AVATAR: THE WAY OF WATER Review

 

“Anywhere you go the problems will go with you”

 

 

Karanglah cerita setinggi langit, lalu daratkan ia dengan permasalahan realita. Itu memang bukan peribahasa, melainkan karanganku saja. Kenapa aku tega niru-niruin pepatah? Karena aku masih dalam pengaruh semangat James Cameron yang bikin film luar biasa mentereng dan jauhnya, tapi dengan permasalahan yang merakyat. Yang kita semua bisa mengerti bisa terjadi kepada kita. Semua film memang harusnya begini. Permasalahan yang kita bisa relate, tapi diceritakan dalam panggung yang seliar-liarnya.  Dua film Avatar adalah bukti James Cameron paham soal ini.  Dia telah menciptakan dunia nun jauh di sana, dengan makhluk-makhluk, ekosistem, aturan-aturan, hingga mumbo jumbo fiksi ilmiah dan spiritual lainnya tanpa menjadikan semua itu ribet. Inti ceritanya tetap membumi. Di  sisi lain, ceritanya boleh saja mirip dengan film lain yang kita ingat, namun karena pembangunan dunianya luar biasa, film tersebut lantas jadi beda. Pada Avatar pertama (aku actually nonton untuk pertama kali pada malam sebelum ke bioskop nonton sekuel ini) Cameron bicara urusan sesimpel menjaga hutan di balik perkara penjajahan dan tembak-menembak. Film kedua kali ini, cerita bahkan lebih dekat lagi. Kali ini urusannya adalah urusan keluarga. Bagaimana menjadi orangtua yang baik terhadap anak-anak.

Dulunya manusia, kini Jake Sully sudah tenteram hidup bersama bangsanya baru. Bangsa Na’vi bertubuh biru yang menghuni pedalaman hutan bulan Pandora. Anak Jake ada tiga, plus satu anak angkat, dan satu lagi anak manusia yang selalu bermain bersama. Keluarga yang besar berarti tanggungjawab yang juga besar. Ini membuat Jake jadi kepala keluarga yang sedikit kaku. Ketika Sky People (alias militer dari Bumi) kembali ke Pandora, kali ini dengan tujuan utama membalas dendam kepada dirinya, Setelah reunian berbahaya dengan former enemy, Jake langsung tahu ia tidak bisa membiarkan keluarga tetap dalam bahaya. Tak ingin melukai siapapun, mantan tentara ini memaksa istri dan anak-anaknya untuk pindah. Kabur sebelum Kolonel Quaritch yang dihidupkan kembali dari klone memory – dan kini juga bertubuh Na’vi – menyerang rumah mereka. Jake mengira dengan pindah, berbaur tinggal dengan klan air di Selatan, keluarganya bisa aman. Tapi tentu saja, kepindahan itu tidak mudah bagi anak-anak dan istri Jake. And also, tindakan Jake bisa berarti sama dengan ia menggiring musuh untuk membahayakan Na’vi-Na’vi air dan makhluk sekitarnya yang tak berdosa.

Jagalah laut dan jangan lupa hormat sama makhluk hidup di sekitarnya

 

Durasi yang sampai tiga jam lebih berusaha dimanfaatkan film ini untuk menggali banyak perspektif. Oh man, film ini punya banyak sekali perspektif. Kita gak hanya ngikutin Jake seorang. Kita juga diperlihatkan mulai dari masalah beberapa anak Jake, hingga ke persoalan personal klone kolonel Quaritch dan anaknya. Perspektif-perspektif tentu saja menambah layer dan bikin kita makin termasuk ke dalam dunia cerita. Karena dengan begini, film semakin nunjukin betapa hidupnya dunia mereka. Karakter-karakter di sana beneran punya sesuatu. Tidak sekadar ‘serang dan bertahan’. Dari putra tengah Jake, si Lo’ak kita melihat cerita anak yang berusaha memenuhi ekspektasi ayah untuk menjadi pejuang yang sama dengan abangnya. Cerita si Tengah yang selalu dibandingkan, padahal dia punya kelebihan lain dan so desperate untuk memperlihatkan siapa dirinya itu kepada orangtua. Lo’ak akan sering memisahkan diri, dia nanti akan punya sahabat-hewan tersendiri – yang sama-sama terkucil dari kelompok. Persahabatan Lo’ak dengan hewan kayak paus berbaju zirah itu actually jadi salah satu relasi yang heartwarming yang dipunya oleh film ini. Sehubungan soal misahin diri, kita juga diperlihatkan cerita Kiri, anak angkat keluarga Jake, yang merasa berbeda dari yang lain. Kiri punya origin dan kekuatan yang sama-sama misterius.

Dan satu lagi yang menarik adalah tentang Spider. Bocah manusia di antara keluarga mereka. Yang actually dipanggil monkey boy, karena dia memang kayak tarzan di sana. Spider sebenarnya adalah anak dari Kolonel – antagonis film pertama yang telah tewas, dan di film ini klonenya hidup kembali dan jadi musuh utama juga. Sehingga si Spider sebagian besar waktu akan berada di state yang bimbang dia sebenarnya harus apa, harus ada di pihak siapa. Koneksi antara Spider yang di lubuk hati pengen punya seorang bapak tapi bapaknya dia tahu adalah orang jahat, ketemu dengan si jahat yang punya reputasi to uphold (juga dendam yang harus dibayar tuntas kepada Jake dan keluarga birunya) sementara di lubuk hati dia pengen nunjukin sayang sama anaknya, sesungguhnya betul-betul menarik. Film ini sebetulnya kayak berada di dalam sebuah tambang emas emosional. Mestinya bisa kaya sekali oleh perasaan, Spider dengan ayahnya ini toh juga paralel dengan Jake dengan anak-anaknya. Bagi para orangtua itu, ini adalah soal “melihat” anak mereka. Ini adalah persoalan yang sama dengan yang dibicarakan oleh Pinokio versi Guillermo del Toro (2022), dan lihat gimana film tersebut mencapai ketinggian emosional  dengan benar-benar menggali relasi emosional tersebut. Level ketinggian emosional yang sayangnya tidak bisa dicapai oleh Avatar 2. Karena Cameron hanya membuka perspektif tapi tidak sedemikian dalam membahas masing-masingnya. Avatar 2 tetap dibiarkan simpel, dan sebagian besar hook emosional berusaha dihadirkan lewat cara lain. Yaitu lewat pengalaman visual.

Memang, kalo bicara soal visualnya, Cameron benar-benar menyuguhkan penampakan yang bikin kita berlinang air mata saking bagusnya. Atau kayak temenku, yang katanya matanya berair karena keberatan makek 3D dan kacamata beneran hahaha.. Intinya, semua dikerahkan Cameron supaya visual film ini maksimal. Shot-shot di bawah air semuanya tampak genuine. Cakep banget. Makhluk-makhluk fantastis itu juga kayak beneran hidup. Ini punya kepentingan khusus pada narasi, karena makhluk-makhluk itu diceritakan bakal berkomunikasi dengan karakter kita. Bahwa mereka adalah bagian dari planet dan masalah yang menimpa (thanks for the human) dalam cara yang lebih grande, lebih spiritualis ketimbang gimana kita melestarikan alam di dunia nyata kita. Makanya bagi film ini adegan-adegan seperti Lo’ak berenang bareng Tulkun (udah kayak menari!), Tuk dan Kiri eksplorasi laut, lebih penting untuk difungsikan sebagai penghantar emosi. Film ini lebih jor-joran menggali Tulkun melawan manusia, lebih menggali arc si manusia yang menganggap remeh mereka, ketimbang karakter lain, misalnya Spider yang malah tampak sengaja gak beneran dibahas dulu untuk hook ke film ketiga. Aku ngakak dan ngecheer melihat si paus armor ngadalin si manusia. Aku juga terhanyut sama pemandangan dan pembangunan dunianya. Tapi gimana pun juga, prioritas utama kita nonton kan cerita. Journey karakter. Ketika film berdurasi panjang, bioskop ber-AC dingin, sehingga bikin kebelet dan harus ngatur strategi kapan ke WC, aku tentu saja memilih untuk ‘break’ saat showcase visual ketimbang harus melewatkan adegan-adegan ngobrol. What I’m trying to say is, kemegahan visual enggak akan berarti banyak kalo ujung-ujungnya cuma jadi bathroom break lantaran adegan itunyalah yang terlalu extend dilakukan oleh film. Jadi, ya, menurutku film ini harusnya bisa mengatur waktu lebih erat lagi, karena ada begitu banyak spot indah dibanding adegan yang actually membahas konflik personal karakter. Like, berenang ama Tulkun aja muncul beberapa kali. Mestinya bisa bercerita dengan memanfaatkan waktu dengan lebih efektif lagi.

Pendapatku masih sama dengan pas nonton film pertama; Nih film kalo dijadiin game SNES pasti seru deh!

 

Film yang pertama, dengan bahasan yang lebih sempit, terasa lebih terarah. Pemanfaatan waktunya terasa pas. Babak set upnya saja sudah bikin aku kagum karena betapa efektifnya film tersebut menyampaikan eksposisi dan informasi. Tidak pernah terasa sumpek dan lambat, melainkan dilakukan dengan cepat dan tepat guna. Kita langsung mengerti rules dan konflik karakter dan segala macamnya. Sehingga ketika film itu masuk ke bagian yang total action, emosi itu semuanya tinggal mengalir dari bendungan build up yang telah tersusun rapi. Film kedua ini, tidak terasa begitu. Babak set upnya boring sekali (dan perlu diingat ini film tiga-jam, sehingga set up di sini berarti sekitar satu jam-an). Avatar 2 praktisnya persis dengan yang dikatakan Kolonel saat pep talk; using the same song. Lagu lama, digunakan untuk membangun masalah. Manusia yang datang untuk menjajah. Kolonel yang mau ngasih hukuman ke Jake, si manusia yang membelot ke pribumi. Cuma masalah lama (aku juga gak bilang aku suka sama pengulangan villain, dengan alasan teknologi klon memori blablabla) dengan cara yang sedikit dibedain. Penjelasannya, ditambah dengan pengenalan singkat keluarga Jake, terasa tumpang tindih. Film ini baru benar-benar menarik dan terasa beda saat Jake sudah pindah ke klan atau suku air. Ketika environment jadi baru. I wish film menemukan cara yang lebih baik lagi untuk menceritakan Jake harus pindah dan sebagainya, karena alasan Jake di sini pun sebenarnya sudah ada pada film pertama. Dia nyuruh pindah dan nyelametin diri, tapi istri dan na’vi hutan lain gak ada yang mau. Jadi basically, arc si Jake gak banyak beda ama film pertama.

Enggak ada orang yang jadi damai dengan kabur dari masalah. Tenangnya cuma sebentar, masalah itu pasti akhirnya akan menyusul. Masalah tidak akan hilang sebelum dihadapi, dan justru akan bisa semakin bertambah besar jika diabaikan. Karena problem sesungguhnya berasal juga dari dalam. Jake yang memutuskan membawa keluarganya lari supaya selamat, pada akhirnya membawa masalahnya itu kepada orang lain. Keselamatan keluarga semakin nyata terancam. 

 

Dan kalo dipikir-pikir lagi, bahkan konflik karakter lain tadi juga mirip kayak yang pernah dialami Jake di film pertama. Spider yang seperti berpindah-pindah, kadang dia mihak ke ayahnya, lalu next time dia ikut sepupu-sepupu angkatnya lagi; ini kayak Jake di film pertama berada pada titik dia bimbang mau menyelesaikan misi militer atau berpihak kepada bangsa Na’vi. Lo’ak yang menyendiri sama kayak Jake yang akhirnya jadi tidak diakui oleh dua pihak, dikucilkan oleh manusia dan juga Na’vi yang merasa dikhianati. Memang, sebenarnya film kedua ini punya beat-beat yang sama dengan film pertama. Hanya pelakunya saja yang dibikin beda-beda. Hanya tempat dan lingkungan saja yang bikin terasa fresh. Kali ini di air, dengan makhluk-makhluk air. Anak-anak Jake yang harus belajar berada di lingkungan itu sama saja kayak Jake di film pertama yang belajar bagaimana hidup bersama bangsa Na’vi di hutan. Di antara soal itu, dengan konflik karakter yang tidak dibahas mendalam either karena pengen tetap simpel ataupun karena disimpan untuk sekuel, film ini jadi kurang menggigit. Yang memuaskan di film ini jadinya cuma bagian aksi di akhir, yang sukurnya memang dibuat jor-joran dan epik.

 




Sebagai hiburan tentu saja film kedua ini punya nilai lebih. Dengan banyak karakter dan personality, cerita jadi lebih hidup. Lebih enak juga untuk ditonton bersama seluruh keluarga (meskipun ada beberapa adegan aksi yang terlalu intens untuk anak kecil). Dari segi cerita film ini ringan, dan sedikit terlalu simpel. Sampai ke titik film ini terasa kayak hanya punya visual sebagai senjata utama. Galian konfliknya kurang, padahal ada banyak perspektif. Cerita juga tidak banyak bergerak, sampai saat karakter sudah pindah ke dunia baru. Lalu baru di satu jam terakhir, di porsi aksilah, film jadi benar-benar hiburan untuk ditonton, karena sudah tidak ada lagi waktu untuk mereka berusaha memasukkan narasi-narasi simpel mengisi durasi. Dibandingkan dengan film pertama, menurutku film ini tidak lebih baik. Waktunya tidak termanfaatkan efektif. Bukannya terasa lama, tapi tidak efekti dari segi muatan cerita. Lebih fun, sih iya, tapi fun yang lebih kurang mengalir.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for AVATAR: THE WAY OF WATER

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian tiga jam adalah waktu yang lama untuk sebuah film yang sesimpel ini? Atau justru sebaliknya?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



Comments

  1. Albert says:

    Wah ditonton juga 3 jam mas? Hehehe. Oh simpel ya filmnya. Di tengah rada bosen sih. Peran Jake juga kecil ya, lebih pantes anak2nya yang jadi tokoh utama. Aku ya ga paham Kiri itu lahir dari Grace yang manusia atau avatar ya? Bapaknya belum jelas dan punya kekuatan juga. Kupikir2 lagi Grace udah mati, harusnya Kiri ini langsung diambil pas mati ya. Tapi dia lebih muda daripada anak sulung Jake. Tapi bisa menikmati kok filmnya walau cuma nonton 2D. Iya 1 jam terakhir aja yang seru. Tapi uniknya bukan pertarungan Jake sama Kolonel puncaknya. Malah jadi usaha survive kejepit di kapal. Hehehe.

    • Arya says:

      Haha iya nih, diajakin nobar. Aku toiler break ampe dua kali wkwkwk, untung filmnya lebih banyak adegan ‘pemandangan2’, jadi gak ketinggalan banyak.
      Eh, bener juga ya, apa si Kiri terlahir pas Grace udah di aquarium itu? Belum banyak dieksplor sih dia, di film ini cuma jadi penunjuk jalan keluar aja ternyata karakternya. Ceritanya dia kayak masih bagian awal dari ttg ‘blossoming power’.

      Aku mah paling seru action paus lawan manusia itu hahaha.. ngakak banget liat si marine biologist mamam omongannya sendiri. Trus puas pas sirip-dibayar-tangan xD

  2. Albert says:

    Oh iya ya. Puas banget itu Pausnya berhasil bunuh pemburunya. Malah lebih benci dia daripada kolonelnya hahaha. Mungkin film berikutnya baru dibahas si Kiri. Tapi lebih tertarik Spider. Bakal jahat atau tetap baik nanti

    • Arya says:

      Spider menarik sih. Kayaknya dia bakal ada urusan sama si Neytiri. Ada momen dia kayak genuine takut kan pas ngintipin Neytiri ngamuk, gak tau apakah itu karena pengaruh dia dekat dengan ayahnya (yang aslinya mati dibunuh Neytiri) atau memang sedari kecil hubungan mereka kurang dibanding yang lain. Apalagi puncaknya ada adegan Neytiri makek ‘taktik negosiasi’ yang pake acara beneran ngelukai Spider. Interesting juga dari si Neytiri sendiri, apa beneran cuma taktik atau gimana.

  3. Agus says:

    Mungkin aku aja yang ngerasa film ini meningkat jauh dari yang pertama (selain teknisnya). Kerasa James nyiapin mitologi dan peran yang lebih kuat, terutama buat Kiri. Kayaknya dia bakal jadi central character di film-film selanjutnya. Mungkin bisa aja duel lawan spider? Who knows? Mungkin Avatar 3 baru jalan di formula yang bener-bener berbeda. Lebih fokus sama konflik.

    • Arya says:

      Nah iya, kayak gitu sih, film kedua ini kayak masih build up dari sesuatu yang bigger nanti. Mungkin positive way untuk bilangnya; film kedua ini kayak jembatan bercabang yang cakep haha

  4. クリス (Chris) (@christmellody) says:

    Ternyata bukan aku doang yang gak nonton film pertama (lalu kejar setoran semalam sebelum lanjut nonton yang kedua) hahaha

    But anyway, dari sudut pandang penilaian subjektifku, entah mengapa aku merasa James Cameron sebagai sutradara memang memiliki kemampuan mumpuni secara teknis, tapi dari segi storytelling atau penceritaan, rasanya sekadar di level oke aja. Sekalipun permasalahannya membumi, aku merasa kurang begitu terkesan setelah nontonnya. Yang pasti, Cameron jago banget build up stakes menjelang akhir film, kelihatan banget di film ini dan film sebelumnya (seperti Titanic, jelas banget stakenya) dan berakhir thrilling.

    Cuma ya balik lagi, aku merasa Avatar akan lebih dibicarakan dan dikenang soal VFX selama beberapa tahun ke depan instead of ceritanya sendiri. Momen emosional dan hal yang dia (Cameron) bangga-banggain (katanya orang gak akan bisa expect ceritanya kayak apa) terasa biasa aja. Entahlah, namanya juga subjektif sih. Avatar 2 ini mungkin perlu 3 jam buat kasi depth ke karakter yang bejibun itu, kalo enggak, nanti malah kayak Eternals (padahal durasinya juga nyaris 3 jam) yang ndak jelas ke sana kemari.

    • Arya says:

      Aku angker sih sebenarnya duduk di dalam bioskop lebih dari dua jam. Makanya yang pertama juga dilewat aja pas di bioskop.

      Setuju sih, makanya yang pertama juga awardnya cuma di efek dan visual saja kan ya? Cuma secuil yang ngasih untuk naskah. Buatku yang kedua ini si Cameron sebenarnya agak insecure. Jadi dia banyak ngulang yang di film pertama, elemen-elemen yang mungkin menurut dia bikin orang ‘wah’ nontonnya. Adegan-adegan kayak naik binatang baru, eksplor dunia baru, kayaknya bakal terus ada di Avatar-Avatar berikutnya. Yang otomatis juga efek dan visual itu yang ia tingkatkan. Aku melihat Cameron gak bakal risk it dengan bagusin naskah, dia akan lebih milih stay di ngulang yang menurut dia worked dan ngolah itu aja dengan jadi setting baru.

      Jadi ya, menurutku kayaknya ke depan film-film Avatar bakal makin boring ceritanya (di luar keseruan aksi dan dunia ceritanya)

  5. gary says:

    iya ini film memang punya kekurangan dalam pacing cerita, but thanks to opa cameroon udah ngeliatin lagi gimana blockbuster hollywood supposed to be, gacuma gede tapi punya isi dan “thrill” nya dapet, karena arus utama blockbuster yg makin kesini hampir semua isinya superhero (even belakangan pun udh mulai jenuh mana cgi nya makin berkurang contoh phase 4 kaya berasa bgt mundur sedikit di efek visualnya) jurassic dominion pun juga gajelas gatau mau nyampein apa padahal saya fans jurassic sedari bocah yg kecewa bgt ngeliat itu film kemaren, jadi taun ini sangat berterimakasih banyak sama opa cameroon dan TOM CRUISE sumpah top gun maverick sebagus itu bawa experience nonton yg maksimal di bioskop plus rasa emosional yang cukup tinggi udah lama film blockbuster yg bisa nge deliver itu, berharap aja oppenheimer nya nolan taun depan bisa ngebawa lagi vibes blockbuster macam ini

    • Arya says:

      Oppenheimer bakal jadi maverick kedua nih kayaknya, sama-sama praktikal kan efeknya. Mana katanya si Nolan beneran bikin ledakan nuklir pula. Gila, total banget bikin filmnya! XD

  6. Joe Lucas (@joe_lucas19) says:

    Mas Arya, izin kasih pendapat ya. hehe
    dulu banget waktu masih kecil, aku sering lihat Avatar di TV, tapi itu sudah 10 tahun lalu, jelas sudah banyak lupa, satu hal yg kuingat hanyalah, Avatar itu makhluk biru2, bukan Avatar Aang sang pengendali udara.

    Sampailah kita di 2022, 13 tahun sejak film pertama nya, saat semua orang kuyakin sudah banyak yang lupa dan tidak berharap Avatar bakal ada sekuelnya, James Cameron hadir dengan kejutan spesial untuk kita semua, CGI dalam air coyy

    Memang beliau sangat berhasil mendobrak batas CGI yang selama ini sudah biasa kita nikmati lewat film2 superhero Marvel yang megah dan penuh akan dunia maupun planet khayalan di luar sana. Namun James Cameron berbeda, dia tidak ingin menghadirkan dunia lain yang aneh2, melainkan dia ingin menghadirkan sebuah dunia yang sangat indah, dunia yang “suci”, dunia yang sebetulnya relate dengan kita, yaitu dunia Pandora, sebuah gambaran menakjubkan dari BUMI kita sendiri yang mungkin saja memang benar2 nyata adanya di masa lampau sebelum kita rusak sendiri dengan hadirnya manusia2 laknat

    Wajar jika kita tidak bisa menikmati film ini dari segi story-nya, melainkan cuma terpukau akan dunia Pandora (aku percaya Cameron bukan pake CGI, tapi beneran berangkat ke Pandora sana. wkwkwk), karena ya emang, selain film ini tuh kayak babak awal dari nanti film Avatar selanjutnya, sebenarnya maksud terselubung dari film ini tuh ya soal itu loh, Manusia2 biadab yang doyan merusak alam, membunuh flora dan fauna, bahkan tak segan menjajah penduduk pribumi setempat, demi mengambil kekayaan alam Pandora yang bagi mereka sangat berharga

    (aku tau teori ini dari yutub guru gembul sih, aku sendiri gk sepandai itu untuk bisa mengerti soal maksud Avatar yg ternyata punya makna lebih dalam ini).

    • Arya says:

      Silakan, silakaannn

      Bener sih, memang pesan jaga-alam di Avatar selalu kental. Di film pertama, jaga hutan, di sini jaga laut. Itu sudut pandang menarik sih, bahwa sebenarnya yang diliatin Cameron di sini adalah dunia yang tanpa campur tangan ketamakan manusia ternyata seindah itu. Bahwa bumi dulu ya kayak pandora. Makanya juga katanya si Cameron udah niatin film kelima settingnya bakal balik ke bumi kan ya, mungkin untuk mempertegas lagi paralel bumi dengan pandora itu sendiri. Makanya kerennya film ini tuh bakal terus bergantung kepada gimana Cameron menjadikan setting lingkungannya sebagai ‘karakter rahasia’ di dalam cerita

Leave a Reply to garyCancel reply