FANTASTIC BEASTS: THE SECRETS OF DUMBLEDORE Review

 

“Losing something is the only way to show you how important it was”

 

 

Fantastic Beasts seharusnya adalah proyek yang ajaib. Dan pada awalnya memanglah ajaib! Bayangkan sebuah buku pelajaran yang konsepnya lebih cocok disebut sebagai katalog, diubah menjadi kisah hidup ‘pengarangnya’ sepanjang karir mengumpulkan hewan-hewan fantastis.  Dijadikan cerita petualangan yang mungkin the easy way to do it adalah dengan membuatnya jadi kayak Pokemon, dengan pesona dunia sihir Harry Potter. Namun, empunya cerita ternyata punya misi yang lebih besar. Begitu sekuel Fantastic Beasts tayang di 2018, jelas sudah makhluk-makhluk sihir itu ternyata hanya tunggangan untuk sebuah greater good. Tapi greater good menurut penulisnya, loh. J.K. Rowling pengen mengembangkan lebih dalam sejarah dunia Harry Potter yang telah kita kenal. Dan sebagaimana para karakternya yang berusaha mencapai greater good dengan mengorbankan banyak hal, Rowling sendiri rela untuk menulis-ulang role dunia, mengubah-ngubahnya, membuat kita para fans mempertanyakan ulang informasi yang sudah kita dapatkan dari Harry Potter sebelumnya. Franchise Fantastic Beasts tak lagi terasa sebagai petualangan yang ajaib, melainkan sebagai sebuah perbaikan statement yang ambisius, Jadi, aku menonton film ketiganya (dari lima yang sudah direncanakan) yang masih digarap David Yates ini  dengan maksud untuk mencari jawaban atas dua pertanyaan. Seberapa besar lagi peran karakter utama – si Newt Scamander – dipinggirkan demi episode karakter lain. Dan seberapa besar lagi kehancuran yang dibuat film ini kepada nama Dumbledore.

Jawaban untuk pertanyaan yang pertama agak sedikit menggembirakan. Eddie Redmayne gak lagi sekadar bengong-bengong gugup di latar, gabut nungguin apa lagi yang harus dilakukan oleh karakternya, Newt Scamander. Makhluk-makhluk ajaib yang ia kumpulkan juga gak lagi cuma jadi penghias. Fantastic Beasts ketiga berusaha untuk kembali membuat cerita yang tentang hewan sihir, alih-alih cerita yang  hanya menampilkan mereka. Hewan sihir kembali diintegralkan ke dalam plot. Makhluk kuda bersisik yang disebut Qilin jadi rebutan Newt dengan gengnya si Grindelwald. Lantaran Qilin yang langka ini punya kemampuan untuk melihat hati penyihir. Qilin hanya akan bungkuk hormat kepada penyihir berhati mulia lagi bijaksana. Grindelwald pengen punya Qilin karena di dunia sihir lagi masa pemilu. Apparently, penyihir di masa hidup mereka memilih pemimpin internasional dengan cara voting. Qilin ingin digunakan Grindelwald, katakanlah, untuk semacam kampanye. Untuk jadi bukti dirinya pantas jadi pemimpin. Cerita film ini berkutat seputar Newt Scamander dan teman-temannya berusaha menggagalkan Grindelwald mendapatkan semua Qilin. Apa lagi kalo bukan dengan bantuan Dumbledore. Dumbledore dan Grindelwald udah kayak Prof X dan Magneto – jika dua mutant itu saling cinta. Mereka saling ngumpulin orang-orang kepercayaan, dan perang di antara kedua penyihir yang saling respek ini berlangsung lewat kelompok mereka.

 

So yea, exactly like Prof X – Magneto

 

 

Secara pengembangan mitologi dunia dan masukin cerita Newt ke dalam sejarah Dumbledore-Grindelwald, Fantastic Beasts ketiga ini memang terasa masih bego dan maksa. Tapi paling tidak, adegan-adegannya lebih enjoyable. Aku prefer lebih banyak adegan konyol seperti Newt jalan kepiting ketimbang eksposisi dunia politik sihir yang menjemukan. Dumbledore yang masih belum bisa turun tangan langsung melawan Grindelwald karena perjanjian darah yang mereka lakukan saat masih muda, membantu dengan cara khas dirinya sendiri. Potterhead pasti familiar dengan gaya Dumbledore tersebut, karena hal yang sama juga penyihir itu lakukan kepada trio kesayangan kita yang disuruh berburu Deathly Hallows. Di Fantastic Beasts kali ini, Dumbledore memberikan benda-benda khusus kepada Newt dan teman-temannya – tanpa penjelasan, dan mereka disuruh melakukan tugas masing-masing. Keseruan nonton film ini datang dari melihat bagaimana fungsi benda-benda tersebut terkuak seiring tugas yang terlihat random (baik bagi kita, apalagi bagi karakter cerita yang melakukannya). Jacob, misalnya. Fan-favorit karakter yang diperankan Dan Fogler ini dikasih tongkat sihir palsu oleh Dumbledore. Apa yang Jacob lakukan dengan tongkat itu bakal jadi salah satu pemantik komedi, dan pada gilirannya juga jadi alat yang membawa karakter ini kepada konsekuensi yang cukup tragis.

Lalu si Newt sendiri. Ia disuruh untuk memberikan koper ajaibnya yang berharga (karena berisi semua hewan sihir, termasuk satu lagi Qilin yang tersisa) kepada karakter penyihir cewek yang ceroboh. Kita bisa melihat dengan jelas Newt agak-agak gak rela, tapi jika kita jadi anak buah Dumbledore pertanyaannya akan selalu apakah kita benar-benar percaya dia atau tidak. ‘Blind faith’ orang-orang kepada Dumbledore memang jadi salah satu pesona dari karakter ini sejak dari franchise Harry Potter (ada konflik yang didedikasikan untuk mempercayai Snape yang dipercayai oleh Dumbledore). Itulah yang coba diulang kembali oleh film Fantastic Beasts ketiga ini. Elemen ini membuat film berhasil jadi sedikit lebih ringan. Enggak melulu jenuh oleh bahasan politik dan intrik dunia sihir. Cerita film ini memang masih terlampau too much (meski udah durasi dua setengah jam), tapi tidak terlalu terasa sesak. Kali ini terasa lebih punya ritme. Lebih kayak screenplay ketimbang novel yang divisualkan. Kehadiran penulis naskah memang langsung berasa. Tidak lagi Rowling menulis skrip sendirian, kali ini dia dibantu oleh Steve Kloves yang dulu jadi penulis naskah untuk film-film Harry Potter. Aku pribadi sih ngarepnya; ke depannya si Rowling enyah aja. Mending dia nulisin novel Fantastic Beasts lagi aja. Baru novelnya ‘disihir’ jadi skenario oleh scripwriter beneran. That’s how Harry Potter berjaya, kan. Tapi yah, mungkin sudah ogah balik berlama-lama seperti itu. Studio dan Rowling udah jadi males dan terus menggeber.

Akibatnya, baru di titik pertengahan ini, film ketiga Fantastic Beasts udah kerasa lifeless. Ini cerita tentang dunia sihir tapi tanpa sihir penceritaan.  Petualangan tadi, makhluk-makhluk magical, beberapa adegan di Hogswarts, bahkan akting-akting para pemeran tampak bagus sendiri-sendiri tapi tidak lantas jadi sebuah experience yang asik untuk disimak. Development karakter Newt hanya dipoint out dengan gamblang. Tidak jadi sebuah journey karakter yang mengalir. Film jadi kayak rentetan poin-poin dan statement belaka. Oh mereka harus nunjukin hewan ajaib. Oh mereka harus lihatin Dumbledore cinta ama Grindelwald. Oh mereka harus masukin quote-quote bijak dari Dumbledore. Oh mereka harus berikan diversity. Film cuma ingin memuat itu. Makanya sekalipun narasi bicara tentang cinta, pengorbanan, ataupun kehilangan, feeling tersebut gak nyampe. Malahan keseluruhan film ini terasa gak tulus, melainkan hanya seperti sebuah mesin pengungkap kejadian saja. Karakter penyihir internasional – yang jadi kandidat pemimpin – malah gak dapat dialog ataupun karakterisasi. Mereka cuma berdiri di sana sebagai simbol cerita film ini melingkupi belahan dunia lain.

Tema yang paralel pada karakter-karakter film ini adalah soal mengenali cinta lewat kehilangan. Newt harus pisah dengan Tina (yang btw direduce perannya dari heroine cewek ke karakter yang cuma muncul di akhir), dan dengan kopernya. Dumbledore yang harus bergulat dengan perasaannya terhadap Grindelwald yang jadi penyihir jahat. Dan bahkan Aberforth (adik Dumbledore) juga dapat bahasan yang serupa. Yakni mereka harus belajar bahwa kehilangan dan berpisah jalan bukan berarti hilangnya rasa cinta. Melainkan justru memperbesar karena baru dengan kehilangan sesuatulah kita jadi menghargai betapa pentingnya sesuatu tersebut.

 

Yang membawa kita kepada jawaban atas pertanyaanku yang kedua. Dumbledore. Film kedua berakhir dengan satu pengungkapan stupid soal Credence ternyata adalah keluarga Dumbledore. Kupikir film ketiga bakal banyak membahas tentang bagaimana sebenarnya hubungan Credence dengan Albus. Kembali ke persamaan dengan Prof X dan Magneto tadi, kupikir Credence paling enggak bakal semacam Juggernaut dan Prof X. Yang jelas, dari film kedua berakhir, seolah film ketiga bakal bahas keluarga ini lebih dalam. Tapi ternyata enggak. Albus Dumbledore gak banyak beda perannya dengan di film kedua. Credence hanya bertingkah galau sepanjang waktu (peran karakter Ezra Miller ini actually tetap gak bertambah dibanding sebelumnya) Peran Grindelwald juga tak banyak mendorong kemajuan franchise ini. Selain soal dia mau jadi pemimpin dunia, tidak banyak porsi cerita yang dialamatkan kepadanya. Walaupun basically Grindelwald yang kali ini punya pendekatan yang berbeda. Mads Mikkelsen yang menggantikan Johnny Depp memainkan Grindelwald yang lebih grounded. Dia tetap kejam tapi lebih ‘kalem’, sehingga terlihat lebih berbahaya.

Film ini punya Mikkelsen yang menghembuskan nyawa baru bagi sisi dramatis karakternya, dan di sisi satunya punya Jude Law sebagai Albus Dumbledore yang juga bermain sama manusiawinya, tapi yang berhasil dihasilkan film dari keduanya ini hanyalah “puff” angin kosong. Cerita tidak memberikan mereka lebih banyak waktu untuk berinteraksi. Sekalinya berduel, mereka juga tidak diberikan sesuatu yang wah. Aku paham film bisa jadi memang pengen menyimpan pertemuan epic itu untuk film terakhir. Tapi ya seenggaknya di film ini kasih sesuatu ‘teaser’lah. Yang bikin kita pengen melihat lebih banyak. Kedua aktor tersebut udah kayak memohon diberikan momen yang emosional, lihat saja akting mereka. Tapi film cuek bebek. Perihal cinta antara keduanya, film lebih memilih untuk membuat Dumbledore menyembut dengan gamblang “Because I love you” Gak ada subtlety, gak ada dinamika emosi, gak ada seni. Gak ada hati. Bagiku film ini kayak supaya J.K. Rowling punya kesempatan untuk membuktikan dirinya memang mendesain Dumbledore dan Grindelwald sebagai pasangan sedari awal. That scene seolah lebih penting untuk si Rowling ketimbang untuk para karakter cerita itu sendiri.

 

Dan mereka masih tetap kekeuh memperlihatkan Minerva McGonagall memang sudah mengajar di Hogwarts

 

 

Last straw bagiku adalah film kayak enggak mau capek-capek untuk membangun dunia dan komunitas sihir di era tersebut. Film banyak berjalan-jalan ke negara lain, tapi gak banyak perbedaan antara penyihir di Inggris dengan yang di Jerman, misalnya. They look all the same. Sama-sama kayak Muggle. Film ini udah kayak spy action biasa, kalo tongkat sihir diganti pistol atau pedang, potongan adegan film ini bisa diselipin ke dalam adegan King’s Man, and no one will notice. Inilah satu hal yang paling aku gak suka dari franchise Fantastic Beasts sedari awal; penyihirnya banyak yang berpakaian muggle, dengan sempurna. Dumbledore yang nyentrik – dan kalo lagi ‘nyamar’ jadi muggle selalu pakai kombinasi pakaian yang norak – di film ini dandan sharp dress semua. Bahkan di lingkungan Hogwarts dia memakai setelan necis muggle. Udah seri ketiga tapi film belum berhasil menjawab kenapa. Kenapa Dumbledore di Harry Potter seolah gak ngerti fashion muggle tapi di film ini yang timelinenya sebelum era cerita Potter, Dumbledore bisa kok berpakaian ‘normal’. Yang paling lucu adalah si Grindelwald. Dia yang begitu membenci muggle, pengen menghabisi muggle dari muka bumi, malah berpakaian ala muggle.

Aku gak ngerti kenapa film mengabaikan soal pakaian, karena justru pakaian itulah salah satu faktor yang bikin dunia sihir itu seru di Harry Potter. Pakaian mengingatkan kita bahwa kita berada di dunia sihir. Makanya film ini jadi semakin bland.  Udahlah penceritaannya standar, gak ada keajaiban dan gairah storytelling. Visualnya pun gak ajaib. Karakter-karakternya didesain dengan sama boringnya. Kecenderungan narasi untuk lebih membahas politik, dan ngasih statement sok relate (Grindelwald kayak presiden yang pengen membuat dunia sihir great again!), membuat setiap film Fantastic Beasts terasa sangat melelahkan. Film ketiga ini enggak terkecuali.

 

 

 

Meskipun lebih enjoyable karena mengembalikan sisi adventure yang fun, tapi film ini tetap penuh oleh hal-hal yang maksa. Tema politik kekuasannya dibahas hanya ala kadar, sehingga hanya jadi memberatkan. Perkembangan karakter disampaikan ala kadarnya. Begitu juga dengan bahasan konflik. Banyak yang dilanjutkan sekenanya, kayak persoalan Queenie yang tau-tau masuk kelompok jahat di film kedua. Sehingga di akhir, film ini kayak gak ada bedanya kalopun urutannya ditempatkan sebagai film kedua. Film tidak punya banyak kesempatan untuk berkembang dengan penuh wonder dan keajaiban karena fokus pada memperlihatkan statement-statement.  Seperti yang dilakukan oleh Grindelwald, film ini juga mencoba menghidupkan kembali franchise yang mestinya sudah mati di film kedua dan memaksanya untuk mengeluarkan feeling.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for FANTASTIC BEASTS: THE SECRETS OF DUMBLEDORE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang franchise Fantastic Beasts sejauh ini? Apakah kalian masih penasaran menunggu kelanjutannya?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

  1. Reza says:

    Yap. Setuju banget tentang ngulik keluarga Dumbledore. Kirain bakal di kupas habis2an. Karena judulnya secrets. Ternyata cuman sekedar dialog cerita antara Newt sama Dumbledore doang di kamarnya. Aku kira bakal ada adegan flashback kejadian di masa lalu tentang kelahiran Creedence, pacar Aberfoth, juga kematian Ariana bahkan cerita perjalanan cinta Dumbledore x Grindelwald di masa muda. Setidaknya kayak flashback bayangan Leta yang nuker adiknya di film kedua atau kayak flashback adegan Snape x Lily di akhir film Harry Potter.

    Satu suara tentang capres dunia sihir yang sama sekali ga di breakdown juga asal usulnya. Ngebut banget tbtb jadi capres. Yaa meskipun itu sih kayaknya cuman sekedar pemanis karena lagi musim pemilu.

    Aku yakin ceritanya bakal ada yang beda kalo Tina tetep jadi peran pendamping Newt di eps ini. Cuman karena dia positive covid pas waktu syuting, jadi yaa ada perubahan juga ke film sih menurutku.

    Ohiya, terkait pakaian…. Menurutku kenapa nyentrik banget kayak Muggle itu disebabkan karena latar dan waktu yang berbeda ga sih? Harry Potter kan basically di sekolah, jadi yaa wajar aja pakaiannya ala2 sihir. Tapi pada dasarnya mereka —Harry, dkk — juga manusia yang hidup juga di dunia Muggle jadi yaa tetep aja pakaian normalnya kayak Muggle. Fantastic Beast kan ceritanya jaman old yang memang peradaban manusia lagi berkembang2nya, jadi kayaknya wajar ga sih model pakaiannya begitu semua? Sebagai tanda samaran juga biar ga ketauan sama Muggle. Beda sama zamannya Harry yang udah agak modern bagi bangsa Barat, jadi fashionnya sedikit berbeda, terlihat natural, muggle yaa muggle, penyihir yaa penyihir. Ditambah lagi… Circle Fantastic Beast itu bukan ranah sekolahan, tapi orang2 dewasa yang mana mereka kerja di Kementrian, Guru, Profesor dll. Kalo Dunbledore yang pakainnya kuno itu kayaknya karena jadi Kepsek ga sih? Jadi yaa Aura sosok seorang orang tua yang sudah berumur dan jabatan sehingga harus menampilkan eksistensinya dia sebagai seorang yang seperti itu. Beda dengan masa mudanya.

    Dan… Relate nya film judul Fantastic Beast dengan keadaannya yang ternyata tidak terlalu menampilkan hewan2 ajaib di eps kali ini, menurutku sih itu bisa dikatakan cukup sah2 aja. Karena yaa inilah bagaian dari rangkaian cerita film. Yang mana itu hanya jadi Tema, karena judul aslinya yaa bakal terfokus pada Where to Find Them, Crimes the Grindelwald, Secretc of Dumbledore dst… Ditambah lagi, ini tentang kisah hidupnya Newt yang mana dalam salah satu kisah perjalanan hidupnya yaa beginilah yang dia alamani sampai akhirnya nanti dia bakal nikah sana Tina (di film terakhir nanti, I think so). Ibarat film Doraemon yang engga melulu mengeluarkan alat ajaib karena (di filn the movie Doraemon, biasanya) lebih menitik bedatkan kepada Nobita yang bodoh tapi baik dalam segala hal khususnya sikap, perasaan dan care dalam pertemanan. Begitu pun Fantastic Beast.

    Terlepas dari plus minusnya film ketiga ini, aku masih gatau kenapa Nagini sama sekali engga di spill di film ini… Padahal scene terakhir film kedua, dia sama2 di selamatkan dari hancurnya pemakaman di Paris dan dia bareng rombongan Newt ada di Hogwarts.

    Sekian. That is my personally opinion. Aku sebenernya ga terlalu tau banget tentang HP dan FB, tapi cuman suka aja. Koreksi kalo ada kekeliruan yaa kakak…

    • Arya says:

      Oalah jadi si Tina itu karena covid maka peranannya di dalam cerita direduce jadi sekecil itu. Kasian juga ya.

      Iya kupikir bakal banyak bahas Credence, bahas gimana pengaruh keberadaan dia ke dalam hubungan keluarga Dumbledore dengan Grindelwald karena sejauh lore mereka di Harry Potter original, keberadaannya kan gak pernah disebut. Aku tuh udah tertarik gimana Rowling bakal ngerewrite history mereka, tapi ternyata di film ini bahasannya masih minim. Masih baru di bahasan ‘siapa’. Malah sibuk bahas pemilu penyihir yang konsepnya juga sederhana banget.

      Soal pakaian, yang anehnya itu adalah di seri HarPot original, para penyihir tu bukan saja enggak pakai pakaian muggle di mana pun mereka berada (kalo enggak terpaksa) tapi juga mereka kayak benar-benar gak ngerti fashion muggle. Mereka memadupadankan pakaian muggle selalu ngasal, apalagi si Dumbledore. Selalu dikomen sinis oleh muggle yang ia temui. Aneh kenapa di jaman dulu penyihir bisa berpakaian normal, tapi di jaman ‘sekarang’ enggak bisa. Masa iya lupa.
      Anehnya lagi, justru di era Harry Potter itulah, keadaannya para penyihir setuju untuk menyamarkan diri dari muggle. Kalo di jaman dulu itu kan, muggle ama penyihir belum ada undang-undang, masih hidup berdampingan sampai akhirnya muggle mulai takut dan penyihir mulai merasa superior. Kesuperioran penyihir semakin menjadi-jadi karena pengaruh Grindelwald. Masa di jaman penyihir menunjukkan superiotas dari muggle mereka justru pada bisa berpakaian muggle, tapi pas di jaman hidup secretive mereka justru ketauan noraknya setiap kali ‘menyamar’ jadi muggle. Ada yang gak make sense dari gimana Rowling menggambarkan gaya berpakaian mereka. Grindelwald paling benci muggle tapi pakaiannya udah kayak muggle paling berpangkat tinggi. Udah paling bener Voldemort. Ke mana-mana pakai jubah hitam terus.

      Ahahaa tapi kan Doraemon judulnya memang bukan Alat-Alat Ajaib xD

Leave a Reply