LEAVE THE WORLD BEHIND Review

 

“Escapism sometimes is healthy… The problem is when people stay there”

 

 

Dunia maya harusnya jadi tempat pelarian. You know, stress dengan persoalan dunia nyata, kita bisa tinggal log in ke facebook menyapa teman-teman yang sudah lama tidak berjumpa. Bisa main game have fun bareng. Kita bisa nulisin semua uneg-uneg, bonus langsung dikomen, udah kayak Ginny nulis di diary Voldemort. Bisa nostalgia lihat-lihat foto liburan beberapa waktu yang lalu. Tapi kemudian dunia maya kita got real. Social media meluas kebutuhan dan fitur-fiturnya. Kita sendiri yang bikin dunia maya jadi tempat nyata yang baru dengan terlalu banyak menghabiskan waktu di sana. Kita sendiri yang bikin diri tergantung sama teknologi-teknologi yang mengkoneksikan dunia nyata dengan dunia maya. Kalo sudah begini, lantas ketika dunia itupun ada masalah, kita kabur ke mana lagi? Aku pikir inilah yang berusaha dikatakan oleh Sam Esmail ketika dia mengangkat novel tulisan Rumaan Alam menjadi sebuah thriller bencana alam. Leave the World Behind, seperti yang disebutkan oleh judulnya; mengajak kita kabur ninggalin dunia. Kita dibawa ke dunia film, ke sebuah sajian hiburan, tapi untuk berefleksi terhadap kebiasaan kita mencari eskapisme. Sementara urusan hiburannya itu sendiri, well, aspek inilah yang ternyata memunculkan reaksi yang beragam dari penonton sekalian.

Sumpek sama rutinitas yang membosankan, Amanda bikin liburan spontan untuk suami dan kedua anaknya. Keluarga mereka hari ini akan liburan di kota kecil. Amanda sudah menyewa vila mewah lewat online, dan mereka sekeluarga akan bersantai di sana. Tapi senang-senang mereka tak berlangsung lama. Kejadian aneh mulai terjadi di sana. Internet, televisi, telefon mendadak tak berfungsi. Kapal dan pesawat pada karam. Dan tengah malam, dua orang asing, George dan putrinya, Ruth, mendadak mengetuk pintu rumah. Mengaku sebagai pemilik rumah, keduanya minta ijin menginap karena ternyata kekacauan komunikasi ini terjadi di seluruh negara bagian. Amanda tak tahu harus percaya atau tidak, sementara keadaan di luar semakin menjadi-jadi dengan suara dengung misterius yang bikin retak jendela, dan rusa-rusa yang bertingkah di luar normal.

Amanda adalah tokoh paling relate sekali saat dia bilang “I hate people”

 

Thriller bencana alam jadi dapat makna baru berkat film ini. Karena di sini, kita ataupun para karakter cerita tidak pernah benar-benar tahu apa persisnya ‘bencana alam’ yang sedang terjadi. Yang jelas efeknya bikin kecelakaan di mana-mana. Bikin hewan-hewan bertingkah aneh. Apakah ini semua buatan manusia? Apakah dari makhluk asing – alien? monster? hantu? Apakah lagi ada perang? Kalo iya, antara siapa lawan siapa? Siapa yang menghack satelit sehingga sistem komunikasi jadi kacau balau? Teroris dari negara mana? Apa yang mereka incar? Konspirasi apa yang sedang terjadi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menghantam karakter silih berganti, membangun ketegangan yang nyampe ke kita juga sebagai teka-teki. Kita pengen jawaban. Karena ini film, maka kita butuh penyelesaian dan semua itu harus terjawab supaya kita tahu apa yang sebenarnya kita tonton, kan?

Well, rancangan film ini justru untuk memerangkap kita ke dalam tanda-tanya tersebut. Jawaban yang diberikan cuma satu: tidak ada definitive answer. Loh kok? Karena tujuan film ini adalah supaya kita melihat ke karakter-karakternya. Ini bukan sekadar cerita yang menempatkan karakter di situasi aneh, lalu mereka mengalahkan situasi tersebut. Survive, atau malah jadi korban dari situasi itu. Bukan. Flm ini ingin kita berefleksi kepada karakter-karakternya. Amanda dan suaminya tentu saja pengen menjaga keselamatan keluarga mereka. Begitu juga dengan George, kepada putrinya. Dua keluarga ini adalah orang-orang normal, tapi mereka harus bekerja sama di tengah situasi yang benar-benar membuat mereka tak tahu apa-apa, melainkan jadi saling curiga. Layer ras ditambahkan oleh naskah, supaya situasi semakin intens. Karena both Amanda dan Ruth, diam-diam punya prasangka terhadap warna kulit yang berbeda dengan mereka. Prasangka yang tumbuh dari mana lagi kalo bukan dari media dan informasi yang selama ini mereka konsumsi. Tapi sekarang mereka semua terputus dari semua sumber informasi. So there’s no answer. Sama kayak kita. Gak ada jawaban pasti dari covid, perang, politik, ataupun peristiwa-peristiwa lain yang ada di dunia kita. Kita hanya bisa menyimpulkan masing-masing dari informasi yang kita dapatkan dari media, dari internet. Kita ambil mana yang ‘cocok’ dengan kita. Sekarang bayangkan kalo suapan informasi itu mendadak distop. Secara teori, mestinya kita lebih ‘tenang’. Tak ada ribut di sana-sini. Tapi film ini menunjukkan keadaan justru menjadi kacau, karena karakter-karakternya perlu kembali belajar, perlu kembali jadi gelas kosong, tentang bagaimana mempercayai sesama manusia.

Inilah alasannya kenapa film bertabur cast yang bukan kaleng-kaleng. Julia Roberts jadi ibu ansos yang curigaan, Ethan Hawke jadi ayah yang lebih open minded tapi ternyata dia juga masih punya prasangka. Mahershala Ali jadi family man yang lebih nyaman berahasia. Kevin Bacon jadi redneck parnoan yang gampang termakan teori konspirasi sehingga jadi kayak Karen versi cowok. Interaksi karakter-karakter ini, aksi dan reaksi mereka dalam berusaha memahami apa yang sedang terjadi di dunia mereka, jadi elemen volatil yang membuat film ini pantas menyandang genrenya sebagai thriller. Menonton ini, bagiku rasanya desperate sekali. Desperate ingin mengattach diri kepada salah satu, tapi masing-masing punya flaw dan aku berpindah-pindah sehingga merasa aku berada di ruang tengah berdinding kaca itu. Berdiri di sana, dan benar-benar terjebak situasi membingungkan tersebut. Cara film mereveal poin-poin juga terukur. Di satu adegan film seperti menuduhkan penyebab kepada satu kelompok tertentu, untuk kemudian di adegan belakangan membuka bahwa itu cuma tuduhan kosong. Sehingga kita yang nonton, dan ada yang percaya sama tuduhan di awal jadi ikut kecele.

Atau bisa juga judul film ini Final Destination: Death by Tesla

 

Kebingungan, misinformasi, ternyata adalah bencana yang diangkat oleh film ini. Alamnya adalah manusia. Jadi ini sebenarnya adalah bencana kemanusiaan. Itulah sebabnya kenapa film memilih untuk tidak memberikan jawaban, Memilih untuk jadi bahan refleksi. Sendirinya adalah media, film ini sadar dirinya adalah bagian dari ‘tempat kabur’ manusia dari masalah. Sehingga masalah eskapisme ini akhirnya bukan hanya mereka gambarkan, tapi mereka pilih sebagai pembungkus narasi. Akhir film akan memperlihatkan Rosie, putri bungsu Amanda – yang sepanjang durasi cerita punya satu keinginan yakni menamatkan nonton serial Friends, tapi gak bisa karena service streaming mati – akhirnya menemukan cara untuk menonton episode terakhir serial tersebut. Ending film mutlak bikin kesal sebagian besar penonton, karena membuat film terasa benar-benar tidak memuaskan. Like, ngapain capek-capek penasaran dan tegang tapi ujung-ujungnya cuma kayak tentang anak kecil nonton Friends. Aku yang paham fungsi dari adegannya yang dipilih begitu aja, kesal juga. Film ini benar-benar nyeleneh dan gak peduli sama struktur. Oh, karakternya memang ada development terkait jadi saling percaya. Ceritanya juga punya chapter-chapter tersendiri. Tapi di samping peningkatan intensitas, film ini sama sekali minimal dalam ‘sebab-akibat’. Hanya seperti episode-episode ganjil, yang ditutup oleh ‘selera humor’ ironis.  Yang seperti mengenyahkan build up misteri begitu saja. Ini sungguh resiko yang gede, tapi film ini knowingly, dan aku bisa bilang – proudly – mengambil resiko tersebut.

Leave the World Behind adalah soal eskapisme. Kesel-kesel begini, toh aku relate dengan Rosie. Di tengah hingar bingar politik, atau bahkan saat ribut-ribut vaksin dan konspirasi ini itu, aku hanya duduk di ruangku sendiri. Cuek sendiri. Nonton film, serial, WWE, main video game. Itu serial Friends-ku. Apakah dengan punya ‘tempat kabur’ itu membuat aku lebih baik dari orang lain, menurut film? No. If anything, itu hanya membuatku jadi orang yang belum dewasa, seperti Rosie. Dunia udah mau kiamat, tapi yang dipikirin masih aja film. Hidup di dunia sendiri, juga akhirnya tidak akan baik, apa bedanya nanti sama orang paranoid seperti karakter Kevin Bacon yang sudah persiapan tapi merasa dirinya yang paling benar. Kita juga gak pernah tahu apakah Rosie akan membiarkan para orang dewasa menemukannya. Bisa jadi dia berkurung sendiri nonton Friends itu berulang-ulang. Menurutku, pada akhirnya film ini cuma mau bilang:

Media, seni, dunia maya adalah bentuk dari eskapisme. Yang sebenarnya adalah sesuatu yang menyehatkan dan perlu bagi kita untuk punya something sebagai bentuk eskapisme. Supaya kita bisa healing dari reality. Supaya kita gak berpikiran sempit, gak terkurung, kita butuh melihat atau melakukan sesuatu di luar sana. Tapi lantas, eskapisme tak lagi healthy jika kita memilih untuk terus-terusan kabur. Abai dari real problems. Bahkan lebih buruk terkurung di sana ketimbang di dunia nyata.

 

 




Dunia udah terlalu bergantung kepada internet, sehingga begitu internet lenyap, kehidupan terputus total. Padahal awalnya internet dan teknologi diciptakan untuk memudahkan saja. Manusia escape dari dunia nyata ke sana, dan malah ‘stay’ di situ. Film ini jadi cerminan tentang itu. Dan film rela ‘ngerusakin’ dirinya sendiri demi itu. Aku sendiri minta maaf kalo review ini gak benar-benar explained kejadian di film, karena filmnya sendiri memang tidak memberikan jawaban.  Film menjadikan diri seperti jurnal mahasiswa suaminya Amanda “media yang both berfungsi sebagai sebuah eskapis dan sebuah refleksi” Hal yang bahkan disebut oleh sang suami sebagai sesuatu yang bertentangan. Film ini senekat itu. Jadi thriller teka-teki yang aneh yang bahkan ‘twist’nya gak bakal kepikiran sama M. Night Shyamalan, aku rasa. Kirain bencana alam, taunya bencana kemanusiaan. Darurat kemanusiaan. Kita tanpa sadar meninggalkan dunia kita jauh di belakang. 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for LEAVE THE WORLD BEHIND

 




That’s all we have for now.

Aku pikir, bahasan film ini kalo diterusin bakal nyambung ke bahasan pas Budi Pekerti kemaren. Kenapa hal-hal di sosial media itu dianggap penting, like, tidakkah minta maaf cukup dengan dikatakan langsung antara si bersalah dengan yang jadi korban? Kenapa harus banget dilakukan secara publik di sosial media? Menurut kalian mungkinkah di titik ini kehidupan sosial kita kembali seperti ke era sebelum ada internet?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, ada satu film yang kukasih score 8.5 tahun ini yang tayang di Apple TV. Killers of the Flower Moon. Untuk nonton, kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



Comments

Leave a Reply