DI AMBANG KEMATIAN Review

 

“A home renovation can help you make your dreams a reality”

 

 

Di Jawa ada yang namanya pesugihan Kandang Bubrah. Pesugihan yang melibatkan syarat harus merenovasi rumah terus menerus. Bongkar pasang ubin. Bangun-rubuhkan ruangan baru. Pesugihan yang benar-benar ngasih meaning literal bagi kiasan ‘renovasi rumah dapat membantu mewujudkan impian’. Karena kalo orang normal memperbaiki dan menata ulang rumah itu dilakukan supaya menghasilkan kesan fresh, selain juga sebagai perlambangan bagaimana menata kehidupan sejatinya membutuhkan perjuangan. Sedangkan di ritual ini, ya bikin rumah senantiasa berantakan kayak kandang benar-benar harus dilakukan kalo mau kaya mendadak. Siapa coba yang gak punya mimpi jadi orang kaya. Horor karya Azhar Kinoi Lubis yang diangkat dari thread viral ini secara khusus memotret keluarga yang bapak-ibunya pengen kaya sehingga rela melakukan pesugihan Kandang Bubrah. ‘Potret’ yang bisa ditebak bakal merah oleh darah. Tapi yang membedakan film ini dengan horor-horor ritual yang banyak beredar di kita – yang membuat film ini one of the better Indonesian horrors out there – adalah film ini benar-benar menggali drama tragis dari keadaan keluarga yang terjebak hal horor tersebut. Lebih kayak drama tentang keluarga tragis, dengan tema horor. Dare I say, film ini ada di kotak  yang serupa dengan Hereditary (2018) meski memang penggarapannya belum sebagus itu.

Rumah dibangun dari bata, balok kayu, dan material lain. Sementara rumah tangga harusnya dibangun dari rasa cinta dan kasih sayang. Kadang kita lupa, kebahagiaan dan kesejahteraan di dalam rumah tangga bukan terutama didapat dari harta dan materi.

 

“Nurut sama bapak, kalo mau hidup kalian selamat” pesan terakhir ibu yang selalu diingat oleh Nadia. Malam tahun baru 2002, Nadia yang saat itu masih kecil menyaksikan sendiri kematian mengenaskan dari ibunya yang sudah lama sakit. Apakah ibu gak nurut sama bapak sehingga berakhir naas begitu? Nadia gak ngerti juga. Yang jelas kini dia dan Yoga, kakaknya, tinggal bertiga saja dengan bapak di rumah mereka yang selalu ramai oleh tukang yang bekerja. Meski Nadia ingin menaati nasihat ibu, tapi nurutin perintah bapak seringkali jadi hal yang susah untuk dilakukan. Karena perintah bapak itu aneh-aneh. Jangan bersihin rumah. Jangan masuk ke ruang kerja bapak.  Jangan tanya-tanya kenapa bapak sering bawa kambing ke kantor! Yoga sering dimarahi bapak karena gak mau nurut. Saat remaja, Nadia dan Yoga akhirnya tahu rahasia pesugihan bapak. Pesugihan itulah yang ternyata mengambil nyawa ibu, dan akan menagih kembali nyawa mereka satu per satu setiap sepuluh tahun sekali!

Kamarku juga suka berantakan sampai-sampai dikira lagi pesugihan

 

Yang paling sering jadi keluhanku saat nonton horor lokal kontemporer adalah terlalu bergantung sama plot twist. Seolah cerita tu gak seru kalo enggak dikasih kejutan, entah itu siapa sebenarnya yang jahat, atau apa yang sebenarnya terjadi. Padahal sebenarnya ide atau materi cerita horor kita banyak yang menarik. Tapi bahasannya jadi dangkal, karena filmnya hanya jadi sebatas kejadian ‘ternyata’. Bahasannya sengaja disimpan sebagai plot twist. Yang bahkan enggak ‘cerdas’ karena penonton seringnya bisa menebak duluan. Langkah bijak pertama yang membuat Di Ambang Kematian berada di posisi bercerita yang lebih baik daripada kebanyakan horor adalah, film ini gak peduli sama membuat plot twist. Perkara bapak ternyata melakukan pesugihan tidak disimpan sebagai revealing mengejutkan di akhir. Pun si bapak tidak lantas diungkap sebagai orang yang ternyata ‘jahat’.

Cerita Di Ambang Kematian berjalan linear, dalam span dua puluh tahun. Kita akan ngikutin Nadia dari kecil hingga dewasa. Sehingga journey karakternya itu beneran kerasa. Bapak ternyata melakukan pesugihan sudah diungkap, bukan sebagai kejutan melainkan sebagai plot poin untuk cerita masuk ke babak berikutnya. Ke lapisan berikutnya. Karena di cerita ini, melakukan perjanjian dengan iblis tidak lantas dicap sebagai perbuatan dari seorang yang jahat. Film ini menjadikan hal tersebut sebagai bahasan yang worth untuk di-examine. Keluarga yang pengen berkecukupan, tapi lantas bablas dan harus menanggung akibatnya. Film berusaha membuat kita simpati kepada karakter, despite flaw mereka. Meskipun kita tahu tindak pesugihan bukanlah perbuatan yang benar. Aku surprise banget sama depth yang berusaha digapai cerita tatkala Nadia yang sudah jadi Taskya Namya memilih untuk membantu bapaknya menyiapkan ritual potong kambing. Dia nurut bapak, bukan karena pengen kaya, tapi itulah satu-satunya cara keluarga mereka bisa terbebas dari tuntutan si setan kambing. Layer seperti ini kan jarang banget di film horor kita yang kebanyakan menempatkan protagonis sebagai seorang yang terjebak di kejadian horor dan cuma harus survive. Di film ini kita melihat seorang bapak yang sebenarnya sangat menyesal tapi tidak punya pilihan lain, seorang anak yang tetap ingin berbakti walaupun kondisi mereka bisa dibilang sebuah mimpi buruk. Momen langka buatku di film horor ada adegan anak ngelawan orangtua, tapi kemudian menyadari keadaan. Film ini tidak membenarkan pesugihan, tapi membuat kita merasakan dramatic irony karena in the end kita tahu mereka sekarang cuma ingin selamat hidup-hidup sebagai keluarga yang ‘utuh’

Penulisan karakter dan departemen akting keep story afloat. Para pemain menghidupkan drama tragis dan teror menakutkan yang menimpa keluarga mereka. Kesan traumatis, kesan telah melalui banyak juga tergambar lewat progres seiring dengan periode cerita berjalan. Cerita yang waktunya melompat-lompat itupun tidak jadi terasa terputus-putus. Karakter mereka kontinu. Nadia dan Yoga Kecil juga sudah diberikan karakterisasi. Karena cerita yang berjalan linear, porsi mereka saat masih kecil jadi bagian yang penting sebagai fondasi karakter mereka nanti saat sudah dewasa.  Mereka tidak sekadar jadi ‘korban’ gangguan setan, tidak sekadar disuruh teriak-teriak saat melihat ibu mencemplungkan wajah ke air panas. Sehingga film ini sama sekali tidak terasa seperti eksploitasi karakter anak di dalam genre horor. Meskipun memang horor yang ditampilkan termasuk cukup grotesque. Like, orangtua yang nekat bawa anak kecil masuk dijamin bakal nyesel udah melanggar penerapan batas umur. Tujuh belas plus itu sudah tepat. Gimana enggak, di film ini adegan pembunuhan dari iblisnya pasti bakal membekas karena digambarkan sadis, bayangkan gimana gak trauma anak saat melihat kekerasan berdarah-darah itu menimpa karakter yang seorang ibu, kakak, anggota keluarga yang relate banget dengan kehidupan sehari-hari.

Jangan genrenya yang dijadiin kambing hitam

 

Sedari menit awal, film sudah ngasih aba-aba teror seperti apa yang bakal dihadirkan. Sesuram dan disturbing apa tone yang bakal digambarkan. Film dimulai dan kita disambut suara lalat di suatu tempat di rumah mereka, buatku ini jadi ‘warning’ yang fun. Secara desain, hantu-hantunya (si hantu tinggi itu!) dan makhluk kambing menyerupai iblis Baphomet yang meneror para karakter memang terlihat mengerikan. Film bermain-main dengan gerak kamera dan editing, menghasilkan kesan kengerian mental yang juga merasuk ke benak kita. Karena hantu dan monster itu muncul sekelebatan, dan film tega untuk menjadikan jumspcare. Terkadang para aktor memainkan versi kesurupan dari karakter mereka, dan itu penggambarannya cukup gila. Bit terakhir dengan Teuku Rifnu Wikana bahkan nails vibe surealis dan teror psikis dengan ‘manis’.  Film juga merambah body horror untuk adegan-adegan kematian dijemput si iblis. Momen-momen horor di sini intens. Cuma salahnya, pencahayaannya agak sedikit terlalu gelap untuk bisa sepenuhnya dinikmati oleh kita. Acapkali rasa takut itu datang ‘telat’ karena aku harus sibuk dulu menyipitkan mata berusaha mencerna hantu seperti apa yang ada di layar, atau just mencerna apa yang sedang terjadi sama karakter di tengah malam listrik mati tersebut.

Selain momen terlalu gelap itu, aku juga terlepas dari mood yang dibangun saat film mulai mengeluarkan dialog-dialog yang dramatisasinya agak sinetron-ish. “Tampar saja, Pak!” Menurutku film ini lebih kuat saat langsung memperlihatkan tindakan karakter, misalnya ketika Yoga yang awalnya ogah nurut Bapak akhirnya ikut membantu Nadia mencangkul kubur untuk kambing selesai disembelih saat ritual. Narasi voice over Nadia yang mengisahkan kejadian hidupnya juga terkadang agak redundant. It works ketika voice over itu dilakukan untuk menjembatani gap antara periode waktu-cerita. Tapi terasa kurang diperlukan ketika hanya menarasikan kejadian yang secara bersamaan kita lihat di layar. Bapak tampak menguatkan diri demi menolongnya, buatku sudah cukup terdeliver dari akting dan kejadian di layar saja. Tapi mungkin voice over itu diperlukan demi mencuatkan thread horor yang jadi materi asli cerita. Supaya penonton ‘gak lupa’ kalo film ini diangkat dari kata-kata yang ada di thread tersebut. Sebab tentu bagi penonton yang ngikutin sedari threadnya, aspek-aspek yang mereferensikan hal tersebut bakal membuat film lebih menimbulkan kesan.

Kayak karakter Bastala, yang diperankan oleh Giulio Parengkuan. Teman SMA Nadia yang concern sama apa yang terjadi pada cewek itu, dan menyarankannya untuk menuliskan pengalamannya. Karakternya kan sebenarnya gak esensial, secara cerita, Bastala juga gak actually punya arc atau something yang benar-benar paralel untuk development Nadia. Karakter ini bisa saja di-write off, tapi ya itu tadi, aku paham kepentingannya harus ada. Karena mungkin dialah sosok di balik thread, orang yang mengumpulkan kisah yang dialami Nadia. Menurutku film harusnya took more liberty, secara kreatif, untuk penempatan karakter ini. Memilih, either mau dihilangkan, atau lebih dibuat berperan secara langsung, supaya bentuk penceritaan filmnya terasa lebih enak.

 

 




Horor memang bukan cuma soal hantu-hantuan, bunuh-bunuhan. Ada cerita manusia di dalamnya. Manusia yang terjerumus masuk ke jalan yang salah, misalnya. Film ini paham bahwa horor pertama-tama haruslah berangkat dari tragisnya manusia, kemudian baru menjadikannya sajian horor yang sadis dan teror yang menakutkan (kalo buat genre horor, ini disebutnya ‘sajian yang menyenangkan’) Cerita keluarga yang jadi pusatnya, membuat film ini sebuah pengalaman emosional yang menarik untuk diikuti. Membuat film jadi punya nilai lebih, enggak sekadar jumpscare-jumpscarean. Toh di bidang itu, film juga tidak kalah asyik. Naskah sudah runut dan gak terjebak ngasih plot twist yang gak perlu. Hanya arahan saja yang agak kurang kuat, karena film ini ada di posisi sebagai adaptasi dari thread. Posisi yang membuatnya harus ‘ngikut’ materi walau masih cukup banyak yang perlu diluruskan agar lebih enak sebagai penceritaan film.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for DI AMBANG KEMATIAN.

 




That’s all we have for now.

Kandang Bubrah hanyalah satu dari banyak lagi ritual pesugihan yang berkembang di masyarakat. Apakah kalian tahu yang lainnya?

Share di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



PRIMBON Review

 

“A belief which leaves no place for doubt is not a belief, it is a superstition”

 

 

Memahami keluarga memang repot, apalagi kamu bukan orang Jawa. Begitu kira-kira bisik salah satu kakak ipar kepada Dini. Loh memangnya kenapa dengan keluarga Jawa? Primbon garapan Rudy Soejarwo ternyata berusaha mengelevasi sajian horor dengan drama keluarga yang dipantik dari akar kepercayaan stereotipikal yang membentuk identitas karakternya. Keluarga Jawa di sini berarti keluarga yang percaya tahayul. Keluarga yang kehidupan sehari-harinya berpedoman pada apa yang diatur oleh primbon. Jadi paling enggak Primbon tidak sekadar tentang hantu yang namanya nyomot dari istilah lokal, tapi juga punya situasi dan drama cerita yang bisa kita mengerti, yang bisa kita rasakan. Let’s face it, urusan sama keluarga sendiri memang sudah cukup susah dari ‘kolot’nya soal pola pikir sosial, dan kita yang orang Indonesia seringkali masih ditambah susah oleh ‘kekolotan’ soal kepercayaan tradisional yang memang beragam tumbuh di daerah kita masing-masing.

Identitas memang penting untuk dipunya oleh sebuah film. Karena identitas itu yang bakal jadi hal yang membedakan jika cerita film kita, misalnya, sama atau sudah pernah diceritakan juga oleh film atau karya yang lain. Identitas yang kuat, bahasan yang khusus datang dari identitas itu, mampu membuat cerita kodian bisa terlihat baru. Film Primbon ini misalnya. Aku kaget karena premis film ini ternyata mirip dengan legenda yang ada di dalam game Forbidden Siren 2 (2006).  Gadis perempuan yang hilang, dicari berhari-hari tak ketemu, akhirnya keluarga besar mengadakan pemakaman. Malam hari, gadis itu muncul di depan pintu rumah, dengan ekspresi wajah yang kosong. Kedua orangtuanya datang memeluk, karena lega anak mereka pulang, sementara ibu tua yang ada di sana ketakutan karena tahu yang datang itu bukanlah si gadis. See, ‘kata kuncinya’ persis! Makanya identitas diperlukan, supaya pembahasannya jadi beda. Jika Forbidden Siren 2 memuatnya ke dalam desa nelayan kecil yang kental budaya dan kepercayaan Jepang, maka Primbon memuat premis itu ke dalam budaya orang Jawa. Yang jadi karakternya adalah keluarga besar yang percaya pada primbon Jawa. Dibenturkan dengan karakter utama berupa seorang ibu, seorang outsider yang gak tumbuh dengan kepercayaan-kepercayaan tersebut. Jadilah sebuah set up yang sempurna untuk drama horor ketika si ibu itu, Dini. tak terima melihat keluarga besarnya malah ketakutan melihat putrinya, Rana, yang pulang. Huh bukannya bersyukur masih hidup!

Siapa yang abis nonton ini langsung penasaran pengen cek kapan hari sialnya menurut primbon?

 

Dengan set up seperti itu, kita akan mikir film ini akan berkembang dengan menarik. Saat menghilang, Rana bersama temannya, Janu, ke hutan demi mencari kado ultah untuk ibunya, jadi relasi Dini dengan putrinya sudah terestablish sebagai hati dari cerita. Selain dengan ibu, Rana juga diperlihatkan cukup akrab dengan ayahnya. Rana juga punya adik perempuan yang sekamar dengannya, mereka dekat bagai sahabat. Ibu-ibu tua yang percaya primbon itu adalah bude-bude Rana, kakak-kakak dari ayahnya. Bude yang paling tua disebutkan sempat melarang Rana ke hutan karena hari itu juga bertepatan dengan hari sial Rana menurut penanggalan. Dari jajaran cast pun sebenarnya film sudah cukup memadai untuk berjalan di ranah drama horor. Happy Salma sebagai ibu yang mati-matian percaya anaknya masih hidup, the odd one out di antara keluarga, sulitnya ‘posisi’ Dini itu terpancar juga oleh penampilan Happy Salma. Baginya ini lebih dari personal. Nugie sebagai ayah, dan Jajang C. Noer sebagai si bude tertua juga sukes ngasih penampilan yang cukup emosional. Ayah yang berusaha jadi penengah, sementara si bude walau tertampil sebagai antagonis, tapi kita paham dia melandaskan aksinya sebagai pelindung keluarga. Pemain-pemain yang lain bermain di garis yang gimmicky yang sering terasa off, baik itu dari timing maupun dari bangunan karakter mereka, tapi ini masih bisa kita maklumi karena masih bekerja dalam vibe ganjil yang dikuarkan oleh atmosfer cerita.

Sebagaimana harapan Dini anaknya beneran masih hidup terbentur oleh kenyataan pahit, ekspektasi kita akan drama horor yang menggigit akan segera dihantam oleh realita bahwa durasi hanya 88 menit enggak cukup untuk mengembangkan drama. Aku gak tahu apakah durasi memang dikasih cuma segitu dari sononya atau penulis Lele Laila tidak mampu untuk menggali lebih lanjut sehingga filmnya tidak terasa mendalam. Film memang tidak mengangkat pertanyaan apakah Rana masih hidup atau bukan, jawaban atas itu sudah langsung kita ketahui, bahkan sedari poster hahaha… Ini kan sebenarnya diniatkan sebagai dramatic irony, kita bakal terharu melihat Dini mati-matian membela anaknya padahal anaknya beneran telah mati dan Rana yang di rumah itu hantu. Hanya saja yang kita tonton ini tidak terasa dramatis ataupun ironis yang maksimal. Karena journey Dini tidak pernah dikembangkan sebagai fokus. Kita hanya melihat Dini menantang kepercayaan keluarga besar, menolak percaya anaknya sudah mati, tapi kepercayaannya itu tidak pernah ‘diserang’ oleh naskah. Momen ketika Dini ‘berhadapan’ dengan warga di pasar; ibu-ibu yang juga percaya primbon dan menyuruh Dini mengecek Rana di rumah beneran manusia atau bukan; momen-momen kayak gini yang mestinya diperbanyak dan dikejar oleh film. Journey horor film ini justru bersumber dari gimana Dini memproses kejadian kepulangan Rana yang misterius. Tidak ada momen saat Dini merasa ‘jangan-jangan mereka yang bener, gue yang salah’. Tidak ada momen Dini melihat sedikit keanehan pada Rana. Momen menuju realisasi yang harusnya bisa seram karena personal tentang ibu dan kematian anaknya itu seperti sengaja enggak ditangkap oleh film.

Alih-alih itu, film lebih sering berkutat kepada horor standar yang dipantik dari orang-orang melihat sendiri bahwa Rana adalah hantu. Lebih banyak soal bude-bude yang curiga, masuk diam-diam ke rumah Dini, menaruh sesajen di bawah ranjang Rana. Lalu kepergok Rana, dan ditakut-takuti mereka oleh Rana. Cuma itu yang dipunya film ini. Momen horornya itu sebenarnya enggak jelek. Cukup seram, malah, ada sekuen horor pas upacara ruwat itu penampakan hantu-hantu tetua dan teriakan-teriakan orang kesurupannya bikin bulu kuduk meremang juga. Hanya saja kita tahu daging sebenarnya cerita ini ada di drama ibu yang gak nerima anaknya mati, di sisi lain dia juga adalah perempuan rasional yang menentang kepercayaan tradisional. Tapi naskah seolah mangkir dari bibit-bibit drama dan psikologis horor dan lebih memilih untuk mendangkalkan cerita dengan adegan-adegan horor yang di film lain pun horornya bakal begini-begini juga.

Yang membedakan tahayul dengan agama sepertinya adalah rasa takut. Orang-orang yang percaya tahayul akan tampak berlebihan dan gak mau dengar alasan, karena mereka takut akan hal aneh yang tak bisa mereka mengerti. Primbon memperlihatkan orang-orang seperti itu dapat menjadi ‘barbar’ memaksakan kepercayaan mereka. Ini yang lantas membuatku bertanya-tanya, gimana dengan orang yang memeluk agama tapi bertindak irasional seperti orang yang percaya tahayul?

 

Cerita sebenarnya bisa cepat beres karena Rana hilang di hutan ada saksinya, yaitu si Janu yang diperankan oleh Chicco Kurniawan. Makanya naskah sengaja menyimpan bahasan karakter ini sampai di pertengahan. Persoalan apa yang sebenarnya terjadi pada mereka di hutan pun tidak dibuild up sebagai misteri, melainkan hanya nanti diungkap begitu saja sebagai informasi oleh Janu yang udah gak tahan diganggu hantu Rana. Si Rana sendiri pun tidak diflesh out sebagai karakter, padahal posisi dia ini sebenarnya bisa seperti Suzzanna di Bernapas dalam Kubur (2018), yaitu hantu yang berusaha bertindak seperti manusia karena dia sayang sama keluarga. Tapi Flavio Zaviera sebagian besar waktu hanya ditugaskan film untuk menyunggingkan senyum misterius. Tidak hingga di akhir banget, karakternya baru tampak sadar ‘dunianya’ adalah drama horor yang dia sendiri ketakutan menerima bahwa dia sebenarnya sudah mati. Backstory keluarga besar mereka munculnya juga abrupt, setelah film jenuh terus-terusan berkutat di saling tuding ‘anak saya bukan setan – anak kamu setan’. Yang lucu adalah tau-tau film bicara soal keretakan di keluarga bude-bude itu, tau-tau bahas soal karakter bernama Bagas yang sepertinya meninggal karena kesalahan manusia. Sepertinya ini diniatkan untuk jadi akar kenapa mereka lebih memilih percaya primbon ketimbang ilmu dan logika, namun karena bahasan minim sekali dan ujug-ujug nongol, jadinya aneh dan konyol. I was like, “kenapa jadi Bagas??!!?!???”

Kirain bagus, ternyata bagas

 

Perkara ruang, aku masih bisa paham. Rudy Soedjarwo ingin menekankan drama dengan lapisan horor sehingga dia banyak menempatkan kamera di depan wajah karakter, supaya kita melihat gimana kecemasan secara aktual berubah menjadi ketakutan. Agar kesan kita melihat dunia itu jadi sesempit pikiran mereka.  Soal waktunya yang aku tak mengerti. Saking simpelnya penulisan, timeline film ini tuh gak terasa. Rana muncul setelah tujuh hari menghilang, tapi kita seperti merasakan hanya semalam. Begitu juga dengan berapa lama Rana tinggal di rumah sebelum akhirnya diruwat, enggak jelas. Karena build up yang tidak ada. Dari kembang-kembang sajen itu ditaruh di bawah ranjang hingga diambil dan nyatanya beneran busuk, kita tidak pasti berapa lama itu berlalu. Padahal kan mestinya dibangun ke kita supaya seram, entah itu baru tadi ditaruh tapi sudah layu, atau kalo mau ngangkat pertanyaan bisa dibikin sudah agak lama baru dilihat kembali dan telah layu (jadi bisa diperdebatkan ritualnya gak ngefek). Perpindahan ke karakter lain juga seringkali membuat karakter yang barusan kita lihat tidak terasa kontinu dengan saat kita pada mereka lagi nantinya. Flow penceritaannya terasa kacau. Aku lebih prefer film bercerita secara linear di awal, karena aku ingin melihat dulu gimana dinamika keluarga besar ini, gimana Rana semasa hidup dengan karakter-karakter lain (terutama dengan bude-budenya), supaya bisa lebih peduli. Mungkin bisa dibikin kembali Rana dari hutan secara misterius itu sebagai akhir babak pertama. Kupikir sebagai drama horor yang menekankan konflik antara sikap dan kepercayaan karakter, memang sebaiknya film ini lebih fokus menggali itu ketimbang berkutat di horor gangguan hantu semata.

 

 




Suasananya sebenarnya sudah meyakinkan. Kampung yang bisik-bisik meragukan si gadis yang kembali setelah tujuh hari. Bahasan primbon-nya sendiri juga masih terasa punya gigitan menarik, beberapa berhasil terlontar sebagai percakapan sehari-hari.  Bibit konflik drama juga ada, begitupun dengan perspektif utama tragis. Film ini kurangnya dari segi journey, build up, dan bahasan. Aspek yang penting dalam medium penceritaan. Memilih mangkir dari drama yang sebenarnya sangat naas dan pengalaman yang sangat horrifying jika digali dengan baik. Harapan yang kandas dari seorang perempuan yang berusaha jadi ibu yang baik bagi anak, di tengah keluarga besar yang ‘sulit’ kompromi, kan sebenarnya. Kemampuan film ini sayangnya cuma sebatas membuat cerita itu menjadi debat sederhana ‘dia hantu, dia bukan hantu’ dan adegan-adegan horor yang tidak benar-benar spesial. Identitas ceritanya jadi seperti sia-sia, karena hasilnya tetap generik.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PRIMBON

 

 




That’s all we have for now.

Soal primbon atau superstition sejenisnya sih sepertinya kita percaya gak percaya aja ya. Tapi apakah kalian punya tips gimana cara halus bilang gak percaya tahayul kepada orang atau keluarga yang justru pedomannya kuat banget ke hal tersebut?

Share pendapat kalian di comments yaa

Hijack, serial thriller bagus tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ sudah sampai ke episode finale. Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



QORIN Review

 

“Real women support women”

 

 

Kesurupan rupanya masih jadi trope andalan film horor Indonesia. Di satu sisi, memang kesurupan bisa tampak konyol. Teriak-teriak pakai suara-dua, muntah, kayang, manjat-manjat tembok. Tapi jika dilakukan dalam konteks dan lingkungan yang benar, kesurupan terbukti mujarab. Karena, ya, super-relate. Kasus kesurupan sering terdengar dalam lingkungan masyarakat yang berakar agama. Much easier bagi masyarakat kita untuk ‘percaya’ sama orang kemasukan roh halus sehingga jadi jahat, ketimbang menyelami psikologis seseorang – rasa bersalah, duka, dan sebagainya ‘menjelma’ menjadi perwujudan jahat. Lebih gampang bagi masyarakat kita untuk deal with setan yang merasuki manusia. Kita telah melihat bukti kesurupan yang bercerita dengan lingkungan yang tepat berhasil jadi horor yang konek, pada film Qodrat (2022). Ustadz yang bisa rukiyah, literally jadi penyelamat. Menjadi layaknya superhero dalam cerita horor. Tanpa tendensi macam-macam, film itu mengembalikan tuhan lawan setan, baik lawan buruk, ustadz lawan orang kesurupan, ke kodrat yang langsung bisa dicerna penonton. Dan sekarang, saudari dari Qodrat; Qorin, tampak mau melakukan hal yang sama.

Kenapa aku bilang ‘saudari’? Karena Qorin garapan Ginanti Rona berangkat dari potret kesurupan yang grounded dengan masyarakat lewat agama, dalam sudut pandang perempuan. Santri-santri di sebuah Pesantren khusus perempuan sering kesurupan. Zahra (Zulfa Maharani dalam peran utama horor pertamanya) pun mulai sering menangkap ada yang aneh di pesantren mereka. Tapi Zahra si anak teladan, memilih diam. Tidak mengadu kepada ustadz dan ummi di sana. Zahra bahkan tampak takut kepada sang ustadz kepala, Jaelani. Sampai ketika Yolanda, si anak baru (Aghniny Haque dalam peran tomboy dan tangguhnya yang biasa) mempertanyakan ujian praktek memanggil qorin yang diberikan kepada seluruh kelas oleh Ustadz Jaelani. Kehadiran Yolanda sebagai teman, tampak menumbuhkan keberanian bagi Zahra. Namun hal mengerikan seperti menjadi-jadi. Teror qorin, ‘kembaran jahat’ para santri semakin tak terkendali. Zahra dan Yolanda harus mengumpulkan keberanian santri-santri yang lain untuk melawan kemaksiatan yang sepertinya sedang dilakukan oleh Ustadz Jaelani.

Ujian praktek manggil qorin tu yang dinilai apanya ya kira-kira?

 

Sudut pandangnya itulah yang membuat Qorin jadi punya sesuatu. Gak sekadar hantu-hantuan. Pun juga membuat Qorin meski punya identitas agama yang kental tapi masih bisa ditonton secara universal. Ada bahasan keberdayaan perempuan yang mengalir di dalam narasi Qorin. Persoalan power tercuatkan saat santri-santri perempuan ini harus tunduk di bawah sistem pendidikan tegas ustadz laki-laki. Film dengan berani memperlihatkan di balik identitas agama, para karakter ini hanyalah manusia. Dan manusia akan selalu punya dosa. Tentu kita masih ingat berita soal kepala pesantren yang mencabuli siswi-siswi, sampai ada yang hamil dan sebagainya, Nah, Qorin mengeksplorasi permasalahan tersebut dalam bungkus horor, tanpa mengurangi esensi yang ingin mereka sampaikan. Film ini menghadirkan hantu tapi tidak menjadikannya kambing hitam, sehingga tidak tampak mengelak dari permasalahan yang nyata tersebut. Menurutku langkah film dengan cepat mengestablish Ustadz Jaelani bukan orang baek-baek adalah langkah bold yang membuat statement ceritanya kuat dan langsung menuju sasaran. Alih-alih menyimpan si jahat sebagai misteri yang baru diungkap belakangan, film sedari awal sudah menanamkan petunjuk kejahatan Jaelani, dan begitu masuk babak kedua question yang diangkat sudah ke fokus ke permasalahan utama berikutnya. Ke pokok sebenarnya. Bagaimana perempuan bisa berjuang, not only di tengah sistem yang patriarki seperti ini, tapi juga yang menutupi sesuatu yang lebih sinister – seperti pelecehan seksual.

Aku berani bilang bahwa Qorin ini memuat soal keberdayaan perempuan lebih baik daripada film-film superhero atau film dengan jualan feminis yang biasanya kita lihat. Karena di Qorin inilah aku baru lihat perempuan-perempuan lemah itu berusaha bekerja sama. Lemah dalam artian, mereka cuma siswa – di sekolah agama, gak punya suara apalagi power untuk berontak. Biasanya di film-film yang koar memperjuangkan perempuan, karakter perempuan either udah jago sehingga jadi panutan karakter sekitarnya, menyelamatkan semua orang, atau  ditindas oleh semua orang di kehidupannya. Yang jelas, mereka dibikin selalu benar, gak ada flaw. Mereka gak ada pembelajaran, perjuangan mereka hanya untuk validasi. Tidak terasa real. Zahra, Yolanda, Ummi Hana, dan karakter-karakter perempuan dalam Qorin, mereka belajar untuk bekerja sama. Mereka yang ‘lemah’ itu berjuang bersama-sama. Babak kedua film ini memperlihatkan proses berat sebelum akhirnya mereka melawan bersama. Berat karena ‘perempuan saling dukung perempuan’ memang tidak semudah itu. Film memperlihatkan sempat ada friksi di antara Yolanda dan teman Zahra yang lain. Terkait Yolanda yang ‘berandal’ tidak sama dengan mereka yang alim. Zahra bahkan awalnya tidak berani menghadapi kejadian buruk yang menimpanya. Ia menyimpan sendiri. Kehadiran Yolanda, persahabatan mereka, mengajarkan Zahra untuk menjadi berani. Dari situ, dari santri-santri yang akhirnya berkumpul dan melawan itu, tema perempuan harus saling dukung benar-benar terpampang real.

Perjuangan perempuan seperti inilah yang bakalan konek ke penonton. Benar-benar menunjukkan fondasinya ya dari perempuan harus saling dukung dulu, lalu maju bersama. Tidak ada satu yang paling mencuat dan paling benar. Zahra harus belajar untuk berani. Yolanda yang jagoan harus belajar untuk lebih terbuka. Ummi harus belajar untuk percaya. Dengan flaw dan pembelajaran bersama, mereka jadi kayak real women. Dan real women akan saling support. Penggambaran itulah yang dilakukan dengan sangat baik oleh film Qorin.

 

Istilah ‘Final Girl’ dalam film horor (yang merujuk kepada satu protagonis yang bakal survive dari kengerian) seperti ditantang keras-keras oleh semangat perempuan film Qorin. Karena di sini ‘final girl’nya banyak! Film membuatnya clear bahwa bahkan si protagonis utama, Zahra, tidak akan bisa selamat tanpa yang lain juga selamat. Sebagai cowok yang hobi nonton horor, aku sudah melihat berpuluh-puluh final girl di ending horor. Melihat final battle Qorin, serasa ada sensasi tersendiri. Rasa kemenangan mereka terasa berbeda. Lebih menohok. Ending film ini buatku hanya diperlemah oleh kejutan di akhir; penutup shocker tipikal horor, yang gak ada nambahnya ke tema ataupun cerita, melainkan hanya untuk mengirim penonton pulang dengan teka-teki (sukur-sukur ada yang minta sekuel). Tapi yah, ibarat kado, final shock itu cuma pita hiasan yang membungkus film. Sementara isinya, tetep terasa urgen dan penting. Yang bijaknya adalah Qorin juga membahas dengan berimbang. Gak semua karakter cowok dibikin jahat, Patriarki tidak lantas dijadikan antagonis. Film masih respek sama nilai-nilai yang dikandung identitasnya. Ini membuat film tampak lebih elegan.

Soal hantu-hantu qorinnya, menurutku kembaran-kembaran jahat itu juga difungsikan sebagai metafor yang mendukung narasi. Bahwa semua orang punya sisi buruk. Setiap orang harus menghadapi sisi buruk masing-masing seperti Zahra dan Yolanda yang harus confront their fears, tapi juga di film ini ditunjukkan juga bahwa para perempuan itu melihat qorin jahat teman masing-masing sebagai cara untuk membuat mereka saling menerima kekurangan, dan akhirnya jadi saling bantu. Ngomong-ngomong soal qorin itu, cara film menampilkan dan mengadegankan horor cukup variatif sih. Ada yang lewat adegan mimpi, ada yang pakai kamera work sehingga shot-shotnya eerie, ada yang jumpscare. Adegan kesurupan yang selalu pake suara tawa cekikian juga bikin merinding. Lumayan seram juga overall. Mungkin karena dekat gitu sih ya, perihal qorin memang ada dalam agama, sehingga aku cukup merinding juga pas malam setelah nontonnya ke WC. Aku jadi segan melirik cermin di WC, takut kalo bayangan ku malah nyengir sambil bilang “Ih, bau!”

Stresnya kalo ketemu qorin sendiri adalah, gimana kalo dia lebih baik dari kita?

 

Yang kurang dari film ini adalah world-buildingnya. Bayangin kalo misalnya film Harry Potter Pertama, tapi isinya cuma Harry and the genk berusaha ngintipin Batu Bertuah. Tidak ada bagian mereka di kelas ngapain, apa aja yang dipelajari, dan sebagainya. Sayangnya, kayak begitulah Qorin. Ceritanya yang langsung to the point, tidak menyisakan ruang untuk pembangunan dunia pendidikan pesantren. Ujug-ujug langsung disuruh ujian prakter ritual manggil qorin. Mungkin karena bukan fantasi seperti dunia sihir Harry Potter, maka film merasa tidak perlu untuk memperlihatkan di pesantren itu ngapain aja sih, sistem belajarnya seperti apa, qorin itu apa sih – kok bahaya dan sebagainya. Padahal ya gak semua penonton tahu. Apalagi film ini menyasar permasalahan sosial yang global, harusnya ada something yang lebih memperkenalkan pada penonton umum. World building yang lebih mantap juga akan membuat karakter lebih natural, karena setidaknya kita jadi kebayang rutinitas mereka. Sementara yang actually kita lihat di film ini kan tidak terasa natural-natural amat. Progres ceritanya masih kayak poin-poin. Belum benar-benar berkesinambungan secara mulus. Melainkan hanya seperti adegan kunci ke adegan kunci, planting satu ke planting berikutnya, yang masuk gitu aja silih berganti. Akibatnya, kadang emosi karakternya terasa tidak kontinu antara adegan satu dengan adegan dia berikutnya. Ada juga adegan yang gak jelas juga kenapa ada. Misalnya kayak Zahra yang selalu mimpi buruk, tapi satu kali dia mimpi sampe ngompol (padahal visual mimpinya kita lihat sama aja). Ngompolnya dia itu jadi gak jelas karena apa, kirain ada kepentingannya. Tapi ternyata hanya di situ aja. Enggak jelas juga maksudnya untuk apa, kenapa harus ngompol, apakah untuk lucu-lucuan, apakah mau reference Zulfa meranin Nunung (pelawak yang punya ciri khas suka ketawa sampai ngompol) di film Srimulat yang satu ph ama Qorin, atau apa.

 




Kadang memang terasa jenuh juga sama horor. Apalagi yang bahasannya yang itu-itu terus, seperti kesurupan, kayang, dan semodelnya. Tapi film ini ngasih lihat bahwa ternyata masih ada loh galian-galian baru. Masih ada konteks yang bisa dilandaskan untuk membuat something jadi kerasa baru. Aku gak kepikiran final girl, perjuangan perempuan, dan horor kembaran jahat bisa digabung dan menghasilkan yang seperti film ini. Yang bisa ngasih gambaran gagasan yang berbobot di balik narasi hantu-hantuan. Berani mengangkat identitas agama, tanpa tendensi, sekaligus tetap berimbang. Sehingga semuanya terasa matang, aspek horornya tidak tertampilkan murahan. Jika diceritakan dengan world-building yang lebih baik, film ini bakal jadi pengalaman yang lebih immersive saat disaksikan.
The Palace of Wisdom gives sembilan-kayang alias 6 out of 10 gold stars for QORIN

 




That’s all we have for now.

Pernahkah kalian mendengar tentang qorin sebelumnya? Atau malah ada yang punya pengalaman nyobain manggil qorin?

Share cerita-cerita kalian di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



LAMPOR: KERANDA TERBANG Review

“People lie to protect others”
 

 
Lampor dalam mitos daerah Jawa Tengah dipercaya sebagai penanda datangnya wabah penyakit. Namun dalam film garapan Guntur Soeharjanto ini, Lampor yang membunuhi dan menculik orang-orang ‘pendosa’ pada akhirnya akan mengajarkan kepada tokoh utamanya – dan lantas kepada kita – satu dua hal tentang menutup dan mengalihkan mata; tentang kebohongan yang kadang harus kita lakukan demi diri sendiri dan orang-orang tersayang.
Ada dua prinsip yang ditetapkan dalam film ini sebagai aturan yang harus dipatuhi oleh para tokoh supaya tidak diambil oleh Lampor; “Pantang melihat” dan “Jangan terlihat”. Bersembunyi di dalam gelap agaknya adalah cara untuk selamat dari hantu hitam bermata merah bak malaikat pencabut nyawa yang melayang bersama keranda yang diusung oleh pasukan tak-terlihat Nyi Roro Kidul. Pokoknya, malam hari, begitu suara sorakan mereka mulai terdengar dari kejauhan entah-di mana, segera tutup pintu dan jendela rumah, matikan lampu, berjongkoklah di dalam kegelapan sampai suara gaduh mereka tak terdengar lagi.

Black Lampor is all about the white lie

 
Kegelapan dalam film ini menjalankan dua fungsi yang bertolak belakang. Ketika diwakili oleh sosok hantu Lampor yang hitam, melayang dengan juntaian jubah layaknya kelelawar yang menenggak stereoid – para penggemar Harry Potter mungkin seketika akan teringat dengan Dementor – maka kegelapan itu adalah bahaya yang teramat nyata. Malam hari adalah momok bagi warga desa karena di waktu gelap itulah Lampor turun dan melayang rendah di pemukiman mereka. Ironisnya, justru di dalam gelap jualah para warga bersembunyi. Dalam satu adegan diperlihatkan seorang warga menjadi korban Lampor karena tiang obor terjatuh tepat di depan wajahnya yang sedang meringkuk. Api obor membuatnya kaget, cahaya api membuat Lampor mengetahui keberadaannya, dan binasalah ia. Kegelapan juga bertindak sebagai juru selamat, sedangkan cahaya hanyalah penerangan buat si Lampor mengetahu posisi dirimu bersembunyi.
Dualitas fungsi gelap yang bertolak belakang ini bukanlah kelemahan atau ketidakkonsistenan narasi. Melainkan sebuah simbol yang paralel dengan gagasan yang diangkat oleh cerita yang naskahnya ditulis oleh Alim Sudio.

Bagaimana kita selamat dari kegelapan? dengan bersembunyi dalam gelap, berbaur. Bagaimana kita selamat dari kesalahan? dengan berbohong supaya semuanya aman.

 
Pertanyaan penting yang diangkat oleh drama keluarga berkedok horor mitos supranatural ini adalah “Bisakah kita berbohong untuk melindungi orang lain?” Gagasan tersebut diangkat lewat permasalahan tokoh utama kita yang diperankan oleh Adinia Wirasti. Netta, nama tokohnya, punya masa kecil yang mengerikan di Temanggung. Oleh sang ibu, Netta dibawa pergi ke Medan, jauh dari tragedi gaib di desa. Hingga dewasa, Netta tak pernah menceritakan masa lalunya kepada suami – apalagi kepada dua anaknya yang masih kecil. Kepada suaminya, kematian adik oleh Netta ditutupi sebagai penyakit, dan perihal ayahnya disederhanakan sebagai selingkuh saja. Konflik muncul ketika kondisi rumah tangga mengharuskan Netta kembali ke kampungnya. Keluarga yang selama ini ia lindungi, terpaksa ia bawa serta ke tempat berbahaya yang membenci dirinya. Segala yang mengancam Netta di Temanggung sekarang turut mengincar suami dan anak-anaknya.
Yang dipelajari Netta dalam kisahnya ini adalah bahwa berbohong demi kebaikan pada akhirnya bukanlah solusi yang permanen. Sama seperti warga desa yang hanya meringkuk dalam gelap menunggu Lampor lewat; mereka tidak akan pernah membereskan masalah hanya dengan berbohong. Ketenangan yang hadir hanya bersifat sementara, karena ketakutan akan terus datang menghantui. Tidaklah bijak untuk terus bersembunyi dan menganggap semuanya akan baik saja. Kebenaran harus dikonfrontasi, meskipun menyeramkan. Netta malah melihat orang-orang di kampung, mereka yang dahulu ia dan ibunya tinggalkan, tidak sejelek yang ia takutkan ketika cahaya kebenaran menyinari mereka. ‘Cahaya’ yang masuk berkat keberanian Netta untuk menyeruak kegelapan.
Dengan lapisan pada cerita, serta keberanian naskah untuk bercerita dengan runut – tanpa mengandalkan pada flashback dan pengecohan – tetap saja kita sama aja dengan berbohong jika mengatakan Lampor: Keranda Terbang adalah film yang bagus. Film ini kekurangan satu hal krusial. Arahan. Soeharjanto biasa menangani cerita drama; permasalahan keluarga Netta yang menjadi tubuh utama cerita tidak menjadi soal baginya. Cerita Netta mencuat dan memberi bobot sehingga film tidak terasa hampa. Namun, menggodoknya dengan horor; di sinilah arahan tampak tak-punya clue untuk harus bagaimana. Lampor: Keranda Terbang adalah proyek horor pertama bagi Soeharjanto. Dan fakta tersebut benar-benar tercermin dari film ini.
Soeharjanto tampaknya mengira horor itu harus selalu kelam dan murung dan sedih dan depressing. Tidak ada satu adegan pun yang memperlihatkan Netta menikmati hidup, bahkan meski ia berpura-pura senang sekalipun. Adinia Wirasti berakting suram sepanjang film. Entah itu ketika dia mendengar permasalahan suami, atau ketika mendapat sambutan dingin dari penduduk desa, atau ketika anaknya hilang, atau ketika ia mengetahui rahasia di balik sikap almarhum ayahnya – film biasanya punya turun-naik emosi yang dicerminkan oleh perasaan tokoh utama. Netta dalam Lampor: Keranda Terbang hanya punya ‘turun’, tak ada fase ‘naik’ pada tokoh ini. Adinia adalah aktor yang cukup mumpuni, tapi berkat arahan cerita, hanya bebetapa adegan emosional yang ia jalankan tanpa terlihat bosan dan seadanya aja. Ada adegan ketika suaminya terbangun histeris dari mimpi buruk, tapi alih-alih membuatnya sebagai adegan comfort yang menunjukkan cinta dan semangat, film membuat Netta pada dasarnya berkata “kamu percaya kan sekarang” dengan nada tanpa semangat yang hanya memperbesar energi negatif terus-terusan. Reaksi Netta ketika melihat anaknya ada kemungkinan ditangkap orang juga terlalu sendu. Dia malah fokus ke pengungkapan selingkuh yang membuatnya semakin terpuruk karena merasa dibohongi.

tbh Adinia tak tampak begitu peduli, tidak seperti Dion Wiyoko yang tampak terlalu bersemangat berusaha keras membuat tokohnya dipedulikan

 
Untuk melandaskan kengerian, film memanfaatkan setiap kesempatan. Momen satu keluarga di dalam mobil yang seharusnya dipakai untuk pengembangan karakter, menunjukkan interaksi normal mereka menjelang hal-hal buruk yang akan datang, malah dijadikan sebagai momen eksposisi yang menjelaskan apa itu Lampor; kepada anak kecil. Orang dewasa macam apa yang menjadikan itu sebagai topik perbincangan untuk anak kecil – yang bakal tinggal lama di kampungnya. Beberapa saat sebelum itu si anak dilarang untuk menyimak perbincangan tentang perselingkuhan, namun kemudian mereka oke-oke saja saat si anak diajak ngobrol soal hal gaib. Film menggunakan segala cara yang diketahui supaya tampak seperti cerita horor. Anak yang bisa bicara dengan hantu, cek. Hantu yang memberi petunjuk, cek. Orang kesurupan, cek. Anak diculik, cek.

Manusia berbohong karena mereka percaya konsekuensi kejujuran bisa menjadi lebih buruk. Ini menciptakan dilema, antara untuk melindungi tapi juga berpotensi melukai perasaan orang yang sedang dilindungi.

 
Dan ketika sudah saatnya memancing ketakutakn, film menggunakan trik paling usang di buku; jumpscare. Ada begitu banyak adegan yang bikin jantung copot, entah itu berasal dari hantu beneran atau cuma dari kedatangan orang yang mengagetkan satu tokoh. Oh iya, ada juga satu yang berasal dari satu kesenian lokal seperti reog yang mendekat ke layar untuk mengagetkan kita langsung wajah-ke-wajah yang tak pernah ada signifikansi adegannya terhadap keseluruhan cerita. Kemunculan Lampor selalu disertai dengan iringan suara sorakan gaib yang menyeramkan, yang entah bagaimana oleh film menjadi terdengar lucu. Kamera menangkap secara luas, dan kemudian kita melihat ada anak muncul berlari dari kiri layar dan tak seberapa jauh diikuti oleh keranda yang mengejar sambil bersorak-sorak; ini kayak adegan dalam film-film kartun. Dan jika itu belum cukup untuk membuat kalian tertawa, tunggu saja hingga menjelang akhir, kita akan melihat keranda hantu yang bersorak-sorak itu ditabrak jatuh oleh mobil.
 
Film ini bercerita dengan runut. Mengangkat urban lokal yang menambah kedekatan penonton dengan ceritanya. Punya drama keluarga yang manusiawi sebagai denyut jantungnya. Namun jika mau jujur, film tampak seperti berusaha keras untuk menjadi sebuah horor. Sehingga seringkali malah jatuhnya lucu, mengabaikan logika, dan membuat kita mengamini perkataan salah satu tokohnya; “Suka-sukanya Lampor aja!”
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for LAMPOR: KERANDA TERBANG

TUSUK JELANGKUNG DI LUBANG BUAYA Review

“We always do things for a reason.”

 

 

Satu lagi cerita tentang insan manusia yang begitu ingin mengejar kontroversi; yang ingin dibicarakan lantaran sudah melakukan sesuatu yang tak berani dilakukan banyak orang. Adalah kebutuhan mendasar untuk merasakan adrenaline rush, euforia setelah melakukan hal berbahaya itu memang bikin nagih.

Makanya Sisi ingin mengunjungi tempat-tempat angker di seluruh penjuru, merekam vlog pengalamannya yang menyerempet dunia gaib demi dilihat dan disanjung oleh jutaan follower dunia maya. Ya, paling enggak skenario film horor terbaru dari Erwin Arnada ini berusaha untuk ‘bener’. Tokoh utama kita punya motivasi, ada stake dan rintangan waktu yang harus ia tempuh, ada langkah pertama yang gagal dan peningkatan usahanya untuk berhasil. Sisi nekat melakukan pemanggilan jelangkung tepat di tempat terangker di Desa Pucung, yang membawanya terseret masuk ke sisi lain (pemakaian nama yang cerdas, Sisi Lain adalah channel vlog Sisi). Tapi cerita tidak bisa menjadi lebih menarik lagi, karena tokoh utama kita eventually menjadi orang yang butuh untuk diselamatkan. Cerita nantinya akan berpindah-pindah antara adik Sisi di dunia nyata yang berusaha mencari komponen-komponen yang dibutuhkan untuk ritual masuk ke alam goib menyelamatkan kakaknya, dengan Sisi yang berusaha survive dengan muter-muter di ‘sarang hantu’. Perpindahan dua dunia ini semakin tak terkontraskan, tak nampak lagi perbedaannya. Karena di dunia nyata, selain harus berjuang menyisir air terjun yang berbahaya, juga ada hantunya. Malahan lebih banyak dari yang dihadapi Sisi. Film terus saja menguncup menjadi non-sense yang kacau dengan begitu banyak kekurangan.

film ini memberi kesimpulan wanita seperti Sisi mustinya main kadal aja di rumah

 

 

Tusuk Jelangkung di Lubang Buaya bisa saja menjadi alegori perilaku manusia terhadap dunia maya atau bahkan malah dunia showbiz yang punya relevansi kuat dengan keadaan sosial masa kini. Di mana orang lebih tertantang untuk berbuat sesuatu supaya terkenal di dunia palsu alih-alih melakukan hal yang benar di dunia nyata. Ada obsesi yang disebutkan bersarang pada penduduk desa yang terus memainkan boneka jelangkung meskipun setiap pemainnya berakhir dengan menghilang. Obsesi yang senada dirasakan oleh Sisi; bahwa dia, juga mereka, terdorong untuk melakukan sesuatu di luar ‘dunia’ masing-masing. Tapi film tidak pernah benar-benar mengeksplorasi ini.

Hal paling mengerikan ditunjukkan oleh pengalaman Sisi pada film ini adalah gimana masuk ke dunia gaib ternyata lebih gampang daripada masuk ke dunia entertainment.

 

Padahal mungkin sebenarnya film ini sadar ceritanya bisa mengarah menjadi lebih berisi dan berbobot lagi. Bahwa masuk ke dunia gaib itu kayak berusaha masuk ke dunia hiburan atau dunia maya. Mungkin itulah sebabnya kita melihat hantu-hantu di sini pada berpendar ala-ala Vanellope nge-glitch di film Ralph Breaks the Internet (2018) hihihi.. Serius deh, I love it. Aku suka desain hantu anak kecil yang pake topeng kayak terbuat dari tempurung kelapa itu. Aku suka gimana penampakan-penampakan hantu di sini dibuat seperti konsep penampakan di serial Netflix The Haunting of Hill House (2018); mereka dimunculkan di latar belakang, di sudut-sudut, di mana para tokoh enggak menyadari kehadiran mereka. Hanya saja, teknik subtil ini lantas dikacaukan oleh suara ketawa hantu-hantu yang volumenya begitu menggelegar. Maksudku, apa faedahnya suara-suara non-diegetik itu dipakai? Apakah film sebegitu tidak yakinnya penonton bakal melihat ada hantu di balik pepohonan? Aku gak tahu apa yang terjadi di balik dapur studio mereka, namun pilihan-pilihan editing kerap membuat hal menjadi tidak menguntungkan bagi kebagusan film.

Pada narasi, misalnya. Di awal-awal, film berhasil melangkahi jebakan flashback. Kita diperlihatkan cerita yang runut. Dari ‘tragedi’ desa, nasib boneka jelangkung, ke pengenalan tokoh utama. Adegan demi adegan bisa saja mulus melenggang dalam kurun waktu yang lurus. Tetapi, eits, jangan senang dulu, Ferguso! Pacing film diperlambat dengan sebuah adegan flashback yang cukup panjang mengenai backstory penemuan boneka yang sebenarnya sama sekali enggak perlu untuk dijadikan adegan flashback! Mereka bisa saja membuat waktunya real-time, maksudku, urutan adegan tidak perlu dibolak-balik, toh tidak akan mengubah banyak pada kejadian, dan tentu saja tidak akan menghambat pace cerita. Campur tangan editing film ini terasa begitu mengganggu. Seolah tidak kompak dengan narasi. Hampir seperti naskah dan editingnya tidak bekerja dengan otak yang sama; mereka jalan masing-masing.

Menyadari penuh pemain yang digunakan tergolong baru semua, tetapi tetap nekat mengandalkan teknik CGI; hal seperti begini yang membuatku bengong dan bertanya “Ada aaaa-pa ya sebenarnya?” Maksudku, benar-benar bukan sebuah pilihan yang bijak menyerahkan tugas seberat berakting ketakutan melihat sesuatu yang tidak ada kepada pemeran-pemeran seperti Anya Geraldine dan Rayn Wijaya yang menyambung in-character tokoh mereka saja masih terpatah-patah. Dan lagi, efek-efek tersebut tidak pernah tampak meyakinkan di mata kita. Visualisasi hantu kain itu terlihat sangat konyol. Padahal ketika diperlihatkan kostum-kostum hantunya, mereka tampak berbeda dan lumayan menyeramkan. Hantu ‘boss’ digambarkan bertanduk, kita hanya melihat tampang utuhnya sekilas, tapi dia cukup sopan dengan menarik Nina Kozok pada perutnya. Mengenai editing ini sebenarnya memang sudah ada pertanda; di adegan awal kita melihat pemanggilan Jelangkung yang menjadi petaka. Sekelompok orang melakukan ritual Jelangkung di pondok kecil, dan di ruang sempit itu semua beterbangan, tapi kita tidak bisa melihat jelas apa yang terjadi karena editingnya yang tidak beraturan bahkan di tempat yang sebenarnya tidak perlu dilakukan shot yang banyak editing.

 

Misi utama film ini adalah meremajakan cerita lama. Desa dengan kota. Anak-anak muda melek teknologi itu dihadapkan dengan ritual. Tetapi usaha terbesar film mewujudkan ini adalah dengan memakai bahasa yang keminggris; yang mana bagiku tidak masalah, jika dilakukan dengan benar. Masalahnya adalah para pemain ini masih saja terdengar kaku bahkan saat dialog mereka berbahasa Inggris, which is supposedly their (and also their characters’) comfort zone. Mantra pemanggilan Jelangkung di film ini juga kocak sekali. Jelangkungnya sudah bagaikan anak gaul Jak-Sel yang dipanggil dengan “Jelangkung, Jelangkung, datang untuk dimainkan, please help me find something”. Di satu sisi aku suka gimana setiap film bertema Jelangkung belakangan ini memikirkan cara baru untuk membuat ritual pemanggilan ini menjadi fresh, menggunakan mantra yang actually berpengaruh terhadap cerita. Namun di sisi lain toh aku heran juga, menggunakan mantra beda ini memang disengaja atas alasan kreativitas atau karena mereka simply enggak bisa menggunakan mantra yang ‘asli’ karena alasan copyright atau apa.

Meskipun kita tidak benar-benar melihat Buaya beserta Lubangnya, tapi kita tetap akan menemukan lubang di sana sini. Selain ‘lubang’ pada teknik editing dan kemampuan pemain, wajah film ini utamanya tercoreng oleh lubang-lubang pada logika. Orang bilang terkadang cacat itu adalah seni; film sepertinya setuju terhadap pernyataan tersebut. Atau mungkin film berusaha untuk menjadikan lubang-lubangnya sebagai kekuatan sebab tidak mungkin pembuatnya tidak melihat ini. Lubang-lubang logika itu mereka masukkan ke dalam pembangunan cerita; actually ada alasannya kenapa hal-hal konyol itu ada di dalam film. Seperti misalnya ritual orang desa untuk melenyapkan boneka. Mereka berkumpul di atas tebing air terjun, memasukkan boneka ke dalam kotak, kemudian melemparkan boneka tersebut ke bawah. Terlihat sangat berlebihan jika tujuan ritual tersebut adalah untuk menenggelamkan boneka itu, bukan? Toh kita diperlihatkan Sisi menemukan boneka itu di dasar air terjun, dan kemudian dia dipergoki oleh orang desa. Kenapa ritualnya tidak dilakukan di dasar air terjun saja? Enggak perlu dilempar segala. Kalo tujuannya untuk menghancurkan boneka, kenapa enggak sekalian dibanting ke batu atau malah langsung dibakar saja? Kenapa orang-orang desa itu ribet dan begitu dramatis?

Ada tokoh kakek yang cucunya hilang karena diajak main Jelangkung. Kakek ini sok dramatis banget, dia yang tahu cara ke alam gaib tapi gak mau jemput cucunya malah nyuruh orang lain, kemudian malah dia yang sok berkorban mengurung diri di alam sana sambil bilang “Ikhlaskan saya!” padahal kenal juga kagak sama Sisi dan teman-teman.  Dan keseluruhan konteks adegan itu malah lebih konyol lagi lantaran si Kakek Dramatis sebenarnya enggak perlu ngorbanin diri dengan menyeret masuk seorang tokoh jahat ke dunia gaib karena, guess what, si penjahat cuma sendirian sedangkan Kakek, Sisi, adik Sisi, pacar adik Sisi – mereka berempat! Mereka bisa ngetakedown si penjahat lemah yang baru saja tercebur sungai dengan mudah.

Dasar orang ndeso kampungan!

 

 

Kekurang logisan di sana-sini lah yang bakal menghibur kita habis-habisan. Membuat kita tertawa-tawa. Salah satu favoritku adalah adegan ketika Sisi ‘mengundi’ tempat angker yang pengen dia kunjungi. Sisi menggunakan bola-bola plastik yang dimasukkan ke dalam mesin mainan. Slot di mesinnya diputar, satu bola jatuh, dan Sisi membaca kertas berisi tempat angker di dalam bola. Bagian lucunya adalah; Sisi memasukkan lima bola, dan menggunakan mesin mainan itu sampai kelima-lima bolanya dibaca semua. Betapa sia-sianya tuh mainan. Kalo semua bola mau dibaca, Sisi enggak perlu pake mesin, toh dia bisa milih langsung secara acak bola-bola itu di lantai.

See, bahkan kadang orang kota, orang muda pun terjebak oleh ‘ritual’ yang eksesif, yang sebenarnya tidak perlu mereka lakukan. Namun tetap dikerjakan karena dinilai lebih mengundang perhatian. Sebab, seperti bola-bola yang ditarik Sisi, pada akhirnya semua itu tidak acak. Sisi melakukannya di depan viewer vlog. Si Kakek Dramatis melakukan ritual di depan penduduk desa. Sisi dan Kakek, meski beda usia dan lingkungan, adalah pribadi yang sama hihihi

 

 

 

For a good measure, film akan mengirim kita pulang dengan shot boneka Jelangkung yang diangkat ala Simba di Lion King. Gimana kita enggak cinta coba sama film ini? Menghasilkan banyak hal-hal yang lucu secara tidak sengaja, dan ini gak sehat untuk film yang merasa dirinya serius, seram, dan masuk akal.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for TUSUK JELANGKUNG DI LUBANG BUAYA.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Punya kah kalian ritual sendiri – sesuatu yang kalian lakukan sehari-hari meski sekarang udah gajelas lagi kenapa kalian melakukannya?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE RETURNING Review

“Sometimes dead is better”

 

 

Seperti dicomot langsung dari halaman buku misteri milik Stephen King, The Returning adalah horor keluarga yang menilik masalah beratnya menghadapi kehilangan anggota keluarga; merelakan terkasih yang sudah pergi dan move on dengan kehidupan.

Karena, benar, mati jauh lebih baik ketimbang hidup cuma menanti yang tak bakal kembali. Karena sejatinya, kematian bukanlah akhir dari kehidupan. Melainkan akhir dari derita. Yang harus kita sadari, bahwa kematian adalah saat kenangan-kenangan manis itu bermunculan.

 

Sudah tiga bulan berlalu, namun jasad Collin (dengan subtil Ario Bayu memainkan dua peran yang berbeda di sini) yang mengalami kecelakaan saat sedang berpanjat-tebing ria masih gagal diketemukan. Membuat Natalie (Laura Basuki diberikan tugas yang lumayan rumit sebagai tokoh utama) semakin nelangsa. Di saat kedua anak dan ibu mertuanya sudah merelakan Collin, semua orang praktisnya sudah menganggap Collin meninggal, Natalie masih belum ikhlas. Dia masih menanti sang suami sampai terbawa mimpi. Asa Natalie mendapat jawaban, Collin muncul begitu saja di pintu depan rumah mereka. Sehat wal’afiat. Keluarga ini lantas mencoba menyambung kembali kehidupan harmonis mereka. Namun ada yang janggal dari Collin. “Ayah berubah” kata Maggie, anak tertua Natalie, setelah menyaksikan ayahnya di tengah malam memakan apel dengan begitu rakus. Seperti kelelawar.

“Kelelawar sayapnya hi…jau!”

 

 

Film ini punya apa-apa yang jadi resep membuat horor yang bagus. Makhluk gargoyle seram yang bakal hinggap terbalik dalam mimpi buruk para penonton, drama keluarga yang erat tentang ibu dengan anak-anaknya, dampak kehilangan terhadap orang yang ditinggalkan; so much sehingga orang bisa sekuat tenaga berusaha memegang erat keluarganya yang tersisa. The Returning sepertinya mengerti bagaimana membuat horor yang bagus. Mereka mencoba membangun atmosfer seram dari rumah dan segala keganjilan yang terjadi. Dunia 97nya sendiri terbangun dengan detil, enggak dilambaikan di depan hidung kita, tapi kita masih tetap mengerti di kurun waktu kapan cerita ini terjadi. Mereka mencoba meng-grounding tokoh-tokoh dengan masalah yang relatable, sementara membangun misteri yang jadi landasan ‘mitologi’ horor cerita. Dan di sinilah masalahnya. The Returning terlihat berusaha terlalu keras. Hampir seperti, Witra Asliga dalam debut penyutradaraan film panjangnya ini, tidak mau ada yang salah.

Tidak ada yang salah banget dalam cerita ataupun ide yang ingin disampaikan. Secara materi, ini bisa menjadi horor dramatis – dan menyentuh ranah psikologis – yang asik untuk diikuti. Tapi nyatanya, aku tidak merasa senang (se-fun yang bisa dibangkitkan oleh horor), ataupun bahkan penasaran, dalam menontonnya. Setiap masing-masing adegan lebih terasa seperti misi yang ingin diselesaikan alih-alih sebuah penceritaan. Tidak membantu juga kenyataan bahwa film ini dibangun dengan twist sebagai tujuan. Tidak ada yang salah dengan twist, namun twist paling gak-asik itu adalah twist yang membuat kita enggak bisa sepenuhnya masuk ke dalam kepala tokoh utama. Kita mengerti motivasi Laura, tetapi hal-hal lain yang seharusnya adalah langkah-langkah yang ia ambil, ternyata berubah menjadi pengecohan – hanya untuk ngeswerve penonton. Semiring-miringnya niat tokoh utama, mereka haruslah membuat kita peduli, membuat kita memahami dirinya. Dalam film ini, kita merasa dibegoin dengan mendukung tokoh utama.

Jika titik-titik itu kita sambungkan – kalung, masalah Natalie dengan Oma, dengan Maggie – kita masih menemukan garis lurus. Semuanya masih terasa masuk akal. Tapi film masih tetap menyisakan misteri, yang sebetulnya adalah loose ends yang lupa diikat.  Aku gak mau spoil terlalu banyak, tapi ada satu hal yang gak klop buatku; Oma (ibu mertua Natalie) yang actually pertama kali melihat Collin di dalam mobil, dan secara urutan narasi, kejadian tersebut terjadi sebelum ‘ritual’ dilakukan. Jadi, bagaimana bisa Collin sudah ‘ada’ di sana? Karena kita tahu Oma tidak berhalusinasi; dalam cerita ini, hanya Natalie yang belum merelakan; Oma malah yang menyarankan untuk menyiapkan urusan pemakaman.

Subplot-subplot yang ada, pada akhirnya hanya berfungsi sebagai kambing hitam; pengalih perhatian supaya kita tidak menebak twistnya. Masalah-masalah seperti anak bungsu Natalie yang gak bisa bicara dan dibully di sekolah karenanya, Maggie yang katanya takut tumbuh dewasa, merupakan masalah yang bisa membawa pesan penting, namun pada akhirnya tidak mendapat penyelesaian karena hanya berfungsi sebagai red-herring. Banyak tokoh yang keberadaannya begitu mentah, mereka hanya terasa seperti throw-away character. Ada teman Natalie yang diajak pindah ke Jogja sama pacarnya – how is this important to the story? Ada saudara cowok Natalie yang ia marahi lantaran ngajak Collin pergi memancing – apa yang ingin dicapai dari masalah ini? Dan si bungsu Dom yang gak bisa bicara tau-tau bisa ngomong, dimaksudkan supaya kita kasihan kepadanya – it just doesn’t work. Aneh sekali cara film ini membangun Dom enggak bicara karena yang tertangkap adalah Dom tidak dikasih kesempatan bicara alih-alih memang ‘gak bisa’. Seperti ketika Collin baru pulang, Dom yang jago gambar memamerkan gambar buatannya ke ayah LEWAT perantara Maggie – kenapa dia enggak berkomunikasi sendiri dengan ayahnya. Di bagian pengungkapan, ada satu perkataan Natalie yang bikin aku ngakak; dia menyebut anak-anaknya menanyakan Collin terus menerus, dan ini sungguh kebohongan gede dari Natalie karena kita tahu justru Maggie yang sebel ibunya enggak move-on dari kepergian ayah, dan Dom, well, kan Dom sama sekali gak bisa berbicara gimana cara dia mendesak bertanya haha

hanya anak-anak yang jujur, that’s what makes them children.

 

 

Film berusaha untuk menjadi benar, namun pada akhirnya tetap melakukan pilihan-pilihan yang ganjil. Penggunaan jumpscare masih menjadi andalan, terlihat seperti film ini belum sepenuhnya yakin bisa membangun kengerian dari gambar dan editing semata. Padahal gambar dan editingnya sudah cukup precise.

Setiap kita punya kelemahan, dan adalah hal yang bagus kala kita menyadari kelemahan yang kita punya, dan kita berbuat sebaik mungkin around that weakness, mencoba untuk menutupinya. Atau paling tidak supaya kelemahan tersebut tidak kelihatan. Logikanya kan begitu; Jangan letakkan kelemahan itu di tempat terbuka. Dalam film, ya sebaiknya film jangan dimulai dari teknik filmmaking kita yang paling lemah, karena sepuluh menit pertama itu nentuin mood penonton banget. Strangely enough, film ini dibuka oleh adegan panjat tebing yang benar-benar terlihat tidak profesional. Adegan ini menciptakan kesan pertama yang enggak baik. Sebenarnya bisa dengan gampang diperbaiki; kita akan membahas itu sebentar lagi, aku ingin menunjukkan satu lagi pilihan aneh yang dilakukan oleh film ini.

Tokoh-tokoh film ini bicara tentang ayah mereka yang sudah berubah, “ayah biasanya gak begini”, dan kita harus percaya  gitu aja dari kata-kata mereka. Seharusnya diperlihatkan bagaimana Collin sebelum menghilang. Film memang memperlihatkan beberapa flashback yang menunjukkan kedekatan Collin dengan Natalie, maupun dengan Maggie. Tapi dalam sebuah skenario yang baik, flashback semestinya hanya jadi pilihan terakhir jika sudah mentok. Pada film ini, toh pilihan itu masih ada. This is how to fix this; Mereka bisa saja memulai cerita dari sebelum Collin kecelakaan. Sepuluh menit pertamanya bisa menunjukkan gimana Collin sebenarnya, lalu inciting incidentnya barulah dia jatuh dari tebing. That way, kita tidak perlu melihat adegan panjat tebing yang susah untuk difilmkan sebagai pembuka, yang ultimately jadi bagian paling tak meyakinkan dalam film ini.

 

 

 

Pertanyaan seram yang bisa bikin bulu kuduk merinding “itu ayah kita atau bukan?” tak pernah terangkat karena film sibuk membelok-belokkan kita, karena ia pengen terlihat menarik dan pinter dengan twistnya yang mengecoh. Inilah yang menyebabkan film menjadi enggak seram. Enggak genuine lagi suasana yang dihadirkan. Mereka jadi tergantung sama musik keras mengagetkan. Jadi, jangankan subplotnya, premis film sendiripun hanya dijadikan sebagai pengecoh – sebuah loose end yang sengaja enggak diikat. Aku tidak merasa enjoy saat menontonnya padahal film ini punya cerita yang menarik. Strukturnya pun bener, hingga mereka sadar durasi sudah hampir habis dan buru-buru menutup cerita dengan pengungkapan. Tidak ada yang spesial dari pengarahan sutradara baru ini. Tapi tetap saja, film ini menginspirasiku, karena aku juga pengen membuat film – tapi saat ini masih belum bisa, maka aku menulis review. For what it’s worth, anggaplah film ini sebagai pemanasan sebelum remake Pet Sematary (2019) rilis, atau paling enggak sebelum nonton The Hollow Child (2018) di studio sebelah.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for THE RETURNING.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Setujukah kalian dengan perkataan Collin kepada Maggie seputar kadang kita harus mengambil resiko? Apakah perubahan adalah resiko? Seberapa jauh resiko yang berani kalian ambil demi cinta?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017