“Genuine kindness doesn’t have ulterior motives”
Baru juga kita move on dari absurdnya dunia Poor Things (2024) yang mempertanyakan siapa sebenarnya yang malang dalam dinamika pria-wanita, Yorgos Lanthimos udah ngajak kita ke dunia yang lain lagi – yang juga tak kalah aneh. Enggak tanggung-tanggung. Isi dunianya kali ini bukan cuma satu, melainkan ada tiga cerita. Sekilas dari judulnya sih, kayaknya Yorgos ingin ngasih tau kita tentang rupa-rupa kebaikan. Makanya dia membuat ini sebagai antologi. Tiga cerita, dengan aktor-aktor yang sama memerankan karakter yang berbeda-beda pada setiap kisah. Tapi yah namanya juga dark comedy, film ini menyentil bahwa ternyata kebaikan seringkali punya motivasi. Kita manusia dengan kondisi kita yang kompleks, justru seringkali berada dalam kebaikan yang pura-pura.
Film antologi harus punya satu tema, benang merah, atau apalah yang mengikat kisah-kisahnya. Membuat mereka paralel dan berjalan menuju arah yang sama. Jadi gak bisa asal menghimpun banyak cerita pendek yang tidak saling berkaitan lalu ntar tinggal dicari cocokologinya untuk bisa dijual ‘bundel’. Menilai film antologi, kita perlu menyorot kepada desainnya. Konsepnya. Filmografi Yorgos toh membuktikan bahwa sutradara asal Yunani ini paham dan dia memang selalu punya desain dan konsep unik tersendiri. Kinds of Kindness ini, walau tiga cerita di dalamnya random dan aneh-aneh semua, tapi mereka semua punya kesamaan. Misalnya, pada tiap cerita ada momen karakter bermimpi. Ada yang mimpi dunia saat anjing jad berperilaku layaknya manusia. Ada yang mimpi bisa bernapas di dalam air. So, sudah pasti keseluruhan film ini bakal punya vibe yang sangat absurd. Menyaksikannya bakal kayak menonton film thriller, tapi begitu absurd oleh karakter; motivasi dan kejadian mereka. Dan meski absurd, karakter utama tiap kisahnya ngalamin journey yang sama. Bahasannya juga serupa, selalu ada orang yang berusaha pleasing someone, ada orang yang try to control everything, dan tentu saja ketiganya bermain-main dengan term ‘kebaikan’ itu sendiri. Sehingga pada akhirnya buatku film ini konyol tapi juga begitu mendebarkan karena daaangg, yang dikatakannya sebenarnya realistis dan grounded juga loh ke kita.
Cerita pertama Jesse Plemons jadi karyawan ‘baik’, yang mau mengerjakan semua perintah Willem Dafoe, bosnya yang juga ‘baik’. Jadi dia merasa utangbudi sama si bos, karena selama ini semua yang terjadi di hidupnya – istrinya, karirnya, harta bendanya – literally diatur oleh bos. Ini kan sebenarnya hal yang bisa relate juga kepada kita – harus tau terima kasih – hanya, oleh Yorgos absurdnya dinaikkan ke level maksimal. Ada satu perintah si bos yang gak bisa dituruti oleh karakter Jesse, si Roberts. Yaitu staging a fake car crash; menabrak mati seorang pria. Karakter bosnya membuatku teringat sama Arswendi pada Autobiography (2023). Tampak santai, friendly, tapi setiap kata-katanya adalah tuntutan. Perintah. Mangkir dari perintahnya berarti tersiksa pelan-pelan. Dan itu jugalah yang dirasakan Roberts setelah dia misuh-misuh menolak. Hidup Roberts, semua yang ia miliki, jadi hilang. Cerita ketiga Emma Stone jadi ibu yang ‘baik’. Ibu yang rindu dan sayang sama putrinya, sehingga dia diam-diam ke rumah saat suami dan anaknya pergi. Si Emily ini memang sudah cerai, karena dia mendedikasikan hidupnya untuk sekte yang ia percaya. Nah lo! Emily sebenarnya sedang dalam misi dari sekte untuk mencari seorang perempuan kembar yang bisa menghidupkan orang yang sudah mati. Dan Emily sudah siap untuk melakukan apapun demi membawa perempuan itu kepada sekte. Cerita kedua sengaja aku taroh belakangan karena ini yang paling aneh. Sureal. Lucunya, mirip ama cerita Primbon (2023). Jesse Plemons, kini jadi polisi ‘baik’. Ini pasti kita semua sudah ngerti dark joke dari polisi yang baik hihihi, tapi mesti begitu toh film tetap gaspol nunjukin gimana polisi ‘baik’ itu. Istrinya yang juga polisi, hilang dalam tugas di pulau. Daniel, nama karakternya, stress berat. Lalu kemudian istrinya ketemu. Pulang. Sehat wal-afiat. Tapi Daniel merasa ada yang beda dari istrinya. Dia curiga perempuan itu mungkin kloningan atau apa. Sehingga dia jadi tega menyuruh istrinya melakukan hal-hal tak terbayangkan. Hal yang membahayakan diri. Dan si istri mau aja. Ya namanya juga istri yang ‘baik’.
Kebaikan itu ternyata subjektif ya, jika kita melihat para karakter film ini. Berbuat baik ternyata punya maksud di baliknya, kebaikan ternyata tergantung orangnya. Jasa atasan harus kita balas dengan jasa yang diminta, no question asked. Bahkan dari sekte itu, film seperti bilang sebagai umat yang baik, kebaikan berarti kita harus rela mengorbankan apapun termasuk mati demi ramalan. Aku rasa alasan film mengambil gaya yang aneh dan nada komedi adalah supaya kita lebih mudah melihat dan memahami kalo ‘kebaikan-kebaikan’ tersebut sebenarnya bukan kebaikan. Melainkan hal yang toxic. Urgensi film ini adalah ya karena ‘kebaikan-kebaikan’ tersebut juga relate dan lumrah di kita, meskipun memang tidak sampai ke taraf edan kayak yang digambarkan film. Gimana istri terlalu patuh ama suami, padahal suaminya kasar. Oleh film ini, cerita kedua tadi juga ditambah konteks tentang dunia anjing; yang juga bisa kita hubungkan menjadi teguran dari film. Bahwa anjing peliharaan – seeing anjing dianggap sebagai hewan paling patuh – aja bisa gigit kalo ownernya kasar.
Memang, Kinds of Kindness bukan cuma gambaran. Film ini juga punya statement tentang kebaikan yang sebenarnya itu seperti apa. Tentu saja, statementnya ini pun dengan sama absurdnya. Ketika Jesse Plemons, Emma Stone, Willem Dafoe, serta aktor-aktor lain menjadi peran-peran yang berbeda pada setiap cerita, karena masing-masing cerita itu dimaksudkan sebagai gambaran kejadian yang semuanya aneh-aneh dan sekilas tampak tidak saling berhubungan, ada satu aktor yang memerankan peran yang sama pada ketiga cerita. At least, nama karakternya sama. Karakter ini perannya sebenarnya minor, tapi karena dia satu-satunya yang konstan maka dia mencuat. Film bahkan menjadikan dia sebagai nama chapter atau judul dari masing-masing cerita. Karakter itu adalah pria paruh baya bernama R.M.F. – diperankan dengan, seingatku, tanpa dialog oleh Yargos Stefanakos. Cerita pertama diberi judul “The Death of R.M.F.” – dia adalah pria yang harus ditabrak oleh Roberts. Cerita kedua berjudul “R,M.F. is flying” – dia adalah pengemudi helikopter yang menyelamatkan istri Daniel. Cerita ketiga “R.M.F. Eats a Sandwich” – dia adalah mayat yang dihidupkan kembali, dan di penutup dia makan sandwich di kafe. Ni orang kayak asik sendiri hahaha, kalo memang dia orang yang sama pada ketiga cerita, berarti ya hidupnya ngelingker sendiri. Namanya yang cuma inisial mengundang kita untuk bertanya-tanya, mungkin memang karakter ini punya makna besar sendiri. Buatku, yang cukup jelas dari gimana karakter ini berbeda dari yang lain, dan gimana dia simpel sendiri, adalah itu semua karena dia adalah karakter yang tanpa motivasi. He just accept what happens to him. Dia tidak ingin mengontrol, tidak ingin dicinta, tidak ingin diakui, tidak ingin balas budi. Dia menolong karena dia menolong. Dia jadi korban karena dia korban. Dia hidup karena dia hidup. Dan itulah bentuk ‘kebaikan’ yang dianggap film sebagai kebaikan sejati. Kebaikan tanpa motivasi. Kebaikan yang enggak subjektif.
Kebaikan yang pure tidak perlu rupa-rupa. Apalagi pura-pura. Kebaikan yang pure tidak punya motivasi apa-apa di baliknya. Justru seharusnya kebaikan itu sendirilah yang jadi motivasi kita dalam hidup. Tapi yah, mungkin memang lebih mudah memimpikan hidup seperti itu ketimbang benar-benar menjalankannya
Dengan karakter yang aneh, alur masing-masing cerita yang juga aneh, dan durasi yang juga menuntut perhatian lebih (clocking at 2 jam 44 menit, ini kayaknya film terpanjang dari Yorgos) film ini memang perjuangan yang menantang untuk diikuti. Sebenarnya gak bener-bener bikin bingung atau berat segimana sih. Cuma ya looking back at it, karena tiga cerita yang paralel, yang pada intinya juga formula dan journeynya sama, maka bisa ada semacam rasa repetitif. Tapi pas saat sedang ditonton gak kerasa kok. Paling kerasanya justru cerita agak ke mana-mana karena absurd. Malahan, kerja film sebenarnya cukup maksimal untuk bikin kita kehook dan terus penasaran, Being absurd itu salah satunya. Kedok yang menarik untuk nutupin kesamaan formula antara tiga cerita. Penampilan akting para aktornya certainly gak bikin kita bosan. Dari wujud, hingga pembawaan karakter, wuih semuanya unjuk range dan timing dan pemahaman karakterisasi level atas! Film ini juga punya momen-momen brutal to keep us on edge. Ada beberapa kali aku kelepasan neriakin layar, biasanya pas adegan-adegan yang aku sontak ngeh si karakter mau ngapain selanjutnya. Nah, menurutku film ini did a great job pada penceritaan karena di tengah segala keanehannya, masih kerap ada momen-momen seperti itu; momen-momen yang kita bisa ngerti precisely karakternya mau melakukan hal seram apa. Dan kita bereaksi; nunjukin kita peduli sama orang-orang yang katanya ‘baik’ itu.
Baiklah, biar gak makin bingung, diperjelas aja. Ini satu lagi film Yorgos yang menantang banget untuk didiskusikan. I think sutradara ini sekali lagi berhasil menggunakan gayanya sebagai cara untuk membicarakan sesuatu, dan menerapkan gaya tersebut menjadi ‘something’. Film ini jadi unik, menarik; apalagi ini kan sebuah antologi. Basically cuma kumpulan cerita pendek. Namun ini bukan cerita-cerita yang dikumpulkan lalu lantas dihubungkan dengan tema. Film ini dibuat menjadi antologi karena sutradaranya punya desain sendiri terhadap gagasan yang ingin dia bicarakan. Aku yakin banyak tanda tanya muncul setelah kita nonton ini, karena memang absurdnya bukan main, tapi kan di situ daya tariknya. Lagipula film ini tidak memaksudkan tanda tanya itu untuk dijawab secara eksak, melainkan ya bebas aja, It could work sebagai satir, sebagai komedi konyol, atau umpama seni abstrak yang nyeleneh aja. Secara penceritaan memang tidak sefektif film-film ‘greatest hit’ Yorgos sebelumnya. Ini toh lebih ke kreasi atau desain cerita yang sayang dilewatkan jika kita suka sama tantangan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KINDS OF KINDNESS
That’s all we have for now.
Menurut kalian, R.M.F. singkatan dari apa?
Share pendapat kalian di komen yaa
Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
Kayaknya, kalo film ini gak dibikin antologi, misal pake gaya bercerita-nya “magnolia-nya PTA”, bakal lebih imersif kali ya..
Plus diantara satir tentang ragam kebaikan, kenapa yorgos/siapapun yg nulis naskahnya gak kepikiran tentang kebaikan dengan intensi pencitraan ya…pastinya, bakal lebih relate..
Mungkin karena kalo pencitraan itu kesannya ada pihak yang ‘tertipu’ oleh citra yang ditampilkan. Dinamika jadi pada pelaku pencitraan – korban pencitraan. Sedangkan kayaknya film ini pengen berimbang, jadi karakternya semua dibikin punya kompas moral yang ambigu terhadap kebaikan, sehingga yang tersampaikan adalah bahwa yang sebenarnya mereka tipu itu diri sendiri; masing-masing berpura-pura bahwa yang mereka lakukan itu terjustified sebagai hal yang baik
kang, nonton di mana film-nya? Nuhun infonya
Kalo mau legalnya, ada di Hulu, tapi agak repot vpn nyaa
Kalo menurutq sih RMF = ridiculous, moron & fool. Ya intinya ngatain org yg ga punya motivasi dan pasif
Hahaha disuruh jadi korban tabrakan aja mau ya dia
Ditambah lagi. Dia yg nylametin malah dia yg kasih gift. Saus malah diratain dibajunya.
Ulasan-nya menarik dan mudah dipahami. Setelah menonton, rasanya absurd “Apa sih nih film?” Yg pertama masih paham, cuma yg kedua dan ketiga mulai susah. Tapi, yang seperti kakak jelaskan, itu yg ada di benakku. Karena dari judulnya “Macam-Macam Kebaikan” tapi, “Kebaikan” di sini lebih kepada “Kebaikan” yg dibuat-buat. Menarik sih filmnya!
Beneer, menarik banget cara film ini menyampaikan topik rupa-rupa kebaikannya, kesannya karakternya ekstrim tapi kok ya kena juga satirnya. Gak tau deh sutradara makan apa sampai kepikiran bikin yang kayak gini ahahaa