QORIN Review

 

“Real women support women”

 

 

Kesurupan rupanya masih jadi trope andalan film horor Indonesia. Di satu sisi, memang kesurupan bisa tampak konyol. Teriak-teriak pakai suara-dua, muntah, kayang, manjat-manjat tembok. Tapi jika dilakukan dalam konteks dan lingkungan yang benar, kesurupan terbukti mujarab. Karena, ya, super-relate. Kasus kesurupan sering terdengar dalam lingkungan masyarakat yang berakar agama. Much easier bagi masyarakat kita untuk ‘percaya’ sama orang kemasukan roh halus sehingga jadi jahat, ketimbang menyelami psikologis seseorang – rasa bersalah, duka, dan sebagainya ‘menjelma’ menjadi perwujudan jahat. Lebih gampang bagi masyarakat kita untuk deal with setan yang merasuki manusia. Kita telah melihat bukti kesurupan yang bercerita dengan lingkungan yang tepat berhasil jadi horor yang konek, pada film Qodrat (2022). Ustadz yang bisa rukiyah, literally jadi penyelamat. Menjadi layaknya superhero dalam cerita horor. Tanpa tendensi macam-macam, film itu mengembalikan tuhan lawan setan, baik lawan buruk, ustadz lawan orang kesurupan, ke kodrat yang langsung bisa dicerna penonton. Dan sekarang, saudari dari Qodrat; Qorin, tampak mau melakukan hal yang sama.

Kenapa aku bilang ‘saudari’? Karena Qorin garapan Ginanti Rona berangkat dari potret kesurupan yang grounded dengan masyarakat lewat agama, dalam sudut pandang perempuan. Santri-santri di sebuah Pesantren khusus perempuan sering kesurupan. Zahra (Zulfa Maharani dalam peran utama horor pertamanya) pun mulai sering menangkap ada yang aneh di pesantren mereka. Tapi Zahra si anak teladan, memilih diam. Tidak mengadu kepada ustadz dan ummi di sana. Zahra bahkan tampak takut kepada sang ustadz kepala, Jaelani. Sampai ketika Yolanda, si anak baru (Aghniny Haque dalam peran tomboy dan tangguhnya yang biasa) mempertanyakan ujian praktek memanggil qorin yang diberikan kepada seluruh kelas oleh Ustadz Jaelani. Kehadiran Yolanda sebagai teman, tampak menumbuhkan keberanian bagi Zahra. Namun hal mengerikan seperti menjadi-jadi. Teror qorin, ‘kembaran jahat’ para santri semakin tak terkendali. Zahra dan Yolanda harus mengumpulkan keberanian santri-santri yang lain untuk melawan kemaksiatan yang sepertinya sedang dilakukan oleh Ustadz Jaelani.

Ujian praktek manggil qorin tu yang dinilai apanya ya kira-kira?

 

Sudut pandangnya itulah yang membuat Qorin jadi punya sesuatu. Gak sekadar hantu-hantuan. Pun juga membuat Qorin meski punya identitas agama yang kental tapi masih bisa ditonton secara universal. Ada bahasan keberdayaan perempuan yang mengalir di dalam narasi Qorin. Persoalan power tercuatkan saat santri-santri perempuan ini harus tunduk di bawah sistem pendidikan tegas ustadz laki-laki. Film dengan berani memperlihatkan di balik identitas agama, para karakter ini hanyalah manusia. Dan manusia akan selalu punya dosa. Tentu kita masih ingat berita soal kepala pesantren yang mencabuli siswi-siswi, sampai ada yang hamil dan sebagainya, Nah, Qorin mengeksplorasi permasalahan tersebut dalam bungkus horor, tanpa mengurangi esensi yang ingin mereka sampaikan. Film ini menghadirkan hantu tapi tidak menjadikannya kambing hitam, sehingga tidak tampak mengelak dari permasalahan yang nyata tersebut. Menurutku langkah film dengan cepat mengestablish Ustadz Jaelani bukan orang baek-baek adalah langkah bold yang membuat statement ceritanya kuat dan langsung menuju sasaran. Alih-alih menyimpan si jahat sebagai misteri yang baru diungkap belakangan, film sedari awal sudah menanamkan petunjuk kejahatan Jaelani, dan begitu masuk babak kedua question yang diangkat sudah ke fokus ke permasalahan utama berikutnya. Ke pokok sebenarnya. Bagaimana perempuan bisa berjuang, not only di tengah sistem yang patriarki seperti ini, tapi juga yang menutupi sesuatu yang lebih sinister – seperti pelecehan seksual.

Aku berani bilang bahwa Qorin ini memuat soal keberdayaan perempuan lebih baik daripada film-film superhero atau film dengan jualan feminis yang biasanya kita lihat. Karena di Qorin inilah aku baru lihat perempuan-perempuan lemah itu berusaha bekerja sama. Lemah dalam artian, mereka cuma siswa – di sekolah agama, gak punya suara apalagi power untuk berontak. Biasanya di film-film yang koar memperjuangkan perempuan, karakter perempuan either udah jago sehingga jadi panutan karakter sekitarnya, menyelamatkan semua orang, atau  ditindas oleh semua orang di kehidupannya. Yang jelas, mereka dibikin selalu benar, gak ada flaw. Mereka gak ada pembelajaran, perjuangan mereka hanya untuk validasi. Tidak terasa real. Zahra, Yolanda, Ummi Hana, dan karakter-karakter perempuan dalam Qorin, mereka belajar untuk bekerja sama. Mereka yang ‘lemah’ itu berjuang bersama-sama. Babak kedua film ini memperlihatkan proses berat sebelum akhirnya mereka melawan bersama. Berat karena ‘perempuan saling dukung perempuan’ memang tidak semudah itu. Film memperlihatkan sempat ada friksi di antara Yolanda dan teman Zahra yang lain. Terkait Yolanda yang ‘berandal’ tidak sama dengan mereka yang alim. Zahra bahkan awalnya tidak berani menghadapi kejadian buruk yang menimpanya. Ia menyimpan sendiri. Kehadiran Yolanda, persahabatan mereka, mengajarkan Zahra untuk menjadi berani. Dari situ, dari santri-santri yang akhirnya berkumpul dan melawan itu, tema perempuan harus saling dukung benar-benar terpampang real.

Perjuangan perempuan seperti inilah yang bakalan konek ke penonton. Benar-benar menunjukkan fondasinya ya dari perempuan harus saling dukung dulu, lalu maju bersama. Tidak ada satu yang paling mencuat dan paling benar. Zahra harus belajar untuk berani. Yolanda yang jagoan harus belajar untuk lebih terbuka. Ummi harus belajar untuk percaya. Dengan flaw dan pembelajaran bersama, mereka jadi kayak real women. Dan real women akan saling support. Penggambaran itulah yang dilakukan dengan sangat baik oleh film Qorin.

 

Istilah ‘Final Girl’ dalam film horor (yang merujuk kepada satu protagonis yang bakal survive dari kengerian) seperti ditantang keras-keras oleh semangat perempuan film Qorin. Karena di sini ‘final girl’nya banyak! Film membuatnya clear bahwa bahkan si protagonis utama, Zahra, tidak akan bisa selamat tanpa yang lain juga selamat. Sebagai cowok yang hobi nonton horor, aku sudah melihat berpuluh-puluh final girl di ending horor. Melihat final battle Qorin, serasa ada sensasi tersendiri. Rasa kemenangan mereka terasa berbeda. Lebih menohok. Ending film ini buatku hanya diperlemah oleh kejutan di akhir; penutup shocker tipikal horor, yang gak ada nambahnya ke tema ataupun cerita, melainkan hanya untuk mengirim penonton pulang dengan teka-teki (sukur-sukur ada yang minta sekuel). Tapi yah, ibarat kado, final shock itu cuma pita hiasan yang membungkus film. Sementara isinya, tetep terasa urgen dan penting. Yang bijaknya adalah Qorin juga membahas dengan berimbang. Gak semua karakter cowok dibikin jahat, Patriarki tidak lantas dijadikan antagonis. Film masih respek sama nilai-nilai yang dikandung identitasnya. Ini membuat film tampak lebih elegan.

Soal hantu-hantu qorinnya, menurutku kembaran-kembaran jahat itu juga difungsikan sebagai metafor yang mendukung narasi. Bahwa semua orang punya sisi buruk. Setiap orang harus menghadapi sisi buruk masing-masing seperti Zahra dan Yolanda yang harus confront their fears, tapi juga di film ini ditunjukkan juga bahwa para perempuan itu melihat qorin jahat teman masing-masing sebagai cara untuk membuat mereka saling menerima kekurangan, dan akhirnya jadi saling bantu. Ngomong-ngomong soal qorin itu, cara film menampilkan dan mengadegankan horor cukup variatif sih. Ada yang lewat adegan mimpi, ada yang pakai kamera work sehingga shot-shotnya eerie, ada yang jumpscare. Adegan kesurupan yang selalu pake suara tawa cekikian juga bikin merinding. Lumayan seram juga overall. Mungkin karena dekat gitu sih ya, perihal qorin memang ada dalam agama, sehingga aku cukup merinding juga pas malam setelah nontonnya ke WC. Aku jadi segan melirik cermin di WC, takut kalo bayangan ku malah nyengir sambil bilang “Ih, bau!”

Stresnya kalo ketemu qorin sendiri adalah, gimana kalo dia lebih baik dari kita?

 

Yang kurang dari film ini adalah world-buildingnya. Bayangin kalo misalnya film Harry Potter Pertama, tapi isinya cuma Harry and the genk berusaha ngintipin Batu Bertuah. Tidak ada bagian mereka di kelas ngapain, apa aja yang dipelajari, dan sebagainya. Sayangnya, kayak begitulah Qorin. Ceritanya yang langsung to the point, tidak menyisakan ruang untuk pembangunan dunia pendidikan pesantren. Ujug-ujug langsung disuruh ujian prakter ritual manggil qorin. Mungkin karena bukan fantasi seperti dunia sihir Harry Potter, maka film merasa tidak perlu untuk memperlihatkan di pesantren itu ngapain aja sih, sistem belajarnya seperti apa, qorin itu apa sih – kok bahaya dan sebagainya. Padahal ya gak semua penonton tahu. Apalagi film ini menyasar permasalahan sosial yang global, harusnya ada something yang lebih memperkenalkan pada penonton umum. World building yang lebih mantap juga akan membuat karakter lebih natural, karena setidaknya kita jadi kebayang rutinitas mereka. Sementara yang actually kita lihat di film ini kan tidak terasa natural-natural amat. Progres ceritanya masih kayak poin-poin. Belum benar-benar berkesinambungan secara mulus. Melainkan hanya seperti adegan kunci ke adegan kunci, planting satu ke planting berikutnya, yang masuk gitu aja silih berganti. Akibatnya, kadang emosi karakternya terasa tidak kontinu antara adegan satu dengan adegan dia berikutnya. Ada juga adegan yang gak jelas juga kenapa ada. Misalnya kayak Zahra yang selalu mimpi buruk, tapi satu kali dia mimpi sampe ngompol (padahal visual mimpinya kita lihat sama aja). Ngompolnya dia itu jadi gak jelas karena apa, kirain ada kepentingannya. Tapi ternyata hanya di situ aja. Enggak jelas juga maksudnya untuk apa, kenapa harus ngompol, apakah untuk lucu-lucuan, apakah mau reference Zulfa meranin Nunung (pelawak yang punya ciri khas suka ketawa sampai ngompol) di film Srimulat yang satu ph ama Qorin, atau apa.

 




Kadang memang terasa jenuh juga sama horor. Apalagi yang bahasannya yang itu-itu terus, seperti kesurupan, kayang, dan semodelnya. Tapi film ini ngasih lihat bahwa ternyata masih ada loh galian-galian baru. Masih ada konteks yang bisa dilandaskan untuk membuat something jadi kerasa baru. Aku gak kepikiran final girl, perjuangan perempuan, dan horor kembaran jahat bisa digabung dan menghasilkan yang seperti film ini. Yang bisa ngasih gambaran gagasan yang berbobot di balik narasi hantu-hantuan. Berani mengangkat identitas agama, tanpa tendensi, sekaligus tetap berimbang. Sehingga semuanya terasa matang, aspek horornya tidak tertampilkan murahan. Jika diceritakan dengan world-building yang lebih baik, film ini bakal jadi pengalaman yang lebih immersive saat disaksikan.
The Palace of Wisdom gives sembilan-kayang alias 6 out of 10 gold stars for QORIN

 




That’s all we have for now.

Pernahkah kalian mendengar tentang qorin sebelumnya? Atau malah ada yang punya pengalaman nyobain manggil qorin?

Share cerita-cerita kalian di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



Comments

  1. FBS SEJATI says:

    Gw setuju dengan 90% poin review-nya karena kalau melihat secara gambaran besar, film ini justru merupakan film kritik sosial dengan unsur horror sebagai pendukung dan katalis yg digunakan utk melecehkan wanita-wanita bau kencur.

    Hal paling menjengkelkan, karena ane liat di bioskop adalah excessive usage of backsound yg niatnya pengen menambah seram suasana malah endingnya annoying dan cringe. Too much high note here and there, approximately at 60% of the movie duration.

    Kalau melihat hal-hal teknis dari kacamata horror murni, banyak hal yg menurut ane miss dan menggantung.

    Gw udah nebak, admin sini bakal ngasih skor 6/10.

    • Arya says:

      Kalo suara, buatku yang lucu itu suara kucing. Entah kenapa film ini lebih milih buat ngasih suara kucing (tanpa keliatan kucingnya) setiap kali temennya yang suka kucing itu ngomong, padahal buat nunjukin dia sayang kucing kenapa gak sekalian aja dia disuruh gendong kucingnya. Kenapa cuma suara doang, sesekali doang ada kucingnya keliatan haha

      Ya bener, kalo dari teknis masih cluncky, kayaknya masalah jam terbang aja sih.

      Hahaha kok bisa bener nebaknya?

  2. Aaron says:

    Agak surprise Mas Arya ngasih nilai 6 untuk film ini, secara review mayoritas negatif menganggap ini film mau cerita apa gak jelas arahnya. Dari nama penulis udah ragu sih sebenarnya, secara track record belum ada yang beneran bagus.Btw Mas Arya bakal ulas film kontroversial Mbak Gina kah? Kulihat mayoritas mereview dengan mengesampingkan warning trigger filmnya, lebih seperti promotional tool ketimbang ulasan murni

    • Arya says:

      Kalo dibilang lompat-lompat, runutnya dan flownya kurang enak, apa yang dilakukan dan perihal qorinnya kurang dilandaskan, aku juga setuju. Karena memang build dunia ceritanya kurang baik dilakukan.
      Tapi kalo dibilang ceritanya gak jelas, kupikir film ini udah gak bisa lebih jelas lagi. Udah clear betul sebenarnya, apalagi alurnya linear, dan gak pake twist. Pesantren cewek. Ustadz cowoknya jahat. Mau kendali penuh atas pesantren dan semua penghuninya. Horor simpel, yang temanya relevan soal perempuan, ada isu kekerasan seksual pula.
      Aku lebih mengapresiasi ini ketimbang horor yang sekadar hantu-hantuan, dan belibet pake mitologi, twist dan sebagainya. Memang sih, kalo ini ditangani oleh sutradara dan penulis yang lebih mumpuni dalam world-building, pasti nontonnya bakal lebih enak.

      Review dooong, aku udah nonton pas special screening di Bandung. Cuma, ya, mau liat-liat situasi dulu sebelum publish review haha.. Jumat kayaknya aku publish reviewnya.

  3. Asril says:

    Setuju, isu sosial yang diangkat di film ini sangat bagus, permasalahan nya juga sangat bagus, tapi solusi atau penyelesaian masalah dari film ini sangat kurang. Banyak bagian yang bikin bingung dan loncat-loncat alur film nya.

    • Arya says:

      Iya, itulah kekurangannya itu sepertinya bersumber dari world-building yang kurang. Selain yang sudah kusebut di review, perkara timeline kejadiannya aja kurang jelas, kan ya, gak jelas apakah harinya berturut atau gimana. Soalnya itu penting buat kita mengerti relasi antarkarakter, mereka terdevelop itu gimana.

  4. Albert says:

    Udah kutonton Qorinnya. Aku sih suka2 aja ya. Walau baca 2 review bertentangan paham juga di mana maksud bagus dan jeleknya. Kan aku udah baca review mas Arya duluan, jadi ya kuanggap film perjuangan cewek2 melawan penindasan gurunya. Aku udah lupa judulnya Qorin, ga dijelasin Qorin itu apa, kubayangin sih kembaran jahat. Hehehe.

    Aku sih seneng2 aja perang akhirnya. Kata Cinecrib kayak Star Wars, aku sih ga fans Star Wars ga paham yang mana. Hehehe. Tapi kan ada klimaksnya, ga kayak Inang yang lolos gitu aja. Kalau nonton Qodrat itu udah yakin pasti menang, kalau Qorin karena ceweknya banyak ya deg2an kalau ada yang mati.

    Btw, memang maksud kejutan di akhir itu apa mas? Aku sih ga paham. Hehhehe.

    • Arya says:

      Wah aku juga tak paham kalo dibilang kayak Star Wars hahaha, mungkin ada yang nyerang tapi gak kena-kena kayak Stormtrooper?
      Iya, pokoknya tokoh utamanya ‘kerja’ aja, udah bagus. Ketimbang cuma lolos gitu aja.

      Kejutan yang ternyata qorin-qorin masih ada di pesantren (entah itu merasuki santri, atau gantiin, kutak ingat persisnya haha)

      • Albert says:

        Oh ga masuk akal ah kok masih ada. Ya anggap aja selesailah sampai cerita utamanya hahaha. Like and Share ga tertonton nih aku, minggu depan udah Avatar hehehe.

        • Arya says:

          Iya tuh, mestinya gak usah ada adegan terakhir qorin-qorin itu. Beres di Zahra nangisin Yol juga udah cukup. Udah tuntas ceritanya.

          Aku Avatar kayaknya gak bakal nonton ke bioskop, makin nambah umur ku jadi makin angker sama durasi segitu. Bukan karena gak kuat filmnya, tapi gak kuat lama-lama di dalam studio bioskopnya ahahaha

    • Arya says:

      Aku sih terima-terima aja, soalnya dari opening film udah suudzon duluan “ah jangan-jangan ntar endingnya plot twist mereka yang sebenarnya jin qorin, jin qorinnya yang manusia” ahahaha

Leave a Reply