iya sih, kebakarannya diadain utk ‘membantu’ cerita Dodo maju. Tapi paling enggak si napi jahat itu sudah ada build up dia memang tukang onar dsb.
      Bener, salah satu remake yang cukup ada ‘yang barunya’

      • Albert says:

        Kasihan Noktah Merah sama Lara Ati nih penontonnya dikit. Miracle masih laris yang nonton. Telat nonton dikit takut keabisan layar 🙁

        • Arya says:

          Untuk keadaan-keadaan ‘ketimpangan layar’ beginilah, kehadiran platform harus dimanfaatkan haha..
          (Dan also, menurutku ini juga efek kita yang suka mengoverhype satu film, sehingga bioskop ngeliatnya kayak yg hype dulu aja dibanyakin)

          Sekalipun harus turun layar, semoga film-filmnya cepat dapat jodoh platform

    • Arya says:

      Mungkin sih haha.. Asal jangan YouTuber aja XD

      Doraemon aja kayaknya udah gak relate ya sama anak-anak sekarang?
      Superhero Marvel bisa juga, tapi pasti kena copyright yaa

  3. Yusuf Nur Ichsan says:

    Satu hal yang bikin aku bingung min. Dodo katanya lahir tahun 1982…kejadian melati tahun 2002…berarti saat itu Dodo umur 20..nah Dodo nikahnya umur berapa…?

Leave a Reply