“A home renovation can help you make your dreams a reality”
Di Jawa ada yang namanya pesugihan Kandang Bubrah. Pesugihan yang melibatkan syarat harus merenovasi rumah terus menerus. Bongkar pasang ubin. Bangun-rubuhkan ruangan baru. Pesugihan yang benar-benar ngasih meaning literal bagi kiasan ‘renovasi rumah dapat membantu mewujudkan impian’. Karena kalo orang normal memperbaiki dan menata ulang rumah itu dilakukan supaya menghasilkan kesan fresh, selain juga sebagai perlambangan bagaimana menata kehidupan sejatinya membutuhkan perjuangan. Sedangkan di ritual ini, ya bikin rumah senantiasa berantakan kayak kandang benar-benar harus dilakukan kalo mau kaya mendadak. Siapa coba yang gak punya mimpi jadi orang kaya. Horor karya Azhar Kinoi Lubis yang diangkat dari thread viral ini secara khusus memotret keluarga yang bapak-ibunya pengen kaya sehingga rela melakukan pesugihan Kandang Bubrah. ‘Potret’ yang bisa ditebak bakal merah oleh darah. Tapi yang membedakan film ini dengan horor-horor ritual yang banyak beredar di kita – yang membuat film ini one of the better Indonesian horrors out there – adalah film ini benar-benar menggali drama tragis dari keadaan keluarga yang terjebak hal horor tersebut. Lebih kayak drama tentang keluarga tragis, dengan tema horor. Dare I say, film ini ada di kotak yang serupa dengan Hereditary (2018) meski memang penggarapannya belum sebagus itu.
Rumah dibangun dari bata, balok kayu, dan material lain. Sementara rumah tangga harusnya dibangun dari rasa cinta dan kasih sayang. Kadang kita lupa, kebahagiaan dan kesejahteraan di dalam rumah tangga bukan terutama didapat dari harta dan materi.
“Nurut sama bapak, kalo mau hidup kalian selamat” pesan terakhir ibu yang selalu diingat oleh Nadia. Malam tahun baru 2002, Nadia yang saat itu masih kecil menyaksikan sendiri kematian mengenaskan dari ibunya yang sudah lama sakit. Apakah ibu gak nurut sama bapak sehingga berakhir naas begitu? Nadia gak ngerti juga. Yang jelas kini dia dan Yoga, kakaknya, tinggal bertiga saja dengan bapak di rumah mereka yang selalu ramai oleh tukang yang bekerja. Meski Nadia ingin menaati nasihat ibu, tapi nurutin perintah bapak seringkali jadi hal yang susah untuk dilakukan. Karena perintah bapak itu aneh-aneh. Jangan bersihin rumah. Jangan masuk ke ruang kerja bapak. Jangan tanya-tanya kenapa bapak sering bawa kambing ke kantor! Yoga sering dimarahi bapak karena gak mau nurut. Saat remaja, Nadia dan Yoga akhirnya tahu rahasia pesugihan bapak. Pesugihan itulah yang ternyata mengambil nyawa ibu, dan akan menagih kembali nyawa mereka satu per satu setiap sepuluh tahun sekali!
Yang paling sering jadi keluhanku saat nonton horor lokal kontemporer adalah terlalu bergantung sama plot twist. Seolah cerita tu gak seru kalo enggak dikasih kejutan, entah itu siapa sebenarnya yang jahat, atau apa yang sebenarnya terjadi. Padahal sebenarnya ide atau materi cerita horor kita banyak yang menarik. Tapi bahasannya jadi dangkal, karena filmnya hanya jadi sebatas kejadian ‘ternyata’. Bahasannya sengaja disimpan sebagai plot twist. Yang bahkan enggak ‘cerdas’ karena penonton seringnya bisa menebak duluan. Langkah bijak pertama yang membuat Di Ambang Kematian berada di posisi bercerita yang lebih baik daripada kebanyakan horor adalah, film ini gak peduli sama membuat plot twist. Perkara bapak ternyata melakukan pesugihan tidak disimpan sebagai revealing mengejutkan di akhir. Pun si bapak tidak lantas diungkap sebagai orang yang ternyata ‘jahat’.
Cerita Di Ambang Kematian berjalan linear, dalam span dua puluh tahun. Kita akan ngikutin Nadia dari kecil hingga dewasa. Sehingga journey karakternya itu beneran kerasa. Bapak ternyata melakukan pesugihan sudah diungkap, bukan sebagai kejutan melainkan sebagai plot poin untuk cerita masuk ke babak berikutnya. Ke lapisan berikutnya. Karena di cerita ini, melakukan perjanjian dengan iblis tidak lantas dicap sebagai perbuatan dari seorang yang jahat. Film ini menjadikan hal tersebut sebagai bahasan yang worth untuk di-examine. Keluarga yang pengen berkecukupan, tapi lantas bablas dan harus menanggung akibatnya. Film berusaha membuat kita simpati kepada karakter, despite flaw mereka. Meskipun kita tahu tindak pesugihan bukanlah perbuatan yang benar. Aku surprise banget sama depth yang berusaha digapai cerita tatkala Nadia yang sudah jadi Taskya Namya memilih untuk membantu bapaknya menyiapkan ritual potong kambing. Dia nurut bapak, bukan karena pengen kaya, tapi itulah satu-satunya cara keluarga mereka bisa terbebas dari tuntutan si setan kambing. Layer seperti ini kan jarang banget di film horor kita yang kebanyakan menempatkan protagonis sebagai seorang yang terjebak di kejadian horor dan cuma harus survive. Di film ini kita melihat seorang bapak yang sebenarnya sangat menyesal tapi tidak punya pilihan lain, seorang anak yang tetap ingin berbakti walaupun kondisi mereka bisa dibilang sebuah mimpi buruk. Momen langka buatku di film horor ada adegan anak ngelawan orangtua, tapi kemudian menyadari keadaan. Film ini tidak membenarkan pesugihan, tapi membuat kita merasakan dramatic irony karena in the end kita tahu mereka sekarang cuma ingin selamat hidup-hidup sebagai keluarga yang ‘utuh’
Penulisan karakter dan departemen akting keep story afloat. Para pemain menghidupkan drama tragis dan teror menakutkan yang menimpa keluarga mereka. Kesan traumatis, kesan telah melalui banyak juga tergambar lewat progres seiring dengan periode cerita berjalan. Cerita yang waktunya melompat-lompat itupun tidak jadi terasa terputus-putus. Karakter mereka kontinu. Nadia dan Yoga Kecil juga sudah diberikan karakterisasi. Karena cerita yang berjalan linear, porsi mereka saat masih kecil jadi bagian yang penting sebagai fondasi karakter mereka nanti saat sudah dewasa. Mereka tidak sekadar jadi ‘korban’ gangguan setan, tidak sekadar disuruh teriak-teriak saat melihat ibu mencemplungkan wajah ke air panas. Sehingga film ini sama sekali tidak terasa seperti eksploitasi karakter anak di dalam genre horor. Meskipun memang horor yang ditampilkan termasuk cukup grotesque. Like, orangtua yang nekat bawa anak kecil masuk dijamin bakal nyesel udah melanggar penerapan batas umur. Tujuh belas plus itu sudah tepat. Gimana enggak, di film ini adegan pembunuhan dari iblisnya pasti bakal membekas karena digambarkan sadis, bayangkan gimana gak trauma anak saat melihat kekerasan berdarah-darah itu menimpa karakter yang seorang ibu, kakak, anggota keluarga yang relate banget dengan kehidupan sehari-hari.
Sedari menit awal, film sudah ngasih aba-aba teror seperti apa yang bakal dihadirkan. Sesuram dan disturbing apa tone yang bakal digambarkan. Film dimulai dan kita disambut suara lalat di suatu tempat di rumah mereka, buatku ini jadi ‘warning’ yang fun. Secara desain, hantu-hantunya (si hantu tinggi itu!) dan makhluk kambing menyerupai iblis Baphomet yang meneror para karakter memang terlihat mengerikan. Film bermain-main dengan gerak kamera dan editing, menghasilkan kesan kengerian mental yang juga merasuk ke benak kita. Karena hantu dan monster itu muncul sekelebatan, dan film tega untuk menjadikan jumspcare. Terkadang para aktor memainkan versi kesurupan dari karakter mereka, dan itu penggambarannya cukup gila. Bit terakhir dengan Teuku Rifnu Wikana bahkan nails vibe surealis dan teror psikis dengan ‘manis’. Film juga merambah body horror untuk adegan-adegan kematian dijemput si iblis. Momen-momen horor di sini intens. Cuma salahnya, pencahayaannya agak sedikit terlalu gelap untuk bisa sepenuhnya dinikmati oleh kita. Acapkali rasa takut itu datang ‘telat’ karena aku harus sibuk dulu menyipitkan mata berusaha mencerna hantu seperti apa yang ada di layar, atau just mencerna apa yang sedang terjadi sama karakter di tengah malam listrik mati tersebut.
Selain momen terlalu gelap itu, aku juga terlepas dari mood yang dibangun saat film mulai mengeluarkan dialog-dialog yang dramatisasinya agak sinetron-ish. “Tampar saja, Pak!” Menurutku film ini lebih kuat saat langsung memperlihatkan tindakan karakter, misalnya ketika Yoga yang awalnya ogah nurut Bapak akhirnya ikut membantu Nadia mencangkul kubur untuk kambing selesai disembelih saat ritual. Narasi voice over Nadia yang mengisahkan kejadian hidupnya juga terkadang agak redundant. It works ketika voice over itu dilakukan untuk menjembatani gap antara periode waktu-cerita. Tapi terasa kurang diperlukan ketika hanya menarasikan kejadian yang secara bersamaan kita lihat di layar. Bapak tampak menguatkan diri demi menolongnya, buatku sudah cukup terdeliver dari akting dan kejadian di layar saja. Tapi mungkin voice over itu diperlukan demi mencuatkan thread horor yang jadi materi asli cerita. Supaya penonton ‘gak lupa’ kalo film ini diangkat dari kata-kata yang ada di thread tersebut. Sebab tentu bagi penonton yang ngikutin sedari threadnya, aspek-aspek yang mereferensikan hal tersebut bakal membuat film lebih menimbulkan kesan.
Kayak karakter Bastala, yang diperankan oleh Giulio Parengkuan. Teman SMA Nadia yang concern sama apa yang terjadi pada cewek itu, dan menyarankannya untuk menuliskan pengalamannya. Karakternya kan sebenarnya gak esensial, secara cerita, Bastala juga gak actually punya arc atau something yang benar-benar paralel untuk development Nadia. Karakter ini bisa saja di-write off, tapi ya itu tadi, aku paham kepentingannya harus ada. Karena mungkin dialah sosok di balik thread, orang yang mengumpulkan kisah yang dialami Nadia. Menurutku film harusnya took more liberty, secara kreatif, untuk penempatan karakter ini. Memilih, either mau dihilangkan, atau lebih dibuat berperan secara langsung, supaya bentuk penceritaan filmnya terasa lebih enak.
Horor memang bukan cuma soal hantu-hantuan, bunuh-bunuhan. Ada cerita manusia di dalamnya. Manusia yang terjerumus masuk ke jalan yang salah, misalnya. Film ini paham bahwa horor pertama-tama haruslah berangkat dari tragisnya manusia, kemudian baru menjadikannya sajian horor yang sadis dan teror yang menakutkan (kalo buat genre horor, ini disebutnya ‘sajian yang menyenangkan’) Cerita keluarga yang jadi pusatnya, membuat film ini sebuah pengalaman emosional yang menarik untuk diikuti. Membuat film jadi punya nilai lebih, enggak sekadar jumpscare-jumpscarean. Toh di bidang itu, film juga tidak kalah asyik. Naskah sudah runut dan gak terjebak ngasih plot twist yang gak perlu. Hanya arahan saja yang agak kurang kuat, karena film ini ada di posisi sebagai adaptasi dari thread. Posisi yang membuatnya harus ‘ngikut’ materi walau masih cukup banyak yang perlu diluruskan agar lebih enak sebagai penceritaan film.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for DI AMBANG KEMATIAN.
That’s all we have for now.
Kandang Bubrah hanyalah satu dari banyak lagi ritual pesugihan yang berkembang di masyarakat. Apakah kalian tahu yang lainnya?
Share di comments yaa
Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
Untunglah Kamis minggu lalu hari besar jadi bisa nonton Sherina sama Di Ambang Kematian ini. Memuaskan sih dua2nya. Kebalik sama Pocong Gundul yang terakhirnya berantem aja ga ada ceritanya. Di Ambang Kematian ini malah cerita terus sama sekali ga ada berantem sama setannya. Rasanya baru kali ini aku liat film horor yang pasrah aja begini. Tapi ya bagus aja. Kasihan Nadianya tetap mati. Pengen dibuat happy ending yang tobat bisa selamat. Hehehe. Nonton Exorcist Believer ga mas? Reviewnya pada bilang kurang.
Berantemnya sama rasa bersalah ahahaha
Perjalanan mereka keliling Jawa nyari orang pinter buat batalin perjanjian/nolongin Nadia, effort/fight nya di sini, tapi memang kurang banyak.
Nontoon, kayaknya mau direview ntar. Ku ngerti maksud ceritanya jadi ‘begitu’, tapi ya memang jadi kurang menarik aja. Ini kayak waktu dia bikin Halloween Kills. Mau fokus ke manusianya, tapi kayak kebanyakan gitu. Mungkin dua itu bisa dibandingkan dengan Di Ambang Kematian, yang terasa dramanya lebih worked
Dibanding film sewu dino yg sama sama dari thread malah lebih suka diambang kematian ,kekurangany cuma di adegan kalajengking keluar dari keramik cginy kasar bngt selebihnya bagus treatment ceritany .. btw kaget udah nembus jutaan penonton loh , mvp mau bikin gebrakan apa lagi yah abis ini
Hahaha iya, shot hewan-hewan kayak gitu mestinya bisa praktikal aja gak sih? diakalin pakai asli gitu, tapi ada trik supaya safe juga ke aktornya
Jujur, gw liat film ini karena out-of-desperation ama film baru di bulan Oktober yang kayak musim kering.
Taskya Namya yg biasa jadi side-character malah jadi pemeran utama bareng Teuku Rifnu Wikana. Saya tau ekspektasi apa yg saya harapkan. Kalau bukan karena akting kedua lead actor tadi, di pertengahan film udah gw tinggalin. Tapi di luar dugaan saya, tipe horror tanpa perlawanan seperti ini jadi jauh lebih relatable karena faktanya banyak orang yg biarpun udah liat setan ya masih aja setengah percaya.
Iyaa, aku pun kalo ceritanya cuma tentang bapake pesugihan terus jadi jahat, gak bakal ngereview. Ditonton aja udah sukur hahaha… trnyata horornya ngembangin cerita yang lumayan, gak berhenti sampe ‘bapak jahat’