MINI REVIEW VOLUME 16 (GODZILLA X KONG: THE NEW EMPIRE, ARGYLLE, IMAGINARY, MILLER’S GIRL, MEAN GIRLS, NOT FRIENDS, ROAD HOUSE, LISA FRANKENSTEIN)

 

 

Di bulan Film Nasional ini pun aku ternyata kembali gagal menonton film-film Indonesia. Instead, karena kesibukan mudik dan sebagainya, maka kompilasi Volume 16 ini berisi oleh satu film impor baru, dan film-film impor pilihan yang terlewatkan di bioskop beberapa bulan lalu – also film yang memang tidak tayang di bioskop kita – yang menurutku layak untuk kita bahas dan bicarakan.

 

 

ARGYLLE Review

Argylle, kalo aku gak salah itung, adalah film ketiga dalam beberapa bulan ini yang punya konsep memvisualkan aksi dari tulisan/karangan protagonis. Dan Argylle ini punya cara spesifik – yang sayangnya sering jatoh annoying – dalam melakukan konsep tersebut.

Jadi ceritanya, karakter yang diperankan oleh Bryce Dallas Howard adalah seorang penulis novel action spy populer. Namun, walau dia merasa tidak tahu sama sekali tentang dunia ataupun profesi yang ia tulis sebagai karangan, para penjahat dan spy beneran tertarik untuk mengetahui ceritanya lebih dalam, karena ternyata there are some truths pada karangannya tersebut. Alhasil, perempuan dan kucing peliharaannya itu terseret ke dalam petualangan seru seperti cerita karangannya, only it’s real. Yang bagi kita, sayangnya lagi, film ini semakin berjalan, semakin mengada-ada.

Berniat untuk bikin jadi fun, plot film ini dibuat dengan bersandar pada twist demi twist. Karakter-karakternya bakal bikin kita “oh ternyata dia jahat, eh, ternyata bukan! Eh, bener jahat, ding!! Eh, baik sih kayaknya.” hingga berakhir dengan “Eh… aduh, ini apa sih sebenarnyaaa” Konsep memvisualkan aksi dalam karangan pun tampak aneh dan chaos karena film memilih untuk melakukannya dengan membuat Bryce melihat seorang spy beneran – atau juga dirinya sendiri – sebagai karakter di dalam karangannya, dan switch visual itu dilakukan terusmenerus sepanjang sekuen action. Menurutku memang ini sayang sekali, selain karena film ini bertabur-bintang, tapi terutama karena sutradara Matthew Vaughn sebenarnya punya arahan aksi yang menarik. Ketika film tidak sibuk dengan konsep pengungkapan yang overstylish, film ini baru terasa benar-benar  fun. Misalnya pas sekuen aksi skating di tumpahan minyak. Itu konyol tapi juga memberikan karakternya aksi yang unik.

The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for ARGYLLE

 

 

GODZILLA X KONG: THE NEW EMPIRE Review

Godzilla dan Kong adalah tag team that we all deserved, tapi sebaliknya, we are all deserved a better Gozilla Kong movie than this. Karena meski yang ditawarkan Adam Wingard ini memanglah sungguh spectacle porsi titan, tapi spectacle tersebut terasa masih hampa. Masalahnya ada pada pilihan kreatif yang sama sekali tidak menguntungkan bagi spectacle ini.

Yang menarik dari Godzilla, ataupun Kong, adalah melihat mereka yang super size itu berinteraksi dengan manusia. Ya aksinya, ya ‘relationship’nya. ‘Movie magic’ dari film seperti ini adalah melihat mereka hidup di antara kita. Dampaknya apa, ancamannya apa, simbolismenya apa. Sama seperti menonton gulat, pertandingan baru akan menarik jika pihak-pihak yang terlibat dikembangkan, kontrasnya dicuatkan, diberikan cerita. Pada aspek itulah film terasa unbalanced. Cerita yang mengambil tempat di Hollow Earth – dunia yang memang dihuni oleh banyak makhluk raksasa dan menakjubkan lainnya – membuat Kong dan Godzilla kehilangan kontras mereka yang menakjubkan. Melihat mereka di film ini ya kayak ngeliat monster di hutan saja.

Cerita dengan pihak manusia pun terlalu basic. Plot the chosen one, lalu ada juga soal ibu angkat yang mungkin harus berpisah dengan anaknya, tema soal kembali kepada your own clan, tidak cukup kuat dan menarik sebagai fondasi final battle yang megah. Terasa seperti kita bisa langsung skip nonton final battle, tanpa melewatkan banyak hal baru – ataupun malah hal penting. Yang bikin aku makin jenuh adalah karakter manusianya yang template film-film spectacle hiburan. Sekelompok orang eksentrik yang suka nyeletuk lucu.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for GODZILLA X KONG: THE NEW EMPIRE

 

 

 

IMAGINARY Review

Ngomongin soal klise, well, horor karya Jeff Wadlow bersama Blumhouse ini akan terasa seperti bunch of other horrors dan yea, kemiripan itu bukanlah imajinasi kita semata. Film ini dikembangkan dari elemen-elemen horor populer lain seperti masuk ke dunia ‘gaib’ kayak Insidious, dan yea tentu saja trope anak yang berteman dengan hantu.

Teman khayalan umum dimiliki oleh anak kecil, apalagi yang sedang dalam masa kesulitan untuk bersosialisasi. Efek baik dari punya teman khayalan ini sekiranya dapat membantu anak dealing with their emotions karena ini basically bicara pada teman yang tak nyata itu adalah bicara dengan diri sendiri. Efek buruknya, ya tentu saja bicara dengan yang tak ada terlihat creepy sehingga dijadikan film horor. (Makin-makin kalo filmnya kurang tergarap baik seperti film ini). Pertama karena Imaginary membahas teman khayalan lewat sudut yang ribet. Perspektif utamanya adalah seorang ibu tiri yang dulu punya teman khayalan, nah si teman inilah yang ternyata beneran hantu dan kembali untuk meneror anak angkatnya. Tapi bahasannya itu tidak pernah dalem. Cuma ada satu bahasan psyche si karakter utama yang menarik (ketika there is no bear!). Film tampak lebih tertarik mention-mention Bing Bong dari Inside Out – mentone down bahasan ketimbang benar-benar mengolahnya. Hingga akhirnya film ini kena masalah yang kedua, yaitu klise tadi.

Tahun ini kita actually bakal dapat dua film tentang imaginary friend, dan setelah menonton film ini, ekspektasiku buat  film yang buatan John Krasinski jadi tinggi. Semoga pada genrenya dia tidak mengecewakan seperti film ini pada horor.

The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for IMAGINARY.

 

 

 

LISA FRANKENSTEIN Review

Lisa Frankenstein debut penyutradaraan film panjang Zelda Williams sebenarnya juga sama kayak Imaginary dalam hal ngejahit banyak elemen film lain ke dalam pengembangan ceritanya, like, ini literally based on Frankenstein, tapi film ini benar-benar mengembrace elemen-elemen tersebut, dan sama seperti si monster buatan itu, film wear those parts proudly sehingga jadi berjalan seperti diri sendir dan dengan menyenangkan pula.

Film enggak peduli sama moral, wokeness bahkan dijadikan salah satu running komedi. Ceritanya tentang Lisa, remaja yang trauma sepeninggal ibu, dia jadi suka ngadem di kuburan, dan dia tertarik sama satu nisan patung, dan dia make wish bisa bersama si mayat. Petir menyambar, mayatnya hidup, dan mereka berdua semacam went on killing spree untuk mengganti anggota tubuh si mayat hidup yang busuk dengan anggota tubuh orang lain. Mulai dari dialog, karakter, hingga kejadian, film ini gotik-gotik kocak. Arahan Zelda membuat film ini jadi punya awkwardness yang charming. Saking cueknya, film ini gak peduli bikin adegan main piano yang supposedly romantis, tapi Kathryn Newton yang jadi Lisa gak bener-bener bisa nyanyi tapi tetep disuruh nyanyi. Yang jelas, ini bakal jadi nomine yang paling unik di Best Musical Performance award blog ini tahun depan.

Mungkin karena nyeleneh itu juga film ini gak tayang di bioskop kita. Sayang, karena bisa jadi kita keskip kesempatan nonton di layar lebar apa yang sepertinya bakal jadi modern cult classic di masa depan.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for LISA FRANKENSTEIN




MEAN GIRLS Review

Oh, boy! Bicara soal modern cult classic, here comes remake musikal dari salah satu teenage movie terbaik, instant classic dari era 2000an…. kalo aku punya Burn Book, aku akan nulis film karya Samantha Jayne dan Arturo Perez Jr. ini ke dalam buku tersebut.

Mean Girls 2024 hanyalah remake plek-ketiplek dari film originalnya. Jadi bayangin aja, dialog-dialog ikonik film originalnya, adegan-adegan populer yang aku yakin banyak devoted fans yang apal luar kepala, dibawakan ulang dengan canggung dan lewat arahan komedi yang downgrade dari aslinya. Yang diubah pada film ini basically cuma dua, menambah diversity pada cast dan nambah adegan-adegan musikal. Sementara pada jejeran cast, film ini masih bisa terasa fresh, namun modernisasi dari karakter mereka malah membuat mereka tampak annoying.

Adegan musikalnya digunakan untuk menyuarakan perspektif karakter lain, bermaksud supaya kita lebih dalam mengenal mereka – lebih dari sekadar geng plastik – hanya saja, film originalnya udah melakukan itu tanpa perlu banyak mengejakan, tanpa lagu yang jadi eksposisi feeling mereka, kita udah dapat menangkap, misalnya gimana Regina George juga punya rasa insecure sendiri deep inside. Sehingga adegan musikal di film ini terasa redundant, dan membuat film ini tampak seperti ya itu tadi, mengejakan. Dan adegan-adegan musikal itu memperlambat tempo karena film tidak pernah benar-benar menggubah naskah sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk musikal. Film ini berjalan kayak film yang original, dengan diselingi adegan-adegan nyanyi dari beberapa karakter pada saat momen-momen mereka. Kalo ada yang masih ingat di ending film original, ada 3 junior plastic yang dibayangkan oleh Cady ketabrak bus, nah film ini persis kayak tiga junior plastic itu.  Cuma pengen meniru-meniru melanjutkan legacy yang lebih populer.

The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for MEAN GIRLS VERSI 2024.

 

 

 

MILLER’S GIRL Review

Jade Halley Bartlett setidaknya ‘berhasil’ membuat apa yang di dunia nyata jelas siapa yang harus bertanggungjawab menjadi cerita yang tampak kompleks dan berimbang dari dua sudut pandang. Membuatnya jadi kontroversial. Sehingga, mengulas film debutnya inipun jadi terasa sama ‘berbahaya’nya dengan terpikat masuk ke pikiran gadis remaja.

Dengan penampilan akting yang terukur all-around, dengan karakter yang dibuat abu-abu – kalo gak mau dibilang sama bercelanya – Miller’s Girl yang basically tentang guru dan murid saling tertarik dengan pikiran dan kehidupan masing-masing (sama-sama dalam state haus pengakuan) harusnya bisa jadi tontonan yang menantang. Yang mencegah film ini untuk mencapai potensi maksimalnya itu adalah ‘kehati-hatian’ arahan dan naskahnya itu sendiri. Film ini berdiri terlalu dekat dengan objeknya. Sehingga alih-alih membuat kita mengobservasi mereka, film ini lebih seperti mengajak kita untuk ‘supportive’ untuk lalu kemudian mematahkan dengan semua bahasan dan gagasan utama yang ingin diangkat. Sehingga pada akhirnya film ini sendiripun terasa seperti karangan yang dibuat oleh karakter si Jenna Ortega – karangan picisan yang ternyata jebakan.

The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for MILLER’S GIRL.

 

 

 

NOT FRIENDS Review

Not Friends dari Thailand terasa seperti nostalgia yang tak pernah kualami. Film ini kayak ngingetin kembali sama masa-masa dulu nyoba-nyoba bikin film ala kadar bareng teman, sekaligus juga ngingetin ke masa-masa sekolah, hanya saja bagi diriku dua masa itu sama sekali tidak berhubungan. Itulah yang bikin aku sadar sutradara Atta Hemwadee berhasil menggabungkan bahasan tentang pertemanan dengan passion membuat film menjadi sebuah penceritaan yang manis. Mengulik persoalan pergaulan di sekolah – yang bisa dilihat sebagai satir dari bagaimana kita menjadi teman, tapi juga bukan teman yang benar-benar kenal dengan bahkan teman sebangku – ke dalam bahasa yang pas buat anak sinefil kayak kita-kita (kita?)

Passionnya memang sangat kentara. Melihat mereka bergabung menjadi tim, berusaha membuat adegan dari cerita pendek, melakukan ‘movie magic’ alias treatment dan efek-efek praktikal untuk membuat seolah adegannya beneran astronot di pesawat luar angkasa, misalnya, tampak begitu menarik. Kita seperti diundang masuk ke dalam grup mereka. Hebatnya film gak pernah terlalu in the face dalam menggarap adegan-adegan bikin film ataupun celetukan teknikal lainnya. Film tetap berpegang kepada storytelling dari drama dari karakter.

Karenanya bahkan penonton yang gak share kecintaan yang sama dengan filmmaking pun bakal masih bisa mengikuti drama anak sekolah yang disajikan sebagai hidangan konflik utama. Film tidak membiarkan kisahnya menjadi overdramatis ataupun jadi lebih ‘besar’ daripada persoalan anak sekolah. Melainkan tetap renyah dan menapak. Jikapun narasinya mengandalkan kepada rangkaian ‘ternyata’, rangkaian itu tidak difungsikan untuk mengecoh ataupun mematahkan plot, melainkan sebagai tantangan berikutnya dari protagonis utama sehubungan dengan development pribadinya yang ingin membuat film tentang teman sebangku yang ia akui sebagai bestienya saat sang teman itu meninggal dunia, sebagai jalan pintas untuk keluar dari masalah masa depan pendidikannya.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for NOT FRIENDS.

 

 

 

ROAD HOUSE Review

Enggak seperti Mean Girls versi modern tadi, remake Road House karya Doug Liman mengambil resiko yang lebih  bijak dalam meremajakan kisahnya. Dia membawa cerita ini ke setting lebih modern, sehingga jadi ada kontras vibe yang menarik, dan langka, karena pada intinya Road House adalah cerita jadul yang kayaknya udah jarang dibuat. Karena ini bukan soal pria yang ternyata jago berantem dan dia terpaksa oleh untuk membalas dendam. Ruh tipikal modern itu memang masih terasa, tapi pada awalnya Road House tetap adalah cerita ala western, di mana seorang pria yang ternyata jagoan, datang ke suatu tempat, dan akhirnya menyelamatkan rakyat di tempat itu dari cengkeraman tuan tanah yang jahat. Hanya saja pada Road House, koboynya adalah seorang mantan petarung UFC, dan tempat yang ia lindungi adalah bar tempat dia disewa sebagai bouncer.

Kontras cerita jadul di dunia modern, serta penampilan akting dari Jake Gyllenhaal yang memang jarang sekali mengecewakan, membuat film ini jadi menarik. Komedi dari celetukan/smark juga masih ada, dan dijaga untuk tidak benar-benar membuat film ini jadi kayak over the top. Paruh pertama film ini terasa fresh dan everything just work fine. Aku tertarik melihat Dalton berinteraksi dan menjalin pertemanan dengan orang-orang di bar dan sekitarnya. Bagaimana dia perlahan membuka kepada mereka, juga berarti dia perlahan membuka kepada kita, mengetahui masa lalunya sebagai petarung UFC perlahan membuat kita semakin simpati.

Pada paruh kedualah film mulai agak goyah dalam mempertahankan kontras.  Penanda kegoyahan ini adalah kemunculan ‘algojo’ yang diperankan oleh Connor McGregor. Connor sendiri sebenarnya tampak have fun dan menghibur memainkan karakter ini. Karakternya yang brutal tampak menarik, dan benar-benar jadi hambatan yang sepadan untuk Dalton. Tetapi saat dia muncul dan cerita berlanjut, film ini seperti kebobolan pertahanan dan akhirnya menjadi over-the-top seperti film originalnya. Dan itu berarti film tidak lagi konsisten dengan vibe yang sedikit lebih dewasa yang dilandaskan di awal. Mereka membuat karakter Connor terlalu ‘dominan’ as in terlalu besar berpengaruh kepada arahan dan tone film keseluruhan.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ROAD HOUSE.

 




 

 

That’s all we have for now

Selamat Hari Film Nasional, dan have fun liburan menuju lebaraannn!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



5 Best PS5 Games to Play in 2024

 

 

In the dynamic landscape of gaming, the PlayStation 5 stands tall as a beacon of cutting-edge technology and immersive experiences. As we venture further into 2024, the console’s library continues to flourish, offering a diverse array of titles that redefine the boundaries of interactive entertainment.

With 40 million units sold, the PlayStation 5 maintains its market dominance, albeit at a slightly slower pace than its predecessor, the PS4. Nonetheless, it outpaces the Xbox Series X|S in sales figures. Moreover, the console has undergone a revamp with the introduction of the PS5 Slim model, along with the addition of a portable peripheral known as the streaming PlayStation Portal.

From heart-pounding action to captivating narratives, the PS5 boasts a lineup that caters to every gaming preference. But for those who prefer playing online web games, you can check out bk8. Now here are five best PS5 games to play in 2024, promising endless hours of excitement and immersion.

 

Astro’s Playroom

Astro’s Playroom for the PS5 stands as a charming and innovative showcase of the console’s capabilities, serving as a delightful introduction to the world of next-gen gaming. Developed by Japan Studio’s ASOBI Team, this free-to-play title comes pre-installed on every PlayStation 5, inviting players on a nostalgic journey through the console’s history.

As Astro, a lovable robot protagonist, players embark on a whimsical adventure through four distinct worlds, each representing a different component of the PS5 hardware. With its intuitive DualSense controller integration, tactile feedback, and stunning visuals, Astro’s Playroom serves as a testament to the PS5’s innovation and sets a high bar for platformer experiences on the next generation of gaming consoles.

 

Baldur’s Gate 3

Developed by Larian Studios, this long-awaited sequel to the iconic Baldur’s Gate series offers players an expansive narrative-driven adventure set in the Dungeons & Dragons universe. As adventurers embark on a perilous journey filled with moral dilemmas, strategic combat encounters, and meaningful choices, they’ll navigate through a world shaped by their decisions.

With its stunning graphics, deep character customization options, and engaging storytelling, Baldur’s Gate 3 on the PS5 delivers an unforgettable RPG experience that pushes the boundaries of the genre, captivating both longtime fans and newcomers alike.

 

Cocoon

In Cocoon, a diminutive cicada finds itself traversing a perplexing world, armed with an assortment of abilities bestowed by orbs. Despite its seemingly simple premise, the game gradually reveals layers of complexity, with puzzles and the underlying significance of the journey unfolding gracefully as players progress.

 

Dead Space

Dead Space reimagines the sci-fi shooter centered on body horror, casting players as engineer Isaac Clarke who unwittingly stumbles upon a sinister conspiracy. The grotesque necromorphs, humanoid remnants of a twisted transformation, serve as haunting reminders of their former selves. The remake retains the original’s chilling atmosphere while enhancing the horror, maintaining the classic power fantasy as players evolve to confront hordes of grotesque foes.

 

Deathloop

Set on Blackreef Island, Deathloop unfolds in a surreal setting where perpetual revelry coexists with a relentless pursuit to eliminate our protagonist, Colt. Trapped within a recurring time loop, Colt must navigate the island’s dangers and eliminate a roster of targets to break free from the cycle. Deathloop masterfully integrates its gameplay mechanics into the loop, gradually enhancing the experience over time.

 

 

 

 

24 JAM BERSAMA GASPAR Review

 

“Hope is a desperate feeling in a desperate situation”

 

 

Apa coba persamaan detektif di film-film? Ya, kasus misteri yang mereka tangani dengan susah payah itu ternyata paralel dengan masalah personal mereka. Tapi detektif Gaspar memanglah beda (jantungnya aja di kanan!)  Kasus baginya sedari dulu cuma satu; mencari teman masa kecil yang hilang di dunia yang semakin canggih tapi moral semakin bobrok itu, Sutradara Yosep Anggi Noen mengadaptasi cerita Gaspar dari novel, ke dalam genre yang baru baginya. Jika dua film Yosep sebelumnya kita ibaratkan kayak orang introvert; irit berkata-kata, penuh visual storytelling yang mengajak berkontemplasi, maka film Gaspar ini kayak ekstrovert. Berisik, menggebu-gebu, ambisius, penuh aksi. Satu buku dipadatkannya ke dalam 90an menit, sumpek berisi urusan tentang dunia masa depan, tentang situasi sosial politik yang kok kayaknya gak jauh-jauh amat dengan keadaan kita sekarang, lagu non-diegetic yang kayak mengejakan perasaan karakter, dan pencarian desperate dari seseorang yang memegang teguh cinta dan harapan. So yea, ini adalah film detektif yang begitu berbeda sehingga menantang bukan cuma buat kita, tapi juga bagi pembuatnya. Jantungnya aja ada di kanan!!

Gaspar yang jantungnya ada di kanan itu (yang udah nonton film ini ampe abis pasti bisa tahan pengulangan ini hahaha) mendapat petunjuk tentang keberadaan atau nasib teman masa kecilnya, Kirana, yang hilang sejak lama. Selama ini Gaspar menekuni pekerjaan detektif, memang untuk mencari Kirana, dan along with that job, Gaspar juga melihat kebobrokan dunia tempatnya tinggal. Saat menangani satu kasus, Gaspar dihajar ampe babak belur. Dan dokter di underground fight club milik Agnes, memvonis alat di jantungnya yang ada di kanan udah game over sehingga Gaspar cuma punya 24 jam untuk hidup, 24 jam untuk mencari kebenaran soal Kirana. Gaspar harus segera menyimpulkan dan menyerang targetnya. Supaya bisa mendapat pembalasan dan closure sebelum dia mati.

review 24 jam bersama gaspar
Gaspar, jantung kamu di mana?  *insert meme Bart Simpson* Di kanan… Yeaayy!!!

 

Gak banyak film Indonesia yang membahas tentang detektif, dan lebih sedikit lagi film kita yang mengangkat setting distopia negara kita. Makanya menit-menit awal film ini begitu menarik. Kamera 24 Jam Bersama Gaspar memotret fantasi itu dengan kontras antara kecanggihan dan kebobrokan yang kentara. Suasana daerah slum-nya udah kayak dalam game-game seperti Final Fantasy VII. Orang berantem di mana-mana, sementara aktivitas komunal tampak patuh dengan aturan seperti penggunaan gawai yang seperti merecord semua. Feelnya strange, kayak jauh tapi juga terasa dekat secara bersamaan. Tapi maksud dari pembangunan dunia distopia seperti itu tidak pernah benar-benar kita tahu, karena seiring durasi berjalan, film seperti melupakan settingnya. 24 Jam Bersama Gaspar actually akan berubah menjadi aksi heist-gone-wrong, dan lingkungan yang kita lihat jadi kayak daerah jelata, ‘sudut kota Jakarta itu keras, Bung’ seperti yang biasa-biasa saja. Film tidak lanjut menggali bangunan dunia reka uniknya itu, misalnya rule apa yang berkembang di masyarakat di jaman itu, apa yang beda dari jaman cerita itu, ataupun kenapa di masa depan yang keras itu orang-orangnya pada kembali memakai bahasa baku.

Sebenarnya soal bahasa baku ini buatku tidak masalah. Toh baik itu Reza Rahadian, Laura Basuki, ataupun Shenina Cinamon terdengar tidak demikian canggung dalam membawakannya. Bahasa baku ini juga jadi kontras yang menarik di dunia mereka yang penuh kriminal dan hitam. Like, hidup susah seperti itu, terus digencet ekonomi sampai pada bunuh diri dan ada yang jual anak, tapi bahasa mereka masih terjaga. Baku. Terdengar di telinga kita yang sehariannya pakai bahasa nyampur aduk dan ngasal, jadinya kayak ‘sopan’. At least, mereka kayak masih menjaga emosi. Kesan yang timbul dari kontras bahasa dan situasi itu jadi seperti mereka ini orang-orang yang dingin sekali. Mungkin mereka dingin karena sudah biasa hidup makan hati tergencet situasi seperti itu. Bahasa ini bisa jadi much deeper ketimbang persoalan pilihan biar beda, tapi ya itu tadi, kita hanya bisa menduga karena film seperti tidak peduli-peduli amat sama bangunan dunia distopianya tersebut. They just did it in the first minutes, dan kemudian ya jadi malah membahas persoalan simbolik lain, yaitu kotak hitam penuh misteri yang dimiliki ‘tersangka utama’.

Alih-alih melanjutkan world building sebagai panggung tempat karakternya harus beraksi, mengungkap pencarian seumur hidupnya, film ini lebih tertarik mengobrolkan backstory. Lewat flashback-flashback masa kecil. Intensinya sebenarnya cukup jelas. Film pun menggunakan flashback itu untuk mengontraskan antara Gaspar yang masih kecil dulu, lebih riang karena punya Kirana, dengan Gaspar yang sekarang – bayangkan Harrison Ford di Blade Runner, atau Ryan Gosling di Blade Runner 2049, tapi lebih volatile dan desperate. Suasana visualnya pun jadi pembanding yang diniatkan untuk menguatkan perkembangan karakter dan dunia. Hanya saja film melakukan bolak-balik ini dengan sangat sering, padahal poin dan tujuannya sudah terlandaskan. Basically paruh pertama film akan sering banget berpindah-pindah ini, dan ini memperparah tempo film yang sedari awal memang sudah mentok banget antara arahan slow burn yang biasa Yosep lakukan dengan konsep mendesak dari waktu 24 jam tadi.

Biasanya waktu yang mendesak itu membuat stake cerita semakin dramatis. Misalnya, karakter yang cuma punya 3 jam untuk mengejar pacar yang mau pindah ke luar negeri, atau karakter harus keluar dari dunia gaib sebelum portal menutup di pagi hari. Himpitan waktu memacu karakter untuk segera beraksi, mengambil resiko, membuat pilihan. Ketegangan datang dari melihat mereka berjuang hingga detik terakhir tapi seolah mereka bakal gagal. Pada Gaspar, kejaran waktu yang ditekankan oleh film bahkan hingga lewat visual angka pengingat seolah detik bom waktu, tidak terasa seperti dibarengi oleh urgensi, karena cerita seringnya bolak-balik menelisik Gaspar berkontemplasi dengan kehilangannya akan Kirana (yang sebenarnya ini juga jadi cara film melontar eksposisi) Dan juga stake kurang terasa karena Gaspar sebenarnya sudah siap untuk mati. Jantung di kanan ternyata cuma alasan mudah membuat Gaspar harus mati, karena gak banyak dan mendesak efek rintangannya pada saat adegan aksi. Pria ini sudah demikian bijak, dia sudah punya semua jawaban, dia hapal betul gimana dunianya bekerja, dia telah memahami persoalan rakyat kecil seperti mereka – orang baik yang terpaksa berbuat nekat demi mewujudkan harapan mereka akan hidup lebih baik. Journey Gaspar terasa tidak memerlukan gencetan. Karena inti dari inner journey-nya itu adalah dia butuh untuk percaya jawaban yang ia cari ada di dalam kotak, meskipun sebenarnya kotak itu bisa jadi bahkan bukan sesuatu yang spesial. Karena harapan terhadap ada kotak itulah yang mendorongnya untuk terus. Dan karena film membuat Gaspar telah berdamai dengan pemahamannya tersebut, dan sudah berdamai dengan kematian yang pasti akan datang, maka perkara dia berhasil atau tidak, secepat apa dia menemukan kotak itu,  tidak terasa benar-benar jadi soal.

Jantung hatinya-lah yang dia gak tahu ada di mana

 

Dulu ada lagu Zamrud yang liriknya mlesetin makna pepatah berakit ke hulu berenang ke tepian itu menjadi  “Bersakit dahulu, senang pun tak datang, malah mati kemudian” Ini actually selaras dengan gimana film ini memandang nasib rakyat kecil seperti Gaspar dan teman-teman seperjuangannya di dunia distopia mereka. Mereka cuma bisa terus berakit dan berenang, karena yang mereka punya cuma harapan akan ada senang kemudian. Ketika harapan mereka itu menjadi semakin desperate, maka mereka akan berakit dan berenang dengan menghalalkan segala cara asal nanti bisa sampai ke tepian, entah di mana letaknya. Di sinilah ketika moral itu menjadi abu-abu. Orang baik akan melakukan hal jahat, ketika mereka jadi begitu desperate berharap ada imbalan yang pantas mereka dapatkan setelah perjuangan selama ini.

 

Supaya gak terlalu berat dan serius, film ini pun melunakkan tensi. Kayak dari karakternya Dewi Irawan yang memang sepertinya diniatkan sebagai comedic relief dengan tone yang tetap sesuai ama vibe film. Atau juga saat heist kecil-kecilan mereka ke toko emas. Ya, Gaspar tidak berjuang sendirian, Film memasuki bagian aksi sebagai babak final. Yang dijamin bisa bikin penonton yang mungkin tadi cukup lelah menjadi melek. Walau mereka terkadang dipotret dalam shot yang menarik, sebenarnya geng Gaspar ini pun kurang maksimal dikembangkan. Kita paham mereka direkrut atau bergabung karena ‘musuh’ yang sama, cause yang sama, tapi hubungannya dengan Gaspar terasa kosong. Like, kalo di game RPG kita paham karakter-karakter yang bergabung jadi party kita itu selain punya masalah personal dengan musuh, mereka juga terdevelop menjadi punya ikatan personal dengan karakter utama, sehingga masalah personal yang masing-masing tadi jadi masalah bersama. Gaspar di film ini terasa berjarak dengan mereka. Yang beneran punya kepedulian terhadap journey Gaspar cuma Kik, yang diperankan Laura Basuki. Tapi itupun kehadiran karakternya aneh, like, kita awalnya udah percaya Gaspar adalah anak kecil kesepian, punya teman Kirana sehingga tidak sendiri lagi, lalu Kirana hilang dan ini jadi motivasi dia sampai gede. Tapi ternyata diungkap Gaspar teman masa kecilnya bukan cuma Kirana. Ada Kik. Aku gak tau kenapa film kayak sengaja gak langsung menyebut ada Kik di awal. Meski memang masih sesuai tema – bahwa mereka ikut Gaspar cukup karena harapan bisa katakanlah dapat balas dendam dan duit – tapi ini membuat kita susah peduli sama mereka. Mereka juga jadi berjarak dengan kita.

 




Film detektif yang pada akhirnya tidak terasa seperti menonton cerita detektif. Film distopia yang pada akhirnya tidak terasa seperti sebuah bangunan dunia reka yang utuh. Kalo bobroknya sih, dapet banget. Maka menonton film ini terasa seperti melihat puing-puing reruntuhan masyarakat sosial, yang mungkin tidak lama lagi bakal kejadian. Ketika orang-orang tidak punya motivasi selain berpegang pada harapan – yang bisa saja kosong – namun tetap secara desperate mereka percaya. Also, puing-puing karena film ini terasa seperti pecahan konsep-konsep yang tidak berjalan saling menyokong. Cerita butuh untuk karakternya ‘melambat’ tapi jebakan waktu membuat seolah ini adalah aksi yang harus terus bergulir. Beberapa orang mungkin menemukan keindahan pada puing-puing, tapi bagi beberapanya lagi, puing-puing bisa tampak tak lebih berharga dari onggokan batu di pinggir jalan. Semua itu mungkin tergantung dari jantung kalian ada di mana.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for 24 JAM BERSAMA GASPAR.

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian, di manakah jantung Gaspar?

Silakan share… ahaha bercanda ding.. Menurut kalian apakah menurut film ini berarti tidak ada baik dan jahat, melainkan hanya siapa yang duluan merasa desperate saja? Silakan share di komen yaa

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



TIGER STRIPES Review

 

“Tigers don’t change their stripes”

 

 

“Aku jugak mau rotiii!” sekali waktu kecil dulu itu aku nimbrung dengan antusias pas mendengar dua tanteku bisik-bisik bilang nitip mau beli roti. Tapi jawaban mereka aneh. Mereka cuma berpandangan, lalu bilang itu roti untuk orang dewasa. Baru bertahun-tahun kemudianlah aku ngerti roti apa yang sebenarnya dimaksud. Pernah juga waktu SMP, ada teman sekelasku yang perempuan menangis lalu berlari pulang karena diledekin anak-anak yang lain, “Bendera jepang, bendera jepang!” Begitulah entah kenapa di lingkungan kita perihal menstruasi perempuan dianggap sebagai hal yang entah itu seperti Voldemort – tidak boleh disebutkan – atau juga hal yang seperti memalukan. Aku juga tidak banyak bertanya, karena ya itu tadi, urusan orang dewasa dan bukan urusanku yang laki-laki. Ternyata di negeri tetangga juga sama. Mungkin karena lingkungan kita juga masih serupa. Film Tiger Stripes karya Amanda Nell Eu menggali bahwa ketabuan soal hal sepenting itu, ternyata justru berdampak enggak sehat bagi anak perempuan. Karena jangankan anak laki-laki, anak perempuan juga gak tau apa yang terjadi pada diri mereka, dan mereka hanya tahu itu kotor. Tambahkan pula kisah tentang jati diri ke dalamnya, jadilah kisah anak usia 11 tahun ini jadi seperti Turning Red (2022) versi horor!

Di sekolah anak perempuan itu, Zaffan memang cukup dikenal sebagai anak yang badung. Mengunci toilet supaya enggak ada masuk sehingga dia bersama dua temannya bisa puas berseloroh merekam video joget-joget, ataupun bikin corat coret doodle seronok di buku tulisnya, adalah keseharian yang kita lihat Zaffan lakukan. Jilbab seragamnya tidak mampu membuat Zaffan stop mengekspresikan diri, dan seringkali Zaffan kena hukuman karenanya. Baik itu di sekolah maupun di rumah. Dalam level sepermainannya pun, gak sedikit teman Zaffan yang tidak menyukai sikap Zaffan yang ‘liar’. Terlebih ketika anak itu (sepertinya) jadi yang pertama kedatangan bulan di antara mereka. Dengan teman-teman yang menjauhi, dengan lingkungan yang tidak pernah membahas itu melainkan hanya menyebut larangan-larangan yang harus ia patuhi, Zaffan jadi tidak tahu harus mengadu ke mana. Dan mulailah horor itu. Zaffan melihat ada orang di atas pohon. Zaffan merasa tubuhnya berubah. Keluarga dan orang sekitarnya menyaksikan sendiri gimana anak itu berubah menjadi siluman harimau.

review tiger stripes
Aing maung!!!

 

Alih-alih panda merah yang cute, Zaffan berubah menjadi manusia setengah harimau dengan mata menyala ungu, dan dia gak segan untuk menyantap hewan-hewan kecil. Proses transformasinya juga gak ada komikalnya sama sekali. Zaffan mendapati tubuhnya memar-memar, rambutnya rontok, kukunya copot-copot. Ada bulu kasar yang tumbuh, dia cabut, aduh sakit sekali! Transformasi itu digambarkan oleh film lewat image-image dan tone ala body horor. Like, bener-bener disturbing. Cara film ini memvisualkan itu enggak kayak ketika horor anak-anak seperti Goosebumps yang jatohnya lebih ke over the top dan cheesy. Kengerian Zaffan akan tubuhnya itu terasa kuat, dan ini tuh sebenarnya adalah pilihan film, buat menekankan gagasannya. Apa itu gagasannya? Well, transformasi Zaffan ini dipicu oleh satu hal.  Malam itu Zaffan terbangun dan mendapati kasurnya ada noda darah. Kita tidak melihat dia yang bingung dan takut itu dikasih penjelasan apapun. Ibunya yang datang menolong hanya bilang “Kau kotor sekarang.” Jadi kebayang dong seperti apa yang Zaffan rasakan. Dia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhnya, yang ia dengar tentang itu cuma rumor mengerikan, dan betapa itu adalah penanda bahwa dia jorok – anak perempuan gak boleh ibadah selama dapet – membuat dia percaya bahwa dirinya, tubuhnya, berubah menjadi sesuatu yang mengerikan.

Perlakuan mentabukan menstruasi, seolah hal itu lebih kotor daripada seharusnya dijadikan pemantik horor di film ini. Menstruasi adalah fase natural yang dialami perempuan. Memang, pengetahuan dari ajaran agama menerangkan soal orang yang dapet itu berarti dalam keadaan tidak suci. Tapi somehow pada masyarakat, ‘tidak suci’ itu berkembang menjadi selayaknya hal yang benar-benar menjijikkan. Kita mendengar teman dekat Zaffan – yang memang sedari awal punya bibit-bibit jealousy kepadanya – openly mengungkapkan rasa disgust dekat-dekat sama Zaffan yang lagi dapet. Bau-lah. Jijik-lah. Sikap teman-teman sepantarannya itu menunjukkan bahwa bukan hanya Zaffan, melainkan tidak satupun dari anak perempuan di sana yang benar-benar mengerti fase yang bakal mereka lewati. Padahal mereka ini tumbuh dan dididik di lingkungan agamis, dan strive untuk pendidikan yang maju. Jadi film sebenarnya sedang menggugat lingkungan tempat Zaffan tinggal. Lingkungan, yang malangnya, relate dengan lingkungan kita. Dan kemudian memang pada lingkungannya itulah Tiger Stripes memusatkan penggalian.

Suasana kampung melayu dihidupkan, dan dijadikan kontras dengan pribadi Zaffan. Inilah mengapa tadi diset bahwa Zaffan tampak lebih badung dibandingkan teman-temannya. Perspektif Zaffan, teman-teman Zaffan, guru dan orang tua, dan tak ketinggalan relasi kuasa umur dan gender mulai dicuatkan oleh film. Sehingga terjadi juga pergeseran tone dan elemen horornya. Seiring Zaffan semakin dijauhi, seiring dia mulai menerima dan mengembrace yang terjadi kepadanya (ada sedikit juga mengingatkan kepada protagonis di The Animal Kingdom yang perlahan menjadi serigala) tentu dia jadi tidak takut lagi kepada dirinya. Yang semakin takut justru adalah orang-orang di sekitarnya. Horor Tiger Stripes memudar menjadi penyadaran gelap dan dramatis buat kita, saat kita menyaksikan Zaffan menjadi ‘monster’ di mata lingkungannya. Mata-mata itu memandangnya takut, sementara kita dibuat melihat siapa sebenarnya Zaffan, si ranking tiga dan kadet terbaik di sekolah. Tapi bagi orang kampungnya, Zaffan adalah siluman harimau liar, berbahaya dan penuh dosa, anak perempuan berikutnya yang bakal hilang dari desa mereka. Adegan paling heartbreaking film ini adalah ketika Zaffan dirukiyah – disaksikan satu desa – oleh Ustadz yang memperlakukan exorcism ini sebagai entertainment show yang dia siarkan live lewat hape. Semacam perbandingan paralel ngerecord joget-joget; hobi Zaffan. Film juga menurutku bijak sekali membiarkan si Ustadz itu ambigu, apakah dia beneran bisa ngusir atau cuma ‘tukang-obat’, kita dibuat tak pernah persis tahu.

Sama seperti kiasan ‘keliatan belangnya’. Konotasi tersebut memang terasa negatif, karena bermakna seseorang terbongkar kelakuan aslinya. Tapinya lagi, emangnya kenapa dengan kelakuan aslinya tersebut. Memangnya kenapa jika seseorang akhirnya berani jujur dan memperlihatkan siapa dia sebenarnya. Kan tidak mesti semua belang itu pasti buruk dan merugikan orang lain. Yang kita lihat pada Zaffan juga demikian, kita mungkin setuju tidak semua perbuatannya pantas, tapi anak sekecil – apalagi sepotensial itu; dalam urusan otak dan kreasi – harusnya dibimbing. Tapi bahkan soal alamiah dan paling personal dari dirinya sebagai perempuan pun, tidak bisa sepenuhnya dia dapatkan.

“Ooooh crazy, but it feels so right”

 

Berbeda dengan Turning Red yang langsung melandaskan dunianya fantasi, bahwa perubahan Meilin menjadi panda merah itu bukan fenomena ganjil melainkan kekuatan turun temurun yang dirahasiakan darinya; bahwa berubah menjadi panda merah masuk ke dalam kotak ‘possible’ di dalam dunia cerita, Tiger Stripes membiarkan dunianya terbangun surealis. Dibilang normal, jelas enggak. Dibilang beneran gaib, ya kok sepertinya kejadiannya kayak berbeda dan sering tiba-tiba Zaffan dan semuanya seperti normal lagi. Arahan membawa ke ranah surealis, karena dengan begitu, perspektif yang banyak tadi mungkin untuk dilakukan. Supaya shift dari body horor yang lekat pada persoalan Zaffan memandang dirinya ke drama makhluk siluman yang mengenaskan ketika film lebih banyak menampilkan bagaimana Zaffan terlihat oleh mata penduduk, bisa terbungkus tanpa benar-benar mengubah perspektif karakter utama.  Sehingga pengalaman nonton film ini bagi kita terasa seperti sebuah mimpi yang begitu liar. Enggak semua orang bakal suka, tho. Elemen horor film ini berpotensi dianggap ngawang-ngawang, kejadiannya bisa tampak seperti tak konsisten dan gak jelas; film ini sendirinya bisa jadi kayak ‘belang-belang’, dan mudah bagi penonton untuk kehilangan poin. Membuat mereka mengharapkan penjelasan yang tentu saja tak akan pernah ada. Karena yang diincar film adalah mempertanyakan, menggugat, keadaan.

Tapi tentu saja itu merupakan resiko-kreatif yang diambil oleh film. Buatku, itu membuat film ini terasa lumayan fresh. Seperti ngasih variasi ke dalam bentuk-bentuk cerita coming of age horor atau fantasi yang sudah ada sebelumnya. Perspektif dan lingkungannya juga membuat film ini unik. Meskipun film ini seperti punya lebih banyak, tapi yang disuguhkan baru beberapa. Kayak sekolahnya Zaffan. Dari dialog-dialog dan keadaan, film ini seperti menyentil soal sosial unik negara mereka berkaitan dengan stereotipe kelas penduduk/etnis, tapi kita tidak benar-benar melihatnya. Zaffan disebut ranking tiga, dengan juara satu dan duanya kita dengar dari nama-namanya adalah murid dari etnis Cina dan etnis India (yang membuat Zaffan practically etnis Melayu terpintar di sekolah), namun di lingkungan sekolah itu seperti ekslusif menampilkan etnis Zaffan. Mungkin ada konteks sosial lain bahwa mereka tidak benar-benar satu pergaulan, tapi menurutku since film ingin menggugat lingkungan sosial yang lebih tertutup, akan bisa jadi warna atau sudut pandang tambahan gimana teman sekolah Zaffan yang lain memandang dirinya setelah jadi siluman. At least, narasi kurasa  tidak akan dirugikan oleh pembanding tambahan.

 




Kalo Farah iri sama Zaffan, aku iri sama Malaysia karena berani membuat film ini. Karena ini tuh bener tipe film yang ingin kita perlihatkan kepada orang luar. Kita ingin lihatkan gimana di daerah kita punya perspektif dan lingkungan tersendiri sehingga cerita coming-of-age yang formatnya familiar pun bisa jadi unik. Untuk kasus film ini jadi literal misteri dan horor mengerikan. Dengan strong narrative dan arahan yang bertaring, film ini menerobos belukar conventional, dia ingin menggugat lingkungan tempatnya tumbuh. Lingkungan yang bikin ‘susah’ bagi anak perempuan untuk tumbuh menjadi diri sendiri, karena soal ‘dapet’ aja mereka tahunya cuma itu kotor. Dan bicara soal karakter anaknya, film ini punya penampilan akting yang bukan sekadar template akting kesurupan, mereka terasa natural seperti anak-anak umumnya tapi karena tuntutan arahan untuk menghasilkan kesan surealis, playfulness dan keingintahuan mereka yang raw, dapat dengan cepat mereka kondisikan sebagai something yang jadi lebih dark dan dramatis. Bayangkan cerita dengan karakter anak-anak, tapi vibenya udah surealis dan sedisturbing body horror. In other words, selain arahan yang bertaring, film ini juga punya akting yang mengaum.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TIGER STRIPES.

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian kenapa haid itu berkembang menjadi seolah perkara yang tabu di masyarakat kita dan, apparently juga di Malaysia?

Silakan share di komen yaa

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



EXHUMA Review

 

“..digging up the past has two sides: The pro is that you remember things you had forgotten about. Unfortunately, the con is the exact same thing. “

 

 

Perdukunan memang bukan cuma milik Indonesia. Tiap-tiap daerah punya kepercayaan yang beragam sehingga upacara dan praktik ritual spiritualnya pun berbeda-beda. Doa atau mantranya berbeda, ada yang pakai tari-tarian, ada yang pakai acara kesurupan. Selalu menarik membandingkan – melihat perbedaan dan mungkin ada sedikit kesamaan – antara ritual kepercayaan di tempat lain dengan di tempat kita. Apalagi Exhuma karya Jae-hyun Jang dari Korea Selatan ini tidak hanya bicara tentang klenik pengusiran setan. Melainkan, menjadikan elemen supernatural itu sebagai titik awal penggalian historis kebangsaan mereka. Jadi bukan hanya soal ritual perdukunan yang bisa kita dibandingkan di film horor ini. Setiap daerah, setiap bangsa, punya luka – punya koreng yang jika bisa jangan sampai tergaruk kembali – yang berbeda-beda.

Pasangan dukun pengusir hantu harus bekerja sama dengan seorang pengurus jenazah dan ahli geomancer (dari film ini aku baru tahu kalo geomancer itu artinya ahli feng-shui) saat mereka menerima kerjaan dari keluarga ‘old money’ KorSel yang tinggal di Amerika. Kerjaan bukan sembarang kerjaan. Sumber masalah keluarga yang dihantui itu bisa jadi adalah si kakek buyut yang dulu dimakamkan di sebuah bukit. Jadi, empat karakter sentral kita bermaksud melakukan penyucian dengan menggali makam tersebut, dan memindahkan jenazah. Namun upacara mereka yang awalnya tampak sukses itu membawa mereka kepada masalah yang bahkan lebih misterius dan lebih membahayakan daripada sekadar arwah penasaran.

review exhuma
Kalo film punya elemen, maka elemen film ini adalah ‘tanah’

 

Mengambil latar dunia modern, Exhuma memang tampak mengincar penekanan kepada perspektif masa sekarang diajak untuk looking back, atau katakanlah, menggali masa lalu. Film ini paham gimana fascinating-nya bagi kita untuk melihat lebih dekat tradisi ritual-ritual. Benturan dari keduanya itu digambarkan pula lewat desain karakter. Dukun yang tidak digambarkan kuno, melainkan sebagai anak muda yang modis. Lihat saja Hwarim dan Bong-Gil, mereka bisa digolongkan ke dalam anak muda keren, Mereka dibikin punya style khas tersendiri, semua adegan ritual yang mereka lakukan are always delight to see. Tertampil intense dan misterius, tapi juga tetap terasa anggun. Majestic. Begitulah mereka terpotret alih-alih tergambar sebagai dukun tradisional yang dituakan. Jikapun ada karakter tua, seperti Kim Sang Deok, si bapak ahli feng-shui, yang memang jadi karakter yang paling banyak tahu dan pemahaman terhadap apa yang sedang mereka tangani dan yang harus mereka lakukan, film memastikan karakter ini tetap unik dan tidak pernah menjadi hanya sekadar eksposisi.  Sudut pandang dan prinsipnya terus digali. Dia diberikan kebiasaan yang membuatnya mencuat dan memorable. Film berhasil membuat empat karakter sentral tidak stereotipikal ataupun tidak terlalu archetype. Karena bahkan anggota mereka yang fungsinya untuk peringan suasana pun, diberikan aspek menarik – bahkan ada adegan yang bermain-main dengan ekspektasi kita terhadap karakternya.

Permulaan yang sudah demikian baik, kita disuguhi arahan dan penulisan yang benar-benar tahu apa yang mau diutarakan, yang benar-benar punya ‘something’. Lalu datanglah resiko yang mereka putuskan untuk ambil. Exhuma, dengan cerita orang pinter yang mengusir setan; memecahkan misteri supernatural, melawan setan, dan saves the day, basically bisa dibilang masuk ke dalam format cerita kemenangan pahlawan-lah. Hollywood biasanya cerita-cerita kayak gini cetakan strukturnya adalah bagian mid-point adalah bagian ‘pertempuran pertama’; pada saat ini biasanya akan ada semacam kekalahan atau ketidakmampuan yang disadari oleh protagonis, sehingga nanti begitu masuk ke sekuen berikutnya – yang esensinya adalah sekuen downtime untuk regroup – mereka akan bersiap untuk masuk ke bagian ‘taktik kedua’. Exhuma tidak berjalan dengan format tersebut. Sendirinya membagi cerita ke dalam chapter-chapter, namun secara keseluruhan struktur kita dapat melihat mid-point di film ini adalah keberhasilan, dan sekuen regroup di sini adalah momen karakter merayakan kemenangan. ‘Taktik kedua’ atau ‘cara baru’ di film ini literally ada kasus lanjutan saat empat protagonis harus menyelesaikan masalah dengan setan yang sebenarnya. Saat mereka menyadari ada peti mati lain di dalam makam yang sudah digali tadi. Peti besar berbalut logam duri, yang dikubur vertikal. Hampir seperti, kalo di struktur Hollywood, ini adalah bagian false resolution di menjelang tamat. But it’s actually bahasan utuh. Kalo di game, katakanlah, Exhuma terasa seperti jadi dua bagian. Separuh awal seperti misi dalam mode easy, dan separuh terakhir seperti misi mode hard.

Shiftnya itu kerasa sekali. Karena pada dua bagian itu, film membahas ‘setan masa lalu’ juga dengan treatment yang berbeda. Di separuh awal kasus, mereka berhadapan dengan ruh kakek buyut keluarga klien yang terbebas ketika peti matinya yang hendak dipindahkan dibuka oleh orang yang tak bertanggungjawab. Ruh jahat atau hantu si kakek itu digambarkan oleh film tidak exactly secara fisik. Melainkan dia muncul sebagai sosok out-of-focus, terlihat selalu secara tidak langsung – paling sering lewat pantulan dari jendela atau semacamnya. Paling fisik dari hantu ini ya ketika dia masuk ke tubuh orang, membuat mereka melakukan hal-hal yang gak bisa dilakukan oleh manusia normal. Untuk masuk ke ruangan saja, hantu itu perlu untuk membujuk manusia untuk membukakan jendela. Sementara di separuh akhir, sosok setan yang harus dikalahkan literally muncul kayak creature atau monster (film ini menyebutnya siluman). Sosok prajurit zirah Jepang yang tinggi besar, yang bisa berubah menjadi bola api besar. Ada juga creature kecil berupa ular siluman, badannya ular, kepalanya amit-amit.

Abis nonton ini aku jadi mengkhayalkan death match antara Hakushi WWE lawan Bankai-nya Captain Komamura

 

Exhuma kaya oleh konteks dan subteks. Perbedaan treatment horor, ‘misi’ karakter, hingga tone keseluruhan pada dua bagian tersebut sejatinya merupakan perlambangan. Tindakan menggali kubur untuk proses penyucian itu sendiri pemaknaannya adalah menggali masa lalu, menggali sejarah di tanah mereka, yang berkaitan dengan proses healing. Ini juga terestablish dari dialog-dialog soal plotting tanah yang terus direcycle. Ketika para karakter menggali lebih lanjut, itu adalah perlambangan film juga menggali ke akar persoalan. Tentang masyarakat sosial modern mereka mengingat kembali trauma historis. Bagi kita yang bukan orang Korea atau juga mungkin tidak banyak tahu soal negara itu, jelas film ini bisa jadi pelajaran ekstra. Bahwa Korea Selatan dulu terlibat seteru dengan Jepang. Persoalan dua negara ini pun sudah sedari awal dilandaskan oleh film ketika Hwarim disangka orang Jepang oleh pramugari. Adegan yang ngeset Hwarim bisa berbahasa Jepang itu sekaligus juga menanamkan bahwa tentang dua negara inilah sebenarnya bahasan akan mengarah.

Masa lalu itu keras kepala. Kita kubur pun, masa lalu akan tetap berada di dalam sana. Menunggu orang yang tepat datang menggalinya. Dan thing about menggali masa lalu adalah, punya sisi baik dan sisi buruk. Sisi baiknya kita bisa mengingat kembali sejarah. Sisi buruknya, well,  kita jadi teringat kembali sejarah. Yang pasti ada alasannya untuk ingin dilupakan in the first place. Film ini menunjukkan, dalam balutan wacana tanah yang makin sekarang semakin dijual-jual begitu saja kepada orang kaya (sultan brengsek), bahwa kini adalah urgen untuk mengingat kembali luka itu demi persatuan mereka.

 

Melihat lewat lensa desainnya tersebut, kita jadi bisa sedikit meraba apa yang sebenarnya diincar dari film membuat plot seperti terbagi dua (dalam konteks tanah, aku jadi membayangkan sesar normal saat memikirkan alur film ini) Pertama, film ingin audiens negaranya untuk bercermin. Hantu kakek yang seringkali berupa pantulan/cerminan seperti perlambangan bahwa hantu masa lalu itu adalah masing-masing mereka secara kolektif. Like, film ingin bilang bahwa yang terkubur di tanah itu adalah milik mereka bersama, baik maupun buruknya. Their land of South Korea. Dan tanah tersebut sekarang dihantui, seperti dulu pernah ‘dihantui’ oleh momok bernama Jepang. Perayaan individu di mid point film tadi adalah pengingat mereka harus menggali lebih dalam, karena momok itu bisa saja kembali. Jadi ancaman yang nyata. Seperti siluman prajurit Jepang kembali menapak di hutan mereka. Perjuangan fisik empat karakter sentral di akhir, mencari pasak, ngasih sesajen ikan, pake kerja sama dengan ilmu dukun segala cabang, demi mengalahkan si siluman adalah hal yang harus mereka lakukan untuk menjaga tanah atau negara mereka. Bahwa mereka harus bekerja sama dan menjadi layaknya keluarga, seperti gimana empat karakter sentral ended up di akhir cerita.

Walau bergerak dengan mantap terukur di dalam desain dan konteksnya, resiko tetaplah sebuah resiko. Pembagian dua bentuk horor tersebut toh terasa sangat drastis, dan pergeseran tone tersebut dapat terasa mengganggu bagi penonton. Setidaknya, membuat penonton jadi membandingkan. Bagian mana yang lebih asik, atau bagian mana yang lebih ‘bosan.’ Film sebenarnya melakukan pengembangan dengan sangat baik. Well-designed. Kita melihat karakter sentral mencapai puncak vulnerabilitas masing-masing saat melawan si siluman di paruh akhir, dramanya enakan di paruh akhir, hanya saja paruh ini akan kalah seram ketika penonton membandingkannya dengan paruh awal. Saat film mengerahkan craftnya maksimal untuk membangun adegan-adegan horor. Adegan-adegan yang lebih mudah dicerna dan dirasakan kengeriannya oleh sebagian besar penonton. Sementara bagian melawan siluman terasa lebih bombastis, dan meskipun memang film lebih cenderung bersandar kepada efek praktikal yang juga well-done, dua hal yang sebenarnya tetap saling menyambung akan terasa seperti dua hal yang kontras berbeda oleh penonton.

 

 




Horor jadi terasa so much more ketika ketakutan kita terhadap hantu atau setan dijelmakan dari momok lain yang lebih ‘real’. Film ini mengambil apa yang mungkin sedang dirisaukan oleh si pembuat pada negaranya, hal urgen yang menurut dia penting untuk dibicarakan, dan mengolah itu ke dalam bangunan horor paranormal. Hasilnya lebih kaya. Tujuan untuk menampilkan hiburan dari horor-horor pengusiran setan, tercapai. Bentuk-bentuk lokal dari budayanya tersiar. Sementara gagasannya tadi tertanam kuat membayangi di balik narasi. Arahan dan penulisan film ini kuat, banyak adegan memorable yang hadir di sini, also film ini bergerak dalam desain yang berani mengambil resiko. Ceritanya yang tersusun dari beberapa chapter terasa seperti patah menjadi dua bagian – meskipun sebenarnya dua bagian ini kontinu membentuk gambaran besar yang menunjukkan sebuah development penyadaran.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for EXHUMA.

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian topik sosial-politik apa di Indonesia yang belum ada yang garap padahal cocok banget dijadikan cerita horor?

Silakan share di komen yaa

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



PASAR SETAN Review

 

“Do what you must, and pay the price if you’re wrong”

 

 

Harus mencari penampakan beneran, demi menyelamatkan channel vlog. Yup, that’s where we at now in terms of premise cerita sebuah horor hiburan. Namun bahkan goal yang konyol dan stake yang sama sekali tidak bikin kita peduli itu pun tidak benar-benar dijambangin oleh karya debut layar lebar Wisnu Surya Pratama ini, karena ada cerita lain yang membungkusnya. Yakni tentang kepala polisi yang menyelidiki kasus kematian para vlogger tersebut di dalam hutan kaki Gunung Salak. So yea, Pasar Setan actually punya elemen yang membuatnya semacam True Detective: Setan Country. Dan ‘setan’nya as in, “Setan, film apaan nih!?”

Cerita sekelompok vlogger yang nekat mencari Pasar Setan, mitos gaib yang sudah merakyat dishoe-horn ke dalam cerita investigasi polisi yang gak punya bahasan inner juga sebenarnya selain mendebat soal realistis vs. percaya tahayul, dan gak ngapa-ngapain selain nontonin rekaman para vlogger yang ditemukan. Jadi itu jugalah yang kita tonton. Kepala Polisi bernama Rani jengkel karena kasus sekelompok anak muda yang tewas di hutan itu malah ditangani secara gak masuk akal oleh bawahannya. Seorang gadis satu-satunya yang selamat dari kejadian misterius tersebut, si Tamara, malah ditangkap oleh warga lokal. Jadi Rani membawa Tamara ke kantor, merawat sekaligus menginterogasinya. Karena bukti-bukti digital yang ia tonton belum cukup jelas menjawab kenapa teman-teman Tamara yang lain tewas. Tapi kesaksian Tamara – dia adalah host di acara misteri yang di ambang kena cancel lantaran ketahuan bikin konten palsu, dan itulah yang menyebabkan Tamara and the genk nekat mencari Pasar Setan dan beneran ‘diserang’ hantu-hantu yang dipimpin oleh Nyi Salimah – ternyata berbeda dengan video yang dia amati. Rani harus mengambil keputusan terkait Tamara, karena warga yang percaya gaib mulai mendatangi kantor dan meminta masalah Tamara untuk diselesaikan oleh ‘hukum’ mereka.

Ternyata ada karakter kepala polisi yang lebih annoying dan less-charismatic daripada karakter Jodie Foster di True Detective

 

Kita akan berpindah-pindah dari kejadian yang dialami menurut sudut pandang Tamara, ke ‘aksi’ marah-marah si Rani, lalu ke beberapa video yang ditonton Rani. Dan selain lensa grainy yang lebih natural dan rasio vertikal – yang aku gak tahu apakah itu YouTube short/Instastory/TikTok karena ku memang kurang familiar sama format itu – film tidak pernah benar-benar memberikan treatment yang berbeda terhadap perpindahan tersebut. Kita gak yakin, mana yang beneran terjadi, mana yang cuma cerita Tamara, mana yang ditonton oleh Rani. Mungkin ini taktik sutradara untuk melingkupi ceritanya dengan aura misteri, supaya kita juga terlibat dalam investigasi si Rani. Tapi jika dilihat dari gimana bentukan cerita, clearly yang diincar naskah adalah dramatic irony dari kita tahu Rani ngotot mengusahakan hal yang normally benar, tapi untuk kasus Tamara ini, dia salah. Sehingga arahan film ini terasa missing the point.

Sepanjang menonton, ada sense bahwa film ini sebenarnya mengincar gimmick found footage, ataupun penceritaan dengan pov kamera kayak Keramat. Ada beberapa dialog yang membuild up soal kamera yang dipegang karakter harus tetap merekam semua kejadian, bahkan di kantor pun ada seorang polisi yang diperintah oleh Rani untuk terus standby merekam proses investigasi. Namun bahkan gimmick pov ini juga gak pernah benar-benar dimekarkan. Karena sebagian besar film masih berlangsung seperti biasa aja. Dengan sudut pandang seperti film-film normal. At this point, aku lantas ngerasa sutradara just didn’t care. Dia kayak setengah-setengah dalam mewujudkan visinya. Arahan yang paling serius dilakukan cuma untuk jumpscare. Di aspek ini film cukup lumayan. Ngebuild up adegan penampakan dengan suasana gelap-terang. Dengan suara-suara hutan, ataupun suara-suara hantu, suasana horor di pasar mistis itu kerasa. Lalu ketika Nyi Salimah muncul – serta hantu-hantu lain dengan desain cukup unik dan beragam – kita bakal langsung melek oleh kaget-kagetan. Yang bikin aku takjub cuma satu, tau-tau di pasar tradisional gaib itu ada pisau guillotine hahaha

Biasanya memang trik jumpscare ini bare minimum-lah buat horor lokal. Biasanya masih bisa berhasil bikin penonton puas dan melupakan naskah yang dangkal. Masalahnya, Pasar Setan narasinya juga kacau. Urutan kejadian yang tampil di film ini enggak selurus, enggak sesatu perspektif Rani seperti yang tadi kutulis di sinopsis. Film ini actually dibuka dari sudut pandang Tamara dan grupnya yang sedang berembuk mau bikin konten apalagi setelah mereka dihujat karena ketahuan pake hantu palsu. Seolah ini adalah perjalanan Tamara untuk redeem herself, seolah ini perjuangan grup itu untuk menjadi mungkin semakin akrab, menyelesaikan masalah internal. Ternyata kan tidak. Grup ini bukan karakter, mereka cuma bagian dari misteri yang harus dipecahkan oleh Rani yang sebenarnya lebih fit sebagai journey karakter utama. Hanya saja Rani ini one-dimensional bukan main. Dia gak punya background seperti halnya karakter utama. Yang punya, ya si Tamara. Tapinya lagi, naskah tidak bercerita sebagai kisah perjuangan dia. See, kacau kan narasinya. Ini kayak dua cerita, lalu digabungkan dengan cara kedua ceritanya dipecah-pecah untuk menghasilkan even more surprises, dan melupakan ground work yang mestinya dikembangkan.

review pasar setan
Kalo memang pengen twist, sekalian aja judulnya Pasar Kaget

 

Jika pengennya jadi cerita Tamara, maka harusnya goal dan stake mereka itu diperdalam lagi. Misalnya, kayak di film Agak Laen (2024), grup karakternya pengen rumah hantu mereka sukses, dan film itu membuild up alasan kenapa rumah hantu itu penting bagi mereka. Personal mereka digali, bahwa mereka adalah orang kecil yang cumak bisa kerja di profesi yang laen seperti itu. Opsi mereka sudah diset up terbatas. Rumah hantu itu jadi satu-satunya taruhan mereka. Begitupun misalnya dengan horor found footage Hell House LLC (2015), yang juga tentang sekelompok anak muda yang ingin rumah hantu mereka sukses. Bahwa kerjaan mereka sebagai kru rumah hantu itu sudah dibangun sebagai hal yang personal dan mereka memang harus stay dan gak boleh gagal di kerjaan itu. Sedangkan di Pasar Setan ini, kerjaan Tamara dan kawan-kawan sebagai konten kreator atau vlogger channel horor itu tidak dilandaskan urgensi dan kepentingan personalnya. Kenapa mereka yang masing-masing masih muda, atraktif, dan sehat itu harus bergantung kepada nama baik channel. Kenapa mereka gak pivot ke konten lain aja. Kenapa solusi yang terpikir oleh mereka adalah nyari ‘hantu beneran’ – ini kan sangat tidak masuk akal, seolah yang dibangun adalah dunia cerita yang hantu itu nyata – kenapa gak dari dulu mereka pake hantu beneran. Di tengah film sebenarnya ada momen ketika masing-masing teman Tamara curhat soal motivasi dan goal mereka, hanya saja di titik itu – oleh karena bangunan cerita yang pindah-pindah aneh tanpa ritme jelas – mereka cuma ngeluh dan berantem gak jelas, sehingga kita pun udah gak lagi bisa mendorong diri untuk peduli kepada mereka. Ataupun merasa bisa mempercayai kata-kata mereka.

Karakter-karakter dalam film ini punya kepercayaan masing-masing yang dengan teguh mereka pegang. Rani yang percaya pada hal logis ingin mengungkap kasus di gunung itu sebagai pembunuhan. Warga desa percaya itu adalah peristiwa gaib. Kameraman Tamara cuma tahu ini adalah soal kerjaan dan dia berusaha nyelesaikan kerjaan.  Bagi Kevin yang penting adalah cuan. Jadi, mereka bertindak mengikuti kepercayaan itu. Dan mereka  bakal membayar jika nanti yang mereka percaya adalah hal yang salah. Dan kadang, juga saat mereka benar. Semua ada price-nya. Kepercayaan itulah ternyata hal yang diperjual-belikan dalam Pasar Setan.

 

Tanpa adanya kedalaman, dan galian yang harus mengalah bangunan cerita dan pada usaha supaya ada twist, maka ketika naskah mencoba untuk mendevelop karakter menjadi tidak satu-dimensi pun, jadinya malah kayak sebuah inkonsistensi pada karakter. Misalnya ketika menjelang akhir, Kevin jadi peduli sama Tamara “Kalo lu ke sana sendirian, lu cari mati namanya”, padahal sebelumnya dia pernah menyuruh Tamara pergi sendirian ke lokasi Pasar, malam-malam, buat ngerekam konten mencari kameraman yang hilang. Perubahan Kevin yang tadinya culas itu tidak terlihat seperti development melainkan lebih kayak naskah tidak konsisten. Karena memang jarang juga ada waktu untuk mereka terdevelop, karena momen kita pindah ke melihat mereka itu oleh bangunan film selalu adalah momen-momen cerita harus ‘naik’ alias momen horor seru. Momen cerita ‘turun’ ditugaskan kepada bagian cerita Rani di kantor polisi.

 




Kayaknya, sejauh ini, dari film-film IDN yang pernah aku tonton dan review, film ini yang paling ‘jauh’. Semua aspeknya terasa, bukan mendua, lebih tepatnya setengah-setengah. Arahannya seperti setengah hati mau jadi film dengan gimmick pov shot, atau kayak found footage. Naskahnya terasa immature, ceritanya setengah hati mau bahas tentang investigasi polisi skeptis, atau mau tentang perjalanan anak muda ke hutan di kaki gunung. Yang by the way, gak pernah terasa perjuangannya karena mereka naik mobil, jalan kaki ke sana sebentar (dengan karakter ngeluhnya minta ampun), dan ketika sampai pun nemuin pasar yang mestinya mitos itu gampang. Dan pasarnya, selain karena suara-suara seram itu, tidak terasa benar identitasnya. Kayak tempat seram aja. Sebagai anak geologi yang dulunya cukup akrab dengan bahasan naik gunung, film ini buatku tidak terasa membuatku jadi bernostalgia ke pengalaman ataupun cerita-cerita tentang pasar itu.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for PASAR SETAN.

 

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian punya pengalaman seram saat naik gunung?

Silakan share ceritanya di komen yaa

Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL