ELEMENTAL Review

 

“The most important things in life are the connections you make with others”

 

 

Masih ingat lagu Olaf si boneka salju di Frozen? It goes like “The hot and the cold are both so intense, put them together? it just make sense!” Ya, perbedaan menyatukan. Opposites attract. Dan hey, kita bahkan tinggal di negara yang mottonya menyebut perbedaan sebagai alat persatuan. Sudah ada begitu banyak kisah tentang gimana dua orang yang begitu berbeda akhirnya menjadi pasangan yang serasi karena saling melengkapi, saling menghargai, dan kita semua suka cerita-cerita kemanusiaan seperti ini. Jadi pertanyaannya adalah di titik mana cerita tersebut menjadi klise – jika muatan yang terus relevan tersebut memang bisa untuk terasa klise. Tadinya, aku mengira titik itu ada di animasi Pixar terbaru ini. Tapi ternyata sutradara Peter Sohn bukan hanya sekadar membuat cerita tentang Gadis Api yang jadi couple dengan Cowok Air. Bukan hanya tentang chemistry yang terjalin dari perbedaan. Melainkan menggali ke dalam. Film ini menekankan kepada pentingnya koneksi emosional sebelum bicara tentang betapa indahnya koneksi fisik yang dihasilkan darinya.

Biasanya yang bersikap dingin itu digambarkan sebagai es. Uniknya di sini Sohn membuat bahwa yang panas ternyata juga bisa jadi ‘dingin’. Si Cewek Api, bernama Ember lah yang dalam cerita Elemental mengalami kesulitan untuk connect dengan orang-orang di Element City. Ember sudah berniat untuk kelak menggantikan posisi ayahnya sebagai pemilik toko keluarga, tapi dia kesulitan untuk melayani berbagai permintaan customer.  Ember suka meledak marah, like literally mengobarkan api sampai-sampai suatu ketika dia membuat pipa-pipa air di basement toko dan rumah mereka bocor. Masalah tersebut menyedot Wade si Cowok Air, yang actually tukang ngecek kelayakan bangunan di kota. Pertemuan mereka berujung pada Ember harus berjuang mendapatkan ijin toko hingga menyelamatkan toko tersebut dari terjangan air. Untuk itu Ember harus bisa meyakinkan petugas kota. Dan Wade yang memang punya sikap gampang tersentuh, berusaha membantu Ember untuk melakukan hal tersebut.

Cek Toko Sebelah, IPA edition

 

Notice gimana cerita terus menekankan kepada soal membangun koneksi? Mulai dari menjaga toko hingga berusaha menyakinkan Gale si awan pimpinan petugas kota, masalah yang ditemui Ember adalah karena dia gak bisa menyentuh orang-orang tersebut secara emosional. Beda sama Wade yang bahkan bisa membuat penonton satu stadion olahraga melakukan ‘ombak’ bareng. Sekilas Wade memang tampak sebagai humor relief karena mudah banget nangis, tapi karakter ini adalah pendukung yang sangat tepat bagi journey personal Ember. Wade bakal ngajarin Ember gimana membuka diri, untuk berani menjadi vulnerable di depan orang lain, dan menyadarkan Ember bahwa sebenarnya kunci dari masalah emosinya itu adalah karena Ember tidak berani jujur kepada dirinya sendiri. Crying game yang jadi permainan keluarga Wade juga sebenarnya bukan permainan lucu-lucuan saja, tapi secara inner permainan tersebut jadi tes bagi Ember, bagian dari proses belajarnya membuka diri secara emosional. Itulah kenapa Ember dan Wade akhirnya jadi pasangan yang bisa kita dukung. Karena film membuat kita mengerti bahwa kedua orang ini sebenarnya saling butuh satu sama lain. Film ngebuild up dengan manis proses mereka jadian, yang ditunjukkan dari mereka mau bersentuhan aja harus saling percaya dulu. Saling konek dulu secara emosional. And when they do touching each other, film ngetreat-nya seolah perayaan cinta yang begitu besar lewat permainan kimia dan fisika yang indah antara air dan api.

Membuka diri kepada orang memang penting, kayak di film aja, karakter cerita kita harus dibikin vulnerable supaya bisa relate dengan penonton, dan hanya jika penonton merasa relate-lah maka karakter dan film tersebut baru bisa dipedulikan. Kita perlu orang lain merasakan hal yang kita rasakan, kita perlu saling mengetuk hati satu sama lain. Tapi memang tidak semua orang berani melakukannya karena untuk bisa vulnerable tersebut maka kita harus membuka diri terhadap siapa kita sebenarnya, jujur dulu pada apa yang kita rasakan sebenarnya.

 

Hal itulah yang terjadi pada Ember. Dia susah konek ke orang, karena secara emosional dia belum siap membuka diri terhadap masalah personalnya sendiri. Dia belum siap mengakui bahwa dia sebenarnya gak mau ngikutin keinginan ayah untuk mengelola toko. Hubungan antara Ember dengan ayahnya juga jadi salah satu elemen penting di dalam cerita. Yang membuat film ini juga bertindak sebagai drama keluarga yang menghangatkan. Konflik yang perlahan dikembangkan seperti api dalam sekam, akhirnya mendapat penyelesaian yang tak kalah manis dengan elemen romansa. Kedua elemen pada cerita ini berjalan paralel sebagai inner journey yang solid. Inilah yang selalu jadi kekuatan naskah pada film-film Pixar. Berani untuk mengeksplor bahwa yang diinginkan oleh karakter, sebenarnya bukan hal yang mereka butuhkan. Elemental dan film-film Pixar lain berani untuk gak ngasih karakternya hal yang mereka inginkan di awal cerita. Beda sama film Indonesia yang seringnya ngasih lihat apa yang karakter mau di awal, itu yang bakal berhasil mereka dapatkan sebagai penutup cerita. Padahal momen karakter menyadari yang mereka inginkan not really good for them dan lantas membuat pilihan lain menuju yang kini mereka sadar lebih mereka butuhkan bakal selalu jadi momen pembelajaran yang kuat, yang membuat film Pixar selalu beresonansi buat penonton dewasa, dan juga penonton anak-anak.

Literally bikin ombak together

 

Ngomong-ngomong soal penonton anak. well, di sinilah mungkin Elemental bisa membagi dua penonton. Misi yang basically cuma mau dapetin ijin toko memang bukan petualangan benar-benar diharapkan penonton anak yang pengen petualangan yang lebih fantastis. . Bentukan film yang sebenarnya lebih seperti rom-com, komedi romantis, ketimbang actual adventure juga bisa bikin penonton yang lebih dewasa agak canggung mengajak adik-adik atau anak mereka menonton ini. Tapi kalo nanya aku, tentu saja kita gak bisa bilang film ini ‘buruk’ karena kurang fantastis, atau karena ngasih lihat anak-anak build up orang pacaran. Menurutku, pelajaran berharga yang dipunya cerita outweight sedikit kecanggungan ataupun kenormalan yang dipunya oleh animasi fantasi ini. Anak-anak justru bisa belajar banyak tentang romantic relationship yang sebenarnya juga tergolong ‘aman’ karena di film ini diajarkan untuk membangun rasa pengertian terlebih dahulu. Bahwa hubungan gak bisa langsung sosor fisik, melainkan harus punya dasar emosional, harus terjalin dari dalam. Film ini sebenarnya juga menggambarkan kehidupan sosial karena Ember dan keluarga dipotret sebagai semacam orang dari daerah kecil yang pindah mencari kehidupan baru di kota besar. Kota yang punya stigma negatif terhadap mereka (api dilambangkan susah bergaul dengan elemen lain seperti air dan tanah yang lebih gampang mix together). Sehingga keadaan keluarga Ember yang membangun sendiri tempat tinggal mereka, yang tinggal berkomunitas di pinggiran kota, gak merasa benar-benar cocok dengan penduduk lain dapat jadi pelajaran sosial yang berharga tentang saling menghargai.

Soal fantasi, memang Elemental gak punya dunia dengan high concept kayak Soul ataupun aturan-aturan seperti Inside Out, tapi bukan berarti film ini lack of creativity dan jadi animasi yang datar. Sebaliknya, Elemental membawa fantasi itu ke ranah yang lebih grounded dan bisa lebih mudah dipahami oleh penonton anak-anak. Para penduduk dan kota Element itu sendiri memang didesain untuk bertindak layaknya unsur alam beneran. Seperti yang dipelajari oleh anak-anak dalam pelajaran ilmu alam di sekolah. Gimana api dengan mineral, gimana air bisa menciptakan pelangi, gimana cahaya bisa diteruskan oleh air, gimana api ternyata digunakan untuk bikin kaca dan ornamen-ornamen yang unik. Dan bukan hanya dari hal-hal yang kita lihat, beberapa dialog film ini juga memuat banyak candaan yang diambil dari gimana elemen-elemen alam itu bekerja. Gimana awan hanya ikut kemana angin bertiup. Gimana  air diceritakan seolah pengen tahu apapun – padahal maksudnya juga adalah soal air selalu mengisi tempat/bejananya. Desain visual karakter juga dimainkan untuk menambah kepada karakterisasi. Misalnya kayak si Ember yang badan apinya actively semakin bergejolak sesuai dengan emosi yang ia tahan. Jadi ya, aku pikir penonton gak bakal kehabisan hal untuk dikagumi dari dunia film ini. Karena fantasinya dari ilmu beneran yang begitu well-crafted sehingga membentuk jadi dunia yang dihidupi karakter-karakter ajaib.

Dan jika adik-adikmu belum puas bertualang, di rumah tinggal setel saja Apple TV+ karena di sana ada serial animasi anak terbaru berjudul Stillwater tentang anak yang tetanggaan sama panda! Just click this link untuk subscribe~ https://apple.co/42U6Omf

Get it on Apple TV

 

 

 




Better jika kita masuk ke dalam film ini, fully realized kalo ceritanya bukan exactly sebuah petualangan fantastis. Karena memang film ini lebih seperti rom-com dan drama keluarga dengan karakter-karakter unik. Memang tak jadi terlalu fantastis dengan konsep dunia dan petualangannya, namun film ini ngeceklis semua kriteria sebuah film yang bagus dan benar tanpa cela yang kentara. Naskah yang solid dan development yang kuat membuatnya jadi tontonan yang berbobot. Really, aku tak menemukan pilihan yang salah dari film ini. Bahkan flashback yang mereka lakukan pada beberapa adegan tidak menghambat tempo dan punya alasan kuat untuk dilakukan demi menjaga cerita tetap berjalan dari sudut Ember. Sekilas terlihat biasa, tapi keunikan justru mencuat dari gimana film ini mengolah bahasan yang sudah sering lewat sudut fokus yang rada berbeda. Dari gimana kreasi fantasi itu diarahkan untuk menjadi lebih grounded supaya penonton lebih mudah mengerti dan terattach kepada karakter. Menurutku film ini cuma hadir di waktu yang kurang tepat; hadir di saat penonton selalu mengharapkan something explosive sebagai hiburan di bioskop (untuk alasan yang sama kenapa superhero yang lebih grounded dan simpel ala cerita kartun juga tidak benar-benar digandrungi dibandingkan superhero yang banyak kejutannya). Tapi aku percaya, ini adalah tipe film yang seiring berjalannya waktu akan semakin diapresiasi oleh penonton yang lambat laun menyadari how well-rounded penceritaan yang ia miliki.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for ELEMENTAL

 




That’s all we have for now.

Mengapa menurut kalian film ini menganggap persoalan emotional connection perlu diajarkan kepada anak-anak?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



Comments

    • Arya says:

      Eh bener ding, 8 pertama tahun ini. Enteng bgt kayaknya aku ngasih 8 ke Pixar ya hahaha… tapi ya gitu sih, asal naskahnya bener, development ada, karakter kuat. Ntar di review Onde Mande! aku mau bandingin bedanya naskah yang kuat ala Pixar sama kebanyakan naskah film indonesia yang ‘cuma’ ngasih reward

  1. Farrah says:

    Wah akhirnya pecah telor juga score 8, walaupun bukan 8.5.

    Aku nonton ini dihari pertama sama anakku karena ekspektasinya akan seperti Inside Out, pas nonton bingung, kok jadi menjurus cinta2an :’))) & kalo dari pov anakku memang kurang semenarik itu sih, krn di awal build up ceritanya kan mayan lama ya, berkutat di api, jd sempet ada bosen2nya & dia juga rada takut krn kan di awal banyak adegan Ember struggling buat regulasi emosinya (jadi dia fikir ini film apa kok adegannya marah marah mulu hahaha), waktu ke Elemental City, baru deh anakku bisa enjoy.

    Tapi sebaliknya, film ini yg nyentuh aku lebih dalem, analogi karakternya bagus, sebagai pencinta romcom, nonton ini kayak terheran heran sendiri krn ternyata bisa ya cerita soal perbedaan dibikin sebasic ini tapi malah jadi super menarik, rasanya mau nonton ulang tapi sendirian aja, jadi ga ribet jelasin hal ini itu ke anakku 😀

    Cuma yg rada ngegantung menurutku elemen lain sih mas, kayak Earth sama Air yg kayak kurang di develop, aku kira akan lebih ada porsinya lagi, cm ternyata memang pelengkap dari Ember sama Wade aja

    • Arya says:

      Hahaha kayaknya aku masih berjiwa anak-anak karena kalo ada petualangan serunya baru mungkin aku bener-bener suka dan kasih 8.5

      Tapi mmg film ini bagus kok yaa. Kuat di kotak rom-com dunia fantasi itu. Masalahnya kayaknya memang justru di materi promo mereka. Seolah film petualangan, karakter-karakter pendukungnya seolah berperan besar. Padahal kan di ceritanya tanah dan awah, bahkan si Clod itu cuma selewat-lewat aja. Dan memang mereka gak diset untuk jadi bigger sedari opening. Gak ngebuild bakal ada petualangan yang dilalui bersama elemen-elemen lain. Pixar kayaknya desperate banget narik penonton jadi bikin promo yang agak dilebaykan perihal karakter dan adventure dan sebagainya.

      • Farrah says:

        wah iya setuju, bisa jadi yang miss disini model promosinya ya mas. karena seingetku, trailernya pun terkesan yang akan ada 4 elemen di eksplor gituuu, bukan yang cuma fokus di 2 elemen aja (yang padahal gapapa banget kalo mau jujur kayak gini dari awal), ditambah posternya juga kan keliatan ‘rame’. huuu jadi lebih kayak kecewa aja sih pas nonton, suprise but not in a good way, kalo mau frontal, ketipu lah kasarnya. jadi kasian sama filmnya, padahal bagus, ceritanya juga original, tapi karena hal hal teknis kayak gini, aku jadi subjektif nilainya

        • Arya says:

          Apalagi di Indonesia judulnya jadi Elemental Forces of Nature, kesannya udah gimana gitu, ku malah jadi teringat Avatar Last Airbender kalo udah denger kekuatan2 alam gitu hahaha.. Lebih suka judul originalnya aja, Elemental. Kesannya lebih simpel, ngartiinnya jadi unsur doang. Lebih pas sama actually filmya seperti apa. Early posternya juga kan cuma si api dan air itu aja. Tapi ya itu, mungkin karena sering flop, saingan film summer berat-berat, maka jadi rada insecure dan mereka malah ngeluarin materi promo yang bombastis.

  2. Albert says:

    Jadi penasaran dibandingin gimana sama Onde Mande. Aku rada bingung pilih nonton mana, udah lama ga nonton Indo. Onde Mande mengingatkan sama Ngeri2 sedap yang film daerah non jawa. Tapi akhirnya tetap pilih Elemental. Bagus sih filmnya jadi kalau siap nonton film drama dibanding petualangan. Hehehe.

  3. Ulum says:

    Baru nonton ini film hicks. Emang sebagus itu ya. Setelah kecewa sama 3 film animasi sebelumnya, (onward, strange world (disney) dan lightyear yang ah sudahlah), kecewa berat sih. Kecuali soul yang jleb deep banget itu film.

    Saya suka banget sama semua hal soal animasi, pokonya yang berhubungan sama teknologi animasi komputerlah, mau iu filmnya jelek atau bagus sbenernya suka aja, soalnya jadi cuci mata. Kaya film ini. Gimana dunia yang fibangun sangat indahnya. Kayaknya emang picar sampe saat ini still the best lah ya buat urusan visual visual yang close to foto realistic. 3 film yg sya sebutin diatas juga soal gambar si puas cma ceritanya aja yang kurang suka.

    Ngomongin soal cerita, saya lebih ke sudut gimana siorang tua mengharapkan sianak jadi legacy nya dia. Soalnya banyak banget didunia nyata yang kaya gitu. Seolah dia gak peduli sama apa yang anak pengen. Padahal orang tua bukanlah kita sebagai anak. Anak punya alamnya masing-masing, yang mana, bukankah nanti anak juga bakal punya anak. Harapan yang ingin legacy itu yang jadi menemboki si anak untuk berkembang. Yang ternyata di dunia barat gampang banget mendobrak itu. Beda dengan budaya tinur yang seakan menjunjung tinggi apapun keinginan ortu dengan mengorbankan keinginan si anak jauh jauh. Ini suka banget sih, kaya isu mental healt dibangun banget disini, cma emang caranya aja yg gak cocok sama budaya timur yang keanya ngelawan.

    Soal cerita rom comnya juga luar biasa, gimana si wade bener bener pengen si ember jadi orang yang ember mau, bukan orang lain mau, ngebuka diri, itu susah banget sih. Bener kata mas arya, film ini relate dengan kehidupan kebanyakan orang.

    Cuma komen saya ada yang ganjel dari sosok ibunya ember, disini kayak gak punya koneksi sama film, kaya karakter yang gak penting ada, dan sya gak yakin dia ibunya ember, soalnya perannya minim banget. Kalo indonesia kan banyaknya fatherless ya. Keknya si ember motherless. Aneh aja, ibunya kaya terpisah dari film walaupun dia hadir sebenernya.

    Sama sya masih bingung, diakan dateng dari daerah lain ya, gak diterima di kota. Terus tiba-tiba bisa ngebangun segitu ramainya komunitas di fireland? Lupa namanya, oh fireplace? Lupa juga.

    Berarti dia ibaratkan imigrand gelap dong yang manfaatin daerah terpencil macam lingkungan kumuh di pinggiran kota, ya nggak sih. Agak penasaranya disitu gak dijelasin. Sama, masa iya si ember gak punya temen sama sekali, bahkan sekolah juga nggak di tampilin deh.

    Gitu aja mas arya. Sharingnya, telat si ya but sya suka banget sama ni film asli.

    • Arya says:

      Strange World aku belum nonton, gimana filmnya? Apa yang mengecewakan bagi mas dari film itu?

      Haha kayaknya komunitas mereka ramai terbangun secara natural aja, banyak penduduk api yang nyari penghidupan, gak diterima, dan gabung ke sana. Mungkin Ember sekolah di komunitas situ aja, teman-temannya juga pada ngikutin bisnis orangtua masing-masing atau gimana. Aku juga kurang relate sih kalo soal penduduk pendatang, tapi urusan harus ngikut keinginan orang tua, nah baruuu hahaha.. Sebenarnya lebih orangtua yang seringnya gak nanya-nanya dulu ya, tapi ke anaknya seolah langsung membebankan anaknya harus seperti dia.

      Ibunya kayaknya didesain jadi voice of reason, penengah di antara keduanya, ibunya juga yang ngeliat cinta itu ada pada Ember dan Wade, sebelum bahkan si Ember sendiri menyadarinya. Tapi memang peran sebagai ‘ibu’nya kurang, karena kalopun dia dibikin bukan ibu tapi bibi, or even peramal random yang ngontrak di toko mereka – misalnya – fungsi voice of reason itu masih tetap bisa tercapai ya.

Leave a Reply