“It is never acceptable for us to be the cause of any child to feel unloved or worthless”
Perasaanku buat franchise The Doll garapan Rocky Soraya cukup mixed. Film keduanya mengejutkanku. Dari franchise ini, The Doll 2 (2017) yang kutonton pertama, and it was not bad. Dramanya bekerja cukup baik, tapi yang paling menghibur adalah babak ketiga yang seru penuh darah. Beberapa waktu setelah itu, baru aku coba tonton film The Doll original (2016), Dari situ baru aku tahu kalo film ini ngincer gimmick boneka-hantu, tema cerita keluarga, dengan tone bunuh-bunuhan yang maksimal – plus twist (yang sekarang udah jadi kayak becandaan; karakter ayah/cowok selalu jahat atau punya kesalahan yang ditutupi). Meskipun akting di film pertama buatku annoying, dan aku gak suka sama spin-off Sabrina (2018), yang jadi sekuel terpisah dari The Doll 2, franchise ini punya konsep yang keren. sense horor franchise ini juga bagus. Yea, obviously they kinda rip-off Hollywood; boneka Sabrina itu Annabelle, Laras dan karakter si Jeremy Thomas (lupa namanya) basically Lorraine dan Ed Warren, dan di film ketiga ini ada boneka baru bermerk Bobby yang tentu saja adalah ‘kw-an’ dari Chucky si boneka Buddi. Tapi ini bisa dioverlooked-lah, selama The Doll masih terus punya cerita dan gaya sendiri untuk menghidupi kemiripan tersebut,
Film ketiga ini menyoroti keluarga Tara yang baru ditimpa kemalangan besar. Kecelakaan mobil menewaskan ayah dan ibu, serta meninggalkan luka membekas (fisik dan mental!) kepada adik laki-lakinya, Gian, yang berhasil selamat dari kejadian tersebut. Tara yang manajer di toko mainan kini tinggal berdua saja dengan Gian. Tapi kemudian datanglah Aryan, pacar Tara, melamar. Gian gak suka ada yang deketin kakaknya, karena menurutnya itu bakal berarti cinta sang kakak tidak akan lagi utuh dicurahkan untuknya. Disogok boneka Bobby (boneka canggih yang diprogram bisa bicara dan bergerak) pun gak mempan. Gian masih cemburu, marah, merasa ditinggalkan, sampai akhirnya bunuh diri. Hancur hati Tara sungguh tiada tara! Nestapa dan gak tenang adiknya pergi dalam perasaan tak-dicintai, Tara nekat pake dukun untuk memasukkan arwah Gian ke dalam tubuh boneka Bobby. Tara ingin mengucapkan proper goodbye. Saat itulah masalah dimulai. Gian yang masuk ke dalam boneka diam-diam melakukan hal yang membahayakan nyawa orang-orang yang menurutnya telah merebut kakak darinya.
Topik yang diangkat sangat matang dan kelam sekali. The Doll 3 bicara tentang hubungan kakak adik, yang basically gak punya keluarga lain, dan adiknya jadi cemburu melihat kakaknya ‘diambil’ oleh orang lain. Ini angle yang film-film horor Indonesia yang gak jamah. Not even original Chucky punya ini. ‘Cerita’ semacam itulah yang jarang dipunya oleh horor lokal, yang kebanyakan cuma melempar adegan-adegan seram di sana-sini sepanjang durasi. Tapi The Doll 3 punya. Horornya bukan sekadar bersumber dari boneka yang bisa membunuh karena kemasukan roh jahat, tapi juga bersumber dari personal karakternya. Kakak yang merasa bersalah kurang menunjukkan cinta kepada adiknya. Adik yang dalam keadaan begitu vulnerable merasa terpinggirkan. Ini adalah subjek yang bisa jadi fondasi drama yang serius. Perkara elemen horornya, The Doll 3 perfectly mengcover itu dengan gaya berdarah-darah yang dipertahankan franchise ini.
Hal baru yang jadi ‘mainan’ oleh teknis franchise ini tentu saja adalah Bobby si boneka yang supposedly ‘beneran’ bisa bergerak alih-alih melotot diam sambil kemudian ngucurin darah kayak di film-film sebelumnya. Tadinya aku sempat meragukan bagaimana film akan melakukan hal tersebut. Bagaimana teknologi kita bisa membuat yang seperti Chucky, you know, apa bakal kelihatan banget orang pakai kostum? Ternyata enggak, film memang menggunakan boneka animatronic yang gak kalah luwes ama film barat. Aku gak tahu mereka pakai berapa boneka di film ini, tapi seenggaknya ekspresi si Bobby tampak cukup beragam. Khususnya pada ekspresi marah, yang lumayan meyakinkan. Jumpscare dalam kamus film ini berarti tusukan pisau Bobby yang datang tiba-tiba. Pisau itu mengarah ke tempat-tempat yang bikin ngilu, batang leher-lah, pergelangan kaki-lah. Adegan pembunuhan dalam film ini sadis, dan seringkali tidak tampak fun kayak di film Chucky. Pure mengenaskan, like, mereka melakukannya karena butuh untuk ada yang mati karena roh si anak ini sudah jadi begitu jahat. Rating ‘Dewasa’ memungkinkan The Doll 3 mengangkat materi yang lebih kelam, dengan cara yang lebih gelap juga tentunya. Pengadeganan horornya pun gak lepas dari kait emosional yang dramatis. Kita akan lihat momen ketika Tara hadap-hadapan sama mayat adiknya yang sudah membiru dan mulai membusuk ketika dia harus menggali kuburan sang adik. Aku sebelumnya tertawa melihat adegan dengan mayat seperti ini dalam kartun Rick and Morty, tapi dalam film The Doll 3, feelingnya pure naas. Satu lagi momen dahsyat film ini adalah pada saat gambarin adegan kematian Gian. So dramatic yet so haunting. Detik-detik kakak lari mencari-cari adiknya yang mau terjun dari suatu tempat dipadupadankan dengan keriuhan orang-orang lagi menanti momen tahun baru. Lalu ketika semuanya terjadi, si kakak menangisi dengan latar kembang api. Bukan lagi soal efek atau apa, melainkan perasaan yang dihadirkan benar-benar pas untuk menghantarkan kita terbenam ke dalam tragedi yang bakal jadi horor keluarga ini.
Horor memang selalu jadi tempat/medium puitis untuk menggambarkan tragedi, termasuk juga yang menimpa anak kecil. Film-film seperti It, The Babadook, bahkan The Shining, dan banyak lagi sangat hati-hati dalam memvisualkan horor tersebut. Anak kecil bisa terabuse mental atau fisik, tugas film untuk memperlihatkannya ke dalam bentuk seperti ditakut-takuti, atau malah jadi menjahati dengan penuh pertimbangan sehingga ketika membahasnya tidak malah tampak seperti sedang mengeksploitasi. Film The Doll 3 memperlihatkan anak yang memilih untuk bunuh diri. Ini bukan persoalan main-main, bunuh diri pada anak harus dapat perhatian yang serius karena di dunia nyata itu memang masalah serius. Jangan sampai ketika jadi film, malah kayak meromantisasi tindakan tersebut. It is a heavy subject, dan The Doll 3 kayak menghindari ini. Kupikir persoalan matinya Gian akan mendapat pembahasan yang serius, tapi ternyata hanya disapu singkat. Film menempatkan ke dalam value moral ‘orang yang mati seperti Gian tempatnya berbeda dengan orang yang mati seperti ayah dan ibunya’ tapi enggak pernah spesifik kembali ke persoalan bunuh dirinya. Gian di dalam Bobby sudah jadi jahat, dan dia gak ragu membunuh orang termasuk anak-anak seperti dirinya. Di film ini, anak kecil adalah subjek sekaligus objek kekerasan. Penggambaran gak tanggung-tanggung, anak kecil terjun bunuh diri, anak kecil ditusuk, disabet pisau, didorong dari atas, diinjak. Aku sudah banyak nonton horor, dari yang paling sadis hingga paling cupu, dan penggambaran kekerasan seperti film ini seperti jarang ditemukan. Anak-anak ditakut-takuti, diserang, tapi biasanya dilakukan dengan layer. I dunno, mungkin karena pengaruh berita penembakan SD di Amerika yang kubaca sebelum nonton film ini, tapi kupikir harusnya film seperti The Doll 3 harus berhati-hati, bermain lebih cantik lagi, dalam menampilkan anak-dalam-skena-horor supaya gak jadi kayak eksploitasi aja. Gak jadi sebagai pemuas adegan darah saja.
Bicara tentang anak yang merasa tak-dicintai, tapi hampir seperti film ini sendiri kurang ‘mencintai’ karakter anaknya. Yang seharusnya bisa sebagai subjek, malah tidak dibahas lanjut. Film ini kayak mau nampilin boneka yang membunuh saja, tanpa benar-benar peduli kalo di dalam situ adalah anak yang bunuh diri, dan ada anak lain yang terus dijadikan target serangan. Untuk menyeimbangkannya mestinya harus ada bahasan yang benar-benar mewakili perspektif sebagai karakter manusia.
Apalagi memang film yang secara nature adalah cerita yang sangat mature ini terasa hanya di permukaan. Dia kayak gak benar-benar mau tampil sebagai cerita yang dewasa. Pengen tetep appeal buat seluruh lapisan umur. Bayangkan kalo anak-anak (yang somehow oleh bioskop diloloskan masuk) nonton ini, dan hanya melihat bunuh diri dan penyerangan-penyerangan itu sebagai seru-seruan horor semata. Bakal horor beneran kalo mereka main bunuh-bunuhan di taman kompleks ntar sore! Konteks dark dan trauma harusnya tetap kuat. This is not a movie for children. Maka film harusnya memperdalam dialog-dialognya. Karena yang kita dengar sepanjang nyaris dua jam itu adalah dialog standar “Kakak gak cinta sama aku!” “Kakak sayang sama kamu!” Dengan kualitas dialog seperti itu, kayak, mereka bukannya masukin persoalan anak karena pengen membahas dan ngobrol mendalam secara dewasa, melainkan supaya anak-anak bisa ikut nonton sadis-sadis yang dibikin. Kan aneh. Dialognya terlalu receh untuk tema sedalam ini. Alhasil karakternya juga gak pernah jadi benar-benar terfleshout.
Dari segi akting jadi gak ada yang menonjol. Jessica Mila, Winky Wiryawan, Montserrat Gizelle, mereka gak dapat tantangan apa-apa dari film ini. Selain teriak ketakutan dan kesakitan. Bahkan peran Gian yang unik pun diarahkan untuk jadi datar. Kurang personality, apalagi jika dibandingkan dengan Chucky. Yang bikin Chucky seru kan campuran dari perangainya yang arogan, kasar, suka nyumpah serapah dan suara kekeh khas dari Brad Dourif – yang semuanya jadi kontras menyenangkan dengan tubuh kecil bonekanya. Chucky jahat, tapi dia jadi karakter jahat yang fun. Gian alias Bobby kayak robot. Datar. Bahasanya kayak anak kecil yang bahkan lebih kecil dari usianya kelihatannya. Aktor cilik Muhammad Zidane yang menyuarakannya bisa apa untuk menghidupkan karakter ini tanpa arahan yang baik. Karakter ini perlu lebih banyak menunjukkan personality. Lihat ketika di final battle dia mulai ngelucu dengan ‘pusing’ atau mulai menjadikan tawa datarnya sebagai signature ejekan, penonton baru bereaksi dan have fun bersamanya. Sebelumnya, Gian hanya tampak seperti anak cemburuan yang annoying, dia butuh lebih banyak momen membahas karakternya.
Sebenarnya naskah film ini memang tersusun lebih proper (setidaknya dari horor lokal kebanyakan) Babak set up beneran tersusun, plot Tara sebagai protagonis juga, secara teori, bisa dibilang benar. Ada perubahan pemikiran. Hanya saja, perubahan atau pembelajarannya itu tidak earn dari dalam dirinya. Dialog konfrontasinya dengan Gian hanya seperti dia ngeguilt trip anak itu. Oke, membunuh orang memang perbuatan salah, tapi selain Gian diberitahu dia salah, Tara juga perlu mengenali apa sebenarnya awal dari ini semua. Tara harus mengenali kesalahan yang ia buat sebagai sumber masalah sehingga aksi dia membenahi diri – secara perspektifnya – akan jadi penyelesaian kisah ini. Tapi momen pembelajaran seperti itu gak ada. Sepanjang film, Tara hanya menyaksikan adiknya mencelakai orang, Tara sendiri tidak pernah benar-benar dalam bahaya. Harusnya ini bisa jadi akar inner journey Tara. Kenapa orang sekitar yang mencintainya semua terluka. Ortunya yang kecelakaan saat mau menjemput dirinya, adiknya, pacarnya, adik pacarnya. Kenapa adiknya bisa sampai cemburu. Dan ngomong-ngomong soal adik pacarnya, mestinya si Mikha itu bisa jadi redemption buat Tara. Bentuk maaf Tara gak mesti harus kata-kata yang ia ucapkan ke depan Gian, apapun bentuk si Gian saat itu. Bisa dengan benar-benar menunjukkan kepedulian sama yang mencintai dia atau semacamnya. Namun sekali lagi, karakter Tara juga gak dibahas mendalam karena film terus menerus ke soal Gian cemburu saja.
Pembelajaran Tara datang lewat twist berupa revealing yang tahu-tahu menambah motivasi dirinya di menit-menit akhir. Ada penjelasan panjang mengenai kejadian yang awalnya kayak cuma prolog saja. Protagonis kita berubah jadi better person karena pengungkapan ini. Karena ternyata ada karakter yang ternyata menyimpan rahasia kejadian sehingga dia gak perlu lagi merasakan hal yang ia rasakan kepada si karakter. Sehingga dia kini bisa menghormati pilihan hidup (atau mati) adiknya. Ini cara yang aneh dilakukan film untuk berkelit dari bahasan rumit kakak-adik. Mereka cukup memaparkan kejadian dari luar dalam bentuk ‘twist mencengangkan’. Supaya audiens suka. Tapi nyatanya, yang kulihat di studio, penonton malah mulai kasak-kusuk sendiri begitu momen twist yang gak perlu ini muncul sebelum penghabisan. Karena memang di bagian ini bagi penonton casual (yang hanya menonton adegan-adegan), film kayak ngestretch waktu aja. Ceritanya sebenarnya sudah abis.
Bagus sebenarnya di skena horor Indonesia ada yang berbeda seperti franchise ini. Yang menawarkan materi yang lebih dewasa, gaya yang lebih sadis, sebagai alternatif. Cuma sayangnya, filmnya sendiri gak komit betul dengan tawarannya. Film ini masih dibuat seperti supaya semua lapisan umur menonton. Padahal tema dan ceritanya sangat dewasa. Adegan-adegan horornya juga berdarah dan lebih kelam. Tapi dialog dan karakternya masih ditulis sederhana. Kurang personality. Tidak mendalam. Plot karakternya juga disesuaikan dengan twist yang somehow masih dianggap perlu. Padahal harusnya karakter berubah dari dalam. Cerita padahal akan baik-baik saja jika mendalami perihal kakak dan adiknya yang cemburu. Kalo ada yang bunuh diri di sini, maka film ini pun membunuh dirinya sendiri dengan terjun bebas lewat pengungkapan mengejutkan yang tak perlu.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE DOLL 3
That’s all we have for now.
Bagaimana menurut kalian cara yang tepat untuk menangani adik atau anak yang cemburu karena merasa kurang disayangi?
Share with us in the comments
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
Mnurut aku ini filmny kurang nampol sih introny hehe biasany hitmaker bagus intro filmny tp disini datar bngt introny … moga ajh hitmaker bikin cerita baru deh jngn boneka mulu bosen ceritany dari seri 1-3 sampe spinoff sabrina sama aja tentang tokoh itu juga yg menyimpan rahasiany hahaha .. btw aku ketawa pas adegan masayu anastasya lempar wajan ke muka boby sampe mental selebihny B aja lah tapi cukup menghibur dibanding film viral itu
Biasanya intronya ngasih liat aksi eksorsis kan ya? kalo gak salah di Doll 2 begitu. Makanya begitu melihat intronya jadi grounded, gak bombastis lagi, kupikir filmnya bakal nguatin ke drama. Tapi ternyata ya setengah-setengah. Belakangnya tumpah darah kayak Doll yang biasa, depannya drama. Kurang baik menyeimbangkannya yang sekarang. Tapi lumayanlah, ada isi, gaya, dan bangunan plotnya. Gak kayak film viral itu
Yg sekarang intronya cepet banget, aksi bunuh2an/exorcism di film sebelumnya ternyata keganti sama adegan bunuh diri sadis di menit2 berikutnya. Kalo struktur plotnya, bener template dari 3 film The Doll sebelumnya, cuma twist-nya aja yg kali ini ga ketebak sejak awal.
klo km ngehh si sama komuk gian pas salaman sm arya pasti udh ketebak yaaa gitu gitu lagi twistny … adegany juga mirip plek ketiplek sama di trailer jd gaada kejutan sih di film ini
Wahahaha untung ku tak nonton trailer, jadi masih ada surprise dikit-dikit
Kalo gak pake twist (berarti gak perlu ada adegan tabrakan di depan), maka intronya bisa langsung adegan bunuh diri yang sadis itu. Bisa lebih ringkas dan langsung ke horor tuh
Tapi gore di film ini kyk gak puas gtu gasih ahhahaha abis bunuh 2 pembantuny masa langsung udahan gtu aja malah menjelang akhir film kyk bosennnn bngt bngt bngt gak ada adegan gregeeet gtu kyk dikejar boby dalem rumah jd main kucing kucingan gtu biar lama dikit hahaha
Greget doonng, mereka kan kucing-kucingan di dalam kolam hahaha bego banget ngumpet malah di dalam air. Badan berdarah2 gitu, masuk ke kolam, mestinya airnya jadi merah dan langsung ketauan. Greget pengeng ngelempar popcorn nontonnya xD
Halo bang arya. Selama ini jadi silent reader disini, tapi kadang2 ngasih tanggapan dan uneg2 juga via twitter hehe. Kemarin abis nonton the doll 3, emang bener sih bagian dramanya agak alot, entah dari pengadeganannya dan dialog2nya. Untungnya tujuan utama buat ngobatin kangen nonton film slasher khas hitmaker masih terpenuhi apalagi ada si Bobby. Salut sama tim kreatif dan desain bonekanya bisa dibuat sehidup mungkin. Sadisnya Bobby terlaluu, paling ngilu pas Mikha masih jadi sasaran pas kondisinya udah gak bisa ngapa2in. Kaki lumpuh kena tusuk
Keren sih memang bonekanya, gak nyangka Indonesia bisa juga bikin untuk film yang kayak gitu. Dan boneka itu memang dimanfaatkan maksimal, variatiflah kemunculan Bobby-nya (walaupun memang kadang ada yang logikanya gak masuk, perihal tingginya segitu kok bisa begitu dsb). Tapi memang di situlah justru letak fun-nya kan. Makanya film ini tuh, sama kayak Chucky, musti nonjol unsur lebay-yang-fun. Karena bagaimanapun juga boneka bunuh orang itu premis yang ‘bego’. Hiburan justru diangkat dari seru-seruan melihat hal itu, ditambah berdarah-darahnya. Nah, The Doll 3 ini ngambil materi drama yang terlalu mature, sehingga seperti yang kita lihat mereka agak kesusahan sendiri menyeimbangkan antara dua kebutuhan (drama mature dan fun) tersebut.
Kapan review Top Gun: Maverick mas?
Belum tau nih, paling kapan-kapan masuk mini review aja kalo tertonton
Top Gun mana nihh, masa dilewatin sih ;(
Iya, skip kayaknya. Aku gak ngikutin.
Mungkin ntar-ntar masuk kompilasi di mini review
Ketonton mas, karena minggu ini ga ada filmu baru kecuali Naga3x. Wah benar aku lebih terhibur nonton Doll ini daripada Jurrasic. Cuma twistnya itu gimana. ya. Entah aku salah ingat enggak, tapi rasanya Doll sebelumnya hantunya udah tahu kalau cowoknya itu yang jahat, jadi balas dendamnya karena cowoknya jahat, betul ga sih? Lupa sih udah. Ini kan udah dibocorin mas Arya, kulihat2 kok direstui segala sama bonekanya boleh nikah pas awalnya. Eh ternyata bener ketahuan di ending. Kalau gini ya harusnya ga usah ada aja twistnya mending masalah cemburu aja. Jadi pas Tara sadarin Biyan yang di kolam itu, Biyannya sadar aja udah bisa stop. Epilognya malah kepanjangan dan aneh juga sih. Nabrak, tanggung jawab, jatuh cinta, terlalu banyak kebetulannya. Itu truk kedua yang nabrak juga mirip Doll 2 aneh mobil segitu besar ga kelihatan langsung ditabrak. Mending langsung mati aja pas ditabrak Aryan. Laras dan suaminya kali ini ga terlibat langsung, ga adapun juga gpp. Tapi aku masih enjoylah, menikmati si Bobby sampai twist endingnya itu yang buat ngantuk.
Iya, Doll yang ini gak dendam dari awal, dia baru tau Aryan itu yang nabrak pas kebetulan liat foto di kamar, bener harusnya gak usah ada cemburu kalo begini. Jadi ribet kayak dua film kan hahaha, epilognya jadi kayak panjang banget, nambah-nambah masalah dipadetin di akhir. Film jaman sekarang tuh selalu suka banget ribet-ribet. Ini padahal simpel, either pilih cerita cemburu atau cerita dendam aja, udah cukup dan lebih bisa fokus kalo satu aja.
Iya kalau selesai pas disadarin di kolam aja mungkin lebih bagus. Walau kurang seru kalau begitu aja kalahnya hahaha.
Ya harus dirombak semuanya, battle serunya bisa dibikin lebih awal atau semacamnya.
Makanya film-film twist biasanya aku kasih 5. Aku biasanya ngasih angka ganjil untuk film-film yang udah gak bisa diubah sedikit, harus total, karena biasanya film-film ini sudah didesain untuk harus seperti itu demi tujuan suatu ‘gimmick’ tertentu. Film twist, misalnya, sedari awal sudah didesain bangunan ceritanya untuk memuat twist – ini resiko yang mereka ambil.
(beda ama angka genap yang biasanya kukasih untuk film2 yang bisa bercerita lebih baik lagi, baik itu dengan sedikit memperdalam bahasan, nambah sedikit pengembangan karakter, dsb)
Yang kedua dulu berhasil itu dramanya. Yang Luna Maya sama boneka Sabrina. Itu hantu anaknya pergi setelah diikhlasin mamanya. Lupa sih gimana bangun battlenya kok gitu aja tapi rasanya seru juga. Yang ketiga ini kalaupun selesai di kolam,rasanya kurang dramatis juga Tapi terbalik sih ya, yang ketiga ini kalau selesai di kolam berarti adiknya yang relain kakaknya bahagia, kalau yang kedua Luna Maya yang ikhlasin anaknya pergi.
Film yang kedua memang yang paling bener Doll yang lain sih haha, aku sampai tertarik pengen liat yang pertamanya pas beres nonton film yang kedua.