MINI REVIEW VOLUME 12 (PAST LIVES, THE CREATOR, THE ROYAL HOTEL, WHEN EVIL LURKS, A HAUNTING IN VENICE, HELL HOUSE LLC ORIGINS THE CARMICHAEL MANOR, FIVE NIGHTS AT FREDDY’S, SISTER DEATH)

 

 

Bagian kedua dari kompilasi yang harusnya jadi edisi halloween. I gotta say, halloween tahun ini memang banyak film horor yang menyenangkan, bahkan yang bukan horor ternyata bisa ngasih goosebumps yang sedap. Highlight untuk Volume 12 ini; mereka semua – kecuali satu – really surprised me. Film-film ini punya sesuatu yang bikin aku “hey, ini gak biasanya ada di tipe film seperti ini!”. Meskipun gak semuanya aku suka, tapi masing-masing ngasih sesuatu yang di luar ekspektasi. Cuma satu film yang ‘di luar ekspektasi’nya berada dalam kotak ‘mengecewakan’. Film yang manakah itu? Yuk langsung cari tahu di mini review di bawah iniii!!

 

 

A HAUNTING IN VENICE Review

Misteri detektif digabung dengan misteri supernatural. Sesuka-sukanya aku sama penggabungan itu ketika terjadi pada beberapa kasus di komik Detektif Conan, tapi untuk urusan di film Hollywood mainstream, aku toh merasa skeptis juga. Takut jadi ngandelin fake jumpscare doang. Takut gaya dan charm Hercule Poirot di film ketiga ini ‘kalah’ oleh adegan-adegan horor yang dimasukkan dengan paksa. Sayang banget kalo sampe begitu, karena satu hal yang bikin film-film Poirot ini delightful, ya, kekhasan Poirot yang dibawakan penuh kharisma oleh Kenneth Branagh

Sir Branagh yang juga duduk di kursi sutradara, untungnya tahu untuk tidak ‘menjual jiwa filmnya kepada setan industri’. Well, at least, gaya film ini tidak berubah sama sekali. Elemen supernatural dimainkan dengan bijaksana, cukup untuk memberikan pojn tambahan dan ngasih variasi kepada kasus. Film ini tetap menitikberatkan kepada misteri kasus, dan karakter-karakter yang terlibat (yang tentu juga membuat film ini jadi showcase akting spektakuler) – terutama lanjutan dari journey karakter Poirot. Pembahasannya sebenarnya gak baru, tapi seru aja melihat Poirot harus struggle dengan logika dan kepercayaannya terhadap supernatural. Keraguan Poirot juga lantas terdeliver kepada kita dari arahan yang sukses membuat rumah besar tempat lokasi pembunuhan tertutup itu sekaligus jadi rumah hantu, seperti di film-film horor.

Not bad sebagai pembuka Volume ini. Tapi juga enggak spesial-spesial amat sehingga aku gak nyesal nontonnya nunggu di platform aja

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for A HAUNTING IN VENICE

 

 

FIVE NIGHTS AT FREDDY’S Review

Dari dulu aku gak ngerti di mana letak seramnya seri game Five Nights at Freddy’s. Konsep game jumpscarenya sih aku paham, cuma, karakter-karakter animatronicnya. Aku gagal paham seramnya di mana. ,Makanya aku heran kok anak-anak pada suka. Tapi kalo soal filmnya, aku bisa maklum kenapa garapan Emma Tammy ini laku. Simpel. Mereka benar-benar bikin Freddy dan kawan-kawan hidup. Bukan sebagai CGI tapi beneran sebagai robot ‘pembunuh’.

Yang bikin aku takjub adalah ceritanya. It’s so easy membuat film ini sebagai cerita tentang penjaga yang harus melewatkan malam-malam sepi di ‘rumah’ Freddy, dan dia akan diganggu. Film ini ternyata gak mau segampang itu. Mereka menyiapkan cerita personal tentang abang yang terus-terusan dirundung rasa bersalah atas adiknya yang hilang saat mereka masih kecil. Film ini mencoba memperdalam mitologi-dunia dengan konsep mimpi untuk mencari jawaban atas masa lalu. Coba ngasih stake dengan urusan hak asuh adik. Coba mengrounded-kan lagi dengan bahasan tentang orang tua. It is kinda ambitious, untuk ukuran film adaptasi game horor untuk anak-anak.

Namun meski usaha elevasinya harus kita apresiasi, toh film ini akhirnya terpuruk karena tone yang sangat tak berimbang. Enggak simpel, tapi juga jadi agak ribet buat penonton anak. Level kekerasan yang juga tinggi, meski dibuat tanpa darah berlebih. Elemen hantu yang gak pernah terasa seram, karena clash out dengan misteri grounded. Tapinya lagi yah, bahkan Matthew Lillard enggak bisa menyelamatkanku dari kebosanan menonton ini

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for FIVE NIGHTS AT FREDDY’S

 

 

 

HELL HOUSE LLC ORIGINS: THE CARMICHAEL MANOR Review

Atau bisa juga judulnya jadi Hell House: Five Nights at Carmichael’s haha.. Nah, film inilah perwujudan ‘konsep gampang’ dari yang kubilang di review Freddy tadi. Bikin karakter bermalam di tempat berhantu. Mereka ngerekam kegiatan, jumpscare-jumpscare, and call it a day. Tapi yah, at least Stephen Cognetti sudah tahu persis apa yang mau ia buat. Dia menyempurnakan yang ia tahu, dan film ini overall jadi lebih menghibur.

Hell House LLC adalah seri horor mokumenter found footage, aslinya merupakan sebuah trilogi seputar bangunan bekas hotel, yang jadi tempat cult yang pengen buka gerbang neraka. Film pertamanya asli seru dan aku suka banget. Tentang sekelompok orang yang bikin wahana rumah hantu di bangunan tersebut. Film keempat ini hadir dengan maksud memperdalam mitologi cult di tempat berhantu lain. Secara presentasi, film ini ingin kembali ke vibe film pertama, yakni dengan footage-footage yang lebih ‘genuine’ dan drama karakter di balik misteri horornya.

Dan memang, penceritaan film ini berhasil tampil lebih baik daripada film kedua dan ketiga, dan mendekati film pertama. Hanya saja untuk urusan kengerian dan atmosfer, gagal mengimbangi keberhasilan film pertama. Manekuin-manekuin badut yang jadi ikon franchise ini tetap seram, tapi penampakan dan hantu-hantunya tampil sangat blak-blakan. Membuat atmosfer dan detil-detil horor yang terekam kamera, yang jadi senjata utama franchise ini jadi kehilangan ketajaman. Ceritanya pun drag dengan annoying, karena film kesusahan mencari alasan logis untuk karakter-karakter ini mau bertahan selama empat malam di rumah itu. Rintangan yang membuat mereka harus tinggal juga tidak kuat. Jatohnya, karakter utama di film ini jadi sangat annoying dengan alasan-alasannya untuk tidak angkat kaki dari situ.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for HELL HOUSE LLC ORIGINS: THE CARMICHAEL MANOR

 

 

 

PAST LIVES Review

Dua sahabat masa kecil yang saling suka tapi harus berpisah negara, lalu saat dewasa mereka bertemu kembali, harusnya berakhir jadian karena sudah takdir, kan? Kan? KAN??

Past Lives debut sutradara Celine Song bicara dengan sangat anggun dan dewasa soal takdir antara hubungan dua anak manusia, yang saking anggunnya hati kita yang nonton akan menghangat betapapun naas akhir ceritanya. Past Lives is not like any other ‘CLBK’ stories. Karena ini bukanlah semata cerita tentang dua orang yang bertemu kembali berusaha dealing dengan closure atas perasaan mereka, film ini membahas dengan kompleks tanpa meninggalkan faktor-faktor lain. Tempat. Waktu. Dan another person. Faktor-faktor yang berperan sangat besar dalam ‘perubahan’ seseorang. Yang mestinya memang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Film ini bicara tentang kehidupan; yang ditinggalkan, yang datang, yang bertahan, yang telah lewat, dan banyak lagi begitu kompleksnya. Hasilnya, Past Lives jadi dialog-dialog dan keputusan karakter yang bakal bikin kita ikut berkontemplasi.

Film ini sendiri kayak punya awareness terhadap jebakan-jebakan cerita serupa. Maka film mendesain karakternya sedemikian rupa, sehingga bisa agak meta. Karakternya dibikin sebagai penulis, dan ada dari yang mereka aware kalo kisah mereka ada di dalam cerita, maka dia akan berada di posisi orang yang menghalangi cinta masa kecil pasangannya. Cara film menggeliat keluar dari jebakan, membuatnya masuk ke dalam bahasan cerita, dan actually semakin memperdalam para karakter sebagai manusia, menurutku ini merupakan penulisan yang sangat cemerlang. Sedikit ‘koreksi’ dariku cuma maybe sebagai film, cerita ini bisa lebih dramatis lagi jika diambil dari sudut pandang karakter yang lebih ‘aktif’ – dalam artian yang lebih banyak mengalami pembelajaran.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for PAST LIVES

 




SISTER DEATH Review

Semoga kalian belum jengah sama cerita suster hantu, karena suster horor karya Paco Plaza ini actually lumayan worth to watch,

Dengan backdrop setelah perang sipil di Spanyol tahun 40an, film ini actually memberikan banyak waktu untuk ceritanya berkembang. Suster Narcissa tadinya ke biara yang sekarang jadi sekolah khusus anak perempuan untuk mengajar, tapi tempat itu sebenarnya membutuhkan kekuatan Narcissa sebagai ‘Holy Girl’. Karena di situ sedang dihantui oleh spirit, yang punya kisah tragis. Yang agak mengganggu buatku adalah adegan horor berupa mimpi, yang cukup kebanyakan. Padahal sebenarnya adegan-adegan horor yang ditampilkan film ini seram semua. Karena ceritanya slow, build up horornya jadi enak. Menjadikan horor itu cuma mimpi, membuatku terlepas dari kengerian dan dunia film.

Padahal cerita dan misteri yang dimiliki film sangat compelling. Aku bahkan gak nyadar kalo ini adalah sebuah prequel dari film horor tahun 2017. Judulnya Veronica. Aku bahkan belum pernah nonton film itu. Tapi saking tightnya bangunan cerita, film Sister Death ini jadi kokoh berdiri sendiri. Sekuen finalnya juga cukup keren, para karakter dibikin seolah berada di masa kini dan masa lalu sekaligus, menghasilkan trik horor yang unik. Dan si Suster Narcissa itu sendiri, man di akhir itu dia dibikin ‘menderita’ fisik dan mental. Sosok protagonis dengan mata mengalir darah jelas akan terpatri jadi salah satu bahan mimpi buruk kita di kemudian hari.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SISTER DEATH

 

 

 

THE CREATOR Review

Epik sci-fi war dari Gareth Edwards ini udah kayak Star Wars versi lebih grounded. Gimana enggak, ceritanya ngambil setting masa depan saat manusia klaim perang terhadap hal yang mereka ciptakan untuk kemudahan hidup, robot dan A.I. Untuk menambah kompleks, ini bukan sekadar manusia vs. robot, melainkan ada sisi abu-abunya. Ada pihak manusia yang memihak A.I. – yang menganggap robot-robot itu punya perasaan dan layak hidup. Ada pihak manusia yang menganggap mereka teknologi berbahaya yang harus dimusnahkan, dan manusia yang membantu robot mereka anggap tak ubahnya teroris. Kebayanglah, manusia dari bangsa mana yang dengan entengnya bilang yang tak sependapat mereka sebagai teroris. Film ini memang sedekat itu.

Visual film ini oke punya. Dunianya terbangun dengan detil, New Asia dengan padi-padi dan berbagai bahasa yang akurat. Robot-robotnya seamless hadir di tengah-tengah manusia. Karakter-karakternya juga ‘hidup’ dengan masalah personal merayap di balik konflik global cerita. Protagonis cerita, Joshua, adalah tentara yang masuk ke wilayah musuh dan harus meng-escort seorang anak robot ke tempat sosok dengan alias Nirmata yang diduga mengembangkan senjata rahasia. Like I said, epik sci-fi war ini harusnya memang sangat epik dengan cerita dan skala (dan durasi!) sebesar itu.

Nyatanya, film ini membosankan dan uninspiring. Karena penulisan yang teramat lemah dan praktisnya tidak ada hal baru. Cerita film ini terasa seperti recycle dan gabungan dari beberapa cerita perang dan sci-fi yang pernah ada.  Sehingga cerita film ini tidak pernah terkesan spesial. Hampir seperti pihak-pihak di balik film ini takut ngasih sesuatu yang benar-benar original, sehingga mereka memaksa film ini harus punya banyak elemen-elemen yang sudah pernah ada di cerita lain.

The Palace of Wisdom gives 6  gold stars out of 10 for THE CREATOR

 

 

 

THE ROYAL HOTEL Review

Sutradara Kitty Green kembali bersama aktris Julia Garner menghadirkan thriller dan horor ‘nyata’; teror yang dialami perempuan di tempat kerja. Sama seperti The Assistant (2020), skor audiens The Royal Hotel di Rotten Tomatoes jeblok. Karena memang horor/thriller yang ‘dijanjikan’ berbeda dengan yang penonton harapkan. Ketika penonton film mengharap kejadian sadis berdarah, tragedi dramatis yang physically mengguncang protagonis, monster-monster, hantu, ataupun psikopat sakit jiwa, filmmaker Australia yang di film ini juga pulang ke negara asalnya ini malah menghadirkan ketakutan yang tak bisa terlihat langsung. Yang tidak langsung terbuktikan oleh action. Tapi ketakutan itu ada, dirasakan benar oleh protagonisnya.

Sudut pandangnya memang dari cewek, tapi sebagai cowok pun, aku nonton ini masih merasakan horor tersebut nyata. Karakter sentral di cerita ini adalah dua perempuan muda, turis, yang harus membayar masa hukuman dengan jadi pelayan bar di kota tambang kecil di pelosok Negara Kanguru. Mendengar di mana mereka ditempatkan saja sudah otomatis bikin merinding. Dua perempuan itu akan berada di tengah kelompok laki-laki yang butuh ‘hiburan’. Things won’t go well. Karena jujur saja, aku tahu gimana cowok kalo udah bergerombol seperti itu, karena bahkan aku pernah guilty catcalling dan godain cewek saat sedang ngumpul sama teman-teman di kampus dulu. Hal yang dianggap cowok “ah, cuma dibecandain doang” itulah yang digambarkan jadi siksaan psikologis bagi karakter Julia Garner. Perasaan terancam berada di tengah sana saat gak ada satupun cowok yang tampak baik-baik saja. Mau itu si mulut besar, si ngeres, ataupun si pendiam yang tampak respek, garis batas itu bisa tau-tau roboh

Dua karakter perempuan ngasih cara pandang yang berbeda, antara ‘mereka kurang ajar sama kita’ dan ‘it’s okay, we’re just having fun’, digunakan film untuk mengeksplorasi lebih jauh lagi, pandangan tersebut bisa bikin narasi berimbang, yang lantas jadi bikin suasana semakin ngeri lagi. Ultimately, film take a strong stand, meskipun memang konfrontasi penyadaran antara kedua karakter ini harusnya bisa lebih kompleks lagi

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for THE ROYAL HOTEL

 

 

 

WHEN EVIL LURKS Review

Bukan ‘where’, tapi ‘when’ yang dijadikan poin utama oleh horor orang kesurupan dari Argentina ini. Sutradara Demian Rugna dengan tegas ingin menilik apa reaksi manusia jika daerah mereka membusuk oleh pengaruh setan. Apa aksi yang diambil oleh manusia yang katanya punya society yang terbangun oleh aturan dan keimanan. Jawabannya, menurut yang tergambar oleh film ini; aturan dan keimanan/kepercayaan itu runtuh nyaris seketika.

Ya karenanya When Evil Lurks jadi sebuah horor mencekam yang benar-benar banal. Iblis dari roh penasaran berjalan di muka bumi sambil ngemil otak manusia. Orang kesurupannya bukan semata anak kecil menyumpah serapah, melainkan literally sebuah abomination, gumpalan nanah dan kotoran yang sekarat. Busuk, berdarah-darah. Siap untuk melahirkan setan berikutnya. Hewan-hewan peliharaan jadi beringas, tidak lagi mengenal tuannya, yang by the way juga telah siap melempar keluar semua kemanusiaan demi menyelamatkan diri dan keluarga. Ini adalah horor yang brutal. Sadis, jijik, najis, ngumpul jadi satu penceritaan bikin miris. Film ini bukan saja bukan untuk yang gak kuat iman, tapi juga bukan sajian untuk yang gak kuat perut. Ada satu adegan di film ini yang benar-benar bikin terpekik kaget, karena rasa-rasanya belum ada yang nekat bikin adegan kayak gitu bahkan di film horor sadis sekalipun.

In other words, harusnya ini adalah horor yang sangat menghibur. Tapi aku gak bisa menyukainya. Lantaran satu hal. Protagonis yang annoying. Aku mengerti penulisannya didesain seperti itu untuk memperlihatkan dia pendosa, bahwa dia sama dengan kita yang just try to save keluarga sementara gak benar-benar tahu harus berbuat apa. Hanya saja sayangnya dia tertranslasikan ke layar sebagai karakter yang ribut teriak-teriak dan memilih keputusan-keputusan bego yang aku yakin kita gak akan memilih pilihannya. Like, ada satu adegan dia nyaris putus asa kesusahan menjebol panggung. Lalu anak kesurupan iblis bilang ada kapak di ruangan sebelah. Tanpa pikir panjang, tanpa mendengarkan larangan paranormal yang tahu banyak dan telah sukses menunjukkan jalan kepadanya, dia ngikut saja perkataan si anak iblis. Resulting kerugian nyawa yang sangat besar di pihak manusia. Maan, I just can’t follow character like that. Aku berharap film ini punya karakter yang lebih menarik dan simpatik.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for WHEN EVIL LURKS

 




 

 

That’s all we have for now

In case belum jelas mana satu film yang mengecewakan itu adalah The Creator. Aku kecewa banget. Bahkan Five Nights at Freddy’s aja ngambil resiko lebih banyak ketimbang film tersebut. Yang bikin tambah kesel, dan khawatir, adalah bahwa dia film original. Ngeri aja kalo film original epik kayak gitu kurang diminati. Bioskop dan studio hanya akan melihatnya sebagai kegagalan materi, sehingga yang original bakal makin dipandang tidak menguntungkan. Padahal pengembangannya saja yang sangat main aman. Film harusnya lebih berani, apalagi kalo sudah punya materi yang unik. And by the way, sudah hampir penghujung tahun dan aku belum dapat film yang skornya 8.5. Alamak!!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



Comments

  1. newadityaap says:

    Yg bikin Past Lives bagus tuh karena tuturannya sederhana, ga ada dramatisasi, pake dialog jujur yg mengalir aja.

    Kalau mau menanti film bagus di akhir tahun kayanya perlu nunggu film dari Ghibli bulan ini sama Monster di festival film terdekat (yg Jepang ya, bukan yg Indonesia).

  2. Farrah says:

    Baru selesai nonton Past Lives karena kata temenku viral di tiktok (sebuah informasi hahaha)

    Aku nontonnya kok agak ‘disconnected’ ya mas? Kayak, iya bagus, iya touchee, tapi kayak asing gitu. Padahal ceritanya general, dan aku suka cerita romance2 gini.

    Bener sih, karakternya kurang aktif. Akupun bingung journeynya apa, terlalu realistis aja kesannya. Kalo si cewek jadi narator pasti lebih seru deh, krn di awal film juga aku bingung, siapa yg ngomong? (yang nanya, hubungan Nora – Hae Sung – Arthur di bar), dan pas closure ke adegan itu di babak akhir juga gak terlalu klimaks banget. Idk, just my two cents.

    • Arya says:

      Hahaha aku pun mikirnya bakal sering balik ke adegan-adegan mereka masih muda, kayak di film Jepang Love Letter, ternyata lebih ke bahasan ‘gimana mereka sekarang dan dealing with kenyataan itu’. Makanya terasa agak distant karena growth mereka tidak kita rasakan langsung tapi lebih sebagai closure yang mereka sadari lebih dulu daripada kita. Aku mikirnya kalo dari Hae-Sung, mungkin lebih enak karena dia pasti banyak flashback, karena dia yang kangen dan ditinggalkan

      Iya, ‘hiasan’ di depan itu agak bingungin sih, aku ngeliatnya itu situasi yang coba bikin kita relate kalo di tempat umum sering nerka-nerka strangers lagi ngomongin apa dsb. Baru akhirnya kita diajak masuk ke kehidupan tiga orang ini.

  3. jebe says:

    wah akhirnya past live direview. kalo buat sy film ini kayak episode terakhir Ted lasso ,menyenangkan juga heartwarming tapi somehow agak bikin patah hati hahaha.

    kalo The creator mmg sengaja sy skip sih bang, sejak nntn john david washington di tenet jadi males nntn film dy lainnya hehe

    • Arya says:

      Aku juga kayaknya kok sering susah cocok sama film-filmnya John David Washington ya hahaha, cuma film Blackkklansman ama dia yang sama Zendaya itu yang agak mending. Itu juga mungkin karena terangkat bukan oleh dianya hahaha

  4. Ilham says:

    Bang pernah gak ngikutin seriesnya mike flanagan. Aku semenjak nonton the haunting of hill house, the haunting of bly manor, midnight mass, langsung suka sama dia. dan lagi otw nonton yang terbaru katanya orang2 bagus the fell of the house of usher. Gatau bakal sesuka 3 series yang diatas apa gak soalnya baru eps 1 udah pusingg. Siapa tau udah pernah nnton bisa sharing pengalamannya dong mskipun gak pernah di review

    • Arya says:

      Iya aku suka tuh, ada beberapa kali juga reference serial2nya di review-review haha.. Serial horor Flanagan yang gak kutonton cuma Midnight Club, baru episode 1 ku langsung gak masuk.

      Yang House Usher baguss. Per episodenya agak repetitif sih polanya, karena satu anak satu episode. Tapi mereka matinya gimana cukup bikin penasaran. Hubungan kakak adik, sama misteri cewek gagak itu juga menarik untuk diikuti

      • Ilham says:

        Kita samaa, aku juga sengaja gak ngikutin midnight club karna emang ga tertarik aja apalagi banyak yang review biasa aja. Dan baru tertarik ngikutin yang terbaru ini semoga suka dan sanggup buat lanjut.

        Wahh menarik nih bakal kuusahain buat lanjut ajadeh kalo emang bagus. Ngomong2 kalo bakal ada soal cewek gagak jadi inget di bly manor juga ada penampakan dokter jaman dulu yang pake kostum mirip burung gagak haha.

        • Arya says:

          Ooo yang kostum plague doctor itu haha… House Usher sayangnya gak ada penampakan-penampakan random di background kayak hantu-hantu di seri House yang lain, padahal seru ya nonton sambil noticing penampakan-penampakan

Leave a Reply