“Seeing a miracle will inspire you, but knowing you are a miracle will change you”
Adalah fenomena ajaib, saat sebuah sekuel tampil lebih baik dari film pertamanya. Ajaib dalam artian, agak jarang terjadi. Lantaran sekuel biasanya dibikin karena studio berusaha mengulangi kesuksesan sebuah film, maka kualitas sudah bukan perkara utama lagi. Dari sudut pembuat, pembuatan sebuah sekuel itu stake-nya lebih kecil, less riskier, ketimbang cerita baru. Usaha mereka bisa diperkecil saat ada jaminan penonton bakal datang menonton lanjutan dari sesuatu yang sudah terbukti sukses sebelumnya. Kejadian langka sekuel lebih bagus dari pendahulunya maka wajib kita rayakan, karena itu berarti film tersebut bukan semata pengen memerah kesuksesan, tapi juga melakukan perbaikan-perbaikan. The Nun II, kukatakan saja, tampil lebih baik dari film pertamanya yang sangat uninspiring dan tak memorable. Namun karena The Nun pertama separah itu pulalah, maka kiprah sekuel horor karya Michael Chaves ini tak menjadi seajaib itu. The bar was just too low. Dan The Nun II berhasil tampil lebih baik meskipun usaha perbaikannya sendiri sebenarnya amat sangat minim.
Mengambil latar waktu beberapa tahun setelah battle antara Suster Irene dengan Valak, The Nun II dibuka oleh kematian mengenaskan seorang pastor. Tubuhnya terangkat ke udara, lalu terbakar seketika. Kematian misterius pemuka gereja tersebut ternyata hanyalah satu dari banyak lagi kasus lainnya di berbagai belahan dunia. Sebagai penyintas, Suster Irene yang melanjutkan hidup sebagai suster normal di biara normal, ditugasi kembali oleh Gereja untuk mengusut kasus ini. Karena there’s no doubt, si suster iblis Valak, berada di balik semuanya. Bersama kolega baru, Suster Irene harus melacak relikui kuno. Serta mencari keberadaan si Valak, yang kini bersemayam di sebuah boarding school untuk anak-anak perempuan.
Cerita kali ini memang punya bobot emosi. Karena si Valak actually bersemayam masih di dalam tubuh Frenchie alias Maurice, seperti yang kita lihat di akhir film pertama. Sehingga koneksi personal antara Irene dengan Maurice akan jadi hook dramatis saat kekuatan baik dan jahat itu akhirnya nanti bertempur sekali lagi. Selain itu, pemuda baik hati yang kerja jadi tukang kebun tersebut juga diperlihatkan punya hubungan yang dekat dengan salah satu guru di boarding school (disebutnya Ibu oleh anak-anak murid) dan dengan salah satu anak murid yang bernama Sophie. Malahan, ini juga lantas jadi kekurangan film The Nun II buatku. Bobot emosi cerita ini lebih banyak dan lebih mudah tersampaikan ketika dipantik dari karakter lain, bukan dari karakter utama. Film ini kena ‘penyakit’ karakter utamanya kalah menarik dengan karakter lain. I would prefer cerita fokus di Sophie saja. Fokus di kehidupan di boarding school saja. Simpati kita sebenarnya memang lebih banyak tercurah kepada si kecil Sophie. Yang dibully oleh teman sekelas, dikatain pacaran sama om-om (alias Maurice). Setting asrama katolik tempat mereka bersekolah juga lebih banyak menawarkan elemen-elemen horor. Misalnya ketika teman-teman Sophie mengajaknya ke chapel terbengkalai untuk main challenge yang berbau mistis.
Sedangkan Suster Irene, maan, aku suka Taissa Farmiga di serial American Horror Story, tapi di sini karakter dia boring. Bosenin bukan karena dia gak lakuin apa-apa, loh. Suster Irene ini ‘kerjaan’nya banyak banget; traveling, investigasi, dan nanti harus ‘duel’ lagi dengan Valak. Cuma ya, terlalu banyak sehingga momen-momen untuk development karakternya jadi minim. Ada sedikit soal dia teringat akan mendiang ibunya, tapi itu pun tidak berbuah sesuatu yang membuat kita melihat dia sebagai karakter yang genuine. Setidaknya tidak seperti kita melihat Sophie, atau malah kolega barunya, si Suster Debra (diperankan oleh Storm Reid) Karakter Suster Irene punya sedikit sekali inner journey atau pembelajaran diri yang dramatis. Karakternya cuma belajar tentang identitas dirinya ternyata keturunan siapa. Dramatisnya Irene cuma datang dari ‘ternyata’. Sementara Sophie, kita melihat dia dari seorang korban bully menjadi gadis cilik yang berani. Lalu Suster Debra, punya arc dari seseorang yang ragu akan ‘kerjaan’ mereka – katakanlah dia suster yang imannya kurang – menjadi percaya akan mukjizat. Kepercayaan yang kuat sehingga mendorong Suster Irene untuk semakin ‘pede’ ngalahin Valak.
Sebagai horor gotik yang kental dengan nuansa religi, The Nun II memang banyak bicara soal mukjizat dan kepercayaan. Pembahasan soal anggur adalah darah Yesus adalah pembicaraan soal menumbuhkan iman. Bahwa dengan iman yang kuat maka kebenaran akan terwujud. Bahwa akan selalu ada mukjizat di sekeliling, bagi orang-orang yang percaya. Dan seperti yang dialami Suster Irene, terkadang mukjizat itu ada pada diri kita sendiri.
Alih-alih mengembangkan Irene sebagai karakter, film ini tampak lebih tertarik menggarap Irene sebagai karakter dengan casting meta. Film lebih tertarik membangun benang merah antara Irene yang diperankan oleh Taissa Farmiga, dengan Lorraine Warren di timeline The Conjuring yang diperankan oleh kakak Taissa, Vera Farmiga. Dalam salah satu sekuen ‘penglihatan’ Irene terhadap masa lalunya, sekilas ada Lorraine, sehingga mengindikasikan dua karakter ini mungkin memang berada dalam satu garis keturunan yang sama. Lore cerita seperti ini memang menarik, tapi menurutku hal-hal trivia seperti begini masih bisa dilakukan sambil tetap membangun personality karakter secara khusus dengan lebih genuine. Jadi film ini sebenarnya lebih tepat jika difungsikan sebagai horor tertutup di setingan sekolah asrama, dengan karakter-karakter yang hidup di sana sebagai perspektifnya. Tapi karena perspektif utamanya Irene, maka cerita akan sering berpindah-pindah ke bagian ‘investigasi’ yang menurutku membuat kita seringkali lepas dari denyut cerita yang bikin film ini hidup.
Sepulang nonton, aku ngecek trivia IMDB film ini, dan di sana disebutkan total screen time Valak si suster iblis cuma dua menit lima-tujuh detik. The Nun II sesungguhnya merupakan film yang benar mengandalkan atmosfer horor ketimbang menjadikan sosok demonnya banci kamera. Oh, jumpscare tetap ada. Banyak. Sebagian besar ngeselin, terutama yang muncul di awal-awal. Tapi secara garis besar, film ini mengerti membangun momen-momen seram tersebut. Valak sebenarnya sering muncul, lore nya juga mengalami pengembangan, tapi dia ditampilkan dari balik bayang-bayang. Tidak pernah lebih lama dari seharusnya, sampai-sampai membuat kita bosan melihatnya. Atau malah film bermain-main dengan imaji-imaji yang menyerupai Valak. Momen paling kreatif film ini adalah saat memunculkan ‘Valak’ lewat halaman-halaman majalah di sebuah stand atau kios. Halaman yang berisi gambar-gambar itu membentuk kolase yang serupa dengan penampakan Valak. Dan ini cara film menampilkannya benar-benar intens, like antisipasi kita terhadap kemunculan real Valak tetap dijaga tinggi. Film ini ngerti the art of bikin penonton menahan napas dalam ketakutan. Setiap entrance Valak, entah itu beneran dia atau bukan, benar-benar terasa fresh dan jadi momen horor yang jempolan. Dan bukan hanya Valak, melainkan ada satu makhluk horor lagi yang ditampilkan dalam film ini. Makhluk yang menurutku bisa saja mereka bikinkan film tersendiri, saking efektifnya cara film memperkenalkan.
Karena itu jugalah aku jadi merasa kesal dengan editing film ini. Sebenarnya aku gak yakin juga apakah hal itu memang dari sononya karena ngincar rating umur tertentu atau ‘ulah’ sensor kita, tapi yang jelas treatment cut-cut film ini dalam menampilkan adegan-adegan horor terasa agak off. Ketika kamera sudah menangkap misteriusnya dengan ciamik, tensi sudah terbangun, exit adegan atau punchline horornya seringkali terasa terlalu cepat. Sehingga momen-momen seram tersebut jadi terasa kurang nendang. Flow horor film pun jadi terasa enggak benar-benar sempurna. Nonton film ini tu jadi kayak kerasa ‘kentang’ gitu loh. Udah capek-capek membuild suspens, tapi puncak pelampiasannya gak ada memuaskan semua. Kayak Valak lagi membunuh salah satu korban misalnya, momen dia ‘nakut-nakutin’nya udah dapat, tapi saat dia went for the kill, tiba-tiba berlangsungnya cepat.
Sense horor film ini sebenarnya ada pada tempat yang tepat. Gambar-gambar dan build upnya keren semua untuk standar skena horor. Kalo ternyata bukan salah ‘sensor’, film ini adalah horor dengan timing paling gak-precise yang aku tonton beberapa tahun belakangan. Gak puas aja nontonnya. Ceritanya pun begitu. Padahal dibandingkan film pertamanya, film kali ini punya bobot dramatis. Punya karakter yang cerita mereka mampu membuat kita peduli. Punya development juga. Sayangnya semua itu ada pada karakter yang gak tepat. Dalam artian, bukan pada karakter utama. Heroine utama film ini toh memang tetap dibuat cukup badass dan segala macem, tapi dia ini cuma punya ‘kejadian’. Irene ini bentukan karakternya tu kayak tipikal hero dalam film action. Development dia nyaris tidak ada, melainkan cuma ‘ternyata’. Dan karena cerita harus ngikut perspektif si karakter utama, maka cerita yang mestinya kuat di kejadian sekolah asrama, jadi sering berpindah. So yea, film ini adalah peningkatan dari film pertama, tapi itupun lebih karena film pertama yang memang set standar terlalu ke bawah.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE NUN II
That’s all we have for now.
Dunia cerita Conjuring dan The Nun sepertinya sudah diset untuk segera bertemu kembali. Apa hubungan Lorraine dengan Irene menurut kalian?
Share pendapat kalian di comments yaa
Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
Mungkin Lorraine itu keturunan ibunya suster Irene mas. Cucunya mungkin ya hahaha. Untung aku nonton Sleep Call duluan, lebih bagus. Tapi ya mending Nun 2 ini daripada film pertamanya. Bener sih yang penting Sophie, anak lain sih biar aja dimakan kambing. Hahaha.
Sama-sama keturunan Saint Lucy yaa.. tapi kalo mereka satu orang yang sama, mungkin gak ya kira-kira?
Anak yang tukang bully itu tuh, ‘ringan’ amat ganjerannya cuma ditusuk sedikit hahaha
Apa mungkin ya mas? Loraine kan tokoh nyata,masa berani ubah masa lalunya jadi biarawati? Atau emang aslinya gitu ya, aku ya ga tau sih biografinya hahaha.
Aku juga gak tau aslinya dia gimana, tapi ya bisa aja mereka ‘melebih-lebihkan’ asalkan semua universenya bisa nyambung ahhaha
setuju sama review nya bang.. kok ya balik lagi ke pencarian relik2.. jd kyk film adventure mystery.. valaknya jg jd lbh mirip ke monster ketimbang demon..
next bakal review a hunting in venice ga bang?
Di mini review kayaknya, ku keskip di bioskop haha.. Padahal sebenarnya lebih pengen nonton Venice duluan ketimbang The Nun.
Mendingan cerita hantu kambing di sekolah aja ya, capek ngikutin adventure mystery yang kita tuh gak benar-benar dilibatkan, ngadi-ngadi aja xD