“We live in a fantasy world.. the great task in life is to find reality”
Kita sekarang hidup di dunia fiksi. Memperdagangkan trauma dan kesedihan. Itulah realita yang digambarkan dalam American Fiction, debut penyutradaraan Cord Jefferson. Film adaptasi novel ini di tangannya menjadi komedi satir yang aku pikir bakal bikin gerah beberapa orang, seperti penulis buku/pembuat karya yang memang jadi subjek di dalamnya. Dan walaupun di judulnya ada kata Amerika, satir di film ini gak akan luput mengenai kita di Indonesia. Karena ironisnya, cerita di film ini relate juga dengan kondisi di ‘rumah’. I mean, lihatlah pekarangan sosmedmu. Berapa banyak yang bikin konten yang menuai cuan dari cerita-cerita sedih, cerita orang-orang berantem, atau bahkan cerita kebegoan. Konten yang menjual kalangan minor, ataupun yang sengaja menyasar kepada stereotipe-stereotipe lainnya. Kita sekarang hidup di dunia fiksi. Dunia di mana, sesuai dengan salah satu dialog film ini yang bikin aku ngakak; “The dumber I behave, the richer I get” Film ini begitu lucu karena yang diceritakan benar adanya!
Ya, jaman sekarang idealisme dianggap tidak bisa menghasilkan apa-apa selain stress dan kelaparan. Di cerita film ini, seorang dosen, punya pendidikan dokter, dan penulis novel, Thelonious Ellison yang akrab dipanggil Monk, hidupnya juga mulai menghimpit tatkala novel-novel yang ia tulis dengan serius dan sepenuh hati, katakanlah, tidak laku. Satir film ini langsung ngegas saat publishernya yang kulit putih itu meminta Monk untuk menulis cerita yang lebih ‘black’. Bayangkan disuruh untuk menjadi lebih lokal oleh orang yang sama sekali tidak punya kaitan apa-apa sama kelokalanmu. Lagipula, lanjut sang publisher, pasar cuma butuh dahaga mereka akan konfirmasi bahwa mereka adalah orang yang peduli sama isu terpuaskan. Maka Monk kepikiran menulis novel satir yang isinya penuh oleh stereotipe yang dikenal publik pada ras kulit hitam. Dia menulis buku itu sebagai olokan. Tapi justru buku itu laku keras di pasaran. Kritik dan penikmat kasual – yang hampir semuanya kulit putih – menyukai novel yang sengaja dibikin sebagai pembuktian sampah oleh Monk. Novel, yang ia kasih gimmick ditulis bukan oleh dirinya, melainkan oleh seorang tokoh rekaan. Seorang napi yang kabur dari penjara. Makin meledaklah penjualan novel tersebut saat ‘identitas’ penulis itu diungkap. Sampai-sampai ada produser yang ingin memfilmkan novelnya. Monk, demi keuangan keluarganya, lantas harus memilih; antara tetap menjadi dirinya yang tak bisa menjual apa-apa, atau terpaksa menjadi penulis dan kisah-nyata bohongan yang ia ciptakan sendiri.

American Fiction tayang di bioskop Amerika bulan Desember tahun lalu, hampir bertepatan dengan waktu Jatuh Cinta Seperti di Film-Film memeriahkan bioskop tanah air. Menarik, karena dua film ini basically menggunakan konsep meta yang serupa. Pun sama-sama punya komentar soal industri film/karya tulis negara masing-masing (sama-sama parodiin produser/publisher hahaha). Jatuh Cinta Seperti di Film-Film yang tentang seorang penulis skenario berusaha menulis dan memfilmkan kisah romans dari kehidupan cintanya, currently bertengger di posisi ke delapan dalam daftar Top-8 2023 Movies-ku, dan alasan film itu berada di posisi tersebut adalah karena ada yang mengganjal dari struktur meta yang digunakan terhadap journey karakter utamanya. Film American Fiction ini lantas memberikan kepada kita contoh cara yang benar dalam menghandle konsep tersebut, sehingga journey Monk sebagai karakter utama terasa tetap ‘real’. Karena American Fiction tidak lantas give in kepada gimmick cerita metanya. Alih-alih menggunakan hitam putih sebagai pembeda, film menggunakan layer akting yang beneran dikaitkan kepada narasi. Monk pria terpelajar kelihatan dari gaya dan cara bicara dia, tapi kita benar-benar ditekankan kepada Monk harus mengubah cara dia bicara, gaya dia menulis, menjadi sesuatu yang stereotipe dan menurutnya degrading ketika dia menulis novel sesuai tuntutan publisher. Akting Jeffrey Wright main betul, dan memang pantas diganjar nominasi. Cara film ini dalam menampilkan sebuah adegan yang ternyata hanya karangan Monk dilakukan dengan sureal namun tetap terang sehingga apa yang sebenarnya terjadi kepadanya tidak pernah tersamarkan sebagai kejadian yang tidak pernah beneran terjadi. Dalam artian, journey yang dilalui Monk tetap jelas, growth yang ia alami tetap kita lihat terjadi kepadanya.
Adegan Monk menulis novel full of stereotypes itu dilakukan dengan menarik oleh film. Monk udah kayak sutradara yang mengawasi dua karakternya berdialog, lalu karakter-karakter tersebut akan balik bertanya “Gue ngomong apalagi nih bos?” atau malah mengkritiknya “Gue ngomongnya gak kayak gitu!” Menyangkut ke perihal satirnya, adegan tersebut dirancang dengan precise sehingga untuk kita – yang merupakan salah satu sasaran sindiran – adegan tersebut akan menghasilkan sedikit perasaan mendua. Adegan dialog itu supposedly nunjukin parody yang jelek, atau beneran bagus. Ketika kita merasakan itulah, pembuktian satir film bekerja dengan benar. Lewat adegan menulis cerita penuh stereotype dan menjual ‘ras’ padahal sebenarnya shallow itulah film membuktikan benar bahwasanya kita sebagai konsumer kadang dengan begonya kemakan konten orang. Kita melihat ‘oh film dari ras minoritas pastilah real, emosinya raw, dan mengusung bahasan sosial yang penting’ padahal itu bisa jadi cuma gimmick. Bisa jadi penulis ceritanya seperti Monk, just making stuff up, memasukkan sebanyak mungkin stereotype karena memang itulah yang lebih gampang laku. Bahwa sekarang kita tidak melihat berdasarkan isi yang sebenarnya, melainkan hanya ikut-ikut tren agenda.
Sebagai seorang terpelajar, Monk tentu saja melawan industri seperti ini. Ketika ada pengarang kulit hitam lainnya, menulis novel setipe (alias sama-sama jualan stereotipe ras mereka semata), ditambah dari sudut pandang perempuan pula, Monk melihat novel tersebut sebagai gimmick semata. Tentu saja orang akan suka, toh itu cerita hidup perempuan dari ras minoritas. Malah bukan ‘akan suka’ lagi, melainkan ‘harus suka’. Karena kalo ada orang yang tidak suka cerita itu, apalagi si orang yang tidak suka ini adalah kulit putih, maka dia akan beramai-ramai dicap sebagai seorang rasis yang gak peka. Kalo dia pria, maka niscaya dia akan dicap anti feminis. Sebagai pengulas film, aku bisa mengerti yang dirasakan Monk, karena seringkali aku juga merasa ada film yang kayak cuma ngejual stereotype, atau cuma ngejual agenda, tapi dalam menyampaikannya aku agak susah karena takut diserang balik sebagai gak dukung perempuan atau tone deaf terhadap sosial. Dan permasalahan ini dijadikan film sebagai inner journey dari Monk. Dia yang awalnya berusaha idealis dan blak-blakan menolak, dihadapkan kepada situasi yang membuat dia melihat kenapa ‘industrinya’ jadi begini, dan ultimately dia harus memilih. Pilihannya nantilah yang jadi puncak satir film ini. Ending yang bakal ninggalin kita topik untuk dipikirkan. Karena film yang dibuat sebagai gambaran ini, tidak menawarkan solusi. Melainkan tetap berpegang kepada pencerminan dunia nyata.

Sebenarnya persoalan ini sudah pernah disentuh oleh Jordan Peele dalam filmnya yang berjudul Nope (2022). Secara umum film yang bentukannya horor-creature sci fi itu membicarakan gimana manusia suka mengekspoitasi hal yang berbeda sebagai spektakel. Atau tontonan hiburan. Dan hal yang berbeda itu bisa meliputi ke ras mereka yang dalam cerita film seringkali hanya digunakan sebagai role-role stereotipe dan cukup hanya di role tersebut. Film American Fiction ini tidak lain dan tidak bukan membahas persoalan tersebut lebih dalam dan lebih personal lagi. Stakenya dibuat lebih grounded, supaya filmnya sendiri tidak menjadi hal yang ia kritik. Inilah yang membuat film ini meskipun tidak ada solusi, tapi tetap terasa powerful sebagai gambaran. Karena semuanya dikembalikan kepada karakter yang terpaksa harus memilih. Karena keadaan. Therefore, kepada kitalah sebenarnya cerita ini meminta penyadaran.
Karena pasar gimanapun juga terbentuk oleh permintaan konsumen. Dunia kita sekarang adalah dunia fiksi yang jualan yang laku bukan jualan yang berbobot, melainkan jualan ringan dan not necessarily harus asli, asalkan jualan tersebut bisa membuat orang konsumernya merasa lebih mulia. Sehingga muncullah penjual-penjual yang memperdagangkan kepalsuan. Stereotype, cerita sedih, kebegoan. Semuanya semu, yang dijual maupun yang dirasakan oleh yang beli.
Jadi gimana cara film ini mempertahankan ke-real-an journey karakter? Dengan actually memparalelkan soal kerjaan Monk nulis buku, dengan konflik di dalam keluarganya, yang semuanya dokter. Monk punya adik dua orang (yang satunya mungkin jadi penyebab kenapa film ini gak tayang di bioskop Indonesia), punya asisten rumah tangga yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri, punya Ibu yang mulai digerogoti Azheimer. Dan ayah mereka telah lama jadi urban legend di kota kelahiran, lantaran dulu bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri (film pun sempat-sempatnya menebar dark jokes seputar peristiwa ini dari karakter yang innocently lupa Monk punya riwayat tragedi tersebut). Yang terjadi kepada ayah, kepada ibu, kepada keluarganya keseluruhan digunakan oleh film sebagai stake dan pendorong bagi Monk untuk menentukan keputusan. Serta jadi tempat hati cerita ini berada. Benar-benar terasa seperti kisah karakter yang berjuang. Monk bisa saja menulis tentang keluarganya sendiri, tapi itu tetap belum cukup. Karena seperti ironi yang acapkali dicuatkan oleh film, itu tidak akan terasa real enough bagi pembaca. Satir pamungkas dilakukan oleh film ketika memperlihatkan adegan diskusi Monk dan sejawat sesama juri award literatur, pendapat otentik Monk sama sekali tidak didengarkan oleh juri yang lain, dengan alasan ‘black voices has to be heard’.
Semakin jauh Monk menulis dari kenyataan, semakin liar dia menggunakan stereotype dan identitas, semakin shallow bahasa yang ia gunakan, semakin nyeleneh judul novel yang ia ajukan, bukunya justru semakin laku. Aku rasa ini adalah salah satu film in recent years yang paling jago dalam menggunakan sindiran ke dalam penceritaan. Kena dan telak semua! Mungkin judulnya aja yang kurang tepat. Dan itupun karena kisah di film ini tidak hanya sedang terjadi di Amerika. Sindiran film akan mengena bahkan kepada kita. I honestly think, kayaknya ini adalah masalah global dunia yang tersentuh sosial media. Bahwa orang-orang peduli sama isu, bukan karena mereka benar-benar peduli sama isunya, melainkan karena dengan merasa peduli mereka merasa jadi pribadi yang lebih baik. Jadilah isu tersebut soal unjuk agenda kosong semata. Makanya film ini terasa urgent. Di luar itu, melihatnya sebagai drama keluarga pun film ini terasa sama kuatnya. Menunjukkan film ini juga punya hati, selain punya otak dan nyali.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for AMERICAN FICTION.
That’s all we have for now.
Menurut kalian apakah ada alasain lain kenapa sekarang kita seperti mudah kemakan sama konten-konten yang menjual gimmick ketimbang bobot?
Silakan share pendapatnya di komen yaa
Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL